Malam itu terasa lebih dingin, menusuk tulang hingga membuatnya menggigil. Dalam suasana gelap gulita, gadis kecil itu tersungut di bawah meja makan di hadapan sebuah kursi kayu yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia gemetaran, memeluk lutut dan berpandangan ketakutan, seraya monster itu mendekat ke arahnya.
Langkah kaki itu berderap nyaring, si gadis kecil semakin memojokkan dirinya ke dalam, harap-harap cemas akan apa yang mungkin ia lihat nanti. Gaun tidur berwarna putihnya telah basah, begitu juga rambut hitam bergelombangnya yang ikut lepeh karena bermandikan keringat dingin yang tidak henti-hentinya mengucur. Napasnya memburu bagai di kejar beruang kelaparan. Wajah mungil itu pucat pasi, sementara apa yang ia takutkan kini hanya berjarak sejengkal dengan tubuhnya yang meringkuk.
“Wulan sayang... Wulan di mana nak? Main sama ayah yuk, ayah ada mainan baru nih buat Wulan.”
Gadis kecil bernama Wulan itu menggeleng cepat, tubuh kecilnya kian menegang, lututnya semakin ia rapatkan di depan dadanya. Membungkam mulutnya seketika bahkan menahan hembusan napasnya. Untuk saat ini, bersuara adalah sebuah petaka. Dia takut ketahuan, gadis kecil itu semakin mundur dan mundur. Dia terlalu panik, sampai tidak sadar bahwa dia sudah berada di sisi lain meja dan tanpa sengaja membuat suara kursi yang lain berderat.
Oh Tidak.... tubuhnya gemetaran hebat tak kuasa menahan ketakutan yang merajam dirinya.
Monster di depannya berhenti melakukan pergerakan, tidak begerak sama sekali. Sontak mata Wulan membelo dan mengerjap-erjap. Apa dia ketahuan? Kepanikannya semakin bertambah saat kaki-kaki itu tetap tidak melanjutkan langkahnya dalam sepersekian detik, ia ingin menutup mata, tapi rasa takutnya melarang melakukan hal yang sedemikian. Dia takut tidak akan bisa menatap dunia lagi saat ia membuka mata.
Tuhan... apa yang harus Wulan lakukan? Tolong bantu Wulan ya Tuhan...
Wulan sudah pasrah dengan kejadian terburuk yang mungkin akan menimpanya. Berharap bahwa Tuhan membantunya sedikit saja. Setidaknya bantu dia untuk melenyapkan monster itu. Seingat Wulan, gadis kecil itu tidak pernah melakukan dosa besar. Satu-satunya dosa yang Wulan ingat adalah dosa karena berbohong pada sang ayah, tentang nilai ulangan matematikanya yang turun drastis. Wulan tahu, Ayahnya tidak pernah mendidiknya untuk menjadi seorang pembohong, apalagi pendosa. Dan Wulan berharap, kebohongan yang ia lakukan waktu itu tidak berpengaruh pada pertolongan Tuhan yang sangat ia butuhkan saat ini.
Jantung Wulan berdegup semakin kencang, saat monster di depan sana kembali meneruskan langkah jenjangnya yang mengerikan. Menjauhi meja makan, Wulan menggigit bibir bawahnya bingung, bertanya-tanya dalam hati mungkinkah pertolongan Tuhan benar-benar datang dan telah tiba?
Wulan celingukan, ia kembali membuang napas lega saat kaki-kaki itu sudah tidak lagi berada di depannya. Sedikit lega saat mungkin saja, Tuhan masih menyisakan rasa sayangnya untuk Wulan.
Terima kasih Tuhan....
Gadis kecil itu menunduk, ujung-ujung bibirnya sedikit terangkat. Dan ia kembali mengatur napasnya. Monster itu telah pergi. Monster yang membuatnya ketakutan setengah mati.
Saat Wulan kembali ingin mengambil napas, sesuatu yang aneh ia rasakan di sekitar tengkuk sisi kirinya, seperti helaan napas dan seseorang yang sedang tersenyum menyeringai.
Jantung Wulan berdetak semakin kencang, tak beraturan, matanya semakin membelalak. Ia telah di bodohi...
Namun napasnya tak lagi memenuhi rongga hidungnya. Dia takut bergerak, takut berlari bahkan tak sanggup bernapas seperti apa yang ia lakukan beberapa menit yang lalu.
“Di sini ternyata anak kesayangan ayah...”
***