“Bang, luangkan waktu mu sekejab.” Alya terus mengikutinya dari belakang, sedang Ajar sibuk menyirami tanamannya.
“Aku ingin kita membahas sesuatu.”
“....................” Ajar tetap dengan pekerjaannya.
“Baaaaangggg!!, kau tak dengar kah? Berapa kali aku harus meminta kau untuk....”
“Suara kau persis sama seperti ayahmu.” Ajar memotong pekikan itu.
“Duduklah sebentar.” Suaranya memelan dan Air matanya menderas.
Ajar mulai berjalan ke arah sebuah pohon tumbang. Meletakkan tempat penyiram airnya dan duduk. Alya berdiri di hadapannya.
“Ayah kau pasti akan marah jika tau kau di sini.” Ucapnya sambil mengambil sebatang rokok dan menyulutnya dengan api.
“Sejak kapan kau mulai pandai membakar racun itu.”
“Bahkan aku sendiri adalah racun bagi kau, sejak kapan kau sudah pandai jauh pergi ke sini dan menghampiri racun ini?”
Praakkk!!, Alya menampar ajar sampai rokok di bibirnya jatuh.
“Kau sangat mirip dengan ayahmu.” Ia memungut rokok yang jatuh itu.
“Kenapa kau ingin menendang perut ayahku waktu itu,?”
“Aku hanya ingin membalas perbuatannya.”
“Hanya karena dia memukul dan menendang perutmu waktu itu? kenapa kau tak memarahiku saja, dan menjelaskan kepada ayahku bahwa aku yang memulai semuanya.” Alya berbicara cepat dan tersedu.
“Kau ingat, tukang kebun yang selalu menyisir rambutmu di teras rumah setiap pagi. Ayahmu menendang dan memijak perutnya 19 kali, di depan mataku.” Pandangan Ajar mulai menajam.
Alya mematung. Ia benar-benar terkejut mendengar pernyataan itu. Lalu, jatuh bersimpuh. Matanya mulai berkaca.
“2 minggu setelah itu, ibuku membawanya ke dokter. Limpanya pecah dan kronis. Ia meninggal dengan sebab itu. Ibuku lantas sakit karena ayahku meninggal. Lalu aku yatim piatu. Aku tak perlu berkomentar banyak. Tentu kau sudah mengerti.” Suaranya kembali memelan.
Mereka terdiam beberapa saat. Suara serangga hutan hingga terdengar begitu jelas.
“Aku tau kenapa kau menghindar sejak saat itu.” Untuk pertama kalinya Ajar membuka perbincangan, tepatnya semenjak pertemanan itu.
Alya, rasa pilunya jatuh semakin dalam sampai tidak mampu berbicara. Suasana hening kembali untuk beberapa saat.
“Seharusnya kau tidak seperti itu kepada orang lain. Bagaimana caranya aku boleh mengerti apa keinginanmu, bagaimana perasaanmu, sedang kau hanya diam saat kutanyai. Kau seharusnya berbicara! Menjelaskan!, Jika kau tak mau aku menghindar.”
“........................” Ajar mulai terdiam.
“Bahkan, senyuman mu di sepeda itu pun kau tutupi. Kenapa tidak kau tumpahkan saja, agar aku tau?”
“Agar kau tau apa?” Ajar berkomentar cepat.
Tangisannya Alya memilu lagi.
“Sudah. Kau tak lihat matahari mulai turun. Ayahmu tentu akan marah jika tau kau di sini.” Ajar bangun dan mengambil tempat air itu.
“Kau akan mengantarku pulang?” Alya mulai bangun dan mengusap mata sembabnya.
“Tidak, jika kau ingin bermalam di sini.”
Tangisan yang sedari tadi berjatuhan, akhirnya mampu digantikan hanya dengan satu kalimat itu. Alya tersenyum sambil mengikuti langkah kaki Ajar. Persis memijak jejak langkah Ajar yang tertinggal di belakang.
Air Mata Yang Mengering
Jejak kaki Ajar membawa Alya ke rumah itu. Lagi-lagi ia tidak pernah membayangkan bahwa Ajar tinggal di rumah se-reyot itu. Sendiri. Ia mulai memaklumi segala sikapnya yang tak normal. “Jika aku jadi dia, mungkin aku sudah gila.” Besit benaknya sedih, sambil melihat Ajar melepas keranjang sampah di sepedanya.
“Naiklah, kita harus cepat.”
Alya langsung duduk menyamping. Sepeda itu pun melaju. Nilai 1-9. Mereka harus turun setiap kali jalan menanjak. Sepeda itu tidak akan bergerak naik karena dayungannya tidak bisa dikayuh sempurna. Rantainya akan lepas. Mereka terus melakukan itu sampai jalan lempang terpampang.
“Kenapa kau tersenyum ketika itu?”
“...........................” Suara denyitan dan hentakan itu lagi.
“Padahal tadi kau berbicara banyak. Tapi sekarang kau malah diam.”
“...........................”
“Kenapa kau sampai berbohong kepada ketua ospek itu, bahwa kau yang menabrakku. Padahal aku yang menabrakmu.”
“...........................”
“Kau juga bilang aku cantik. Apakah kau juga berbohong atas alasan itu.?” Alya tersipu malu sendiri.
“..........................”
“Kau membiarkanku menaiki sepedamu, bahkan kau tidak menolaknya sama sekali.”
“..........................”
“Kau tau bang, sejak aku menghindar waktu itu. sebenarnya perasaanku menolak.”
“Kau selalu banyak bicara.” Ajar mulai menanggapi.
“Dulu, kau bahkan lebih banyak bicara daripada aku, bang.” Alya mencoba melihat wajah Ajar yang sedang mengayuh.
“Tapi hari ini, pertanyaanmu sangat banyak.” Ajar dengan suara datar.
“Kau tidak bertanya kenapa pertanyaanku sangat banyak hari ini.”
“Kenapa?” Ajar sibuk mendayung.
“Kenapa apa bang?” Alya sedikit menyudutkannya.
“Kenapa kau sampai datang ke sini dan bertanya banyak hal?”
Alya mengambil nafas dalam dan memejamkan mata. Suara denyitan sepeda itu terdengar jelas lagi.
“Tanyakanlah sekali lagi.”
“Kenapa kau sampai datang ke sini dan bertanya banyak hal?”
“Aku akan berangkat ke Malang besok.”
“Oohhh...”
“Apa maksudmu ooohhh...?” Alya marah.
“........................” Suara denyitan dan hentakan itu lagi.
“Kau terkadang sangat menyebalkan.”
“Sekarang jawablah pertanyaanku dengan jelas dan lengkap. Kau tau, ini sudah waktunya.”
“Baik.”
“Kenapa kau tersenyum saat memboncengku, pagi itu?”
“...........................”
“Sudahlah bang, aku lelah mendengar kebisuanmu dan suara denyitan kayuhan itu.”
“Seharusnya kau mendengarkannya dengan baik.” Ajar tersenyum.
Alya mulai memukul punggung Ajar, berkali-kali. Semakin lama semakin melambat. Ajar menoleh ke belakang dan melihat wajah alya. Ia menangis lagi.
Sebuah tarikan nafas panjang dan dalam. Ajar bersiap menjelaskan.
“Aku memang tersenyum waktu itu. itu memang jarang sekali terjadi.”
Alya mencoba melihat ke arahnya.
“Aku hanya teringat. Saat kau duduk seperti itu. membelakangiku dan menaikkan kedua kakimu di ujung bangku. Aku sering melakukannya ketika kecil dulu, sedang ayahku mengayuh sepeda seperti ini. Kayuhan tidak sempurna. Sampai memori yang hadir itu, membuatku bahagia sejenak.”
“Padahal aku sudah menyukaimu sejak hari ospek itu.” Alya sedikit kecewa dan menegarkan diri. Ia sempat berpikir, bahwa Ajar memang benar-benar menyukainya.
“.............................”
“Mungkin pun, kita seharusnya tidak bertemu.” Pernyataan singkat alya.
Sejenak kemudian, Alya menyuruhnya untuk berhenti. Ia mengeluarkan ponselnya dan menelpon Amina. Alya minta untuk dijemput.
Mereka berhenti. Lalu Alya duduk bersila di tepi jalan. Sedang Ajar, hanya duduk di sepedanya. Mereka menghadap matahari yang mulai menguning, tanpa berkata sepatah kata pun. Ajar, dia tidak pernah bisa berbicara banyak. Sementara Alya, airmatanya telah mengering karena sedari tadi sudah banyak tumpah, seolah semuanya sia-sia.
Kemudian Amina datang, dan tersenyum. “Naiklah Alya, ayahmu pasti sudah risau.” Alya pun bangkit dan melihat Ajar, mungkin untuk kali terakhir. Ia berjalan dan menaiki sepeda motor Amina. Bahkan Ajar tidak berputar arah. Ia mematung.
“Apa ada masalah baru?” Amina berbisik pelan.
“Sudah. Jalanlah.” Alya menyahut tersenyum. Sepeda motor itu mulai berjalan.
Ajar tidak menoleh ke belakang. Namun, ia mulai fokus pada suara motor Amina yang semakin mengecil. Lalu, seketika sesuatu melintas di pikirannya. Ia mengambil sepedanya dan memacu sebisa mungkin. Mereka belum terlalu jauh.
“Dia mengejarmu.” Amina melihat Ajar dari spion dan melambatkan laju motornya.
“Tetaplah jalan kak. Biarkan dia berteriak.”
“Alya.!!” Ajar benar-benar berteriak.
Alya melihatnya tersenyum. Kayuhan Ajar terlihat sangat susah, 1-9, karena dikebut kencang.
“Apakah benar kau akan ke Malang!!” Ia terus mengayuh dan berteriak.
Sebuah anggukan, senyuman ramah nan manis, serta lambaian pelannya. Dan itu cukup untuk membuat Ajar berhenti. Ya, dia memang benar-benar berhenti. Kedua saling memandang di jalan lurus itu. sampai, jarak pandang membatasi.