NAMANYA KINANTI. Nama yang hampir mirip dengan merek jamu pereda nyeri haid, bukan? Oleh karena itu teman-temannya kadang memanggil dia dengan sebutan Jamu. Bahkan oleh sahabatnya sendiri pun, dia dipanggil begitu.
Menyebalkan memang. Tapi apa daya, dia lebih populer dengan sebutan itu. Bahkan, tak jarang orang tahu julukan itu, tapi tak tahu nama aslinya siapa.
Jakarta, bulan Juli tahun 2010, tepatnya di kediaman Kinanti.
Maya menempelkan telinganya ke pintu kamar Kinanti, mencoba menerka akan apa yang terjadi di dalam sana. Sementara Maryam--ibu Kinanti, hanya memandangi pintu kamar putrinya yang tertutup rapat.
"Sudah berapa lama, Tante?" Maya setengah berbisik pada Maryam.
Hari ini adalah pengumuman hasil tes masuk SMA negeri. Sayangnya, setelah perjuangan belajar sampai larut. Ikut bimbingan belajar sana-sini. Kinanti tak menemukan namanya ada di daftar siswa yang diterima. Jelas saja dia sedih, karena merasa hasil usahanya sia-sia.
"Dari habis subuh tadi." Maryam menghela nafas. "Padahal udah Tante bilang, gak masalah kalau memang dia sekolah di swasta. Tapi tetep aja, nangisnya gak berhenti."
Maya melihat jam tangannya. Waktu menunjukan pukul sembilan pagi. Ya ampun! gumamnya.
"Lama banget nangisnya. Itu anak kalau udah nangis, bisa lama banget. Apa gak laper ya, Tante?" Maya menepuk perutnya.
"Kalo itu Maya, ohh...." Dia memegang kepalanya, seperti orang mabuk. "Entah kayak apa lapernya."
Maryam menyipitkan mata pada Maya.
"Oh, hee peace, Tante." Maya mengangkat dua jarinya.
"Bujukin dia, gih, May." Perempuan berhijab tersebut mengedikkan dagu ke arah pintu. "'Kan, kamu temennya. Siapa tau, kalau sama kamu dia mau berhenti nangis.
"Siap, Tante!" Maya mengeluarkan gaya prajurit.
Maryam lega, Maya mau membantunya.
"Tante mau ke dapur dulu, ya. Kamu mau teh, gak?"
Waw, sebuah tawaran yang menarik. Apakah harus ditolak? Rasanya, TIDAK. Basa-basi, yah mungkin.
"Ngerepotin gak, Te?"
"Aah!" Maryam mengibaskan tangan di depan wajah Maya. "Kamu basa-basi aja. Tunggu, ya, Tante buatin."
Maya cuma bisa menyeringai, ketika Maryam sadar akal bulusnya.
Sekarang saatnya Maya menjalankan tugas. Dia ketuk pintu kamar Kinanti, meminta izin masuk.
"Masuk! Gak dikunci." Suara Kinanti dari dalam.
Maya kemudian menekan gagang pintu dan merayap masuk.
Saat langkah pertamanya di dalam kamar Kinanti, kaki Maya menginjak sesuatu.
"Eyuhh!!" pekik Maya. Satu lembar tisyu yang sudah dilumat dan terasa basah karena ingus dan airmata Kinanti, terinjak olehnya.
Maya menyingkirkannya, menggunakan kaki.
"Sedih ... sih, sedih," katanya sambil melangkah. "Tapi gak sampe jorok juga, dong. Diiih, si Jamu, mah!" Maya jadi mengomel sendiri.
Bagaimana tidak, Maya mendapati Kinanti tengah menangis sambil memeluk guling menghadap ke luar jendela. Lebih parahnya lagi, sampah tisyu berserakan dimana- mana.
"Harusnya lo hibur gue yang lagi sedih, bukan ngejek!" gerutu Kinanti.
Maya duduk di samping Kinanti, mengambil satu bantal untuk dipeluk juga. "Ih ngapain sedih coba?" katanya, sambil menyenggol pundak Kinanti dengan pundaknya, membuat tubuh Kinanti terhuyung ke samping.
"Gue juga nggak keterima, kok," ujar Maya dengan bangga.
"Kita itu senasib!" tandasnya.
Kinanti mengusap airmatanya. "Gue udah belajar mati-matian, May. Siapa, sih, yang gak sedih."
"Wah, parah! Lo pikir, gue gak belajar apa?" Maya memukul lengan sahabatnya tersebut. "Gue juga sama belajar. Tapi memang udah takdir kita sekolah di swasta. Kenapa harus sedih?"
"Semua saudara gue diterima di sekolah favorit. Lo tau, 'kan?" Kinanti kembali merengek
"Jangan underestimate sekolah swasta. Artis sekelas Cinta Laura aja, SMA-nya di swasta."
"Yang bener?"
Ketika ditanya begitu, Maya kebingungan. Karena sebenarnya dia asal bicara saja.
"Ahh!" Maya melempar bantal yang tadi dia peluk. "Pokoknya, lo jangan sedih terus! Ingat ini, Tuhan itu punya cara kerja unik untuk kasih kejutan ke hambanya. Yah mungkin aja, memang kita ditakdirin masuk sekolah swasta. Tapi kita gak tau, ada hal baik apa yang bisa kita dapetin di sana."
Pikiran Kinanti mulai terbuka, setelah mendengar petuah Maya.
"Atau mungkin...." Maya melanjutkan kata-katanya seraya menggosok kedua telapak tangan, bak orang yang kedinginan. "Kita bakal ketemu cowok seganteng Adipati Dolken, 'kan?"
Kinanti menggelengkan kepala mendengar ucapan Maya barusan.
"Dasar Maya! Bisa aja kalo ngayal."
"Kenyataan itu bermula dari khayalan. Lo tau?" Maya menyipitkan matanya.
Kinanti tertawa kecil. Akhirnya, dia bisa melupakan masalahnya.
"Nah gitu, dong, ketawa! Jangan nangisin nasib. Hidup itu harus optimis!"
Maya beranjak dari tempat tidur, melangkah keluar. "Ayo!" Dia kembali memanggil Kinanti yang membisu, tetapi sudah tak berderai airmata lagi.
"Iya!" Kinanti akhirnya mengikuti Maya.
****
Hari pertama masa orientasi siswa aliaa MOS di SMA Gemilang Bangsa. Kinanti terpaksa berangkat sendiri naik angkutan umum. Sedangkan Maya berboncengan dengan kakaknya naik motor, sebab mereka satu arah. Supaya tidak terlalu jauh, Kinanti memotong jalan melewati gang sempit dan rumah warga sekitar.
Srett! Langkah Kinanti terhenti. Ia menoleh ke sebuah rumah dengan pagar tinggi bercat merah. Ada monyet kecil yang diikat rantai oleh pemilik rumah. Tidak ada makanan di sekitarnya, hanya ada satu wadah kecil berisi air untuknya minum. Itu pun sudah nampak kotor. Kelihatannya, monyet itu sudah tak diurus dengan pemiliknya.
Kinanti mendekat, dia keluarkan satu bungkus roti miliknya. Ia julurkan tanganya kedalam pagar, dengan sepotong roti di tanganya. Monyet kecil itu mengambil, dan langsung melahap dengan cepat pemberian Kinanti. Melihat monyet kecil itu menyukainya, Kinanti memberikan sepotong lagi. Bahkan Kinanti sampai tidak sadar kalau dia jadi senyum sendiri melihat tingkah pola monyet kecil tersebut yang lompat sana-sini, meski kakinya terjerat rantai.
Sebenarnya Kinanti masih ingin berlama-lama main dengan monyet kecil tersebut, akan tetapi hari sudah semakin siang dan dia tidak mau terlambat di hari pertama sekolah.
****
"Kok lama nyampenya?" Maya menanyakan ihwal Kinanti yang baru sampai sekolah. Kinanti meletakkan tasnya, lalu duduk di samping Maya. Sementara ini, karena mereka belum ditentukan kelasnya, mereka bisa bebas duduk dimana saja. Jadi selama MOS, Maya dan Kinanti bisa duduk bersampingan.
"Abis ketemu monyet," jawab Kinanti singkat.
"Cie ile!" Maya memukul lengan temannya tersebut. "Tumben, ngatain orang. Emangnya siapa?mmh ... mmh...." Maya memainkan alisnya.
Kinanti mengernyitkan dahi. "Siapa yang ngatain orang, sih?" katanya.
"Emang bener, gue abis ketemu monyet. Lucu loh, May, imut."
Maya menempelkan telapak tangannya di kening Kinanti dan kemudian menempelkan di bokongnya.
"Wah! Iya, suhunya sama," katanya usai melepaskan tangan dari bokongnya.
"Berarti gak sehat ni anak."
Kinanti mencubit tangan Maya. "Gak percaya?" ucapnya setengah melotot. "Nanti, pulang sekolah gue tunjukkin ke lo."
"Bukan gak percaya, Nan. Tapi biasanya yang lucu, imut-imut itu kucing, kelinci."
"Yah, memang lucu, kok. Gemes liatnya. Mirip lo, May." Kinanti terkekeh.
"Sembarangan aja kalau ngomong!" Maya tak terima.
"Gue ibu gorila, tau!" Maya menimpali supaya Kinanti puas.
Itu berhasil, sebab Kinanti semakin terkekeh.
Lima menit kemudian. Suasana kelas menjadi hening, saat senior masuk kelas. Mereka meminta agar siswa baru berdiri di samping meja masing-masing, sambil menyiapkan semua yang senior suruh bawa. Amunisi junior saat mos yakni; empeng, permen dan seratus butir kacang hijau yang disetor ke senior.
Seratus butir? Biasanya junior akan membawa tak sesuai jumlah. Siapa juga yang mau menghitung, butiran kacang hijau yang kecil itu sampai seratus. Setelah semua dicek, mereka keluar menuju lapangan untuk berbaris. Para siswa itu juga mengenakan tag nama, yang menggantung di leher. Mereka membuatnya dari kertas karton kira-kira berukuran 10x12cm dan tali plastik.
Agenda pagi ini mirip seperti upacara pembukaan. Dimulai dari berhitung secara berurut, kemudian menyebutkan nama masing-masing. Saat perkenalan nama, mereka sudah boleh duduk. Meski harus berpanas-panasan matahari pagi, mereka bersyukur sebab tidak harus berdiri sepanjang waktu.
"Silahkan berikutnya!" Perintah Doni si senior menggunakan TOA.
Seorang anak laki-laki berdiri. Seketika muncul riuh bariton dari belakang Kinanti. Suara mereka terdengar seperti lebah yang berkerumun, tidak jelas apa yang mereka katakan. Namun, pada satu momen, Kinanti mendengar bahwa mereka bilang, "Calon pangeran sekolah, tuh!"
Karena tubuhnya tidak terlalu tinggi, dia tinggikan badanya sedikit supaya bisa melihat dengan jelas, sosok yang mereka elu-elukan. Benar, ia dapati seorang laki-laki dengan bola mata yang tajam nan indah, terpasang di paras rupawannya.
"Nama saya Chandra Toni Airlangga, biasa dipanggil Toni," katanya memperkenalkan diri.
"Panggilan jelek saya, Oton!"
Toni kembali duduk di tempat semula. Gayanya cuek dan kelihatan sedikit angkuh. Namun entah kenapa, segala sikapnya membuat Kinanti tak ingin berhenti memandangnya. Mereka semua memberikan tepuk tangan usai Toni memperkenalkan diri.
Giliran selanjutnya masih berjalan.
"Nama Saya Prima Baskara." Siswa di samping Toni memperkenalkan diri. "Panggilan Prima, dan nama jelek saya Primadona."
Prima duduk kembali ke tempatnya, usai perkenalan.
"Arah jam sembilan," ucap Prima pada Toni.
Toni tak menoleh, dia justru mempertanyakan kenapa dia harus menoleh.
"Ada cewek yang liatin lo terus dari tadi."
Toni tersenyum pahit. "Lo, 'kan, tau cewek selalu begitu sama gue."
"Ya, lo bener!" Prima urung berdebat.
Perkenalan masih berlanjut. Sampai tiba pada giliran Kinanti.
"Nama saya Kinanti, biasa dipanggil Kinan. Panggilan jelek saya, Jamu."
Sialnya, saat Kinanti menyebut kata 'Jamu' teman-temannya yang lain jadi tertawa. Wajah Kinanti memerah, dia langsung duduk dan menunduk. Sekilas melirik Toni, cowok itu kelihatan tak peduli.
Giliran terakhir.
"Nama saya Vanesa." Suaranya yang imut terdengar pas di wajah cantiknya.
"Biasa dipanggil Eca, nama jelek saya gula-gula."
"Haaai, Eca...." Hampir semua siswa pria menyapa dia.
Gantian, jika tadi siswi-siswi terpana dengan Toni, sekarang giliran para siswa yang mengagumi kecantikan Eca.
"Psst!" Maya memanggil Kinanti. "Udah ketebak nasib kita di sekolah," dia setengah berbisik.
Kinanti nampak bingung. "Maksudnya?"
"Predikat siswa dan siswi HITS 2010, udah pasti Toni sama Eca itu yang dapet."
Kinanti memandangi Vanesha, rambut panjang bergelombang, kulit putih dan senyumnya yang manis. Siswi cantik tersebut nampak ramah dan mudah membaur, dia tak henti-hentinya melempar senyuman. Sepadan dengan laki-laki yang bernama Toni itu. Namun, meski Toni banyak yang memuji, dia tidak tersenyum sedikit pun daritadi. Dia duduk dengan dua kakinya ditekuk sedikit, fokus memperhatikan senior yang ada di depannya.
"Udah, ah! Jangan mikirin yang kayak gitu. Kita fokus aja belajar. Sadar diri juga, walau kita berusaha carper gak bakalan dilirik sama Toni. Tuh liat aja, saingan yang cantik banyak banget."
"Tunggu!" Maya seperti orang yang menangkap sesuatu. "Gue, 'kan, gak bilang soal Toni? Kok lo jadi nyambung ke dia, sih?" Maya memberondongi Kinanti dengan pertanyaan seputar Toni.
"Eya ... eya ... Kinanti. Kena, deh!"
"Maya!" Kinanti tampak gemas digoda begitu.
when he gone. huhu judulnya bikin baper. wkwk. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' ://tinlit.com/story_info/3644 jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter PROLOG