PROLOG
1 minggu sebelumnya
Namaku Imar, pelajar kelas 3 di SMA Pelajar. Sebuah SMA swasta di kota Surabaya. Sebenarnya belum resmi kelas 3, karena tahun ajaran baru masih seminggu lagi. Tapi masak iya aku harus menyebutnya dengan kelas 2 lebih atau kelas 3 kurang dikit?.
Bagiku pagi hari adalah waktu yang paling tepat untuk memulai segala sesuatu. Dan disinilah aku, sejak jam 8 pagi tadi di lapangan basket SMA Pelajar. Bersama seluruh anggota tim cheerleader. Seluruhnya kecuali satu orang. Entah dimana si Hany. Padahal waktu kami berempat menyusul ke rumahnya, mamanya bilang sudah berangkat dengan pak sopir jam 7 tadi. Dimana dia? Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi pada sahabatku itu.
Untungnya aku sudah terbiasa mengurus segala tetek bengek latihan kalau Hany ataupun bu Erna -penanggung jawab tim cheerleader- berhalangan hadir. Kami harus berlatih keras untuk bisa mempertahankan gelar juara yang kami dapatkan tahun lalu. Pemanasan, latihan beban yang ‘ringan-ringan’ sudah kami lakukan. Mungkin banyak yang meremehkan cheerleader, tapi kalau yang belum pernah sekalipun ikut latihan kami, aku pastikan di akhir latihan dia akan nangis-nangis. Bisa dicoba anak basket atau sepakbola itu ke sini. Kusuruh split atau gerakan scorpion pasti nangis mereka. Dan seketika aku meringis menahan tawa saat membayangkan mereka menangis.
“Kenapa Mar? Ada yang lucu?” tegur Yessy sambil menyenggol lenganku.
“Tidak, tidak. Tidak ada apa-apa kok” sahutku sambil berusaha mengendalikan diriku. Aku harus tenang. Bagaimanapun, aku adalah wakil ketua. Sang ‘Tangan Kanan’ yang harus tenang dalam segala hal.
Dari kejauhan aku melihat Hani berjalan menuju lapangan basket, entah kenapa wajahnya ditekuk sedemikian rupa. Tak terlihat sama sekali keceriaan yang biasa. Ada apa ya?
“Met pagi temen-temen!” sapa Hani sambil melambaikan tangan.
“Siang kali..., sekarang sudah jam bera...aduh” Atun belum sempat menyelesaikan kalimatnya karena keburu kutimpuk pakai peluit. “Apaan sih Mar?”sungut Atun.
“Liat sikon dong Atun...” kataku sambil menempelkan telunjukku ke mulut, menyuruhnya untuk diam.
“Maaf semuanya. Ada pengumuman penting yang akan kusampaikan” Hani berkata sambil menunduk dan memainkan ujung jaketnya. “Mulai hari ini, aku mundur dari tim” lanjutnya. Ucapan terakhirnya sukses membuat seluruh anggota cheerleader melongo. Aku bahkan mengira kalau telingaku sudah rusak.
“Apa?” kataku akhirnya setelah beberapa saat keheningan itu mencekam kami. “Benarkah yang didengar oleh telingaku ini?” lanjutku lagi. Dan dibalas dengan anggukan pelan oleh Hany.
“Semuanya, latihan hari ini kita sudahi dulu. Untuk jadwal latihan selanjutnya akan kita kabari lagi lewat ‘WA’ grup” kataku. Tanpa menunggu mereka membubarkan diri, aku segera menarik tangan Hany menuju ke sebuah kelas kosong dekat lapangan basket. Tak ketinggalan Wida, Atun dan Yessy segera mengikuti langkah kami berdua.
Bingung, gelisah, marah bahkan takut, campur aduk menjadi satu dalam pikiranku. Dan kuyakin itu juga yang saat ini ada di pikiran ketiga temanku yang lain.
“Ada apa ini Han?” tuturku pelan. Berusaha sebisa mungkin untuk menyembunyikan kekalutanku. “Kau sadar dengan akibat-akibatnya?” lanjutku lagi.
“Ya, aku sadar” kata Hany sambil menganggukkan kepala dengan pelan.
“Tidak. Pasti kau tidak sadar!” seruku. “Sudah kau pikirkan bagaimana ngomong ke bu Erna?, bagaimana nasib beasiswa kita nanti?, dan juga HIWAY?” entah mengapa kesabaranku raib begitu saja. Mungkin melihat keragu-raguan Hany terhadap masalah penting seperti ini.
“Sabar Mar, kita dengarkan dulu penjelasan Hany” sambil berkata Yessy memberikan isyarat pada Hany untuk berbicara.
“Aku akan ikut ekskul futsal, dan aku harap kalian juga ikut bergabung denganku” jawab Hany dengan percaya diri. Sepertinya ucapan Yessy telah menghilangkan keragu-raguannya.
“Eh, kau bisa bermain futsal Han?” tanya Atun.
“Tidak. Eh, belum” jawab Hany.
“Kau tahu aturan di sekolah ini kan?” kataku. “Hanya juara yang bisa dapat beasiswa untuk kuliah. Bagimu pasti sangat mudah untuk kuliah tanpa beasiswa. Tapi bagiku...mungkin itu adalah satu-satunya cara agar aku bisa meneruskan sekolah” lanjutku.
“Sepertinya akan sulit untuk bisa juara futsal tahun ini” Wida menambahkan. “Waktunya terlalu mepet”
“Akan sangat sulit sekali..., tapi bukan suatu hal yang mustahil” tiba-tiba suara seorang anak laki-laki muncul dan mengagetkan kami semua. Kecuali Hany. Dia tersenyum seolah sudah menantikannya. “Perkenalkan aku Andy. Manajer tim futsal cowok” anak itu masuk ke kelas dan menghampiri kami. Badannya agak kurus dan memakai kacamata. Anak seperti itu bisa main sepakbola?.
Seolah tahu akan keraguanku, anak itu menjawab dengan mimik muka serius “Aku memang tidak bisa main sepakbola, tetapi aku memahami sepakbola”.
“Andy akan membantu kita. Tadi pagi aku pergi ke rumahnya dan minta bantuannya” kata Hany.
“Kebanyakan pemain futsal di kompetisi tingkat sekolah juga merupakan pemain sepakbola. Dan kebanyakan sejak SD mereka sudah ikut klub sepakbola yang jumlahnya sangat banyak di kota Pahlawan ini. Jadi, tingkat persaingannya sangat tinggi” Andy berbicara sambil berjalan hilir mudik di depan kami. “Tapi itu untuk cowok. Kalau cewek, kalian tentu lebih tahu bahwa ekskul lain seperti cheerleader dan paskibra tentu lebih menarik bagi mereka. Jadi, tingkat persaingannya tentu juga lebih rendah” kali ini sambil tersenyum lebar.
“Stop ceramahnya, aku gak butuh!” kataku dengan ketus. “Alasanmu keluar juga belum kau jawab Han!”. Lanjutku sambil memandang tajam ke Hany.
“Aku tidak ingin membahas itu sekarang” jawab Hany.
“Terus kapan kau ingin membahasnya?” buruku.
“Yang pasti bukan sekarang” elak Hany lagi. Entah apa yang disembunyikannya.
“Kalau begitu pikirkan dulu kapan kau mau ngomong. Aku mau pulang” kesabaranku sudah benar-benar habis. Dan tanpa menunggu lagi aku langsung keluar kelas. Tak kuhiraukan sama sekali panggilan-panggilan mereka.
#####
Bagiku, tempat terbaik untuk berlibur adalah pulau Lombok!.
Sekarang aku percaya dengan film yang kulihat awal tahun ini. Judulnya kalau tidak salah ‘Jangan Pergi ke Lombok, nanti tak mau pulang’. Gara-gara film itu aku jadi kepingin banget pergi ke Lombok. Dan terkadang, saat kau begitu menginginkan sesuatu, maka keajaiban pun akan mendekati. Tim cheerleader yang kulatih berhasil menjuarai kompetisi cheerleader se-Jawa Timur. Dari uang hadiah yang kudapat dari sekolah dan ditambah sedikit dari tabunganku, maka disinilah aku dengan suamiku. Menunggu datangnya sunset di pantai Senggigi ditemani oleh seporsi Ayam Taliwang bakar, dua piring nasi hangat, semangkuk besar Beberuk Terong1) dan dua gelas Es Wedang Lombok. Kuliner disini memang sangat memanjakan kami berdua yang memang penyuka pedas.
Tahun depan, kalau murid-muridku menang lagi (dan aku yakin itu) aku akan kesini lagi. Khusus untuk menaklukkan gunung itu. Dan akupun tersenyum sambil memandang ke arah dimana terdapat Gunung Rinjani.
Tiba-tiba telepon genggamku bergetar sekali. Sebuah pesan WA masuk. Kubuka dan kubaca pesan tersebut. Dari salah seorang murid anggota cheerleader. Isi pesannya sangat singkat, namun ada yang ditulis dengan huruf besar semua. Dan itulah yang merusak liburanku!.
‘Bu Erna, maaf mengganggu liburannya. Tapi ini sangat penting. HANY KELUAR DARI TIM!’.
1) Beberuk Terong : Sejenis lalapan khas Lombok yang terbuat dari terong dan kacang panjang serta sambal tomat yang pedas.