Alya, ia tidak menyangka bahwa perkenalannya dengan Ajar akhirnya menyisakan tragedi. Ia mulai paham dengan perkataan Amina bahwa Ajar sakit jiwa. Acuh dan tidak mau mengerti keadaan dan perasaan orang lain. Ia menyesali semua usahanya saat mendekati Ajar dulu. Semua itu sia-sia. Seharusnya ia mendengarkan Amina dan juga ayahnya.
Sejak saat itu mereka tidak lagi berpapasan. Alya sengaja tidak keluar rumah sepagi kemarin, hanya tidak untuk melihat Ajar yang selalu datang membawa koran dan menyelipkannya di sela pagar rumahnya.
Sejak saat itu, ia tidak melihat keluar dari balik kaca mobil ketika berangkat ke kampus bersama ayahnya. Tidak mau melihat Ajar yang sedang mengayuh sepeda atau sedang mengutip sampah di pinggir jalan.
Sejak saat itu, ia tidak lagi ke kantin yang letaknya tidak jauh dari tempat parkir sepeda Ajar. Ia takut sewaktu-waktu Ajar muncul dari belakang gedung belajar kampus atau ke sana untuk mengambil sepedanya.
Sejak saat itu, ia tidak shalat lagi di mushalla kampus, di mana semua mahasiswa berkumpul di sana ketika Zuhur dan Ashar. Alya harus keluar mencari tempat shalat terdekat lainnya karena malas melihat wajah kakunya yang menyimpan sejuta rahasia.
Sejak saat itu, ruang geraknya terbatas dam banyak menghabiskan waktu di kelas. Ketika jam kelas berakhir, ia menelpon ayahnya untuk menjemput. Ia tidak akan keluar kelas sebelum mobil ayahnya tiba.
Sejak saat itu pula, ia tidak pernah bertukar pikiran lagi dengan Amina. Padahal Amina sudah beberapa kali mendekatinya untuk duduk dan berbincang. Namun Alya selalu menghindar.
Sebenarnya Alya tau, bahwa sikapnya itu tidak menyamankan hatinya. Ada sesuatu yang mengganjal dan kurang. Ia tidak ambil pusing. “Toh, setelah semester ini, aku akan meninggalkan kampus ini.”