“Maaf, aku tidak bisa menyetir.”
Ong Seong Woo menautkan jemari. Telapak tangannya dingin, ia rela melawan trauma itu agar bisa pergi ke Busan dengan mobil. Yura hanya terkekeh. Gadis yang mengambil alih penuh kemudi mobil ini pun terlihat seru. Ia menikmati jalanan syahdu, bersama Ong Seong Woo yang terlihat pucat pasi dan takut.
“Mau pegang tanganku?” Yura mengulurkan tangan kanannya, membuat Seong Woo malu menyaksikan penawaran barusan. Seharusnya Seong Woo yang melakukan hal itu untuk Yura, tapi dunia menghendaki antonimnya.
“Kau mengejekku ya?” Ong Seong Woo ketus.
Yura menggulung tangannya lalu tersenyum, “Kalau nggak mau ya sudah, tapi jangan muntah di mobilku ya, susah bersihinnya.”
“Dan harga diriku semakin terhina.”
Ia terbahak. “Mau coba gantikan?”
“Terima kasih, tapi lebih baik tidak.”
Perjalanan itu berlangsung tentram. Di iringi musik shawn mendes, serta sayup-sayup suara dengkuran. Bukan Seong Woo yang tertidur, tetapi sopir perempuan yang mengaku mampu menyetir sampai Busan hingga larut. Senyum tipis Seong Woo mengembang. Diam-diam ia meraih telapak tangan Yura dan menggenggamnya.
Hati kecilnya bergumam, meng-iya-kan kebenaran yang mengasyikkan. “Kau benar, aku tidak takut lagi sekarang.”
Walau hanya dengan kecepatan empat puluh kilo meter per jam, Ong Seong Woo merasa lega karena ia bisa kembali berkendara. Mungkin semua itu berkat kemauan dalam dirinya, namun sembilan puluh delapan persen ia dapatkan dari Park Yoo Ra.
Malam semakin larut dan bulan kian meninggi. Mobil yang mereka tumpangi menepi dan Yura menggeliat kecil, “Sudah sampai?” tanyanya tak perduli dengan suaranya yang serak usai tertidur panjang.
“Hmm, kita makan dulu sebelum lanjut perjalanan, ayo turun.”
Rasanya dunia turut tersenyum. Mengizinkan kebebasan kecil untuk dua insan itu. Mereka menghabiskan malam dengan bahagia, seolah mereka adalah satu-satunya makhluk di semesta.
***
Matahari meninggi dan pencarian Kim Soo Ah dimulai hari ini. Saat warga Busan sibuk memulai hari, dari sekian ratus manusia yang sama sekali sulit dikenali, mereka berdua nekat mencari gadis asing itu demi cinta yang seharusnya menyatu dengan baik. Satu-satunya harapan, agar mereka berhenti tersiksa dengan keadaan.
Mereka mencari dengan berbagai cara. Mulai dari menanyai satu per satu orang di pasar, sampai mengetuk tiap-tiap rumah. Busan memang tidak seluas Seoul, namun pencarian yang mereka lakukan sangat tidak masuk akal. Seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Namun harapan mereka begitu besar, untuk mewujudkan sesuatu yang mustahil.
Yura menepis peluh di keningnya, menenggak habis air mineral yang baru saja ia beli di mini market terdekat. Baru dua jam, tetapi pencarian ini terasa seperti dua tahun lamanya. Sedangkan Ong Seong Woo bersandar di pintu mobil sambil mengamati manusia yang melintas.
Dari jauh Yura ikut miris. Sebenarnya adegan gila macam apa yang tengah mereka lakoni? Hanya demi cinta, atas nama sebuah perasaan yang bisa kau tepis dengan kehadiran seseorang. Bukankah akan lebih mudah jika mereka merelakan keadaan? Kenapa harus bersusah payah? Yura menyodorkan minuman rasa jeruk untuk Ong Seong Woo yang sepertinya tidak berniat istirahat.
Lelaki itu diam sejenak, menatap raut wajah Yura yang amat kelelahan lalu menerima minuman di tangannya, “Gomawo.”
“Bagaimana jika kita akhiri saja pencarian ini?” Tanya Yura tiba-tiba, membuat Ong Seong Woo langsung mematung pada posisinya, “Apa kau tidak merasakan kalau semua ini sia-sia?” sambungnya.
Seong Woo menghembuskan nafas berat, berusaha mencerna kalimat Park Yura. Tidak ingin membenarkan, tapi fakta itu terlalu benar. Iya, rasa seperti mencari sesuatu yang jelas-jelas tidak pasti. Berharap pada kemustahilan yang tidak akan pernah terjadi.
Ong Seong Woo meraih Yura ke dalam pelukannya. Melepaskan segala penat, juga ucapan Ahn Sarang. Iya, percakapan gadis itu dengan dokter rumah sakit masih tengiang-ngiang di kepalanya. Terasa memilukan. Tak sampai hati rasanya jika Yura tahu kebenaran.
“Maafkan aku,” bisiknya, “Aku benar-benar minta maaf.”
Yura menepuk-nepuk pundak Ong Seong Woo, mengelus lembut punggungnya, memilih tidak bersuara.
“Kau harus mengalami hal sulit seperti ini karenaku Yura~Ssi.”
Namun saat adegan memeluk itu belum berakhir, ponsel Seong Woo berdering. Bersuara nyaring di saku celana, membuat Yura terpaksa harus melepaskan hangatnya pelukan. Ong Seong Woo menatap layarnya bingung, setengah tidak percaya setengah takut. Setelah sekian lama lelaki itu tidak menghubunginya sekalipun, kini nama itu kembali muncul, Jung Jae Min.
Ong Seong Woo menjauh, diikuti pandangan Yura yang tidak mengerti dengan raut wajah itu. Mendadak ekspresi Ong Seong Woo membeku, lelaki itu ragu sebelum memutuskan untuk mengangkat telpon dan berseru.
Anehnya, bersamaan dengan itu telpon Yura juga berbunyi, menghadirkan nama yang ingin ia lupakan sejak kejadian kemarin, Anna. Untuk apa gadis itu menelponnya? Mungkinkah tiba-tiba ia berubah pikiran dan bersedia menjelaskan semua pada Yura? Entahlah, dan seperti Ong Seong Woo, akhirnya Yura memutuskan untuk mengangkat sambungan telpon yang ada.
***
Angin berhembus samar, meniupkan rambut Yura serta baju tipisnya yang kebesaran. Mereka duduk di balkon penginapan, sejak keduanya menerima telpon itu, mereka memutuskan untuk mengakhiri pencarian. Pikiran mereka berkelana, bersandar pada langit malam yang tampak tenang-tenang saja.
“Siapa yang menelponmu tadi Ong~Ssi?” Tanya Yura sambil menggeliat, berlaga sesantai mungkin agar tidak hanyut dalam keheningan malam.
“Managerku, kau sendiri? Bukankah kau juga menerima telpon tadi?”
“Oh… itu Anna, ada apa dengan managermu?”
“Dia menemukan blackbox dari kecelakaan Ahn Sarang waktu itu. Dia menemukan cara untuk menyelamatkanku, begitu katanya,” ujar Seong Woo sedikit berbisik. Ia tidak yakin dengan ide Jung Jae Min, namun bukankah jauh lebih baik dibanding mencari Kim Soo Ah di bumi Busan seluas ini?
“Bukankah itu berita bagus?”
“Entahlah, lalu apa yang terjadi dengan Kwon Ann Ha?”
“Sama, mendadak dia bersedia memberiahukan alamat Kim Soo Ah, asalkan aku memberitahukan tentangmu dan segalanya. Apa managermu juga meminta sayarat?”
“Tentu saja, dia memintaku kembali sekarang juga.”
Yura menyandarkan kepalanya ke pundak Ong Seong Woo, “Bukankah itu aneh?” tanyanya sembari mengedarkan pandangan ke langit.
“Aneh?”
“Iya, saat kita memutuskan untuk berjuang dengan cara kita sendiri, mendadak semua orang ingin menyelamatkan kita masing-masing. Apa menurutmu cinta kita ini boleh terjadi?”
Ong Seong Woo mengusap puncak kepala Yura lembut, membelai rambutnya yang panjang nan harum, “Bukankah tidak ada yang pasti dari semua opsi ini? Bahkan cinta kita pun tidak pasti. Lalu kenapa kita harus pusing? Aku ingin kita saling mencintai hari ini, soal esok, apa kata nanti.”
Yura terdiam, mengijinkan tubuhnya hanyut dalam sentuhan Seong Woo yang menenangkan jiwanya. Untuk sementara, sekali lagi, ia ingin amnesia. Walaupun ini adalah kelupaannya yang terakhir kalinya, ia tetap ingin menjadi milik Ong Seong Woo sekarang. Iya, biarkan malam menyaksikannya, tak peduli semesta saling berbisik menghujat, bersama Seong Woo tetap terasa nyaman.