“Sha, ntar bulan September ada lomba duet storytelling. Kita duet ya!”
“Plis Sha…bantu aku. Ini lombanya mepet banget. Kamu mau kan, duet sama aku?”
“Kita udah sama-sama dikecewain sama dia, Sha. Mending kalo ada lomba duet storytelling, kamu duet sama aku aja, gimana?”
“Kapan ya, kita bisa duet stortell? Aku mau banget lho duet sama kamu Sha.”
~
Namaku Aisha Nabilah. Sejak dulu, aku mencintai dunia dongeng. Mungkin, Karena ummi sering membacakan dongeng sebelum tidur untukku. Cerita favoritku, adalah “Dulu, ada dua kambing.Yang satu besaar, yang satu lagi keeciil…. Mereka, mau makan rumput, taapi, rumputnya haabis! Jadi, mereka mau cari rumput lagi” aku masih ingat setiap detail ekspresi ummi saat bercerita ‘dua kambing’. Ummi merentangkan tangannya lebar-lebar untuk memperagakan kata ‘besar’ dan mengintip dibalik sela-sela jari untuk memperagakan kata ‘kecil’. Nada yang sangat kecewa mengiringi kata ‘habis’.
Aku selalu antusias dan tak pernah bosan dengan cerita itu. Aku meniru pula seluruh gerak-gerik pembawaan cerita ummi. Cerita itu pula yang aku bawakan pada lomba bercerita pertamaku sewaktu TK. Saat itu, aku mendapatkan juara dua di sekolah. Rasa percaya diriku mulai tumbuh dan memotivasiku untuk ikut dalam lomba bercerita di jenjang yang lebih tinggi.
Ihsan. Teman baikku di bidang ini. Kami sama-sama berjuang dalam lomba bercerita tingkat SD. Meski waktu itu kami harus berpisah karena hanya aku yang mendapat juara di tingkat kota, dia tetap teman yang menyenangkan. Aku terus melanjutkan lomba sampai diamanahkan mewakili provinsi ke tingkat nasional.
Tapi, takdir berkata lain. Panitia menutup cabang lomba bercerita di tingkat nasional dengan alasan kekurangan dana. Musibah ini cukup mengejutkanku. Jika dipikir dari hanya sisi materi, jelas aku rugi besar. Sudah banyak kelas yang kutinggalkan untuk persiapan tingkat nasional. Aku harus berjuang lebih keras daripada teman-temanku untuk mengejar pelajaran. Dadaku sempat sesak mendengar kabar ini. Namun ummi selalu meyakinkanku bahwa Allah akan mengganti semuanya dengan yang lebih baik.
Pak Agus, guru pembimbingku memperkenalkan aku pada dunia storytelling. Beliau bilang, storytelling adalah bercerita, tapi menggunakan Bahasa Inggris. Awalnya aku merasa sangat ragu. Bahkan ingin menolak begitu saja penawaran ini. Bahasa Inggrisku masih sangat berantakan. Tapi lagi-lagi ummi meyakinkanku untuk mengambil tawaran itu. Dan memang, jika dipikir-pikir sekarang, aku yakin aku akan sangat menyesal apabila waktu itu menolaknya.
Di dunia storytelling ini aku mengenal Kak Dimas. Beliau kakak kelasku saat SMP yang berpengalaman dibidang storytelling. Salutnya, meski waktu itu kami berlomba dalam kompetisi yang sama, beliau tidak pelit untuk berbagi ilmunya padaku. Alhasil, beliau mendapat juara pertama, dan aku juara kedua. Beliau telah menginspirasiku untuk turut menyalurkan ilmu storytelling ini pada adik kelasku yang juga berminat dibidang storytelling.
Di masa SMA ini aku menemukan tipe dunia storytelling yang baru dengan format duet. Saat itu, tak terbayang olehku bagaimana melakukan storytelling dengan duet. Apalagi mengingat nilai kerjasama di rapotku yang selalu ‘B’. Tapi aku sempat merasa sangat bahagia ketika aku mengira, aku dengan mudahnya sudah menemukan parner untuk storytellingku. Saat itu aku kira kami akan cocok.
Anindya. Dia yang pertama menawarkanku menjadi partnernya. Gayaku yang SKSD alias Sok Kenal Sok Dekat semasa MOS atau Masa Orientasi Siswa, membuat aku banyak menerima respon baik orang-orang. Ada yang langsung mengajakku sahabatan, ada yang membuntutiku kemanapun aku pergi, ada juga yang bilang begini…
“Sha, ntar bulan September ada lomba duet storytelling. Kita duet ya!”
Aku menyambut tawaran itu tentunya tanpa ragu. Anindya juga bercerita tentang Cica, partner duetnya saat dia SMP. Orang-orang juga bilang, Cica dan Anindya itu sama-sama gila. Makanya bisa klop. Dan mereka yakin aku juga gila. Jadi bisa klop sama Anindya. Aku terima pendapat orang-orang. Aku malah sangat berharap aku benar-benar gila. Sangat beruntung aku kalau dapat sahabat diawal masuk sekolah.
Tapi ternyata nggak begitu mudah. Kegilaan aku dan anindya beda tipe. Singkat cerita kitapun secara alami berpisah di kelompok pertemanan yang berbeda. Untungnya, dia masih menghormati aku walaupun mayoritas anggota gengnya punya budaya membully orang diluar geng. Alhasil, menjelang September yang ditawarkannya, iapun memilih orang lain untuk jadi pertnernya. Tanpa sepengetahuanku. Aku merasa dicambuk oleh keadaan. Mentok mentok, kalo mau husnudzan sih…
“mungkin dia lupa kalo pernah ngajak aku duet”
Tapi kata temenku yang pernah satu sekolah sama dia, dia emang seenaknya. Kalo udah ngga sreg ya, ditinggal. Ya mau bagaimana lagi? Aku harus tetap dinamis. Mesti langsung bangun setelah dijatuhkan. Aku harus cari parter baru. Aku mau ikut lomba ini! Sayangnya, teman teman yang udah pengalaman di storytelling udah punya partner semua.
Entah apa scenario Allah waktu itu, aku betul betul pasrah, berusaha ikhlas, dan ambil pelajaran kalo kita harus selalu punya rencana cadangan. Aku ngga mau nanti bernasib seperti ini lagi. Dimalam seleksi tingkat sekolah untuk menentukan siapa yang akan dikirim kelomba itu, aku ngga ikut seleksinya. Aku cerita panjang lebar ke ummiku, keluarin semua uneg-uneg ku dan mendeklarasikan kalo aku ngga bakal duet sama Anindya Karena dia ternyata ngga bisa jaga komitmen.
Ummiku terus mengingatkanku untuk hanya benci pada sifatnya dan tidak benci ke orangnya, namun hatiku yang sedang panas saat itu membuat aku terus mengutarakan berbagai alasan yang membenarkan sikapku dengan membenci orangnya. Astaghfirullah. Aku juga sempat menangis. Merasa di SMA ini aku tidak se-prestatif waktu SD dan SMP.
Namun, Allah sungguh Maha Kuasa. Dia selalu punya rencana yang lebih indah. H-3 lomba, Keisya datang ke asramaku sambil menangis. Dia cerita kalau dia sama Anindya akan mewakili sekolah karena lolos seleksi tingkat sekolah tempohari. Tapi sekarang, Anindya malah membatalkan rencana ikut lomba itu karena Anindya ingin ikut lomba teater. Keisya tidak tahu alasan pasti kenapa Anindya tega meninggalkannya begitu saja H-3 lomba hanya untuk teater, yang jelas bisa digantiin mendadak karena lebih banyak peminatnya daripada storytelling.
“Plis Sha…bantu aku. Ini lombanya mepet banget. Kamu mau kan, duet sama aku?”
Aku langsung minta naskahnya dan aku bilang ngga bisa waktu lihat naskahnya panjang banget. Apalagi, aku ngga pernah kebayang storytelling yang duet itu seperti apa. Setelah kasihan lihat Keisya yang semakin mewek, aku akhirnya setuju untuk jadi partnernya kalau ada bagian naskah yang dikurangi. Alhasil, kita edit ulang naskah itu, jadi lebih ringan untuk aku hafal dalam 3 hari.
Aku ngga pernah dekat sama Keisya sebelum ini. Chemistry yang kata orang penting banget buat performance juga pincang-pincang kami bangun. Aku sempat tidak percaya saat hari H diumumkan kalau aku dan Keisya masuk final. Tantangan paling berat saat babak final dengan ketentuan mendiskusikan cerita bersama partner hanya selama 5 menit untuk langsung ditempilkan dihadapan juri. Terlebih, kami dapat nomor tampil pertama.
Meski endingnya kami ngga dapet juara karena dibabakfinal ini memang betul-betul mengandalkan chemistry antara dua orang yang duet, tapi aku senang banget bisa dapat pengalaman. Setelah dipikir-pikir, kalau saja Anindya orangnya loyal sama komitmen, aku ngga bakal berkesempatan buat dapat pengalaman berharga ini. Hahaha…memang ada hikmah disetiap kejadian.
Ada temanku yang bernama Mumtazah. Dia juga pernah ngalamin ditinggalin sama Anindya. Seperti aku dan Keisya. Suatu hari, Mumtazah berkata padaku…
“Kita udah sama-sama dikecewain sama dia, Sha. Mending kalo ada lomba duet storytelling, kamu sama aku aja, gimana?”
Saat itu aku menyetujuinya. Meski aku masih belum terlalu dekat dengannya, aku harap kesamaan nasib kami bisa memudahkan kami membangun chemistry yang baik. Waktu begitu cepat berlalu, aku punya teman dekat yang juga menyukai dunia storytelling. Putri namanya. Kami sama-sama di jurusan IPS. Juga sama-sama ikut ekskul teater. Kalau kami saling bercerita tentang masa-masa SMP, kisah kami juga tak jauh berbeda. Pengalaman yang hampir sama itu membuat kami merasa menjadi teman seperjuangan yang senasib. Dia pernah bilang padaku ….
“Kapan ya, kita bisa duet stortell? Aku mau banget lho duet sama kamu Sha.”
Meskipun aku merasa bisa membangun chemistry yang lebih baik bersama Putri, aku ingat kalau aku sudah berjanji pada Mumtazah untuk jadi partnernya. Disuatu kesempatan, saat ada lomba duet storytelling, aku akhirnya menagih janji kami kepada Mumtazah
“Gimana Mum? Kita ikut duet ini yuk!”
Alhamdulillahnya, Mumtazah ternyata sudah terlanjur daftar lomba lain. Dia merasa lebih enjoy ikut lomba itu daripada lomba storytelling. Peluang aku dan Putri untuk duet akhirnya terbuka lebar. Aku dan Putri lolos seleksi tingkat sekolah dan sudah latihan sampai H-3 lomba. Tapi lagi-lagi, Allah punya rencana lain.
Sekolahku kehabisan kuota saat mendaftar cabang lomba storytelling, alhasil kami tidak jadi duet waktu itu. Aku yang sudah terlatih jatuh saat SD Karena tidak jadi lomba juga, berusaha memotivasi Putri yang nangis karna shock mendengar berita ini. Aku meyakinkan dia bahwa Allah pasti punya rencana yang lebih baik untuk prestasi kami, semoga saja.
Intinya, harapanku untuk 2017 nanti, semoga aku bisa menjadi partner duet yang baik untuk Putri dan semoga kita bisa sukses bersama. Aamiin.
Assalamualaikum, namaku Rumaisha Nabilah umurku 16 tahun. Aku lahir di Duri, 11 September 2000. Aku suka menulis cerpen, storytelling, bercerita, siaran di radio, membaca puisi, membuat film pendek, teater, main sepeda, badminton, pentas, menjadi mc formal, bertausiyah dan banyak lagi hal yang kusuka. Teman teman bisa menghubungiku di rumaishanabilah@yahoo.co.id