Loading...
Logo TinLit
Read Story - Orange Blossom
MENU
About Us  

Dalam sebuah buku kecil bergambar Tinkerbell, aku selalu menulis diary-ku di sana. Segala pemikiran, keluh kesah, ambisi, sampai hal-hal yang ingin kulakukan pernah aku tulis dalam diary tersebut. Biasanya, keluh kesah adalah hal yang mampu membuat diary itu terisi lebih cepat, tapi entah mengapa, hari ini, anggapan itu seperti akan berakhir. Aku tak punya apapun untuk menyimpan atau menceritakan kenangan selain dalam diary, karena itu, segala keindahan dan perasaanku yang hinggap ketika berada dalam komedi putar raksasa ini, akan kutulis seluruhnya dalam lembaran kertas tipis itu, dengan bahasa yang indah dan tuilisan yang rinci, agar diriku di masa mendatang dapat meraih apa yang akan kurasakan 10 menit dalam komedi putar.

Untuk mencapai taman hiburan seperti ini, entah sudah berapa lama aku memimpikannya. Sebagai mahasiswi golongan elit –ekonomi sulit–, aku mencukupi kebutuhan hidupku sebagai bartender, dan itu lebih dari cukup untuk menyita waktu luangku, karena kesadaran atas kurangnya waktu luang itulah aku memutuskan hanya menuliskan keinginanku dalam lembaran transkrip diary, sambil berharap suatu saat satu persatu keinginan yang kutulis di sana akan terwujud. Karena itulah aku sudah mencubit pipi berkali-kali untuk memastikan apakah yang terjadi saat ini mimpi ataukah bukan, namun selalu terasa sakit, ini bukan mimpi. Bahkan ketika kulihat Novel tersenyum lembut begitu, kilauan senyum itu juga bukan mimpi.

“Selamat ulang tahun….” Sambil menyembunyikan wajah malu itu, aku bisa melihat Novel berusaha memulai pembicaraan. Ia yang duduk di depanku, berhadap-hadapan denganku, seakan mengintip isi hatiku yang merasa sangat senang dapat melihat pemandangan kota dari balik bilik komedi putar.

Novel adalah salah satu yang kukagumi dari beberapa mahasiswa di fakultasku, dan sama seperti Novel, aku tak ingin menghabiskan waktu sepuluh menit hanya untuk diam dan menyimpan kesenangan ini sendiri. Sejak awal, tanpa keteguhan Novel yang mengajakku, dan membantuku menyelesaikan tugas kuliah hingga selesai lebih awal dan mentraktirku kemari, aku tak mungkin berada di sini dan merasa bahagia seperti ini. Masalahnya adalah meskipun aku terbiasa mengakrabkan diri dengan pemabuk, namun aku tak pandai bicara pada laki-laki yang wajahnya sedang merah karena malu, karena itu akan membuatku ikut-ikut merasakan malu.

“Terima kasih.” Aku ingat ini sudah keempat kalinya aku berterima kasih padanya, tapi aku juga ingat ia sudah empat kali mengucapkan selamat ulang tahun padaku.

Dan setelahnya, dunia kami kembali pada keheningan. Entah apakah Novel terlalu gugup atau karena aku termasuk perempuan yang membosankan di matanya. Malam ini, apapun yang ia rasakan, aku pasti akan menulis namanya berkali-kali dalam diary dengan tinta paling istimewa yang kupunya. Tapi sebelum itu, aku harus berbuat sesuatu pada kebungkaman ini, dan membuatnya nyaman denganku.

“Merah, biru, kemudian hijau... dari satu warna ke warna yang lain, mereka benar-benar tau cara membuat orang lain tertarik untuk masuk dan membeli tiket taman hiburan mereka, iya kan? Selama ini aku selalu puas hanya dengan memandanginya dari balik jendela bar, memandangi bola mata berukuran raksasa ini di tengah putarannya, sambil menerka apa yang sedang dipikirkan tiap manusia di dalamnya. Beberapa pengunjung bar yang juga melihat komedi putar ini kadang juga akan menceritakan kenangannya, melihat tepian kota dan berbagai jalanan yang padat dengan kendaraan dari atas ketinggian. Namun tak pernah satupun yang bercerita pernah melihat seorang gadis bartender sedang mengawasi komedi putar dari jendela bar dengan penuh harap. Sesekali aku mempertanyakan mengapa orang-orang yang naik komedi putar ini hanya terpaku pada pemandangan yang indah dan melupakan mimpi-mimpi kecil yang mungkin minta diperhatikan.”

Lalu entah bagaimana, cerita itu mengalir dan mengisi kesunyian yang sempat menjadi dinding pemisah kami. Bercerita seolah aku sedang berada di balik jendela bar dan menatap komedi putar ini. Novel tetap diam, tidak menyahut. Aku tahu dia pasti sudah mengerti tentang itu, Novel tak akan mengajakku kemari jika dia tak memahami keinginan sederhana ini tiap kali aku berada di bar. Aneh juga, ia tahu tentang komedi putar dan aku, padahal hanya sekali ia datang ke bar, hanya memesan secangkir orange blossom untuk menemani kakak perempuannya yang mabuk-mabukan setelah asmaranya kandas. Itupun sudah berlalu lebih dari tiga bulan. Begitulah, tak ada yang istimewa di malam itu, dan setelahnya hubungan antara aku dan Novel di kampus juga tidak berubah, tetap saling sapa meskipun tanpa sepatah kata setelahnya, hanya mampu berpaling pamit dan pergi. Jika kupikir lebih jauh, justru kemarin malamlah hari paling mengejutkan, tiba-tiba menunggu di depan bar dan memohon padaku untuk cuti kerja malam ini.

“Bagaimana menurutmu? Bagaimana bisa kita mengacuhkan mimpi-mimpi kecil hanya karena sedang berada di tempat yang tinggi?”

“Aku tidak tahu.” Ia menjawab singkat dengan wajah gugup.

Aku suka wajah gugupnya, melihat matanya yang berputar mencari sikap nyaman itu, membuatku berpikir hal-hal aneh ketika mengingat malam ia mengajakku dengan berani. “Hanya saja....” Ucapan itu terpotong saat ia menundukkan kepalanya 60 derajat, menghindari tatapanku. Aku menunggunya melanjutkan kata-kata yang tak lengkap itu dengan turut menundukkan wajah. “Orang-orang kesepian selalu berusaha mewarnai hidup mereka dengan mimpi, entah itu mimpi-mimpi besar ataupun kecil, lalu melampiaskan kesepian itu dengan usaha dan kerja kerasnya menggapai mimpi.”

Dari suara yang bergetar, seketika menjadi suara yang mampu menyatu dengan udara sekelilingnya, dan entah mengapa, kini hatiku yang serasa bergetar, tertampar dengan telak oleh kata-kata yang ia ucapkan. Aku tak tahu apakah ia sengaja menyudutkanku atau itu karena ia sedang jujur dengan perasaannya, namun andaikan ia memang sedang mencoba menyudutkanku, aku senang karena itu berarti ia sedang jujur dengan perasaannya pula.

Kita sama, dua orang kesepian yang harus tetap hidup dengan kesendirian, aku dengan minuman kerasku, ia dengan lukisannya. Aku membutuhkan kesendirian agar rahasia pekerjaanku tidak diketahui siapapun, ia membutuhkan kesendirian untuk mengejar ketenangan. Dengan kesendirian, aku berpikir bisa menyembunyikan sosok diriku dan tetap kuliah di kampus hebat itu, sedangkan ia butuh kesendirian untuk mengejar tenggat waktu lukisan-lukisannya. Kita sama-sama sendiri, dan karena itulah aku lega bahwa satu-satunya kenalan yang tahu pekerjaanku adalah Novel.

“Aku sudah menyimpan berbagai wajah dan pemandangan dalam ratusan kanvas, sampai-sampai melupakan cara untuk mengungkapkannya dengan kata-kata. Beberapa korektor yang menilai beberapa lukisanku memuji dengan pujian yang indah, namun hanya karena kurangnya jam terbang, mereka memberi harga yang tak seberapa atas kerja kerasku. Sejak saat itu, aku membenci kata-kata dan membatasi keakrabanku dengan siapapun. Kalau kuingat, waktu itu kakakku menangis semalaman di bar-mu juga karena terlalu percaya dengan kata-kata pacarnya. Namun, entah mengapa... ketika melihat orange blossom yang kau tawarkan padaku, menghirup aroma limonene yang mengepul sambil melihatmu melayani pesanan pelanggan lain dengan kata-kata ramah, aku merasa ingin mengeluh padamu, karena aku iri padamu, padahal aku tahu betul kita sama-sama berusaha membatasi hubungan dengan yang lain. Mungkin aku sudah mabuk hanya dengan melihatmu bekerja hingga tanpa sadar aku minum orange blossom itu, alkohol pertamaku, tapi aku semakin bingung. Kakakku di sebelah sudah mengeluh padaku tentang banyak hal, dan semakin mendengarnya mengeluh, akupun ingin mengeluh. Karena itulah aku menyisihkan uang selama tiga bulan dan mengajakmu ke tempat yang mungkin akan sangat menyenangkan bagimu. Dan entah bagaimana, kebetulan hari ini ulang tahunmu.”

Misteri akhirnya terjawab, alasan tentangnya yang tiba-tiba mengajakku, alasan tentang lukisan berjudul Purnama dalam Gelas Orange Blossom yang ia upload dalam situsnya, juga alasan lirikan-lirikan yang diam-diam ia tujukan ketika kita berada dalam kelas yang sama, cukup mengejutkan ia iri padaku, padahal tak satupun kalimat dalam keluhannya memuji diriku. Dia kemari hanya untuk bicara dan mengeluh padaku, dan aku sudah mendengar keluhannya. Ajaib ketika ia mengaku lupa mengungkapkan wajah dan pemandangan melalui kata-kata, namun dapat dengan lancar mengungkapkan perasaannya melalui kata-kata.

“Sesuai perkataanmu, orang-orang kesepian selalu berusaha mewarnai hidup dengan mimpi. Kau mewujudkan mimpi itu dalam kanvas, sedangkan aku hanya menuliskannya dalam diary kecil, aku hanya merangkak menggapainya. Aku tak seberuntung dirimu yang memiliki bakat untuk menggapai sesuatu, karena itulah aku hanya mampu menjadi pegawai bar yang selalu khawatir akan kepergok dan drop out.”

Jika iri yang ia maksud adalah perasaan hancur setelah melihat seseorang yang kita anggap sederajat ternyata lebih baik dibanding kita, maka kurasa akulah yang lebih iri pada dirinya. Sebagai sesama penyendiri, aku selalu melihat karya yang ia dapat dari sikap menyendiri itu, dan tiap melihat lukisan di situsnya, ada suatu perasaan hancur dalam hatiku. Dia tepat menghancurkan pintu hati yang mestinya kututup, hingga hatiku bisa lebih terbuka, dan hati yang terbuka itu membuatku merasakan frustasi, lalu semakin membuatku sepi, tanpa sadar, aku mulai menumpuk mimpi. Karena itulah aku mengaguminya sebagai sesama penyendiri. Semua tepat seperti yang dikatakannya.

Tapi sekarang situasi sedikit berubah, orange blossom yang kusarankan padanya telah menciptakan sesuatu yang berbeda. Hati pelukis itu sudah sedikit terbuka hingga mampu berbuat sesuatu untuk mengeluh padaku. Kini kita sama, kembali setara, penyendiri yang membutuhkan kesepian untuk tetap baik-baik saja. Dan ketika dua penyendiri mampu saling mengerti, kurasa seperti itulah ikatan persahabatan yang coba kita maknai dari sudut pandang masing-masing.

Dan jika wajahnya itu masih belum memahami pengertian ini, maka… akan coba kuungkap segala sesuatunya di dalam bilik komedi putar ini… yang tengah meninggi dalam puncaknya.

Tags: Teenlit

How do you feel about this chapter?

1 2 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Bittersweet Memories
97      92     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...
KUROTAKE [SEGERA TERBIT]
6524      2217     3     
Romance
Jadi pacar ketua ekskul tapi hanya purapura Hal itu dialami oleh Chihaya Hamada Ia terpaksa jadi pacar Mamoru Azai setelah foto mereka berdua muncul di akun gosip SMA Sakura dan menimbulkan kehebohan Mamoru adalah cowok populer yang menjadi ketua klub Kurotake klub khusus bagi para otaku di SMA Sakura Setelah pertemuan kembali dengan Chihaya menjadi kacau ia membuat kesepakatan dengan Chih...
Nightmare
453      309     2     
Short Story
Malam itu adalah malam yang kuinginkan. Kami mengadakan pesta kecil-kecilan dan bernyanyi bersama di taman belakang rumahku. Namun semua berrubah menjadi mimpi buruk. Kebenaran telah terungkap, aku terluka, tetesan darah berceceran di atas lantai. Aku tidak bisa berlari. Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin mengadakan pesta malam itu.
A Day With Sergio
1942      846     2     
Romance
Guguran Daun di atas Pusara
517      356     1     
Short Story
Happy Death Day
668      394     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
Mengejar Cinta Amanda
2318      1218     0     
Romance
Amanda, gadis yang masih bersekolah di SMA Garuda yang merupakan anak dari seorang ayah yang berprofesi sebagai karyawan pabrik dan mempunyai ibu yang merupakan seorang penjual asinan buah. Semasa bersekolah memang kerap dibully oleh teman-teman yang tidak menyukai dirinya. Namun, Amanda mempunyai sahabat yang selalu membela dirinya yang bernama Lina. Selang beberapa lama, lalu kedatangan seora...
I am Home
569      399     5     
Short Story
Akankah cinta sejati menemukan jalan pulangnya?
Interaksi
560      414     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...
I'il Find You, LOVE
6311      1715     16     
Romance
Seharusnya tidak ada cinta dalam sebuah persahabatan. Dia hanya akan menjadi orang ketiga dan mengubah segalanya menjadi tidak sama.