Subuh menjelang pagi. Ajar kembali mengayuh sepedanya dan membawa setumpuk koran. Seperti biasanya. Satu demi satu checkpoint itu di singgahi. Gemerincing recehan yang jatuh di tangan dan beradu di saku celana juga terjadi beberapa kali.
Salah satu langganannya. Rumah besar dengan pagar tinggi. Ia tidak masuk dan hanya menyelipkan surat kabar itu di sela pagar. Seperti itu setiap pagi. Namun, pagi ini berbeda. Suara seorang perempuan menyeru namanya dari balik pagar. Bang Ajar. . .
Ajar hanya diam dan melihatnya lagi untuk keempat kali. Lalu sepedanya dikayuh dan pergi. Dari balik pagar, alya melihatnya berlalu. Ia memperhatikan kaki Ajar berhayun. Kayuhannya tidak sempurna seperti arah rotasi. Jika sekali putaran dayung bernilai 10, maka ia hanya mendayungnya sampai nilai 9, menarik kayuhannya sedikit ke belakang dan kembali mendayungnya dari nilai 1 dan ke nilai 9 lagi. Begitu seterusnya, sampai ia sampai ke kampus. Alya tau kalau ada masalah di sepedanya. Jika kayuhan itu dikayuh penuh, maka rantai sepedanya pasti akan jatuh.
Selama beberapa hari, Hal itu terus terjadi. Memanggil dari balik pagar dan ia dilihat Ajar untuk kelima, keenam, ketujuh kali dan kali selanjutnya. Tidak ada yang berubah.
Suatu pagi di kampus, Alya membawa seseorang untuk mengambil sepeda Ajar yang diparkir di belakang sekolah. Sepeda itu kemudian diangkat dan dibawa pergi. Ketika perkuliahan selesai dan Ajar hendak beranjak pulang, ia tidak melihat sepedanya di sana. Lantas pencariannya pun dilakukan. Di mulia dari lubang sampah, tanpa berpikir panjang. Ia mengaisnya dengan kayu dan tidak menemukannya di sana. Ajar bergegas ke depan dan berniat untuk menyisir seluruh bagian kampus. Dan ketika ia sampai di lorong depan, Alya berdiri di halaman depan dan melihatnya. “bang Ajar...” demikian alya memanggilnya lagi seperti tadi pagi dan beberapa hari sebelumnya. Ia melihat perempuan itu untuk yang ke-15 kalinya. Dengan pelan, Ajar menghampirinya.
“Kau melihat sepedaku, neung?”
Wajah Alya memerah. Itu komunikasi pertama setelah sekian lama. ia gerogi dengan menekan jari-jari tangannya untuk menenangkan diri.
“Bang, kita duduk di sana.?”
“Kau melihat sepedaku.?
“Ya, sebentar lagi sampai. Abang tunggulah sekejab.”
Ajar duduk menunggu di sebuah bangku duduk halaman depan. Sementara Alya langsung menelpon seseorang dan sebuah mobil pick-up datang kemudian menurunkan sepedanya. Ajar tidak bangun dari tempat duduknya. Sampai supir mobil itu pergi setelah alya memberinya sedikit uang.
“Terimakasih.” Ajar mengucapkan dan langsung beranjak naik ke sepedannya.
“Kembali kasih.” Sebuah balasan kata yang tidak didengarkan Ajar sama sekali karena ia telah jauh. Alya melihat kayuhannya. Itu kayuhan sempurna.
Keesokan pagi. Alya kembali menunggu di balik pagar rumahnya. Kemudian Ajar datang, turun dan hendak menyelipkan surat kabar di sela pagar. Sebuah tangan cantik terjulur dari jeruji pagar itu. Kali ini ia menyerahkannya langsung tanpa harus menyelipkan koran itu di sela pagar. Tidak berlama-lama, Ajar langsung bergegas pergi. Dari balik pagar itu juga alya memperhatikannya dari jauh. Melihat kayuhannya. Putaran dengan nilai 1-9 lagi. Padahal kemarin, sepedanya sudah diperbaiki ke bengkel oleh Alya. Heran.