Benar saja, barusan Wulan keluar kamar sudah ada setengah tamu undangan yang datang, rata-rata teman sekelasnya. Buru-buru Wulan menyambutnya. Selain itu juga ada kelompok ijo lumut sedang duduk di halaman di samping kolam ikan. Cowok itu juga ada di sana.
Lalika berdiri di belakangnya, membawakan kado pemberian teman-teman dan menumpuknya di meja. Wulan berterima kasih pada sahabatnya itu yang membantu persiapan pesta ulang tahunnya. Di atas meja berdiri kue tart berhias bunga-bunga warna pink dengan nama Wulan Candraningsih di tengahnya dan lilin berbentuk angka 17.
“Cung!” suara itu.
“La, kutinggal bentar ya?” pinta Wulan pada teman-temannya.
Seseorang yang mengenakan kaos putih lengan pendek dengan tulisan THRASHER dipadu celana jins hitam melambaikan tangan. “Sini, Cung!”
Wulan, mengundang semua teman-teman sekelasnya termasuk Sayudha. Cowok paling Wulan benci di sekolah. Sayudha sering kali mengganggu Wulan. Memanggilnya dengan sebutan yang membuat telinga Wulan serasa terbakar. Dia benci panggilan itu. Membuat Wulan semakin kehilangan kepercayaan dirinya.
Dipanggil kurus, kerempeng, cungkring, papan penggilas cucian, tripek adalah hal biasa bagi Wulan. Sebenarnya, bukan keingingannya memiliki tubuh kurus. Wulan sudah rutin meminum sirup penambah nafsu makan tapi, belum juga membuahkan hasil. Jadi, siapa yang harus disalahkan?
Jika dilihat-lihat, Wulan itu cantik. Memiliki tahi lalat di sudut pipi kiri yang mempermanis senyumnya. Dia juga cerdas, peringkat 10 besar di kelas. Namun, sayang masalah berat badan membuat Wulan minder.
“Kamu cantik, pakai baju itu,” ucap Sayudha tulus.
“Ciyeee.” Terdengar keributan dari anak-anak kelompok ijo lumut.
“Udah izin belum sama abangnya?” Ilham menyenggol lengan Sayudha.
Otomatis mata Wulan beralih ke Wahyu. Sebelum mengalihkan pandangan, Wulan melihat sekilas sepasang mata yang tengah menatapnya tajam. Cowok itu duduk tepat di sebelah Wahyu.
Deg!
Dada Wulan bergemuruh.
“Apa Arjuna sedang menatapku?”
Arjuna sangat jauh dari jangkauan. Wulan tidak pernah bertegur sapa, malah rasanya dia tak terlihat di mata Arjuna.
Cepat Wulan mengalihkan pandangan, kembali menatap Sayudha yang terkekeh jahil.
“Gimana Yu, restuin gak nih Upil jadi adik iparmu?” tanya Ilham kepada Wahyu.
“Terserah aja asal suka,” ujar Wahyu.
Bersamaan hal itu, papanya memanggil Wulan.
“Wulan, sini!”
Tanpa membuang waktu, Wulan berjalan menghampiri papanya meninggalkan kerumunan kelompok ijo lumut. Papa Wupan menariknya berdiri di sisi mamanya. Tak henti-hentinya Wulan mengedarkan pandangan sambil melempar senyum pada tamu undangan yang telah memberinya ucapan.
“Terima kasih atas kesediannya yang telah meluangkan waktu untuk menghadiri ulang tahun anak saya. Hari ini Wulan Candraningsih ulang tahun yang ke tujuh belas. Hari ini Wulan telah memasuki gerbang kedewasaan. Semoga momen ini mengawali Wulan menjadi dewasa dan lebih baik lagi. Aamiin.”
Teman-teman mengaminkan semua ucapan papa Wulan.
Satu jam acara berlangsung, usai memberikan sambutan, dilanjutkan dengan pemotongan kue yang diiringi dengan lagu selamat ulang tahun, setelah itu foto bersama. Kelompok ijo lumut meminta foto bersama Wulan. Sayudha menarik Wulan. Jarak mereka sangat dekat bahkan Wulan dapat melihat titik-titik kecil warna hitam di wajah Sayudha. Tiba-tiba Wulan berdiri kaku, di sampingnya Arjuna memasang wajah tersenyum menatap Chiko yang menjadi juru kamera dadakan.
Terakhir mereka mencicipi hidangan bersama. Pesta dinyatakan berakhir.
***
Wulan telah menanggalkan gaun soft blue yang dikenakan pada pesta ulang tahunnya. Dia sudah menggantinya dengan kaos orange lengan pendek dengan gambar Umaru. Berhubung besok hari minggu Wulan merasa tidak masalah jika tidur agak larut malam. Matanya kembali terpusat pada kotak paling kecil dibungkus kertas merah jambu.
Kedua keningnya berkerut rapat. Wulan mengocok kotak kecil itu di dekat telinganya. Tak terdengar apa-apa. Wulan tidak dapat menebak isinya.
Setelah putus asa, Wulan menyobek bungkusnya. Wulan langsung membuka penutup kotaknya.
Cincin!
Sepasang matanya terbuka lebar dengan mulut menganga. Ketika Wulan baru mau meletakkan cincin itu ke dalam kotaknya semula. Wahyu sudah menerobos masuk ke kamarnya.
“Eh, lagi buka kado. Mau dibantuin nggak?” tanya Wahyu mengambil kado secara acak.
“Keluarrrrrr,” Wulan mendorong Wahyu keluar kamarnya.
“Eh... eh... Tunggu, Lan. Aku mau ngasih ini nih,” Wahyu menyodorkan boneka beruang warna cream yang hanya dibungkus plastik transparan dengan pita ungu mengikat ujung pembungkus.
“Apa ini?” tanya Wulan.
“Gak lihat ini boneka?” Wahyu mendengus kesal.
“Dari Arjuna. Aku mau tidur dulu. Ngantuk,” pamit Wahyu melangkah keluar.
“Kado darimu mana?”
Sesaat kemudian kepala Wahyu nongol kembali di pintu.
“Ntar nyusul.”
Begitu Wahyu keluar, Wulan menutup dan mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Perhatiannya terpusat pada boneka beruang pemberian Arjuna. Dia meraih boneka yang masih terhalang plastik itu memeluknya dengan penuh sayang.
Wulan meletakkan hati-hati boneka beruang itu di kasur dekat bantal. Wulan memperlakukannya seperti sebuah benda yang dapat pecah. Konsentrasinya kembali pada cincin polos yang di dalamnya terdapat ukiran nama Wulan Candraningsih.
Kepalanya dipenuhi pertanyaan -cincin dari siapa ini?- Mana mungkin Arjuna memberikannya dua buah kado. Wulan mulai menerka-nerka. Lalu, siapa? Lalika juga tidak mungkin. Teman-teman lainnya juga mustahil. Tidak ada seorang cewek memberikan sebuah cincin kepada teman ceweknya juga. Atau kelompok ijo lumut, Ilham, Bumi, Angga, Radit, Kiky, atau Sayudha. Apa Sayudha? Mana mungkin!
Haduh!
Wulan masih asyik dengan pikirannya sampai lelah. Mulutnya menguap lebar. Dia melemparkan tubuhnya di kasur. Lalu, terpejam.
***
Ketika Wulan pulang menunaikan janji mentraktir teman-temannya. Tampak kelompok ijo lumut tengah duduk abstrak di teras. Bumi membaca novel. Ilham memetik gitar sambil menyanyikan lagu Tulus yang judulnya Labirin dengan suara sumbang. Kiky, Radit, dan Angga menggenggam android masing-masing memainkan game Mobile Legend. Wahyu sedang menelpon seseorang. Arjuna yang lagi mengupas kacang kulit mengangkat wajahnya memperhatikan kehadiran Wulan.
Wulan tidak melihat seorang anggotanya lagi. Ya, Sayudha. Biasanya cowok itu selalu bergabung dengan kelompok ijo lumut sebagai anggota junior. Sayudha lebih sering berkumpul dengan kakak kelas daripada teman seangkatan.
Seketika Wulan salah tingkah. Ditatap oleh sepasang mata yang memberikan sinyal menembus dada, dengan desiran perlahan disertai detak jantung sebagai reaksinya.
“Dari mana, Lan?” jantungnya nyaris melompat saking berdebarnya.
Glek!
Ini mungkin pertama kalinya Arjuna menyapa. Selama ini Arjuna tidak pernah mengajaknya bicara atau menegur.
“Hmmm... Itu. Dari Red and Blue,” jawab Wulan gugup menyebut nama sebuah caffe tempat dia mentraktir ketiga sahabatnya.
Wulan langsung membawa masuk motornya ke halaman, berhenti tepat di teras. Dia turun, melepas helm menyampirkannya di stang.
Lika liku labirinmu.
Tak kan urungkan niatku.
Betapa kuyakin kita berdua bisa menyatu.
“Sempak! Kalah kan jadinya!” Kiky mendengus kesal menatap Ilham.
“Apa sih?” Ilham melirik Kiky.
Kiki do you love me? Are you kidding?
Say you’II never ever leave from beside me.
“Sempak!” Kiky memaki Ilham diikuti tawa yang lainnya. Wulan melewati mereka, dia mendengar jelas Arjuna terbahak-bahak. Wulan sampai gemetar.
Cepat-cepat Wulan melenggang masuk rumah, melalui pintu depan melewati kelompok ijo lumut, setelah melepaskan kaos kaki dan sepatunya.
***