Aku senang karena ada bunga putih di bawah kakiku
Mungkin ada yang tajam,
tapi aku masih bisa meraihnya dengan tanganku
*****
Kingdom Come
Waktu terus berjalan, namun tak kunjung berhenti. April melihat jam dinding yang terletak di samping kanan papan tulis kelasnya. Masih pukul satu siang lebih lima belas menit. April menghembuskan napas dengan kasar.
“Kamu kenapa?” Anti menyenggol tangannya.
“Entahlah, aku hanya ingin segera pulang. Pelajaran Ekonomi ini sedikit membosankan.” keluh April sambil meletakkan kepalanya di meja.
“By the way, bagaimana perasaanmu?” tanya Anti jahil sambil terus menyenggol badan April.
“Sudah kubilang, aku bosan.” sahut April sekenanya. Matanya terpejam. Anti yang duduk disampingnya spontan menggeleng – gelengkan kepalanya.
“Benarkah? Secepat itu kamu bosan dengan Dana?” Anti menyejajarkan kepalanya dengan April. Yang ditanya spontan mengangkat kepalanya.
“Kamu ini bicara apa? Aku tidak mengerti, sungguh!” April mendengus. Matanya menatap Anti tajam.
“Lucu, ya, bagaimana kamu tidak memahami perasaanmu sendiri. Baiklah, tidak jadi kubahas. Tunggu saja. Kemarin aku sudah bilang akan membantumu, kan? Aku tidak bercanda. Ah, kamu lucu sekali!”
Anti mencubit pipi April, sementara gadis itu masih membeku. ia masih mencoba mencerna kata – kata yang baru saja keluar dari mulut teman sebangkunya itu. Yang terjadi selanjutnya, Anti lah yang kini meletakkan kepalanya, tidur.
“Hei!!!” April kemudian mengguncang tubuh Anti, dengan suara yang dipelankan tentunya mengingat masih ada Bu Heni yang sibuk mengisi papan tulis dengan rumus ekonomi yang memecahkan kepala.
“Apa lagi? Ah, kamu juga pasti senang bisa sebangku dengannya tadi. Tanpa aku melihatmu sekarang, aku yakin pipimu pasti memerah!” Anti cekikikan dalam posisi tidurnya.
Baiklah, aku kalah.
*****
Bel pulang sudah berbunyi 6 menit yang lalu. Beberapa teman April sudah pulang sedari tadi. Hanya menyisakan beberapa spesies yang cinta sekolah. Ada yang memang malas pulang ke rumah, masih kerja kelompok, sekedar mengobrol, atau mencari WiFi gratis, atau juga seperti April yang terpaksa masih berada di dalam kelas karena ia tak bisa menghubungi nomor ibunya.
“Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silahkan hubungi beberapa saat lagi...” itulah jawaban yang April terima sedari tadi.
“Ck!” ia mendecak sebal. Pertanyaannya sekarang, bagaimana ia akan pulang?
“Hei, kamu kenapa? Tidak biasanya kamu belum pulang.” Anti tiba – tiba datang mengagetkannya. Padahal April ingat betul kalau beberapa menit yang lalu Anti berpamitan pulang padanya.
“Kamu sendiri kenapa kembali kesini lagi?” bukannya menjawab, April malah balik bertanya.
“Ah, ada bukuku yang ketinggalan.” Anti lalu merogoh ke dalam laci mejanya dan mengambil buku dengan sampul biru muda bergambar gunung Fuji.
April kembali mengecek ponselnya. Pesan untuk ibunya bahkan juga belum terkirim.
“Kamu kenapa, sih?” Anti masih menyerang April dengan pertanyaan yang sama. April kemudian menunjukkan ponselnya pada Anti.
“Aku tidak bisa menghubungi ibuku. Aku bingung harus bagaimana sekarang. Apa aku jalan kaki saja, ya?” ucap April yang terlihat sudah putus asa.
“Bukannya setiap hari kamu memang jalan kaki?” tanya Anti heran.
“Ah, iya juga. Tapi, maksudku Septi masih ada tugas kelompok hari ini. Apa aku harus pulang jalan kaki sendirian?” jelas April. Gadis itu kemudian menunduk.
Anti terdiam sejenak. Ia terlihat berpikir keras. Sementara kelas mulai terasa semakin hening. Beberapa teman mereka yang tinggal kini juga memutuskan untuk pulang karea mendung tampak menggelayut di langit. Angin semilir yang berhembus membuat hawa semakin dingin.
Tak lama kemudian April bangkit. Anti yang kaget ikut – ikutan berdiri.
“Aku pulang kaki saja. Sampai jumpa.” April melangkahkan kaki keluar kelas, tangannya melambai ke arah Anti yang belum beranjak dari posisi semula.
“Dana!!” teriakan Anti menghentikan langkah April. Tanpa sadar gadis itu kemudian termangu di dekat pintu masuk. Yang dipanggil kemudian juga diam.
Anti perlahan membalikkan badannya lalu menatap bingung Anti yang melangkah santai mendekat ke bangku Dana. Terlihat jelas bahwa pemuda itu juga tengah bersiap pulang dengan tas hitam di pundaknya.
Apa yang Anti lakukan?
Anti terlibat percakapan kecil dengan Dana sambil sesekali melirik ke arah April.
Apa? April menatap Anti dengan tatapan aneh. Anti hanya tersenyum kecil.
Entahlah. Bukan urusanku juga.
April lalu melanjutkan langkahnya, pulang, ketika ia mendengar suara pemuda itu memanggil namanya.
“April!” Dana berlari kecil ke arahnya diikuti Anti di belakang pemuda itu.
Gadis itu pun berhenti. Kini ia menatap pemuda bermata cokelat itu dengan tatapan tidak percaya. Tangan April bahkan terasa semakin dingin.
Sial!
“Kamu akan pulang bersama Dana. Baiklah, aku pulang dulu!” ucapan Anti seketika membuyarkan lamunan April. Temannya itu lalu berlari menuju halte depan. Ya, ibunya pasti sudah menunggu sedari tadi.
“Ayo pulang?” kali ini giliran Dana yang membuat April tercengang.
Benar juga. April melongok keluar. Sekeliling sudah mulai gelap. Awan mendung membentuk kanopi yang semakin rendah, siap untuk tumpah. Bahkan beberapa detik berikutnya gerimis mulai turun membasahi pelataran kelas mereka.
“Ayo.” April menjawab singkat. Gadis itu kemudian mengikuti Dana yang melangkah di depannya. Sementara di belakang mereka, terlihat sosok Handi yang berdiri di samping pintu, menatap mereka dengan sedih.
*****
Jalanan rumah April terlihat lengang. Hanya ada beberapa kendaraan yang berlalu – lalang. Dana menghentikan motornya ketika mereka sampai di depan gerbang rumah April.
“Terima kash, Dana” ucap April sambil tersenyum kecil. Pemuda di depannya hanya mengangguk pelan dan membalas senyumannya.
“Ah, aku hampir lupa,” April kemudian melepas jaket Dana yang dipinjamkan kepadanya tadi karena gerimis menderas.
“Ini,” tangannya menyodorkan jaket berwarna hitam itu kepada Dana. Tanpa sengaja tangan mereka bersentuhan.
Dingin.
Sensasi aneh ini kembali dirasakan April. Hatinya mencelos ketika lintasan waktu itu kembali memenuhi ruangan di otaknya.
“Apa kamu mau mampir dulu?” gadis itu menawarkan Dana untuk tinggal sebentar. Setidaknya, April bisa membuatkan secangkir teh untuk menghangatkan badan.
“Aku langsung pulang saja.” Sahut pemuda yang masih sibuk memakai jaketnya kembali.
Baiklah, hati – hati.
Drrtt... Drrtt..
Ada sms masuk. April mencoba mengambil benda mungil itu dari dalam saku roknya.
“Ibu,”
“Apa?” fokus Dana kini beralih pada April yang sibuk dengan handphonenya.
Menyadari Dana memperhatikannya, April jadi salah tingkah. Ia buru – buru mengetik pesan balasan untuk ibunya dan sedetik kemudian menekan tombol send.
“Maksudku, tadi pesan dari ibuku. Ibu sedang membersihkan rumah nenek bersama adik – adikku.” entah kenapa April merasa sedikit grogi berbicara berdua dengan Dana.
“Oh, kukira kenapa. Aku pulang dulu ya, salam untuk keluargamu.” tukas Dana. Pemuda itu mengulum senyum.
Dana sudah bersiap menyalakan mesin motornya saat pertanyaan aneh itu meluncur begitu saja dari bibir laknat April.
“Apa kamu sudah punya pacar?”
Ah, kenapa pula aku menanyakan hal bodoh ini?!
“Belum, memangnya kenapa?” pemuda itu terlihat kaget juga atas ucapan gadis berambut panjang dihadapannya ini.
“Uhm, tapi kurasa seseorang dengan pakaian serba putih mengikuti kita sepanjang perjalanan tadi.” April mencoba menjelaskan hal ini kepada Dana dengan hati – hati. Ia bahkan mendadak merasa gugup dan takut saat ini.
“Mungkin itu hanya halusinasimu saja. Aku pulang dulu, ya. Bye.” dan dalam sekejap saja pemuda itu sudah hilang dari pandangan April.
Bayangan putih itu bahkan masih di sini, Dana.
Selain itu, ada sosok lain yang masih memantau keberadaan April. Seorang cowok di balik pohon Mahoni di seberang rumahnya.
*****
@Retha_Halim terima kasih :)
Comment on chapter My Walkways