Usai menjenguk Ahn Sarang, Ong Seong Woo pergi menemui Park Yura. Iya, semalam mereka membuat jadwal untuk menyelesaikan list Wedding Organizer yang ia berikan. Yura tidak ingin melibatkan timnya, untuk sementara gadis itu berniat menyelesaikan list dengan kemampuan yang ia punya dan Seong Woo bersedia membantunya.
Yura melambaikan tangan riang begitu melihat Seong Woo berjalan ke arahnya. Mereka sengaja bertemu di Toserba yang mempertemukan mereka. Selain lebih mudah, pilihan tempat ini terkesan tidak mencurigakan.
“Jadi apa calon istrimu tidak keberatan aku jalan dengan lelaki paling tampan di Korea ini?” goda Yura begitu Seong Woo berjalan di sampingnya.
Lelaki itu tersenyum tipis, menanggapi ucapan Yura dengan ngilu di hati, “Aku juga tidak keberatan kalau dia menikahi lelaki lain,” gumam Seong Woo seolah mengatakannya pada diri sendiri.
Yura hanya bisa melirik Ong Seong Woo geli, kemudian menyuarakan kalimat yang membuat lelaki itu melirik, “Kalau begitu kau menikah dengan perempuan lain saja, bagaimana?”
“Siapa? Kamu?” Tanya Seong Woo meledek.
Yura kembali tertawa, melayangkan pukulan kecil di pundak Seong Woo yang sama sekali tidak terasa sakit, “Ya kalau kamunya mau,” goda Yura semakin menjadi-jadi.
Ong Seong Woo tersenyum sambil memalingkan mukanya dari Park Yoo Ra. Entah mengapa mendengar penyataan itu membuatnya malu, walau ia tahu betul Yura suka menggodanya sejak mereka membahas perkara adegan mabuk Yura yang meggila malam itu. Yura sudah bersumpah, akan menggoda Ong Seong Woo terus-terusan.
“Sudah jangan dipikirkan terlalu serius, aku tahu kalian itu setia sekali. Jadi kita cari cincin dulu atau anting?” Yura mendahului Ong Seong Woo, membiarkan lelalaki itu mengamati punggungnya yang mungil dan kecil. Gadis itu juga rapuh, tapi mengapa bisa menghibur Seong Woo sebaik ini?
“Hyaaa.. tunggu aku!!” teriak Seong Woo berlari kecil, menyeiramakan langkah kaki Yura yang seolah menantikan dirinya mengimbangi.
“Kemarilah pengantin, kalau kau lambat seperti ini kapan bisa menikah dengan kekasih hati?” ejek Yura tak memperdulikan Seong Woo yang tersenyum lebih lebar lagi. Ia bukan tersenyum karena akan segera menikah, tetapi merasa senang dengan cara Yura memperlakukan dirinya.
***
Seong Woo terdiam, lebih tepatnya lelaki itu sedang terkagum-kagum dengan jajaran emas berlian di hadapannya. Ada jutaan, tidak mungkin milyaran jenis perhiasan yang toko ini jual. Yura berdiri di sampingnya melakukan hal yang sama, menyandarkan dagunya pada salah satu etalase dan tidak berhenti mengucapkan kata ‘Woaahhh’.
Selama riwayat hidupnya, Seong Woo hampir tidak pernah mengunjungi toko emas. Ibunya tidak begitu menykai barang mewah, wanita paruh baya itu akan memilih pakaian atau makan-makan setiap kali Ong Seong Woo menerima gajian. Ia juga tidak pernah berpikiran untuk membelikan hadiah emas, karena tidak mau menerima omelan panjang dari sang ibunda.
“Oh? Sepertinya yang ini,” Yura berseru, tulunjuknya mengarah pada satu bentuk yang sama persis dengan apa yang Sarang mau. Seperangkat cicin dengan permata kecil berwarna ungu, terlihat bersinar dari kejauahan dan menawan saat diperhatikan dari dekat.
Seong Woo mendekat, ikut mengamati apa yang baru saja Yura lihat. Lelaki itu mendekatkan wajahnya sampai tepat berada di sebelah pipi Yura, berusaha menilai seberapa miripnya benda itu dengan yang ada pada tulisan.
Yura yang merasa hembusan nafas Seong Woo maminkan rambutnya pun langsung menghindar. Entah gerakannya menyinggung Ong Seong Woo atau tidak yang jelas ia ingin menyelamatkan hidupnya. Ia tidak mau jantungnya tiba-tiba lepas karena terlalu giat berdetak. Sekaligus tidak mau nafasnya berhenti hanya karena menahan nafas.
“Mirip kan?” tanyanya setelah memberikan Seong Woo sedikit ruang untuk melihat.
“Iya.”
“Ukurannya?” Tanya Yura saat pelayan toko hendak mengambil cincin yang mereka bicarakan.
“Eh? Ukuran?”
“Iya, ukuran.”
“S? atau M? mungkin,” ia mengendikkan pundak tidak paham, sementara pelayan toko terkekeh dan Yura memutar bola mata kesal.
“Kau pikir ini baju? Ukuran jari calon istrimu, tuan,” ejek Yura dengan nada meninggi. “Akan lebih baik jika gadis itu membeli cincinnya sendiri,” gumamnya menambahi.
Seong Woo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia tidak pernah tahu sebelumnya kalau membeli cinci juga membutuhkan ukuran. “Kalau begitu samakan dengan jarimu saja, sepertinya tidak jauh beda,” ujarnya membuat Yura semakin mendengus panjang.
“Kan bukan aku yang menikah!”
“Sudahlah, toh aku juga yang bayar. Beres kan?”
Dan masih dengan menggerutu tidak jelas pada akhirnya Yura memilih cincin yang paling pas dengan jari manisnya. Terlihat cantik, menghiasi jemarinya lentik. Yura tersenyum tipis, menikmati keindahan cicin yang melingkari jarinya hanya beberapa detil.
Hingga akhirnya ia mendengar suara Seong Woo berbisik, tepat di telinganya sangat lirih namun mampu ejaannya terdengar dengan baik, “Cantik.” Tetapi begitu Yura menoleh, lelaki itu sudah mengalihkan pandangan ke sisi lain, membuat pipinya memerah sekali lagi.
***
Yura menenteng dua paper bag berisi perhiasan yang tertera dalam list. Sedangkan Ong Seong Woo membanwa banyak kantung plastic, pasca membeli oleh-oleh untuk ibunya yang tinggal di Incheon. Hampir disetiap toko baju wanita yang mereka lewati membuat Seong Woo berhenti. Kemudian membeli setidaknya dua baju yang terbilang nyaman digunakan untuk aktivitas sehari-hari.
Lelaki itu juga sukses memaksa Yura membawa pulang dua baju. Selain karena terlihat bagus, ia ingin berterima kasih atas apapun yang dilakukan gadis itu. Tanpa bantuan Yura mungkin ia bisa semakin gila, mendapatkan Wedding Organizer yang boleh jadi justru memanfaatkan dirinya.
Kini mereka duduk sejenak di kursi taman tepi sungai Han. Suasananya yang tenang, serta hening karena hari beranjak malam. Yura menenggak Americano kesukaannya, ia menyesap minuman itu sangat perlahan. Mencium aromanya, kemudian menghembuskan nafas panjang kala cairan itu lolos menelusupi kerongkongan.
“Katanya kau artis, tapi kenapa nggak pernah pakai masker dan topi?” Yura bersuara setelah sekian lama hening.
“Emm… aku sedang dalam masa pengosongan jadwal,” sahut Seong Woo singkat.
“Maksudnya? Memangnya tidak masalah dikenali sama semua orang. Hampir setiap orang yang melihatmu berbisik-bisik lho. Aku jadi merasa aneh,” ia memandang langit malam. Menantikan penjelasan Seong Woo yang lebih dalam. Keterlaluan memang, terlebih menyadari bahwa hari ini adalah kebersamaan mereka untuk pertama kalinya. Tapi Yura penasaran, ia ingin tahu akan banyak hal.
“Aku dalam masalah besar, mungkin tidak lama lagi agency-ku akan melepaskanku dari perusahaan mereka.”
“Terus? Kamu nggak bisa jadi actor lagi dong?”
Seong Woo tersnyum nanar, “Memangnya apa yang bisa dilakukan Public Figure Korea setelah menikah? Keputusan menikah muda di saat karir memuncak itu tidaklah mudah. Ada banyak resiko yang harus ditanggung secara bersamaan.”
“Tapi setidaknya kau bersama dengan seseorang yang kau cinta, ya kan?”
Seong Woo diam.
“Omong-omong, kenapa kau tidak mau naik taxi? Kau melarangku naik mobil dan kau sendiri juga tidak membawa mobil, kenapa?”
“Aku,” bergeming, “Aku… pobia dengan mobil.”
Yura tersenyum kecil, gadis itu bahkan harus menutup mulutnya agar tidak tertawa lebih keras lagi. “Oh astaga, aku pikir bibirku ini lupa caranya tersenyum lagi. Tapi kau sangat lucu Ong~Ssi. Dan bicara soal pobia, sepertinya aku pobia dengan laki-laki.”
“Eh?” Seong Woo menoleh, mendapati wajah jahil Yura justru menenggak Americano-nya sampai habis. “Kok bisa pobia laki-laki? Aku juga laki-laki loh.”
Yura tersenyum lagi.
“Wah, jangan-jangan kamu pecinta sesama jenis ya?”
“Aku pobia sama laki-laki yang sudah punya calon istri, soalnya aku nggak pernah siap kalau harus ditinggalin.”
Seketika lelucon itu tidak lucu lagi. Tidak bisa ditertawakan, bahkan cenderung membuat keduanya merasa tertekan. Aneh, mereka baru saja mengenal, baru memahami dan menikmati hari bersama tidak sampai dua puluh empat jam. Tapi dunia mereka seolah berkaitan, seperti ingin saling menyembuhkan.
Mereka masih beradu pandang, membiarkan langit memperhatikan ulah mereka. Sedangkan hati Seong Woo langsung menyadari satu hal, bahwa ia telah jatuh cinta pada gadis di hadapannya sekarang.
***
“Apa kau tidak berniat menyapa lelaki itu? Dia terlihat frustasi,” sang dokter membenahi infus yang baru saja habis. Sementara Ahn Sarang hanya memunggunginya dengan mata sembab yang hingga kini masih berlinang air mata. “Apa kau yakin kalau mengirimnya ketempat yang benar?” tanyanya lagi.
Ahn Sarang masih bungkam, mendiamkan semesta yang tidak sabar mendengarkan jawaban. Dokter itu sudah terbiasa, walaupun hatinya terasa sakit setiap kali gadis itu mengabaikannya. Sungguh, demi seluruh alam dia tidak pernah membunuh seseorang. Apalagi dengan alih-alih uang dan jabatan.
“Apa kau yakin gadis itu masih bekerja di sana?”
“Bukankah kau yang mencurigainya?!” suara Sarang bergetar, membalikkan tubuhnya supaya bisa menatap dokter itu dengan leluasa. “Aku yakin betul kau pelakunya, tapi kau mengelak! Berdalih seolah ada manusia lain yang membunuh dirinya. Gadis itu siapa? Huh?! Tentu saja dia masih bekerja di sana karena pelakunya ada di depanku sekarang!”
Sekali lagi lelaki itu menelan slavinanya susah payah. Ia kehabisan kata-kata. Meskipun ia tidak bersalah, mulutnya selalu saja kelu setiap kali harus memberikan penjelasan. Ia sendiri juga tidak tahu pasti seperti apa kebenarannya, namun melihat gadis yang pernah—dan sampai saat ini—ia cintai itu begitu membencinya terasa menyakitkan.
“Terserah kau saja, toh sejak awal kau tidak mempercayaiku kan?”
Ahn Sarang diam, menghadirkan sunyi yang membawa lelaki itu memilih keluar. Tidak ada gunanya meyakinkan seseorang yang tidak pernah mempercayaimu seumur hidupnya. Walau kau benar, walau duniamu tidak bersalah, selamanya kau akan menjadi terdakwa kalau tidak ada yang bersedia membenarkan.