Subuh menjelang pagi, untuk kesekian kali. Alya tidak lagi berdiri di balik pagar. Ia berdiri di luar menunggunya. Di waktu yang sama seperti hari-hari kemarin, Ajar mulai tampak dari jauh. Suara denyitan kayuhan itu pun mulai terdengar semakin besar. Ajar tidak turun, hanya meraba surat kabar di keranjang depan, dan mengambil selembar koran kemudian menyerahkannya. Ajar mengerti bahwa ia tidak harus turun karena Alya berdiri di sana. Alya kemudian mengambil dan menaruhnya di sela pagar. Dengan spontan ia langsung duduk di bangku belakang sepeda. Posisinya menghadap ke belakang dengan kaki terbujur ke bawah. 2 keranjang itu menghalanginya untuk duduk menyamping. Lalu Ajar melihat ke belakang. Itu posisi duduk yang tidak normal. Alya hanya duduk dan tak beranjak, menunggu Ajar berkomentar seperti apa. Keduanya mulai diam dan tak berkata apa-apa.
Dan sepeda itu pun akhirnya dikayuh. Alya, tersenyum melihat rumahnya yang semakin jauh. Sepeda itu berjalan pelan. Satu persatu check point di singgahi. Pula memungut botol air meniral dan sampah. Alya mulai merasakan bagaimana keseharian paginya. Para pelanggan Ajar, semuanya terkejut. Sebuah pemandangan yang tidak seperti biasanya terjadi pagi ini.
2 Km lagi jarak ke kampus setelah semua checkpoint selesai disinggahi. Perbincangan mulai dibuka dalam laju sepeda yang berjalan pelan.
“Bang, kau masih mengenalku?”
“.................................” Suara denyitan dan hentakan kayuhan sepeda itu mungkin menjadi jawaban.
“Kau pasti masih mengenalku.”
“..................................” Suara denyitan dan hentakan lagi.
“Kenapa lajunya terlalu pelan, apakah aku terlalu berat?”
Denyitan dan hentakan di nilai satu kayuhannya itu masih menjadi jawaban.
“Kenapa hari itu, kau pergi ke bengkel dan menyuruh mereka untuk memasang balik alat kayuh rusak ini.?”
“Karena ini sepeda ayahku.”
Jawaban itu membuat Alya terdiam sampai ke kampus. Mereka tiba sangat pagi. Alya diturunkan di gerbang dan Ajar langsung bergegas ke belakang, tanpa menoleh ke belakang.