Ckrak. Ckrak. Ckrak.
Panji membuka kedua matanya yang bak ditempeli lem super lengket. Tangan kanannya meraba-raba meja di sebelah tempat tidurnya, menarik jam beker biru miliknya. Siapa yang berisik di halaman belakang jam satu malam begini?
Panji menutup kepalanya dengan bantal. Sudah tiga hari ini dia sibuk mengurus acara perpisahan SMA-nya dan nggak sempat tidur. Hari ini harusnya ia bisa puas tidur semalaman.
Sambil menggerutu, Panji berjalan menuju balkon kamarnya yang langsung menuju ke halaman belakang rumah. Ia sempat kesulitan membuka pintu menuju balkon, karena seingat Panji, terakhir kali pintu itu dibuka sekitar dua tahun lalu atau mungkin lebih. Matanya membulat ketika mendapati Au, tetangganya itu sedang menggali sesuatu.
Panji mengerjap-ngerjap tak percaya, terus memerhatikan ia menggali. Di halaman belakang rumah Au terdapat empat gundukan dengan batu nisan di atasnya. Panji bergidik ngeri.
Kuburan apa?
Atau lebih tepatnya, kuburan..., siapa?
***
“Kamu mau ke mana?” Panji mematung saat mendengar suara serak papanya. Sial. Padahal ia sudah membuka pintu, semenit saja ia lebih cepat, nggak mungkin bertemu papanya!
“Ke luar.”
“Kamu keluyuran terus. Gimana persiapan kamu masuk teknik? Sudah berapa persen? Papa lihat kamu nggak pernah belajar.”
“Aku sudah belajar.”
“Kapan? Setiap hari Papa lihat kamu nggak pernah di rumah.”
“Aku belajar di luar.”
“Luar mana?”
“Ya Tuhan, Papa! Aku belajar di mana itu kan hakku! Lagipula menjadi insinyur itu kan keinginan Papa! Sudah syukur aku mau mengikuti kemauan Papa, kenapa masih protes, sih?”
“Bukan keinginan Papa. Tapi, demi kebaikan kamu!”
“Iya, demi kebaikanku. Oke. Sudah ya, aku mau pergi!”
Panji buru-buru melangkah pergi, sengaja membanting pintu. Ia berjalan cepat menuju motornya, namun gerakannya terhenti saat ia menoleh ke samping. Baju oren, jogger pants merah jambu, sneakers hijau dan topi biru. Panji menganga. Ia yakin wajahnya saat ini pasti terlihat super bego, tapi, astaga penampilan macam apa itu?
“Hei.” Mendengar cewek di hadapannya mengeluarkan suara, Panji mengerjap-ngerjap.
“Hei. Gue Panji.” Katanya langsung sembari mengulurkan tangan.
“Aku Au. Audinna. Aku baru saja pindah rumah. Kemarin.” Ucapnya gugup. “Maaf, aku tidak bermaksud mendengarkan perdebatan kamu dan ayahmu. Aku hanya kebetulan sedang berada di luar. Maaf.” Mendengar rentetan kalimat Au, tawa Panji pecah. Ia bahkan sampai memukul-mukul stang motornya.
“Lo lucu.” Gumam Panji. Gimana enggak? Sudah pakaiannya nyentrik abis, gaya bicaranya juga aneh, baku bener.
“Emm, terimakasih?” ujarnya ragu.
“Lo mau ke luar?” Tanya Panji. Au mengangguk. Telunjuk Au bergerak menunjuk ke ujung jalan.
“Aku berencana untuk pergi ke supermarket.”
“Oke. Ayo!” Panji menyalakan mesin motornya. Bibirnya masih tertarik ke atas. Ia nggak bisa menahan senyumnya.
“Ayo?”
Panji mengeluarkan motornya dari halaman, lantas menunggu Au—yang tampak sangat ragu—untuk naik.
“Aku jalan kaki saja. Nanti merepotkan.”
“Duh, lo lama-lama kayak nenek gue. Tinggal naik aja ribet!” Au akhirnya naik, setelah dipelototi dan diteriaki Panji berkali-kali.
“Eh, supermarketnya di sana, Panji!” teriak Au sembari mencolek pundak Panji, saat motor merah Panji melewati supermarket.
“Kata siapa kita mau ke supermarket itu? Gue mau bawa lo ke supermarket yang sepuluh kilo meter dari sini.” Panji balas berteriak. Ia kemudian terkekeh lagi ketika melirik spion dan mendapati wajah cantik Au berubah panik.
“Tapi aku tidak mengenakan helm. Bagaimana jika nanti kita ditangkap polisi?”
“Cuma nenek-nenek lima puluh tahun yang mikir begitu.”
Panji baru menghentikan motornya tepat di depan sebuah supermarket besar yang berada tepat di seberang taman. “Gue tunggu lo di taman itu, ya?” ujar Panji yang disambut dengan anggukan patah-patah Au. “Oh iya, gue titip minuman. Apa aja. Terserah lo.”
Lima belas menit kemudian Au keluar dengan dua kantong kresek besar. Setelah sampai di hadapan Panji—yang sedang duduk santai di gazebo taman—Au menyodorkan sebotol air mineral.
“Seriously? Lo belanja kayak ibu-ibu belanja bulanan, dan lo cuma beliin gue air putih? Uang lo nggak cukup atau gimana, sih?” Panji mengomel.
“Maaf, tetapi kata ibuku, cuaca panas dan berpolusi di Jakarta membuat kita harus memperbanyak minum air putih. Jika kamu keberatan, aku bisa kembali lagi ke supermarket.”
“Lo umur berapa, sih? Gaya bicaralo kayak nenek-nenek lima puluh tahun, tapi sikaplo kayak anak umur lima tahun yang masih aja percaya kata-kata ibunya.” Cerocos Panji sembari membuka tutup botol air mineral. “But, mukalo kelihatan masih remaja. Membingungkan.” Au duduk di sebelah Panji.
“Tujuh belas.”
“Oh ya? Sama dong! Lo sekolah di mana?”
“Homeschooling.” Panji mengangguk-angguk. Pantas aneh, pasti ia jarang bersosialisasi, pikirnya.
“Yang lo dengar tadi, suara bokap gue. Lo bakal sering dengar dia ngomel kayak tadi. Dari awal masuk SMA, dia terus desak gue buat masuk teknik di Universitas Indonesia. Sekarang, karena gue udah kelas tiga, dia semakin menggila.” Panji menghentikan kalimatnya, berpikir, kenapa ia menceritakan hal itu pada Au?
“Aku juga berencana untuk kembali mendaftar kedokteran Universitas Indonesia tahun ini.” Ujar Au. Panji memiringkan kepalanya.
“Kembali?”
“Ya, tahun lalu, setelah mengikuti ujian paket C, aku menjoba peruntungan mendaftar kedokteran di sana, namun tidak berhasil.” Jelas Au. Ia menggerakkan tangannya ke atas, membetulkan kuncirannya. “Ah, bagaimana jika kita belajar bersama? Mungkin bisa menjadi lebih efektif. Karena punya teman seperjuangan.”
Panji mangut-mangut, tanpa berpikir dua kali, langsung mengangguk. Menurutnya Au perempuan yang menyenangkan. Dilihat-lihat wajahnya juga manis, dengan tahi lalat kecil di hidungnya dan dua lesung pipit mungil di pipinya. Lumayan, kan, setelah bosan melihat tumpukan materi pelajaran, ia bisa cuci mata.
Sejak saat itu, Panji dan Au sering belajar bersama. Hampir setiap hari, kecuali kalau Panji sedang ada janji main bola bareng temannya, atau ada tugas super banyak yang nggak bisa ditinggal, atau Panji punya janji nongkrong dengan teman-temannya, atau Panji malas belajar, dan atau atau yang lainnya.
Panji suka belajar dengan Au. Au pandai pelajaran eksak, dan Panji selalu membantu Au untuk urusan soal kemampuan dasar, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, karena entah kenapa tanpa perlu latihan begitu banyak, Panji dapat dengan mudah mengerti hampir semua soal-soal kemampuan dasar itu.
Belajar bagi Panji nggak lagi menjadi momok menyeramkan. Terkadang mereka belajar di rumah Panji, bahkan beberapa kali Au ikut makan malam bersama keluarga Panji. Panji suka gaya bicara Au yang baku itu. Panji suka keberanian dan kenyamanan yang dimiliki Au saat ia memutuskan mengenakan pakaian super nyentrik tanpa peduli pandangan orang lain. Panji suka tawa renyah Au. Panji suka ketika Au melemparkan lelucon yang terkadang sama sekali tidak lucu. Entah sejak kapan, Panji suka semua tentang Au.
***
“Aku boleh nanya sesuatu nggak, Au?” Panji memulai percakapan sore itu. SBMPTN sudah berlalu, sekarang sudah H-10 menuju pengumumannya. Namun, Panji masih sering main ke rumah Au, sekedar duduk mengobrol, atau menonton film, atau kadang Panji mengajak Au ke luar.
Au merasa jantungnya berdetak cepat sekali, cukup cepat sampai membuatnya sesak napas. Karena tiba-tiba Panji menggunakan kata ‘aku’ dan wajah Panji kelihatan serius. Au nggak tahu apa ia benar-benar mencintai Panji atau hanya karena Panji adalah satu-satunya laki-laki yang pernah dekat dengannya dan Panji sangat baik kepadanya.Tapi, belakangan ini ia selalu gugup saat pandangannya bertumbukan dengan milik Panji. Saat Panji mendekatkan wajahnya dan saat Panji menyentuh dirinya.
Au mengangguk. Jeda cukup lama sebelum Panji buka suara.
“Aku pernah emm…, lihat kamu kubur sesuatu di halaman belakang. Emm, itu kuburan siapa.., emm maksudku, apa. Mungkin kucing kamu.., atau ikan…, atau..,?” Au menganga. Sirna sudah harapannya. Ia memaksakan sebersit senyuman.
“Ayo!” ia bangkit dari duduknya, mengajak Panji berjalan ke halaman belakang rumahnya. Panji bergidik ngeri saat melihat beberapa gundukan dengan nisan di atasnya.
“Ini adalah kuburan target-targetku yang gagal.”
“Hah?”
Au menunjuk salah satu kuburan yang berada di paling ujung kiri. “Itu, kuburan targetku lulus kedokteran UI tahun lalu, kupindahkan dari rumah kami yang lama. Lalu yang di sebelahnya, kuburan targetku menerbitkan novel sebelum usia tujuh belas tahun. Ada juga kuburan targetku menurunkan berat badan lima kilo.” Wajah Au berubah merah. Seharusnya ia nggak mengatakan bagian itu, sekarang Panji pasti menganggapnya gendut.
Panji malah tertawa mendengarkan penjelasan Au.
“Kamu unik. Aku sempat mikir, kamu itu pshyco yang hobi mutilasi orang dan menguburnya di halaman belakang.”
“Unik adalah bahasa halus untuk mengatakan aneh, bukan?”
Panji terkekeh. “Ya. Unique and weird. But I like it.”
Au bisa merasakan getaran yang menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasa nyaman. Dan kali ini ia benar-benar yakin, ia sudah jatuh cinta pada Panji.
***
“Au, ayo!” Panji berteriak dari luar rumah. Ia rapi sekali hari ini, meski hanya mengenakan kemeja dan celana panjang. Au balas berteriak dari dalam rumah. Hari ini, mereka akan pergi makan malam, merayakan kelulusan mereka di kampus yang sama. Usaha mereka selama beberapa bulan ini membuahkan hasil yang sangat manis.
Ia mengambil selembar kertas yang sudah ia tulis sejak semalam. Lalu melihat pantulan dirinya di cermin. Sudah cantik. Kemudian ia berjalan ke halaman belakang, memandangi lubang yang sudah ia siapkan sejak semalam. Au menggulung kertas tersebut, memberinya pita, dan membuangnya ke dalam lubang. Dengan gerakan cepat Au menutup lubang tersebut. Dan meletakkan sebuah batu di atasnya.
“Au!” Panji menyusul ke halaman belakang dan mendapati Au yang sudah mengenakan mini dress merah, sneakers hijau, dan syal biru, rambutnya dikuncir setengah. Di mata Panji, penampilan Au terlihat manis. Nyentrik, tapi manis. “Mengubur apa?” tanyanya heran. Bukannya target Au untuk masuk kedokteran sudah tercapai? Kenapa ia malah menguburkan sesuatu?
“Bukan apa-apa.” Ia lalu berlari ke arah Panji, tersenyum lebar. Mereka berdua berjalan meninggalkan halaman belakang, juga selembar kertas yang tadi Au kubur, bertuliskan:
“Menjadi pacar Panji sebelum pengumuman kelulusan.”
***
Ceritanya ringan, tapi seru. Good job!