"TONO NELPON lo?!" Maya nyaris tak percaya. Sesaat setelah Toni menutup telponnya tadi, Kinanti langsung menghubunginya.
"Iya. Jangan histeris begitu, dia menelpon karena mau menyuruh. Menurut lo, gua harus gimana?"
Hening. Tandanya, Maya tengah berpikir.
"Lo temuin aja dia, habis itu bilang kalau lo sibuk jadi gak bisa lama. See, mudah, 'kan?" katanya sesaat kemudian.
"Ooh!" Kinanti mengangguk.
"Eh tapi...." Maya mulai memikirkan satu hal. "Lumayan juga, nih, lo bisa nge-date sama cowok cakep hari Minggu."
"Jangan ngejek, May!" kata Kinanti.
Dari nada bicaranya Maya bisa menilai kalau dia sedang kehilangan rasa percaya diri.
"Lo tau, May, setiap kali gua jalan di dekatnya. Gua merasa seperti Upik Abu."
"Pakai make-up, biar gak dekil."
"Gua gak bisa dandan. Haaah!" Kinanti menutup matanya. "Gua selalu minder tiap di deket Toni."
"Lo bisa dandan, yang natural aja! Pakai make-up yang tipis," ujarnya, "inget, tampil alami itu lebih baik."
Saran Maya ada benarnya. Namun, tetap saja Kinanti masih minder.
"Gimana kalau lo ikut aja, May?" pinta Kinanti.
"Idih ogah! Masa iya, gua jadi nyamuk, mending gua madicure padicure habis itu dengkur di rumah."
Sayang sekali, kali ini Maya tidak bisa membantunya.
"Udah, ah, gua mau beli nasi uduk di depan. Keburu abis nanti. Bye Kinan!"
Panggilan terputus. Kinanti menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia menutup wajahnya. Membayangkan bertemu Toni dengan penampilannya buruk. Itu pasti memalukan sekali.
****
Kinanti turun dari angkutan umum. Untuk bisa sampai ke Kafe Star dia harus menyebrang terlebih dulu. Beberapa remaja laki-laki bergaya Emo, perpaduan antara Punk dan Gothic menggoda Kinanti.
Kinanti jadi sedikit risih, mungkin blush on warna peach yang dia gunakan hari ini membuatnya kelihatan menor.
Kinanti mempercepat langkahnya, saat sampai di depan kafe, dia langsung mendorong pintu dan masuk ke dalam.
Nafasnya terengah-engah.
Terlihat Toni tengah duduk di sebuah bangku bulat, dengan segelas lemon tea menemani. Ketika Kinanti mendekat ke arahnya,Toni melongo beberapa saat.
"Hai," Kinanti menyapa. Dia pun memberikan senyuman yang kaku di hadapan Toni.
Toni masih memandang Kinanti, sedang yang dipandang jadi salah tingkah dan terus mengalihkan pandangan.
"Kinanti?" tanya Toni dengan ekspresi heran. Sesaat kemudian Toni terkekeh melihat Kinanti menunduk malu.
"Apa-apaan ini? Lo pakai make- up?" tanya Toni seraya terkekeh.
Kinanti menunduk malu.
"Gua kira lo tadi, ibu-ibu mau arisan." Toni menutup mulutnya.
Rasa percaya diri Kinanti hilang sembilan puluh sembilan persen ketika Toni bilang begitu. Sorot matanya berbeda dari ketika dia awal datang.
"Ah udah gak usah dipikirin. Mau penampilan lo gimana, yang penting kerjaan lo beres."
"Kita pergi sekarang!" Toni mengajak Kinanti pergi.
Kinanti memandang pintu kaca yang memantulkan bayangannya dan Toni. Toni memang keren, hanya mengenakan kaos oblong dan celana jeans saja, dia sudah terlihat menawan. Kinanti mendesah, ingin rasanya dia mencari air untuk membasuh wajahnya. Supaya dia bisa kelihatan seperti biasa.
***
Kinanti berjalan satu meter di belakang Toni. Dia tidak sanggup berjalan di samping Toni, yang dari tadi terus menarik mata para gadis.
"Katanya mau ada perlu, bilang aja sekarang ..." kata Kinanti setengah berteriak. Dia harus melakukan itu. Karena di jalan, suaranya kalah dari bising kendaraan yang lalu lalang.
"Gua berubah pikiran, kita ke toko buku aja dulu," kata Toni sambil tetap berjalan.
Toni sama sekali tidak menoleh kebelakang, ke arah Kinanti maksudnya. Harusnya dia sadar bahwa kata-katanya tadi membuat Kinanti jadi minder jalan bersampingan dengannya.
Oh iya, di era tahun 2000-an awal, yang namanya kaset VCD bajakan masih marak. Salah satu penjual VCD bajakan tersebut ada yang memutar lagu dari band Idola Kinanti. Peterpan, dengan vokalisnya yang kharismatik Ariel.
Kinanti berhenti sejenak, mendengarkan lagu itu sambil memandang wajah vokalis dari layar TV 12 inch.
"Hai manis, yang tadi lewat, 'kan?" sapa anak-anak yang tadi bergaya Emo.
Kinanti menyeringai, rasanya tidak sopan kalau langsung kabur.
"Boleh tau, gak, namanya siapa?" salah satu dari mereka mengulurkan tangan.
Alih-alih menyambut, Kinanti justru menyembunyikan tangannya ke belakang, dengan senyum yang dipaksakan.
"Ayo dong, jangan jual mahal gitu. Nanti gak laku, looh," kata salah satu dari mereka diikuti gelak tawa setelahnya.
Apa yang terjadi selanjutnya, sungguh diluar dugaan Kinanti. Toni kembali dan menepis tangan salah satu dari mereka. Wajahnya terlihat kesal, bahkan sebelum menghardik mereka, Toni sempat melotot pada Kinanti.
"Oh sial, kita cuma pingin kenalan, itu aja."
"Cari yang lain, dia sama gua!" kata Toni.
"Santai, Bro!" salah satu dari mereka memepet Toni.
Toni tetap tak bergeming, sorot matanya masih menunjukan bahwa dia menantang mereka. Sebenarnya itu termasuk kategori pemberani atau bodoh?
Harusnya Toni tahu jumlah mereka banyak, sedang Toni hanya sendiri. Jika mereka melawan, mungkin Toni yang justru kalah.
Kinanti menjadi takut. Takut, jika mereka menyerang Toni.
Apa yang bisa dia lakukan? Mengajak Toni pergi dan mengalah saja? rasanya tidak mungkin.
"Oh, halo ... halo ..." Kinanti menerobos mereka. "Halo, Bu? Sinyal di sini jelek. Tunggu sebentar Kinan mau cari tempat yang bagus."
Dia tidak bisa mengajak Toni langsung, harus menggunakan cara lain agar Toni mau pergi dari situ. Pura-pura mendapat telpon dari ibunya, itu ide yang ia dapat.
Melihat Kinanti pergi, Toni urung berdebat dengan mereka. Dia putuskan untuk menyusul Kinanti. Saat dia semakin dekat, Kinanti justru mempercepat langkahnya.
Toni coba kejar, Kinanti tetap berusaha menghindar. Toni menarik tas selempang yang Kinanti gunakan.
"Lo menghindar dari gua?" tanya Toni.
Kinanti hanya diam, wajahnya nampak takut melihat Toni sedang marah padanya.
"Sadar atau nggak, gua habis membela lo tadi. Harusnya lo bilang terimakasih!" Toni marah.
Kinanti menarik tasnya supaya lepas dari cengkaraman Toni.
"Makasih!" jawab Kinanti dengan suara bergetar.
"Lagian, lo jalan jauh di belakang gua. Kenapa?"
"Karena...." Bola mata Kinanti tampak berputar ke kanan dan ke kiri. "Karena...." Dia mengulangi kata yang sama. "Oh! karena lo bilang tadi gua kaya ibu-ibu. Makanya gua gak mau jalan di samping lo."
Padahal alasan sebenarnya bukan itu. Mungkin akan lebih baik jika Kinanti katakan saja pada Toni bahwa jantungnya berdetak sangat kencang saat di sampingnya. Dengan begitu Toni tidak akan merasa Kinanti merajuk padanya.
Toni terus memandang Kinanti dengan tatapan mata yang tajam, membuat wajah lugu Kinanti dihiasi keringat dingin. Toni juga masih mengatur nafasnya, agar lebih tenang.
Kinanti tidak tahu apa yang membuat Toni marah, karena dia menghindar atau karena mereka tadi.
Toni mengerling ke sekitar.
"Tunggu disini sebentar,"ujarnya.
Dia meninggalkan Kinanti dan nampak mendatangi salah satu dari penjual CD bajakan. Tak lama dia kembali membawa seutas tali plastik.
Dia menghela nafas sejenak. "Sini tangan lo!" perintahnya.
Kinanti menurutinya, meski ia tak tahu apa yang akan Toni lakukan.
Toni kemudian membuat simpul di tangannya dan tangan Kinanti.
"Kalau lo gak mau jalan di samping gua, its ok!" kata Toni, sambil sibuk menyelesaikan simpulnya. "Lo juga harus tau, kalau gua laki-laki terhormat dan gak sembarangan menggandeng tangan perempuan. Jadi, simpul ini buat mengamankan lo. Kalau ketinggalan jauh, gua bisa langsung tau," kata Toni sambil menunjukkan simpul di tangannya dan tangan Kinanti.
Simpul dari tali plastik ini membuat Toni tetap bisa menjaga Kinanti, sekalipun mereka berjarak. Ketika Toni melangkah, tali plastik itu seolah menarik Kinanti. Meski Toni mengikat dengan gayanya yang angkuh, entah kenapa Kinanti merasa ini adalah yang teromantis yang pernah ia rasakan.
Terang saja, Kinanti gadis yang menyukai Toni sejak awal dia melihatnya. Yah, bukan Kinanti saja. Bisa jadi hampir semua murid di sekolahnya.
Merasa dilindungi Toni seperti ini, hatinya tentu senang. Hei waktu, melambatlah supaya aku bisa bersamanya. seperti ini. Lebih lama.
dari judulnya kayaknya sedih2an nih ya, tapi awalnya udah bikin penasaran, siapa pengawalnya yaa? hihi
Comment on chapter PROLOG