Ong Seong Woo duduk di salah satu kursi panjang rumah sakit. Ia belum menghubungi Jung Jae Min, manager cerewetnya itu bisa-bisa langsung memecat dirinya tanpa toleran. Pikirannya kacau, sesaat setelah peristiwa kecelakaan itu, ia langsung membopong sang gadis ke mobil sebelum dikenali oleh siapapun. Ia tidak boleh terkena skandal, atau semua tawaran iklannya akan hangus secara bersamaan.
Telponnya kembali berdering, suara nyaring nan berisik itu menggema di lorong rumah sakit. Tidak, sekacau apapun kejadian ini, ia tidak boleh melibatkan pihak agency. Dengan guratan wajah cemas, Ong Seong Woo menautkan jemarinya, meremas-remas kedua tangannya yang berkeringat. Sudah dua jam berlalu, namun sang dokter tak kunjung keluar untuk menyampaikan kondisi gadis itu.
Seolah tidak mau memahami keadaannya, seorang pria paruh baya dengan setelan jas lengkap mendekat. Pria itu bergaris rahang tegas, bukan manusia asli Korea. Matanya lebar, dengan dagu yang dipenuhi rambut tebal. Kedua tangannya mengepal, menatap Ong Seong Woo penuh amarah. Entah apa kesalahannya, yang jelas Seong Woo hanya melirik pria itu sekilas.
“Jadi kau yang menabrak putriku?” begitu tanyanya, terdengar dingin, tegas berwibawa. Membuat Ong Seong Woo kembali menatapnya, kemudian menunduk sopan untuk memberikan sebuah penghormatan sekaligus maaf.
“Maafkan saya pak, saya akan mengganti semua biaya pengobatannya. Tapi tolong jangan bawa kasus ini pada polisi, ijinkan saya mengambil jalan damai dengan anda.”
Pria itu mendenguskan nafas kasar. Wajah tegangnya membuat Ong Seong Woo tak kuasa mengangkat pandangan. Lelaki tampan yang selalu menatap kamera dengan lantang itu kini menciut, nyalinya hilang menghadapi pria dingin itu. Dalam keadaan seperti ini ia tidak mungkin melawak kan? Bisa-bisa masa depannya hancur berantakan.
Tekadnya sudah bulat. Apapun yang terjadi, masalahya tidak boleh terhembus media. Semuanya harus ia selesaikan secara pribadi, bagaimanapun caranya.
“Saya akan melakukan apapun pak, asal anda merahasiakan kejadian ini dari media,” imbuh Seong Woo mengiba. Iya, tidak masalah kalau dia sedikit mengiba, toh kalau soal uang bukan masalah baginya.
Pria itu tak mengubah ekspresinya, ia hanya memindahkan kedua tangannya dari saku celana jadi bersindekap dada. Seolah tergiur dengan penawaran anak muda yang bisa ia ketahui merupakan actor pendatang, pria ini pun kembali bersuara.
“Apapun? Apa kau yakin mampu melakukan apapun?”
Seong Woo mengangguk tegas.
“Kalau begitu nikahi putriku.”
Matanya terbelalak. Tanpa suara, mulutnya ternganga lebar.
“Kenapa? Itupun kalau dia masih hidup. Bukankah kau harus membayar nyawa dengan nyawa? Kau harus melunasi hidupnya dengan hidupmu anak muda.”
Seolah tidak ada yang salah dengan ucapannya, pria itu menunggu jawaban dari seorang Seong Woo yang kelabakan. Lelaki itu terlihat seperti orang bodoh yang tuli seketika. Yang benar saja, dia bilang menikah? Ong Seong Woo masih terlalu muda, bahkan ia begitu mencintai dunia hiburan. Bukankah sama saja kalau pada akhirnya dia harus menikah?
“Kalau begitu kita bawa masalah ini ke kantor polisi saja,” ancam pria itu hendak meninggalkan Seong Woo yang berusaha mencerna keadaan.
“Eh? Tidak, maksud saya bukan begitu. Tapi saya ini aktor, mana mungkin saya menikah diusia semuda ini?” sahutnya gagap.
“Aku tahu kau aktor, lagipula putriku juga tidak setua itu. Kalian hanya perlu menikah, tanpa mengkhawatirkan apapun. Apa kau pernah dengar Robin Group?”
Seong Woo mendongak, mendengar nama Robin Group dari mulut pria ini membuat ia tercekat. Tentu saja dia tahu, seluruh Korea juga tahu apa itu Robin Group. Perusahaan terbesar yang menguasai Korea, kini bahkan mulai menjamah mancanegara. Dan yang lebih luar biasa mengagumkan, tiga agency besar Korea berada dalam naungannya.
“Perkenalkan, aku Ahn Roo Bin, CEO dari Robin Group. Tentu saja aku bisa menutupi kejahatanmu dengan mudah, asal kau mau menikahi putriku. Aku juga bisa menyembunyikan status kalian dan kau tetap bisa berkarir seolah tidak terjadi apapun. Bagaimana? Kau mendapatkan penawaran ganda. Kalau perlu aku membawamu keluar dari agency murahanmu itu juga.”
Ong Seong Woo menelan slavinanya susah payah. Keadaan macam apa ini? Ia menabrak putri tunggal CEO Robin Group? Begitu? Iya? Yang benar saja! Gadis itu bahkan terlihat seperti menabrakkan dirinya. Mustahil, pria ini bahkan memintanya ganti rugi dengan kehidupan yang masih Seong Woo cintai.
Beruntung dokter berjas dengan wajah ramah memecah percakapan mereka. Memberikan sedikit cela, hingga membuat Ong Seong Woo bisa bernafas lega. Dokter itu mengatakan bahwa gadis itu baik-baik saja, hanya perlu beristirahat sedikit lebih lama. Tidak ada cidera yang serius, bahkan operasi pengambilan serpihan kaca di kakinya pun juga berjalan mulus.
Ahn Roo Bin hanya mengangguk singkat, membuat sang dokter menjadi canggung dan salah tingkah. Mata elang itu kembali menerkam Seong Woo secara sepihak, mengintimidasi sang empunya, hingga tak mampu membantah. “Aku tidak sebaik yang kau pikirkan anak muda, jadi cepatlah mengambil keputusan.”
Dan bagai iblis yang ditelan kegelapan, pria itupun mengilang. Menyisakan aura mistis pada tubuh Seong Woo yang sempat menegang. Menakutkan! Apa Ong Seong Woo harus melibatkan hyung manager juga? Tidak, bisa-bisa Jung Jae Min juga ikut dipecat karena ulahnya. Sial.
***
Setelah dua puluh empat tahun hidup tanpa kegusaran, kini Seong Woo mengalami hidup terburuk. Rasanya seperti hanya ada dua pilihan, antara mati atau terkutuk. Tak ada yang menguntungkan dari kedua pilihan itu, semuanya sama-sama membunuh.
Ketika otaknya seratus persen tidak berfungsi, poselnya kembali berbunyi. Masih orang yang sama, lelaki yang mengkhawatirkan dirinya setengah mati, Jung Jae Min. CEO agencynya bilang, apapun yang ia lakukan akan berimbas juga ke Jung Jae Min. Hyung managernya itu memang bodoh, kenapa juga ia mau jadi penjamin hidup Ong Seong Woo?
“Ne?” jawab Seong Woo santai, pada akhirnya ia akan mengurus semuanya sendiri. Walau itu berarti harus menikahi gadis asing.
“Hya!! Apa kau gila?! Cepat datang ke kantorku sekarang juga! Akan ku hukum kau sampai kelakuanmu itu berubah! Dasar anak nakal!”
“Hyung, kau bahkan tidak punya kantor.”
“Sial! Cepat datang saja! Kau kan sudah tahu dimana kantornya!”
Tut tut tut tut
Ong Seong Woo menatap ponselnya dengan senyuman nanar. Hatinya menjerit, ia ingin menangis dan mengatakan semuanya pada Jung Jae Min. Bahwa ia kacau balau, ia dalam masalah yang bisa mengancurkan siapapun di bumi. Dia menyesal, setelah ini ia bersumpah tidak akan mengemudi sambil mengangkat telpon Jae Min lagi. Tolong bantu dia, kali ini saja, walaupun terdengar tidak mungkin.
Dengan gerakan lambat Seong Woo meninggalkan rumah sakit. Gadis itu sepertinya akan baik-baik saja, jadi biarkan dia mencari angin segar untuk mengambil keputusan terbaik.
***
Jae Min melambaikan tangan antusias. Sejak alarm mobil Seong Woo berbunyi, ia yakin lelaki serba tampan itu sudah datang. Nyatanya, semenyebalkan apapun tingkah Seong Woo padanya, ia tetap suka memperlakukan bocah itu seperti adik kandungnya.
“Jadi ini kantormu?” cibir Seong Woo begitu sampai di kedai sup babi dekat sungai Han.
Jae Min tertawa lepas, sambil menepuk-nepuk kursi kosong di sampingnya. “Kemarilah, aku ingin menghajar kepalamu itu agar menjadi dewasa.”
“Hya! Hyung! Hajimaa!! Jangan lakukan hal bodoh semacam itu hyung. Aku tidak bisa membiarkan wajah tampanku terluka.”
Dengan penuh kasih sayang Jae Min merangkul Ong Seong Woo dan mengelus puncak kepalanya penuh tekanan, “Kau ini, padahal umurmu hampir dua puluh lima. Sadarlah, atau selamanya kau tidak akan pernah berkencan.” Jung Jae Min kembali tertawa lepas, satu hal yang bisa di yakini Ong Seong Woo adalah lelaki itu sudah hilang sadar.
Senyum tipis Seong Woo terpancar. Yah, Jae Min memang peminum yang buruk. Walau hanya dua tegukan saja semua kalimat yang keluar dari mulutnya hanyalah ngelantur. Kalau dia sudah tidak sadar nanti, mungkin Seong Woo baru akan mengungkapkan, bahwa ia membutuhkan bantuan, sekarang.
“Minumlah bocah tengik!” pekik Jae Min sambil menyodorkan botol soju di tangannya.
“Keumanhae! Kau yang harus berhenti minum hyung.”
“Oh, kau sudah dewasa sekarang. Baguslah, senang melihatmu bisa menolak perintahku.”
“Dasar pria tua!”
“Apa kau bilang?!”
“Bukan apa-apa, kau menikahlah hyung, aku tidak mau menikah lebih dulu darimu.”
“Tentu saja aku duluan, bocah! Umurmu kan belum genap 25, mana boleh menikah?”
Seong Woo kembali larut dalam pikirannya. Jae Min benar, mana boleh dia menikah. Tapi kalau menikah merupakan satu-satunya jalan untuk ganti rugi atas semunya, maka ia harus melakukannya bukan? Iya, sejak dulu ibunya selalu bilang untuk menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Kini sudah saatnya, melakukan hal paling gila yang bahkan tak pernah dipikirkan oleh otak normal.