TONI PULANG ke rumah menggunakan taksi. Prima dengan wajah masamnya sudah menghadang di depan pintu.
"Assalamualaikum...." Toni memberi salam dengan mimik mengejek.
"Lo gak berdiri di situ dari pagi, 'kan, Prim?" katanya sambil meleos masuk.
Prima memutar badan, membuntuti Toni yang sudah menjatuhkan tubuhnya di sofa. Kemudian, Toni melepas sepatu dan kaos kaki yang tadi ia kenakan.
Prima menyilangkan tangannya di dada. "Lo gak tau, gimana tante Jena khawatir banget tadi."
"Memang sejak kapan ibu pernah gak cemas?" Toni menaikkan kedua alisnya. "Sejak gua divonis, dia selalu begitu. Bukan berita yang baru gua denger."
Prima menghela nafas. "Jangan buat kerjaan gua jadi rumit. Kali ini lo beruntung, lo bisa kambuh kapan aja. Tau itu?"
"Ya ...ya ..." Toni beranjak, dia hendak menuju kamarnya. "Lain kali gak akan gua ulangin. Puas?" katanya sebelum meninggalkan Prima.
"Oh, iya." Toni menghentikan langkah. "Gua mau sekolah besok. Bosen istirahat terus. Berarti lo bisa mengasuh gua lagi."
Prima mendecih. "Harusnya lo bisa belajar lebih dewasa lagi, Ton."
"Lo aja yang jadi dewasa, oke? Dan biarkan gua menikmati hidup yang singkat ini."
Prima mematung ketika Toni meninggalkannya. Perubahan sikap Toni membuat Prima berada dalam kegamangan. Jika ia bisa, Prima mau bersahabat seperti dulu. Mereka dulu pernah punya permainan ekstrim.
Mendorong sepeda ke jalan yang terjam ke atas, setelah sampai di atas mereka akan meluncur tanpa rem. Tanpa takut ada luka yang menggores. Bermain basket setiap pulang sekolah sampai lupa waktu.
Dunia milik mereka. Perbedaan status tidak pernah membuat jarak antara persahabatan mereka.
Setahun lalu Toni masih jadi anak yang ceria. Bahkan Toni bisa sangat percaya diri, ketika bermain tap a dance di mall. Toni memiliki segalanya yang membuat Prima iri. Termasuk kebaikan hatinya.
Semua itu sirna tatkala Toni sering mengalami demam di malam hari. Tubuhnya mudah kelelahan dan nafasnya sering sesak. Tanda yang paling mencolok ialah, tubuhnya sering mengalami lebam-lebam.
Dokter memvonis Toni menderita kanker darah. Jena berusaha melakukan pemeriksaan di beberapa rumah sakit. Hasilnya sama. Toni memang mengidap leukemia.
Sejak itu, semua kegiatannya mulai dibatasi. Ia tak bisa lagi berkeringat seperti dulu. Hobi bersepeda dan main basketnya pun harus ia tinggalkan.
Semuanya berubah. Bahkan status Prima yang tadinya sebagai seorang teman, berubah menjadi orang bayaran dari keluarga Toni untuk menjaganya.
Yah, Prima sebenarnya adalah cucu dari seorang buruh cuci gosok yang bekerja untuk keluarga Toni. Prima anak yang malang. Ayah dan ibunya berpisah ketika usianya baru menginjak enam tahun. Ayahnya yang tak bertanggungjawab itu meninggalkan Prima tanpa membiayai kehidupannya sepeser pun.
Ibunya terpaksa bekerja menjadi seorang TKW, dan sejak kebarangkatannya belum pernah dia memberi kabar lagi. Masa kanak-kanak Prima dihabiskan untuk membantu neneknya, mencuci baju di rumah Toni.
Dulu dia selalu menelan air liur berkali-kali setiap kali melihat makanan atau mainan yang dimiliki Toni. Semua barang-barang yang tak pernah ia miliki.
Prima masih ingat ketika mendiang neneknya bilang, Kalau ibumu sudah pulang, kamu akan punya mainan juga seperti Toni.
Kenyataanya, ibunya Prima tidak pernah pulang, meski Prima sudah berdo'a setiap malam.
Kala itu, Prima duduk melamun seorang diri menangisi ibunya yang tak pulang, di sudut teras rumah Toni. Jangan menangis, kau bisa bermain denganku, kata dari Toni yang masih diingat Prima sampai sekarang.
Toni memberikan satu mainannya untuk Prima. Sebuah mobil tamiya berwarna biru, sampai saat ini masih Prima simpan. Toni mengajaknya berteman. Sebuah hal yang Prima anggap sesuatu yang mustahil sebelumnya.
Dari situlah, setiap kali Prima datang ke rumah keluarga Jena, Toni selalu mengajaknya bermain. Mereka menjadi teman, meski pada awalnya Prima merasa sungkan.
Prima anak yang cerdas, biar pun orang tidak mampu. Dia bisa mengimbangi Toni di segala permainan. Termasuk bermain basket.
Prima adalah teman yang menyenangkan. Dia natural, tidak pernah berpura-pura. Jika Toni salah dia akan dengan tegas mengatakannya. Jika dia salah, dia tak sungkan untuk meminta maaf. Hidup terasa lebih menyenangkan ketika mereka sama-sama berbagi lelucon.
Hingga suatu ketika ayah Toni datang ke kediaman Prima. Tepat satu bulan setelah kepergian nenek Prima menghadap sang kuasa. Dia mengutarakan sesuatu yang selalu membuat Prima ingin menitikkan airmata setiap kali mengingatnya.
Bisakah kamu menjaga anakku, sebagai gantinya aku akan membiayai pendidikanmu sampai kuliah. Dan semua kebutuhan yang lain.
Sebuah tawaran yang harusnya dia tolak. Teman 'menjijikan' macam apa dia, yang bekerja untuk sahabatnya. Harusnya dia bisa lakukan tanpa meminta imbalan, sebab sudah banyak kebaikan yang dia terima dari Toni dan keluarganya.
Namun, apa daya. Prima membutuhkan bayaran. Dia tak punya siapa-siapa lagi. Dia harus berjuang seorang diri. Sejak menerima tawaran itu, Prima harus berada di dekat Toni. Memastikan bahwa dia baik-baik saja, dan harus siap setiap kali Toni butuh bantuan.
Soal keras kepala, memang Toni juaranya. Meski sedang sakit dia tidak mau menunjukkan, dia berpura-pura sehat. Padahal setiap malam, Prima bisa mendengar dia merintih kesakitan. Oleh karena itu, orangtua Toni membayar Prima untuk menjaganya di luar.
Kita sudah kehilangan masa indah di usia remaja kita Toni. Lo yang harus berjuang untuk menyelamatkan hidup lo sendiri. Sedang gua yang terus menelan pil pahit dari sejak awal gua mengerti dunia.
Kehilangan kasih sayang ayah dan ibu, kehilangan satu-satunya orang yang menyayangi gua sepenuh hati. Dan mungkin kelak, gua akan kehilangan sahabat.
Hidup itu sulit dipahami, bukan? Ketika lo merasa yang paling malang nyatanya ada orang
lain yang lebih malang dari lo.
***
Toni merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia gulung sedikit lengan kaus panjang yang tadi ia kenakan. Ck! Dia mengumpat. Lengannya lebam lagi.
Tubuhnya juga terasa sangat lemas, rasanya seperti orang yang terserang flu berat.
"Toni...." Ibunya mengetuk pintu kamar anaknya. Toni tak bisa menjawab, ia merasa sangat lemah. "Ibu masuk, ya."
Jena melangkah masuk. "Kamu gak apa-apa, Sayang?" tanyanya saat berada di samping Toni.
"Gak apa-apa, Bu, cuma sedikit pusing."
"Minum obatnya dulu." Jena membantu Toni duduk sambil menyodorkan obat dan segelas air.
"Prima mencari kamu tadi, lain kali kalau mau pergi ajak Prima. Supaya ibu bisa tenang."
"Kasian Prima," kata Toni usai meneguk air, "biarin dia istirahat hari ini. Semalam karena Toni minta bantuannya, dia sampai pulang larut."
"Apa, kita perlu tambah satu orang lagi untuk membantu Prima?" Jena membuat sebuah penawaran.
"Gak perlu. Prima aja udah cukup buat buntutin Toni kemana-mana."
Toni kembali berbaring. "Besok Toni mau sekolah."
"Apa gak sebaiknya kamu home schooling aja? Supaya kamu punya lebih banyak waktu untuk istirahat."
Alis Toni nampak menyatu. Apa ini maksudnya, dia akan dikurung seharian di rumah? Rasanya seperti diisolasi dari lingkungan. Memangnya dengan istirahat seharian, penyakit ini bisa sembuh? Toni butuh kebahagiaan supaya bisa melupakan penyakitnya.
Sorot mata Toni menunjukan penolakan.
Jena menangkap maksud dari sorot mata anaknya. "Baik. Ibu gak maksa. Yang penting, lain kali kalau kamu mau keluar kasih tau Prima juga. Supaya dia bisa tetep pantau kamu. Yah, Sayang...."
Toni mengangguk, dan lantas kembali merentangkan tubuhnya di tempat tidur.
Sesaat kemudian, Jena menatap Toni lamat-lamat.
"Jangan lihat anakmu begitu," pinta Toni.
Jena menghela nafas. "Kamu tau, Toni, Ibu mencintaimu." Dia mengusap pipi sebelah kiri Toni. Dilihatnya wajah tampan putranya yang selalu tampak pucat.
Toni mengambil tangan ibunya, kemudian ia lekatkan di dadanya. "Toni juga sayang ibu," katanya seraya tersenyum.
Mata Jena mulai berkaca-kaca.
"Dan sekarang, Toni minta supaya ibu berhenti bersikap begini. Karena itu justru membuat Toni takut."
Jena menganguk. "Ibu mengerti."
Jena mengecup kening Toni. "Ibu menyayangimu," bisiknya.
when he gone. huhu judulnya bikin baper. wkwk. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' ://tinlit.com/story_info/3644 jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter PROLOG