Ajar turun dari sepedanya dan menekan bel di ujung kiri pagar. Tangan kanannya memegang bakul uang itu. Ia terus menatap ke arah pintu rumah. Ajar menekan kembali bel itu. Suara deringnya sampai terdengar ke luar pagar. Lantas, ibu Alya membuka pintu dan melihat Ajar berdiri di luar sana.
Ibunya berjalan pelan sambil memperhatikan anak itu. “Kau, anak tukang kebun itu?” Kening Ibu Alya mengerut.
“Ya” Ajar menjawab sambil melihat mata orang tua itu.
Gerbang itu pun dibuka. Ajar diajak masuk.
“Suti.!! Suti.!!” Ia memanggil pembantunya.
“Duduklah nak.” Ajar disilakan duduk di teras rumah mereka yang mewah. sebuah kursi jati dengan ukiran jepara.
“Buatkan kopi satu.” Perintah Ibu Alya kepada pembantunya.
“Lama sekali kau tak nampak nak, ke mana saja kau. Mak prihatin mendengar berita ayah dan mak kau meninggal.”
“....................”
“Apa hal nak, kau melangkah ke sini?”
“Saya nak berjumpa dengan Pak Danish, mak?”
“Minumlah dulu, jauh sekali kau mengayuh sepeda. Itu sepeda ayahmu dulu kan?”
Ajar tak menanggapi. Ia malah menoleh ke halaman depan. Penuh dengan ragam bunga. Dulu Ajar dan ayahnya kerap di sana. Memotong rumput hias, memangkas daun-daun kering, memupuk dan aktivitas lainnya. Sementara pertanyaan Ibu Alya terus melayang tanpa jawaban.
Merasa rancu, Ibu Alya langsung menelpon suaminya. “Minumlah dulu nak, mak ke dalam sebentar.”
Tak lama setelah itu, mobil mewah itu pun sampai dan membunyikan klakson. Ibu Alya langsung bergegas dan membuka gerbang pagar. Ia cekatan menghampiri suaminya. Lalu, Pak danish turun. Ibunya memberi gambaran tentang kondisi semenjak Ajar sampai ke rumah mereka.
Seketika Pak Danish melangkah cepat. Ibu alya mengikutinya dari belakang. Dengan pelan, Ajar menoleh ke arah wajah Pak Danish yang mulai meradang.
“Sial kau !, berani kau ke sini, hah!!??”
Ibu Alya menenangkan suaminya dan diajak duduk. Pak Danish duduk dan mulai membuka pembicaraan.
“Ini dia mak, yang telah meracuni anakmu.”
Seketika Ibu Alya terkejut. Ia menutup mulutnya sangkin tidak percaya.
“Kenapa kau ke sini!!??” Suara Pak Danish mengeras sambil menepuk meja.
“Saya ingin mengganti guci bapak yang saya pecahkan dulu. Ini adalah tabungan saya dan bapak saya.” Ia menyodorkan bakul kain berisi uang itu.
“Hah? cukup uang kau?”
Alya mendengar suara gaduh itu. Ia lantas ke luar dari kamarnya dan beranjak ke teras. Alya benar-benar terkejut melihat Ajar sedang berpapasan dengan ayahnya.
“Bapak saya bilang, harga guci itu 6 juta. Hari ini saya nak bayar lebih. 7 juta dan maafkan kesalahan saya dan bapak saya.”
Ibu alya mulai menangis. Pak Danish langsung mereguh bakul kain itu dan membukanya. Uang pecahan dalam jumlah banyak.
“Baik, aku tak menghitungnya lagi. Ku maafkan kesalahan kau dan bapak kau. Dan satu lagi yang harus kau ingat. Jangan bermimpi untuk mendekati anakku. Paham kau?”
“Tapi, saya punya satu syarat sebelum bapak bawa uang itu masuk ke dalam.”
“Apa itu.!”
“Saya ingin menendang perut bapak.”
Saat itu juga, Ajar babak belur dipukuli. Ibu Alya jatuh pingsan sedang Alya menopangnya. Anak itu tidak diberi ampun meski ada perlawanan kecil. Sampai, para tetangga datang dan melerai. Mereka memegang Pak Danish yang tidak mau berhenti memukulnya. Ajar tergeletak lemas. Kepalanya berdarah. Wajahnya juga lebam.
Perlu banyak orang untuk menghentikan Pak Danish. Ia kalab. ramainya orang membuat tempat itu menjadi semakin riuh. Banyak orang yang menonton adegan tersebut dari luar pagar. Mereka tidak bisa berkomentar banyak. Pak Danish adalah orang terpandang di kawasan itu.
Ajar mulai bangun tanpa harus dipapah. Ia menaiki sepedanya dan sejenak melihat Alya yang masih duduk menopang ibunya. Ajar memutar sepedanya dan mulai pergi. Hanya beberapa bercak darah yang tertinggal di teras dan halaman rumahnya. Juga kegaduhan, yang tak pernah di saksikan Alya sebelumnya.