Sore itu, Alya mengendari sepeda motor Amina dengan kecepatan tinggi. Kendaraan lainnya disalip dengan cepat. Padahal, ia belum terbiasa. Terkadang seseorang akan bertindak nekat di saat-saat genting, seperti Alya kali ini. Sedang Amina di belakang hanya menunjukkan arah. Ia tidak berani mengendarai sepeda motor secepat itu.
Melewati jalan kampung dan berlubang. Itu benar-benar kawasan pedesaan yang tidak terkontaminasi dengan pengaruh hiruk pikuk kota. Alya bahkan tidak pernah ke sana. Jalanan turun dan menanjak di apit pegunungan yang melapangkan pandangan, semestinya dapat dinikmati jika saja mereka berjalan santai.
Riuh mulai terlihat dari jauh. Ia sedang mematuk-matuk tanah ladang di pelantaran sawah. Mereka hanya menanam padi pada musim hujan karena tidak ada irigasi di sekitaran sana. Hanya memakai air hujan untuk mengairi sawah. Saat ini, hujan jarang sekali turun. Para petani di daerah itu bersepakat untuk tidak bersawah beberapa bulan ini.
“Riuh.!!” Amina memanggil namanya dari jauh.
Seketika sepeda motor itu berhenti. Alya langsung turun dan berlari di pematang sawah. Ia sempat terpeleset beberapa kali dan bangkit lagi.
“Kau harus mengantarku ke rumah Ajar, bang.! Sebaiknya kau tidak bertanya kenapa.”
Alya langsung berputar balik dan berlari lagi. Bahkan nafasnya tidak menjadi cepat sama sekali. Riuh masih bingung dan mengikuti Alya dari belakang sambil berjalan membawa cangkulnya.
“Cepat kau, gam!!!” teriak Amina dari pinggir jalan. lantas Riuh pun mulai berlari.
“Kau harus cepat !!, bawa kami ke rumah Ajar.!!”
“Hei, tapi rumah ku di sana.” Riuh mulai serius.
“Kau bawa dia kat sana, aku tunggu kau di sini. Kau harus cepat.!!”
Riuh, tanpa berbasa basi ia bergegas. Seperti merespon perintah seorang komandan. Sepeda motor itu pun melaju cepat. Lebih cepat dari tadi.
Jalanan semakin sepi. Rentetan rumah sudah mulai jarang. Alya semakin terkesima. Ia tak pernah membayangkan bahwa Ajar tinggal di kampung se-sepi itu.
“Itu dia, neung.”
Ajar sedang memakul 2 tempat air dengan tuas kayu di bahunya. Ia sedang menyiram ladang kacang panjangnya yang mulai berkecambah.
“Kau bagaimana?, ku tinggalkan di sini? Atau...?”
“Pulanglah bang, sampaikan kepada Kak Amina, terimakasih sudah mengantar.”
“Ya, kau memang mengerti.” Riuh seperti kegirangan.
Alya mulai memanjat pintu pagar yang sengaja dibuat tinggi. Ajar tau dia di sana. Ia melihatnya sekali. Kemudian menyiram tanamannya lagi.