THAR!! Confetti Popper meledak tepat saat Ido berada di ambang pintu. Remaja empat belas tahun itu, baru saja pulang dari latihan futsal. Jersey-nya pun masih ia kenakan.
Kinanti dan ibunya menyambut kedatangan Ido di rumah dengan riang gembira.
Sebuah turnamen futsal antar sekolah berhasil Ido menangkan. Sedikit kejutan, pantas untuknya dapatkan. Kertas warna-warni bertuliskan Congratulation, terlihat mencolok di dinding warna putih ruang tamu mereka.
Rona bahagia tak dapat Ido tutupi, senyumnya tak jua lekang sedari tadi.
"Selamat Ido, sudah berhasil menjadi juara." Kinanti mendekap adiknya yang penuh peluh keringat. "Kakak gak bisa nonton pertandingannya, tapi kakak yakin kamu pasti keren banget mainnya."
Kinanti terus saja mendekap adiknya, membuat Ido sulit bernafas.
"Bisa lepas sekarang, gak?" katanya, tak tahan di dekap.
"Hiii, maaf." Kinanti melepas dekapannya.
Ido kelihatan bisa bernafas lega. "Makasih, Kak, Bu, untuk kejutannya hari ini."
Maryam mencium kening Ido. "Mandi, habis itu kita makan malam bersama."
"Iya." Ido menurutinya.
"Ido ... Ido ... Ido ...." Kinanti meneriakkan yel-yel kemenangan untuk adiknya.
"Yang benar aja, Kak, masa diteriakin sekarang?" Ido tak habis pikir.
Kinanti tidak mempedulikannya, dia tetap meneriakan yel-yel sambil merengkuh pundak Ido. Ido yang sejatinya lelah dan butuh air untuk menyegarkan tubuhnya, harus rela membiarkan kakaknya menggelayuti.
"Kakak mau ikut sampai kamar mandi?"
Benar juga, pikir Kinanti. Saking semangatnya dia sampai tak sadar kalau sudah menguntit Ido sampai depan kamar mandi. "Sampai sini aja. Hiii." Dia menyeringai.
***
Pojok perpustakaan sekolah. Tempatnya sedikit gelap dengan lukisan bunga mawar yang sudah cukup tua terpajang dibagian belakang. Kadang kita bisa merasakan bau cat kayu yang masih khas, tercium dari sisi-sisi meja. Di sanalah Kinanti duduk, menunggu Maya datang sambil membaca buku ajar koleksi perpus.
Lima menit kemudian. Maya datang, selepas mengganjal perut dengan gorengan dan minuman kemasan.
Perpustakaan bukanlah tempat yang biasa mereka kunjungi. Oleh sebab itu, Maya heran kalau hari ini mereka berada di perpustakaan.
"Gua lagi kabur dari Toni, May," kata Kinanti. Buku yang tadi dia baca, kini ia letakkan.
Kinanti menghela nafas. "Gara-gara hari Senin kemarin, gua sampai punya utang dengan Prima. Kalau hari ini dia usil lagi, gua gak tau harus gimana."
"Iya juga, sih. Eh! Tapi lo sadar sesuatu, gak?" Maya merapatkan tubuhnya ke meja, satu tangannya ia gunakan untuk menopang kepala. "Kalau Prima gak bayarin semua waktu itu, lo pasti udah di penjara dengan tuduhan perampokan."
"Itu dia, makanya besok gua mau undang Prima ke acara syukurannya Ido.
"Ido ultah?"
"Bukan, dia menang turnamen futsal. Ibu, mau buat acara kecil-kecilan. Cuma mengundang beberapa temennya Ido, lo, sama mungkin gua mau undang Prima juga."
"Mantaphhh!" Maya mengangkat dua jempolnya. Dia bisa membayangkan akan ada banyak makanan enak hari Minggu besok. "Kalau gitu, langsung aja ajak Prima. Nanti siang, kan, kita ekskul, temuin aja langsung."
"Ooo." Kinanti mengangguk. "Nanti siang, gua temuin dia."
Di sisi lain, Toni nampak gusar. Berdiri di luar kelas, diam menatap ke sekitar. Dia tak melihat Kinanti saat jam istirahat, padahal hari ini dia sedang tidak ada ide untuk menjahilinya. Dia hanya ingin melihat Kinanti, itu saja. Namun, yang dicari justru menghilang.
****
Suara sepatu terdengar berdecit dari balik pintu aula basket. Prima melekatkan tangannya ke pintu aula, memperhatikan mereka secara sembunyi-sembunyi. Mereka sedang berlatih dribble.
Dia jadi ingat setahun lalu. Saat dia dan Toni bisa bebas bermain basket di halaman belakang rumah Toni. Toni pencetak skor yang baik. Dia selalu menang dengan shooter-nya yang akurat. Toni bisa jadi pemain handal jika tidak sakit.
Debh! Bola basket melesat ke arah Prima. Dengan sigap ia menangkap. Sejenak, Prima memandangi bola yang berada di tangannya.
"Hei, oper!" kata salah satu dari mereka.
Prima tidak mengoper, tapi dia lambungkan bola ke arah ring. Bola masuk, seketika tepuk tangan mereka berikan untuk Prima.
****
Kinanti baru saja keluar dari ruang guru. Dia membawa kotak kardus lumayan besar berisi karton dan perlengkapan lainnya.
"Prima?" Kinanti menyapa Prima ketika melintasinya.
Prima menoleh. "Kinan?" katanya.
Kinanti melirik ke dalam aula basket, sebagian dari mereka kelihatannya sedang memperhatikan Prima.
Bitan, seorang alumni sekolah yang kini menjadi pelatih basket, menghampiri Prima. "Kenapa gak gabung di tim basket sekolah? Keliatannya kamu berbakat," katanya.
"Bakat? Itu cuma tembakan mujur."
Bitan mengangguk. "Kalau mau gabung, kami siap terima kapan aja. Ok!" Dia berlalu. Kembali memandu jalannya latihan, kadang dia sampai berteriak memberi semangat kepada anak didiknya.
"Kenapa gak ikutan aja?" Kinanti bertanya.
Ditanya begitu, Prima hanya diam. "Mau gua bantu?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
"Oh, gak usah. Bisa, kok."
Prima merebut kardus yang Kinanti pegang. "Gua bantu," katanya sedikit memaksa.
"Mau dibawa ke mana?"
"Ke atas." Kinanti menunjuk dengan jarinya. "Bu Meity tadi minta tolong. Dia mau mengajar ekskul lukis."
"Ok. Gua bantu sampai ke atas."
Prima membawakan kardus yang tadi Kinanti pegang.
"Ngomong-ngomong," kata Kinanti saat mereka sedang menaiki anak tangga, "kenapa tadi nolak masuk tim basket?"
Prima menghela nafas. "Demi temen."
"Kenapa? Apa dia melarang lo main basket," ujar Kinanti sambil sedikit tertawa.
"Bukan," jawab Prima. "Kami dulu pemain handal, tapi sekarang dia sakit parah. Jadi, gak bisa lagi main. Gua gak enak kalau aktif sendiri."
Kinanti mengangguk perlahan. Dia sendiri tidak paham kalau teman yang dimaksud Prima itu adalah Toni.
"Temen lo sendiri gimana?"
"Dia?" Prima menaikkan kedua alisnya. "Dia justru nyuruh gua ikut. Padahal gua tau, pasti dia sendiri hancur hatinya."
"Kalau gua sama Maya, kadang Maya selalu bisa lakuin apa yang gak bisa gua lakuin. Tapi sebagai temen Maya, kalau Maya memendam potensinya gara-gara gua gak mampu kaya dia, gua pasti ngerasa bersalah seumur hidup. Mungkin temen lo juga merasakan hal yang sama. 'Kan, kita gak tau, seberapa tulus temen kita."
Prima merenung. Kata-kata Kinanti ada benarnya juga. Bisa jadi, selama ini Toni memang tulus mendukungnya.
"Sampai?" tanya Prima saat mereka berada di depan pintu kelas sebelas F.
"Makasih, ya." Kinanti mengambil kardus yang di pegang Prima dan mengantarkannya pada Bu Meity.
"Oh, iya, Prim," kata Kinanti sekembalinya dia. Mereka turun untuk langsung mengikuti kelas ekskul yang dipilih. "Gua mau mengundang lo ke acara syukuran adik gua. Tapi kalau lo gak sibuk."
"Syukuran apa?"
"Adik gua juara satu turnamen futsal antar sekolah. Ibu mau buat acara kecil-kecilan untuknya. Tapi kalau Prima sibuk atau gak sempet, juga gak apa-apa, kok. Karena memang cuma acara sederhana."
"Bisa," katanya, membuat Kinanti senang. "Gua bisa dateng. Nanti gua minta alamatnya, ya."
"Nanti bisa tanya Maya. Dia tau, kok."
Prima menganguk. "Toni?"
Kinanti mengernyitkan alisnya ketika ditanya soal Toni. "Sebenarnya, gua mau undang dia. Tapi rumah gua jelek, rasanya gak pantes buat dia."
Seketika wajah Kinanti berubah jadi murung. Sebenarnya, Prima yakin kalau Toni pasti senang jika Kinanti mengundangnya. Entah kenapa hari ini lidahnya kelu untuk membicarakan Toni.
"Dia juga bukan anggep gua temen, tapi asisten dia. Jadi gak mungkinlah gua undang dia," tambah Kinanti.
Prima terbata. Ada kata yang ingin keluar dari mulutnya namun tertahan. Hari ini perasaanya beda. Entah apa yang dia rasakan. Yang jelas saat ini dia merasa tenang dekat Kinanti.
Jujur saja, selama ini dia belum pernah mengobrol dengan seorang perempuan lebih dari satu kalimat, kecuali dengan neneknya. Hari ini, Prima merasa akhirnya ada orang yang mau mendengarkannya. Hari ini ada orang yang bisa membuatnya melepaskan penat dan keluh dalam dirinya. Hari ini, ada yang bisa mengerti keinginannya dengan tulus.
"Ya sudah, Prim." Kinanti menyadarkan Prima dari lamunannya. "Gua mau ekskul dulu. Kalau memang sempet dateng ya, itung-itung sebagai tanda terimakasih. Yah walau gak sebanding."
"Kalau gak ada halangan, pasti gua dateng."
"Makasih, Prim." Kinanti tersenyum lebar ke arah Prima.
Prima tertegun saat sepasang bola mata mereka beradu. Sesuatu telah terjadi di dalam dirinya. Ada yang berbeda dengan perasaannya dan mungkin tidak bisa dimaafkan Toni.
dari judulnya kayaknya sedih2an nih ya, tapi awalnya udah bikin penasaran, siapa pengawalnya yaa? hihi
Comment on chapter PROLOG