Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kayuhan Tak Sempurna
MENU
About Us  

‎“Bang, luangkan waktu mu sekejab.” Alya terus mengikutinya dari ‎belakang, sedang Ajar sibuk menyirami tanamannya. ‎

‎            “Aku ingin kita membahas sesuatu.”‎

‎            “....................” Ajar tetap dengan pekerjaannya.‎

‎“Baaaaangggg!!, kau tak dengar kah? Berapa kali aku harus ‎meminta kau untuk....”‎

‎            “Suara kau persis sama seperti ayahmu.” Ajar memotong pekikan ‎itu.‎

‎            “Duduklah sebentar.” Suaranya memelan dan Air matanya ‎menderas.‎

Ajar mulai berjalan ke arah sebuah pohon tumbang. Meletakkan ‎tempat penyiram airnya dan duduk. Alya berdiri di hadapannya.‎

‎            “Ayah kau pasti akan marah jika tau kau di sini.” Ucapnya sambil ‎mengambil sebatang rokok dan menyulutnya dengan api.‎

‎            “Sejak kapan kau mulai pandai membakar racun itu.”‎

‎            “Bahkan aku sendiri adalah racun bagi kau, sejak kapan kau sudah ‎pandai jauh pergi ke sini dan menghampiri racun ini?”‎

Praakkk!!, Alya menampar ajar sampai rokok di bibirnya jatuh.‎

‎            “Kau sangat mirip dengan ayahmu.” Ia memungut rokok yang ‎jatuh itu.‎

‎            “Kenapa kau ingin menendang perut ayahku waktu itu,?”‎

‎            “Aku hanya ingin membalas perbuatannya.”‎

‎            “Hanya karena dia memukul dan menendang perutmu waktu itu? ‎kenapa kau tak memarahiku saja, dan menjelaskan kepada ayahku bahwa ‎aku yang memulai semuanya.” Alya berbicara cepat dan tersedu.‎

‎“Kau ingat, tukang kebun yang selalu menyisir rambutmu di teras ‎rumah setiap pagi. Ayahmu menendang dan memijak perutnya 19 kali, di ‎depan mataku.” Pandangan Ajar mulai menajam.‎

Alya mematung. Ia benar-benar terkejut mendengar pernyataan itu. ‎Lalu, jatuh bersimpuh. Matanya mulai berkaca.‎

‎“2 minggu setelah itu, ibuku membawanya ke dokter. Limpanya ‎pecah dan kronis. Ia meninggal dengan sebab itu. Ibuku lantas sakit ‎karena ayahku meninggal. Lalu aku yatim piatu. Aku tak perlu ‎berkomentar banyak. Tentu kau sudah mengerti.” Suaranya kembali ‎memelan.‎

Mereka terdiam beberapa saat. Suara serangga hutan hingga ‎terdengar begitu jelas.‎

‎“Aku tau kenapa kau menghindar sejak saat itu.” Untuk pertama ‎kalinya Ajar membuka perbincangan, tepatnya semenjak pertemanan itu.‎

Alya, rasa pilunya jatuh semakin dalam sampai tidak mampu ‎berbicara. Suasana hening kembali untuk beberapa saat.‎

‎            “Seharusnya kau tidak seperti itu kepada orang lain. Bagaimana ‎caranya aku boleh mengerti apa keinginanmu, bagaimana perasaanmu, ‎sedang kau hanya diam saat kutanyai. Kau seharusnya berbicara! ‎Menjelaskan!, Jika kau tak mau aku menghindar.”‎

‎            “........................” Ajar mulai terdiam.‎

‎“Bahkan, senyuman mu di sepeda itu pun kau tutupi. Kenapa ‎tidak kau tumpahkan saja, agar aku tau?”‎

“Agar kau tau apa?” Ajar berkomentar cepat.‎

Tangisannya Alya memilu lagi.‎

‎            “Sudah. Kau tak lihat matahari mulai turun. Ayahmu tentu akan ‎marah jika tau kau di sini.” Ajar bangun dan mengambil tempat air itu.‎

‎            “Kau akan mengantarku pulang?” Alya mulai bangun dan ‎mengusap mata sembabnya.‎

‎            “Tidak, jika kau ingin bermalam di sini.”‎

Tangisan yang sedari tadi berjatuhan, akhirnya mampu digantikan ‎hanya dengan satu kalimat itu. Alya tersenyum sambil mengikuti langkah ‎kaki Ajar. Persis memijak jejak langkah Ajar yang tertinggal di belakang. ‎

 

Air Mata Yang Mengering

Jejak kaki Ajar membawa Alya ke rumah itu. Lagi-lagi ia tidak ‎pernah membayangkan bahwa Ajar tinggal di rumah se-reyot itu. Sendiri. ‎Ia mulai memaklumi segala sikapnya yang tak normal. “Jika aku jadi dia, ‎mungkin aku sudah gila.” Besit benaknya sedih, sambil melihat Ajar ‎melepas keranjang sampah di sepedanya.‎

‎“Naiklah, kita harus cepat.”‎

Alya langsung duduk menyamping. Sepeda itu pun melaju. Nilai ‎‎1-9. Mereka harus turun setiap kali jalan menanjak. Sepeda itu tidak akan ‎bergerak naik karena dayungannya tidak bisa dikayuh sempurna. ‎Rantainya akan lepas. Mereka terus melakukan itu sampai jalan lempang ‎terpampang.‎

‎“Kenapa kau tersenyum ketika itu?”‎

‎            “...........................” Suara denyitan dan hentakan itu lagi.‎

‎            “Padahal tadi kau berbicara banyak. Tapi sekarang kau malah ‎diam.”‎

‎            “...........................”‎

‎“Kenapa kau sampai berbohong kepada ketua ospek itu, bahwa ‎kau yang menabrakku. Padahal aku yang menabrakmu.”‎

‎“...........................”‎

‎“Kau juga bilang aku cantik. Apakah kau juga berbohong atas ‎alasan itu.?” Alya tersipu malu sendiri.‎

‎            “..........................”‎

‎“Kau membiarkanku menaiki sepedamu, bahkan kau tidak ‎menolaknya sama sekali.”‎

‎            “..........................”‎

‎“Kau tau bang, sejak aku menghindar waktu itu. sebenarnya ‎perasaanku menolak.”‎

‎            “Kau selalu banyak bicara.” Ajar mulai menanggapi.‎

‎            “Dulu, kau bahkan lebih banyak bicara daripada aku, bang.” Alya ‎mencoba melihat wajah Ajar yang sedang mengayuh.‎

‎            “Tapi hari ini, pertanyaanmu sangat banyak.” Ajar dengan suara ‎datar.‎

‎            “Kau tidak bertanya kenapa pertanyaanku sangat banyak hari ini.”‎

‎“Kenapa?” Ajar sibuk mendayung. ‎

‎“Kenapa apa bang?” Alya sedikit menyudutkannya.‎

‎“Kenapa kau sampai datang ke sini dan bertanya banyak hal?”‎

Alya mengambil nafas dalam dan memejamkan mata. Suara ‎denyitan sepeda itu terdengar jelas lagi.‎

‎“Tanyakanlah sekali lagi.”‎

‎            “Kenapa kau sampai datang ke sini dan bertanya banyak hal?”‎

‎“Aku akan berangkat ke Malang besok.”‎

‎“Oohhh...”‎

‎“Apa maksudmu ooohhh...?” Alya marah.‎

‎            “........................” Suara denyitan dan hentakan itu lagi.‎

‎“Kau terkadang sangat menyebalkan.”‎

‎“Sekarang jawablah pertanyaanku dengan jelas dan lengkap. Kau ‎tau, ini sudah waktunya.”‎

‎            “Baik.”‎

‎            “Kenapa kau tersenyum saat memboncengku, pagi itu?”‎

‎            “...........................”‎

‎            “Sudahlah bang, aku lelah mendengar kebisuanmu dan suara ‎denyitan kayuhan itu.”‎

‎            “Seharusnya kau mendengarkannya dengan baik.” Ajar tersenyum.‎

Alya mulai memukul punggung Ajar, berkali-kali. Semakin lama ‎semakin melambat. Ajar menoleh ke belakang dan melihat wajah alya. Ia ‎menangis lagi.‎

Sebuah tarikan nafas panjang dan dalam. Ajar bersiap menjelaskan.‎

‎“Aku memang tersenyum waktu itu. itu memang jarang sekali ‎terjadi.”‎

Alya mencoba melihat ke arahnya.‎

‎“Aku hanya teringat. Saat kau duduk seperti itu. membelakangiku ‎dan menaikkan kedua kakimu di ujung bangku. Aku sering ‎melakukannya ketika kecil dulu, sedang ayahku mengayuh sepeda ‎seperti ini. Kayuhan tidak sempurna. Sampai memori yang hadir itu, ‎membuatku bahagia sejenak.”‎

‎“Padahal aku sudah menyukaimu sejak hari ospek itu.” Alya ‎sedikit kecewa dan menegarkan diri. Ia sempat berpikir, bahwa Ajar ‎memang benar-benar menyukainya.‎

‎            “.............................”‎

‎“Mungkin pun, kita seharusnya tidak bertemu.” Pernyataan ‎singkat alya.‎

Sejenak kemudian, Alya menyuruhnya untuk berhenti. Ia ‎mengeluarkan ponselnya dan menelpon Amina. Alya minta untuk ‎dijemput.‎

Mereka berhenti. Lalu Alya duduk bersila di tepi jalan. Sedang ‎Ajar, hanya duduk di sepedanya. Mereka menghadap matahari yang ‎mulai menguning, tanpa berkata sepatah kata pun. Ajar, dia tidak pernah ‎bisa berbicara banyak. Sementara Alya, airmatanya telah mengering ‎karena sedari tadi sudah banyak tumpah, seolah semuanya sia-sia.‎

Kemudian Amina datang, dan tersenyum. “Naiklah Alya, ayahmu ‎pasti sudah risau.” Alya pun bangkit dan melihat Ajar, mungkin untuk ‎kali terakhir. Ia berjalan dan menaiki sepeda motor Amina. Bahkan Ajar ‎tidak berputar arah. Ia mematung.‎

‎            “Apa ada masalah baru?” Amina berbisik pelan.‎

‎            “Sudah. Jalanlah.” Alya menyahut tersenyum. Sepeda motor itu ‎mulai berjalan.‎

Ajar tidak menoleh ke belakang. Namun, ia mulai fokus pada ‎suara motor Amina yang semakin mengecil. Lalu, seketika sesuatu ‎melintas di pikirannya. Ia mengambil sepedanya dan memacu sebisa ‎mungkin. Mereka belum terlalu jauh.‎

‎“Dia mengejarmu.” Amina melihat Ajar dari spion dan ‎melambatkan laju motornya.‎

‎            “Tetaplah jalan kak. Biarkan dia berteriak.”‎

‎            “Alya.!!” Ajar benar-benar berteriak.‎

Alya melihatnya tersenyum. Kayuhan Ajar terlihat sangat susah, 1-‎‎9, karena dikebut kencang.‎

‎            “Apakah benar kau akan ke Malang!!” Ia terus mengayuh dan ‎berteriak.‎

Sebuah anggukan, senyuman ramah nan manis, serta lambaian ‎pelannya. Dan itu cukup untuk membuat Ajar berhenti. Ya, dia memang ‎benar-benar berhenti. Kedua saling memandang di jalan lurus itu. ‎sampai, jarak pandang membatasi.‎

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Petrichor
5277      1679     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Sibling [Not] Goals
1208      662     1     
Romance
'Lo sama Kak Saga itu sibling goals banget, ya.' Itulah yang diutarakan oleh teman sekelas Salsa Melika Zoe---sering dipanggil Caca---tentang hubungannya dengan kakak lelakinya. Tidak tau saja jika hubungan mereka tidak se-goals yang dilihat orang lain. Papa mereka berdua adalah seorang pencinta musik dan telah meninggal dunia karena ingin menghadiri acara musik bersama sahabatnya. Hal itu ...
Blue Diamond
2910      956     3     
Mystery
Permainan berakhir ketika pemenang sudah menunjukkan jati diri sebenarnya
Renata Keyla
6808      1576     3     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...
I'M
9060      1814     4     
Romance
"Namanya aja anak semata wayang, pasti gampanglah dapat sesuatu." "Enak banget ya jadi anak satu-satunya, nggak perlu mikirin apa-apa. Tinggal terima beres." "Emang lo bisa? Kan lo biasa manja." "Siapa bilang jadi anak semata wayang selamanya manja?! Nggak, bakal gue buktiin kalau anak semata wayang itu nggak manja!" Adhisti berkeyakinan kuat untuk m...
Untuk Reina
25834      3964     30     
Romance
Reina Fillosa dicap sebagai pembawa sial atas kematian orang-orang terdekatnya. Kejadian tak sengaja di toilet sekolah mempertemukan Reina dengan Riga. Seseorang yang meyakinkan Reina bahwa gadis itu bukan pembawa sial. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Riga?
BLACK HEARTED PRINCE AND HIS CYBORGS
14103      3052     7     
Romance
Ingin bersama siapa kau hidup hingga di hari tuamu? Sepasang suami istri yang saling mencintai namun dalam artian yang lain, saat akan reuni SMA pertama kali memutuskan saling mendukung untuk mendapatkan orang yang masing-masing mereka cintai. Cerita cinta menyakitkan di SMA yang belum selesai ingin dilanjutkan walaupun tak ada satupun yang tau akan berakhir seperti apa. Akankah kembali menya...
injured
1501      785     1     
Fan Fiction
mungkin banyak sebagian orang memilih melupakan masa lalu. meninggalkannya tergeletak bersama dengan kenangan lainya. namun, bagaimana jika kenangan tak mau beranjak pergi? selalu membayang-bayangi, memberi pengaruh untuk kedepannya. mungkin inilah yang terjadi pada gadis belia bernama keira.
Violetta
621      370     2     
Fan Fiction
Sendiri mungkin lebih menyenangkan bagi seorang gadis yang bernama Violetta Harasya tetapi bagi seorang Gredo Damara sendiri itu membosankan. ketika Gredo pindah ke SMA Prima, ia tidak sengaja bertemu dengan Violetta--gadis aneh yang tidak ingin mempunyai teman-- rasa penasaran Gredo seketika muncul. mengapa gadis itu tidak mau memiliki teman ? apa ia juga tidak merasa bosan berada dikesendiri...
Broken Wings
1317      785     0     
Inspirational
Hidup dengan serba kecukupan dan juga kemewahan itu sudah biasa bagiku. Jelas saja, kedua orang tuaku termasuk pengusaha furniture ternama dieranya. Mereka juga memberiku kehidupan yang orang lain mungkin tidak mampu membayangkannya. Namun, kebahagiaan itu tidak hanya diukur dengan adanya kekayaan. Mereka berhasil jika harus memberiku kebahagian berupa kemewahan, namun tidak untuk kebahagiaan s...