Oktober 1999.
Aku melangkah menaiki anak tangga menuju pintu rumahku. Payung besar menaungi kepalaku dari rintikan hujan. Suara petir menyaut dari tempat yang jauh hingga tepat di atas kepalaku. Mulut sepatu bootku menganga dan aku lupa memberi tahukannya kepada ibu. Tapi aku tahu ia pasti tidak akan memberikan gantinya sesegera mungkin. Di teras depan pintu aku bertemu winter yang tampak kedinginan. Ia berjalan bolak-balik di depan pintu. Terkadang duduk menghadap pintu sambil menunggu seseorang membuka pintu dari dalam. Saat ia melihatku, ia menggelayut di kakiku yang basah. Ia memintaku untuk mebukakan pintu. Tapi aku tidak bisa, aku hanya bisa mengetuknya.
“tok.. tok.. tok” suara ketukan pintu bahkan teredam oleh suara hujan. Akupun menekan tombol bel. Tak lama pintu terbuka diiringi oleh sepasang mata pria paruh baya. Tanpa berkata apa-apa ia masuk lagi kedalam. Aku menggiring winter untuk masuk ke dalam. Badannya basah. Aku harus menghangatkannya. Ibu dan kakak-kakakku belum pulang. Terlihat hanya ada roti panggang tadi pagi yang masih tersaji diatas meja makan kecil keluarga kami. Aku naik ke atas, kekamarku di loteng. Diatas hanya ada kamarku dan balkon untuk mejemur pakaian. Di kamarku ada jendela yang menghadap ke depan rumah. Aku selalu menunggu ibu pulang kerja di depan jendela sebelum tidur. Dari sana aku bisa memantau siapa yang masuk dan keluar dari rumahku.
“mmeeooww” winter memanggilku. Ia kedinginan. Aku segera menyalakan api di perapian.
“Selena” panggil ayah dari lantai bawah.
“iya yah” dengan cepat aku berlari ke tangga.
“bisakah kau menyiapkan sesuatu yang bisa ayah makan?” tanyanya.
“baik yah” aku segera kembali kekamar. Berganti pakaian dan menuangkan makanan winter di mangkuk pink besarnya.
“ayah sudah sangat lapar. Menunggumu pulang sekolah dan menunggumu ganti baju membuat nafsu makan ayah hilang”
“tapi setidaknya ayah bisa mengisi perut ayah. Aku akan membuat sushi, masih ada salmon di lemari pendingin” tuturku sambil berlalu. Ayahku duduk di depan televise, gempal dengan dahi berkerut. Ia menonton siaran berita sore yang menayangkan konflik sepak bola.
Aku melumuri sushiku dengan tepung roti dan siap menggorengnya tepat saat suara berisik dari luar rumah terdengar. Aku menengok dari jendela dapur dan melihat sebuah mobil sedan merah menurunkan kedua kakak laki-lakiku. Sang sopir memarkirkannya di teras. Dan yang mengendarainya adalah ibuku. Aku berlonjak senang dan segera berlari membukakan pintu.
“ayah ibu membeli mobil” tuturku. Ayahku berdiri dan melihat. Ia berjalan mendahuluiku lalu menyambut kedua kakak laki-lakiku dengan mesra dan hangat. Kedua kakak laki-lakiku adalah kembar. Mereka bertubuh gemuk, berumur sebelas tahun sedangkan aku berumur delapan tahun saat ini. Saat memastikan ibu sudah turun dari mobil dan menyambutnya, aku segera kedapur.
“apa yang kau masak?” Tanya ibuku sambil memasukan bahan makanan ke lemari pendingin.
“sushi” tuturku.
“disana ada pizza dan macaroni panggang. Tolong sajikan ya” tutur ibuku. Aku mengangguk sembari meniriskan sushi gorengku. Ibu hari ini pulang cepat. Biasanya ia pulang larut malam. Ayah sendiri lebih banyak di rumah. Ia lebih sering keluar rumah untuk bertemu rekan-rekannya. Aku tidak tahu mengapa keluargaku sangat dingin dan sepi. Tapi aku tidak pernah memikirkannya.
“mom lusa aku harus membawa raket baru… aku tidak ingin diolok-olok karena raketku sudah rusak” Tanya kakak laki-lakiku yang bernama Rodger. Ia lahir lebih dulu dari pada adiknya, Ronny. Membedakan mereka sangatlah mudah, Rodger memiliki tahi lalat di dekat alis sedangakan Ronny tidak.
“tenang saja nak, nanti mom belikan” tutur ibuku.
“bu, guruku sudah meminta tagihan uang bayaran study tour” tuturku.
Ibuku mendekatiku dan tersenyum memaksa.
“bilang pada gurumu ibu akan membayar lunas, tapi tidak besok. Mengerti?”
“ya”
Malam ini aku dan kedua kakakku duduk di ruang televisi bersama-sama. Kami menonton film animasi Disney yang memperlihatkan seorang putri. Aku selalu ingin menjadi putri. Setidaknya seperti Cinderella, aku sangat yakin suatu saat pangeranku akan datang. Aku sangat mengagumi kecantikan Cinderella dan sikapnya. Itu merupakan alasan utama mengapa aku selalu mengumpulkan uangku. Uang itu akanku gunakan untuk memberi berbagai hal yang terkait dengan Cinderella. Aku sudah memiliki tempat pensil bergambar Cinderella, botol minum ciderella, dan masih banyak lagi. Tapi satu yang ku inginkan adalah, gaun seperti Cinderella. Intinya gaun berwarna biru terang. Butuh waktu yang lama untuk mengumpulkan uang. Lagipula, aku tidak tahu dimana harus membeli gaun itu.
Tanpa sadar aku tertidur di sofa dan ayah membangunkanku. Ia menyuruhku untuk pindah kekamarku. Tiba-tiba aku merasa sakit yang sama lagi. Sakit yang seringku rasakan akhir-akhir ini. Sakit dibagian telinga kananku. Aku buru-buru bercermin dan melihat darah itu keluar lagi. Ku basuh telingaku cepat-cepat dan segera naik kekasur.
Ini kali pertama aku menaiki mobil yang dibeli oleh ibuku. Sekolah mereka lah yang paling dekat untuk dijangkau sehingga mereka turun lebih dulu. Kedua kakakku kini duduk di bangku collagè. Yang merupakan sekolah tingkat menengah. Prancis memiliki aturan pendidikan 5-4-3. Yaitu lima tahun di sekolah dasar, empat tahun di sekolah menengah dan tiga tahun di jejang senior high school. Aku sendiri berada di kelas CE2 atau kelas tiga sekolah dasar. Dan sekolahku lebih jauh dari kedua kakakku itu. Aku melambaikan tangan kepada mereka dari jendela, walau aku harus menerima juluran lidah Rodger. Tapi mobil kembali bergerak.
“dimana ibu membeli mobil ini?” tanyaku.
“kau tidak akan tahu nak” aku diam tanpa bertanya lagi. Mobil ini tidak terlihat baru. Ada beberapa karat di bagian bawah pintu. Alat pendingin sekaligus pemanasnyapun menimbulkan bunyi berisik. Dan mesinnya juga berisik. Suara ponsel berbunyi menghancurkan kesunyian di mobil ini. Ibuku mengangkat dengan sebelah tangan.
“halo……” ia pun membicarakan pekerjaannya. Dan saat telepon di matikan ibuku melirikku dari kaca tengah.
“sepertinya ibu tidak bisa mengantarmu sampai depan gerbang, kau bisa jalan beberapa meter saja. Tidak jauh. Ibu sudah ditunggu meeting oleh atasan. Hati-hati nak” baiklah aku bisa mengerti. Ibuku bekerja di Paris. Sedangkan kami tinggal di pinggir baratdaya kota Paris yang berjarak 6.6 kilometer dari pusat kota Paris. Tentu ia harus bergegas kalau tidak ingin terlambat.
Ia menghentikan mobil. Dan lambaikan tangan saat aku turun. Aku menutup pintu dan membalas lambaian tangannya. Pagi ini hujan dan aku suka itu. Walau aku harus berjalan, setidaknya hari ini aku berangkat dengan kendaraan. Aku tersenyum melambai sekali lagi. Sebelum akhirnya mobil itu menginggalkanku. Tapi, dari jauh seperti ini, aku melihat sosok yang mengisi jok belakang mobil. Seoranga gadis. Ia berbandana dengan warna rambut yang mirip denganku. Aku hanya dapat melihat kepala belakangnya saja. Siapa itu?
Aku menajamkan penglihatanku, aku yakin benar tidak ada siapa-siapa di mobil selain aku dan ibuku tadi. Dan tidak ada anak berbandana di mobilku. Aku mengucek mataku dan melihat kembali. Tapi bayangan itu kini hilang.
Apa yang kulihat tadi?
Ibuku pulang lebih awal lagi. Tapi ia belum menjemput kedua kakakku. Ia datang dan membawa beberapa perabot. Ia membereskan beberapa perabot itu kemudian membuat makan malam.
Aku membantunya membuat kaserol kentang dan keju walau tidak banyak yang bisaku lakukan.
“kemana perginya ayahmu?” tanyanya. Aku mengangkat bahu.
“saat aku pulang dia sudah tidak ada di rumah. Syukurlah aku membawa kunci cadangan”
“benar” tutur ibuku.
“bu, saat ulang tahun nanti, apa ibu akan membelikanku gaun berwarna biru muda seperti Cinderella?” tanyaku. Tanpa menoleh ia berkata.
“ibu tidak janji ya, oh ya bisa kau tolong ibu mengambil raket kakakmu di jok belakang mobil?”
Aku diam sejanak dan menelan ludah.
“tentu” jawabku namun sedikit ragu. Aku teringat penampakan yang kulihat.
“kunci mobil ada diatas meja” tutur ibuku. Tanpa bisa protes akupun mengambil kunci mobil dan pergi keluar. Angin menerpa dengan kencang. Awan hitam menaungi kota kami sejak tadi siang. Sepertinya hujan akan turun lagi. Jalanan kosong tanpa ada orang yang berlari sore seperti biasa. Mungkin factor cuaca yang membuat mereka memilih untuk tetap dirumah. Tapi kesunyian ini mengganjal. Hanya suara angin dan derapan kakiku yang menginjak rumput halaman yang hampir memanjang. Aku sampai didepan mobil. Kosong. Syukurlah. Tidak ada yang duduk disalah satu jok mobil. Namun tetap saja aku harus waspada. Aku memasukan kunci dan memutarnya. Ku memasukan setengah badanku untuk meraih kantong berisi tiga raket baru. Aku baru menyadari wangi mobil ini sangat khas. Seperti wangi bunga entah apa namanya. Padahal ibuku sama sekali tidak memasang pengharum mobil. Ia hanya memasang sebuah bingkai foto keluarga kami di tengah.
“prakk” suara itu mengagetkanku. Aku segera menengok ke daerah dashbor dan melihat bingkai foto itu jatuh. Syukurlah tidak pecah dan jatuh di kotak uang logam dekat rem tangan. Aku gemetar dan buru-buru menutup pintu. Ku biarkan bingkai itu. Setelah mengunci pintu aku berlari kearah rumah tanpa berani menengok ke belakang.
Malam ini aku duduk dibawah lampu belajarku. Aku tidak perlu duduk di kursi karena meja belajarku rendah dan melantai. Winter menggelut didekat bantalnya. Aku selalu menyempatkan menulis di sebuah buku diari. Menulis apa yang kurasakan, ku alami, ku lihat maupun ku dengar. Aku merasa buku ini adalah sahabatku yang sesungguhnya. Walau ia tidak berkata apapun. Tapi dia mampu menenangkan perasaanku. Kadang aku merasa dunia tidak adil, ayah tidak adil, ibu tidak adil, dan kakakku tidak adil. Tapi lewat menulis semua yang tidak bisaku sampaikan akhirnya bisaku sampaikan. Rasa marahku mereda. Dan kesedihankupun dapat ku hilangi. Kadang lewat menulis aku menemukan jawaban dari setiap pertanyaanku. Dan itu menenangkanku.
Dan kini aku menulis sampai pada titik pertanyaan :
siapa yang tadi ku lihat di dalam mobil? aku takut. Dan apa kakak atau ibuku juga merasakan hal yang sama? Atau melihatnya?
Tulisanku berujung pada hipotesis bahwa itu adalah halusinasiku tadi pagi. Karena malam kemarin aku mulai kumat. Dan itu masuk akal.
Jelaskan padaku apakah menemukan dirimu bangun di dalam mobil adalah masuk akal? Itu yang membuatku terkejut dan ketakutan. Aku memeluk bonekaku erat-erat. Dan sekarang aku mendapati diriku kesiangan. Ku buka pintu dan segera berlari ke dalam rumah.
“dari mana kamu? Kau belum mandi?” Tanya ibuku. Aku sendiri tidak bisa menjawabnya.
Akupun segera pergi kekamar dan bersiap.
Aku melewati pagi dengan sangat sulit. Terutama saat menjawab pertanyaan ibu mengapa kunci mobil tergantung di dalam mobil? Dan apa yang ku lakukan dimobil semalam? Sungguh pertanyaan yang tidak kumiliki jawabannya. Tapi dengan beberapa alasan akupun menjelaskannya. Tapi alasanku tentu tidak masuk akal. Aku mengahadapi cemooh kedua kakakku yang mengatakan aku sangat parno akan kehilangan mobil itu. Tapi aku tidak bisa melawan. Pagi hari saja sudah seberat ini, aku tidak tahu bagaimana menghadapi hari ini. Aku sangat lelah.
“mom apa ini?” Tanya Rodger yang duduk di kursi samping supir. Ia menunjukan sebuah bandana pink berbunga, mirip seperti mahkota bunga yang cantik.
“oh mungkin itu milik Selene, berikan saja padanya” aku menegang. Bukan itu bukan punyaku. Rodger melemparkan bandana itu kepadaku.
“Selene itu punyamu bukan? Simpan di kamarmu sana” tuturnya.
Aku mengamati bandana ini. Mirip dengan yang dipakai oleh sosok yang kulihat kemarin. Sebenarnya siapa dia? Apa mobil ini dihuni oleh seseorang?
Dan adanya bandana ini semakin membuatku penasaran. Aku yakin bukan hantu, melainkan seseorang.
Hujan terus mengguyur daerah tempat tinggalku. Hari ini ayah pergi, kedua kakakku belum pulang, dan ibuku kerja. Aku harus bersabar untuk sendirian di rumah. Aku tidak punya masalah dalam menjaga rumah sendirian. Itu sudah biasa. Biasanya aku bermain dengan winter, menonton televisi sendirian, atau membuat sesuatu di dapur. Dan yang paling sering adalah tidur. Namun kali ini aku tidak mengantuk. Udara dingin justru membuat mataku segar seperti salmon. Tapi kesegaran mataku tidak diimbangi dengan semangatku. Mungkin aku bisa menonton TV sepuasnya, tapi acara TV kali ini tidak ada yang menarik. Kebanyakan stasiun TV menampilkan iklan panjang yang menawarkan alat teknologi baru. Menawarkan dengan kata-kata manis seolah benda yang mereka jual adalah satu-satunya di dunia. Dan itu membuatku lelah. Ingin sekali aku bermain dengan winter tapi kucing itu tidak ada di rumah. Aku jadi khawatir.
Mungkin ayah mengeluarkannya-seperti biasa, ia membenci kucingku itu. Tapi winter bukan kucing bodoh, ia selalu tahu jalan pulang. Namun kali ini hujan menghambatnya pulang. Dan aku? Alih-alih mencarinya keluar aku justru menunggunya kembali dengan duduk di sofa dan memandang keluar jendela. Secangkir coklat panas membuat kepanikanku sedikit hilang. Tapi aku tetap saja tidak bisa tenang. Aku menunggu hujan mereda atau menunggu hidung pink winter muncul di pekarangan rumahku.
“kring,kring” terdengar suara tepat di sebelahku. Aku menoleh kekanan namun tidak ada siapapun, menoleh kekiri dan bulu kudukku berdiri. Kosong. Tidak ada siapapun. Padahal aku mendengar suara itu dekat denganku.
Aku baru menyadari kesunyian yang menusuk di rumah ini. Dan aku bergidik ngeri. Namun syukurlah suara eongan winter dari luar rumah mengalihkan perhatianku. Aku segera menyembur ke luar rumah dan menggendong winter yang basah kuyup.
“meong, meong, meong” ia merintih padaku. Bukan hanya kedinginan melainkan karena sebuah benda berlonceng kecil yang tergantung di lehernya. Benda itu adalah gelang berwarna merah jambu yang pekat, dihiasi beberapa manic-manik dan dua lonceng kecil. Aku segera melepasnya dan menyelipkan kalung itu ke kantong celanaku. Aku menggiring winter yang berbadan gemuk itu untuk masuk rumah. Kukunci pintu rapat-rapat dan segera membawa kucing berbulu kuning itu ke kamar mandi di kamarku.
Winter tidak suka air, dan itu yang membuatnya mencakarku berkali-kali. Tapi akhirnya aku selesai memandikannya dengan air hangat. Kini ia berbaring di dekat perapian. Matahari sudah semakin rendah. Ayah, ibu dan kedua kakakku belum datang juga. Aku merasa sedih. Ya hampir setiap hari. Tapi aku bukan anak yang cengeng, sejak lahir aku tidak pernah menangis.
Perhatianku tersapu pada bandana dan gelang di atas meja riasku. Aku mendekati meja bercermin dan mencoba memantaskan diri. Melihat bayangan diriku dikaca dengan bandana dan gelang itu. Tidak, tidak buruk. Aku menyukainya. Bandana ini sangat cocok di atas kepalaku.
“winter, lihat! Bandana ini membuatku terlihat seperti Cinderella” tuturku sambil melirik ke bayangan winter di cermin.
Tapi tepat disana ada sosok yang membuatku tercekat. Sosok yang kuduga pemilik bandana ini. Umurnya sekitar sepantaran denganku. Tapi ia perempuan berwajah pucat pasi, matanya sangat hitam dan dalam, dengan berkas darah membeku di bibir dan matanya. Ia duduk di dekat winter. Aku segera berbalik untuk berteriak. Tapi suaraku tertahan. Kosong tidak ada siapapun. Tidak ada gadis berwajah seram itu. Sebelum aku sempat meneriakan “pergi”, sosok itu sudah menghilang.
Bulu kudukku masih menegang. Aku menghampiri winter dan mengangkat kucing besar itu ke pangkuan. Dan memeluknya. Hidupku sudah buruk dan aku tidak ingin halusinasi gadis menyeramkan tadi membuat hidupku semakin buruk.
Dimana aku?
Tempat apa ini? Maksudku aku sedang dimobil siapa?
Aku memperhatikan tanganku ada yang melingkar disana, sebuah gelang. Ini bukan gelangku. Dan ini bukan bajuku. Dan sekarang aku ingin kemana?
Aku melihat kearah supir, ia mengemudikan mobil ini. Dan di sebelah kursi ada seorang gadis yang duduk dengan gaun indah.
Aku duduk di kursi penumpang bersama kucing berbulu kuning. Kucing itu duduk didekat ku. Siapa yang mempunyai kucing ini? Dan siapa nama kucing ini. Ah mungkin sang pemilik adalah kedua orang yang duduk di depan. Aku memalingkan mata kearah luar jendela. Mobil ini berjalan melewati gedung besar yang berkesan klasik. Aku belum pernah kesini.
Tak lama mobil melambat. Dan semakin menjorok kesisi kiri jalan. Ada banyak orang yang berpakaian seperti prajurit, berdiri dengan tegak bersama senjata api di tangannya. Sebelah tangan yang lain terpakir di samping dahi. Posisi hormat. Mungkin. Entahlah. Tapi siapakah diriku sampai aku di hormati seperti ini? Atau mungkin mereka hanya menyambut kedua orang yang membawaku?
Siapakah kedua orang didepanku? Mengapa ia mengajakku kesini?
Dan akhirnya mobil berhenti. Aku diam. Astaga dimana aku? Aku melihat pakaian yang kini kukenakan. Gelang yang kupakai. Dan sepatu yang ku injak. Aku tidak mengerti. Diluar cahaya dari lampu gedung menyilaukan mataku.
Karena terlalu banyak yang kupikirkan. Entah kenapa kepalaku sakit. Sangat sakit. Aku memegang kepalaku dan meringkuk di sudut mobil. Kedua orang tadi sudah turun. Aku tidak tahu apakah aku harus berteriak minta tolong atau diam. Aku tidak kenal mereka.
Sesuatu mengalir dari telingaku. Ya ampun darah. Aku menutup telingaku dengan tangan. Sakit. Sakit.
Pandanganku kabur. Dimana aku? Apa kedua orang itu meninggalkanku? Kepalaku semakin sakit. Dan bajuku berlumur darah.
Aku ingin pulang. Tapi pulang kemana?
“ hei kau! Bangun! apa yang kau lakukan disini?” suara besar itu membuatku tersentak kaget. Aku membuka mata perlahan dan segera melihat sosok besar ayahku. Aku segera bangkit dari tidurku.
“apa yang kau lakukan disini? Cepat keluar!” bentaknya yang menungguku di depan pintu kamarnya. Aku berada di kamar ibu dan ayah! akupun menurutinya. Kepalaku masih sakit sejak tadi. Sehingga membuatku berjalan lambat kearah pintu. Dan keluar.
“bbuuukk” ayah membanting pintu tepat di belakangku. Aku berjalan kearah tangga dan melihat ayah membuka pintu kamarnya lagi. Ia kini keluar dari kamarnya dan mencengkram leher winter, ia berjalan kearah pintu keluar rumah. Aku segera berlari berusaha mencegahnya.
“ayah jangan!” teriakku. Suara sumbarku pecah dan terdengar jelek.
“kenapa kau bawa kucingmu kekamar ayah hah? Buang saja kucing mu ini” ayahku melemparkan winter ke tanah. Aku hendak menangkapnya tapi hatiku ragu. Badanku yang kecil tidak seimbang untuk menangkap winter yang gemuk. Aku segera memeluk winter dan membawanya ke pelukanku.
“kau harus bereskan kamar ayah! Mengerti?” ia segera masuk rumah. Langit sudah menghitam namun hujan sudah berhenti. Mobil merah ibu sudah terparkir tapi ibu belum pulang. Aku sempat mendengar suara kedua kakakku tadi. Sepertinya mereka sudah pulang.
Aku melirik winter, ku lihat seluruh tubuhnya, semoga tidak ada yang terluka. Kata ibu, umur winter sama dengan umurku sekarang. Berarti ia sekarang sudah tua. Aku sangat menyayangi winter. Ia adalah temanku satu satunya. Aku sakit jika ia terluka.
Aku benci ayah yang bersikap kejam terhadap winter. Tapi tidak aku tidak akan menangis. Tidak.
Ibu pulang lewat dari jam dua belas malam. Aku menunggunya bersama winter. Ia pasti sangat lelah. Aku ingin sedikit bercanda dengannya. Tapi aku kasian melihatnya. Akupun segera beranjak ke tempat tidur. Dan memejamkan mata. Sekitar dua puluh menit kemudian. Ibuku masuk kamar. Seperti biasa di setiap malam.
Ia akan berjalan kearah meja rias kecilku dan mengeceek tabung kecil berisi pil-pil putih yang harus ku minum tiga kali sehari. Tapi aku tidak pernah meminumnya. Mungkin aku egois. Tapi aku tidak suka obat.
Dan aku selalu membuang tiga pil setiap hari. Pil pil itu kini sudah habis. Hari ini hari terkahir. Ku harap tidak ada lagi.
Aku terpaksa membawa winter kesekolah, aku yakin setelah kejadian kemarin. Ayah akan meyiksa winter di rumah. Ibu tidak mengatarku karena ada rapat. Dan aku tidak ingin diantar ayah. Ia pasti menyinggung masalah kemarin. Jadilah aku berangkat sekolah sendiri, seperti yang biasa ku lakukan tiga hari lalu.
Hari ini adalah pelajaran mademoiselle Sophia. Ia adalah guru kesenian sekaligus la maîtresse atau wali kelasku. Mademoiselle Sophia cantik dan masih terhitung muda. Ia adalah satu satunya guru yang sering mengajakku bercanda, jalan-jalan, dan bercerita untukku. Ia tahu bagaimana aku diperlakukan dirumah, sehingga ia mengerti dan memperhatikanku dengan baik.
Tadi sebelum pelajaran dimulai, aku menitipkan winter kepadanya agar ia letakkan di salah satu kandang peliharaan hewan sekolah. Itupun jika ada yang kosong. Ia tidak bertanya mengapa aku membawa binatang itu, ia akan menungguku bercerita.
Sekolah dasar di Paris berlangsung empat hari dalam seminggu. Kami mendapat jatah libur pada hari rabu dan minggu. Tapi karena hari yang sedikit itulah, jam belajar kami jadi lebih panjang. Biasanya kami berangkat pukul 8.30 pagi dan pulang jam 4.30 sore. Aku melewatkan makan siang di sekolah. Dan aku suka momen itu.
Setiap pelajaran, Mademoiselle Sophia selalu mengajak kami keluar untuk mencari inspirasi. Dan kali ini aku meminta izin untuk pergi ke kandang peliharaan sekolah. Tepatnya di belakang sekolah. Ia mengizinkanku tapi hanya untuk sebentar. Aku menyanggupi dan segera pergi.
Pekarangan belakang sekolahku sangat rapi. Ada sebuah terowongan yang dililiti pohon anggur. Terowongan ini menuju kebun belakang sekolah. Di kebun belakang sekolah, ada bangku taman, serta air mancur. Tak jauh dari kebun. Ada tempat kandang-kandang peliharaan sekolah. Ada burung merpati, dan anjing. Aku mendekat kearah kandang kandang yang menempel pada dinding gedung sekolah. Kandang itu berada tepat di bawah mesin AC yang panas.
Tapi kakiku terhenti, saat melihat seekor anjing bulldog yang dirantai berada di dekat kandang winter. Aku menelan liurku. Mata anjing itu melihatku lekat-lekat. Aku tidak pernah suka anjing, terlalu ganas dan berisik. Seperti ayah membenci kucing.
Tapi jaraknya cukup jauh, ia tidak dapat menjangkau kandang winter karena rantai yang menahannya. Syukurlah. Aku perlahan mendekat ke kandang winter, membukanya dan mengeluarkan winter. Kemudian mengikat tali winter ke tanganku. Saat aku berbalik, selain mata anjing bulldog itu yang melihatku dengan tajam. Ada sepasang mata berdarah dengan wajah pucat yang memantauku. Aku tersentak dan jatuh terduduk.
Rambutnya terurai, pakaian putihnya yang indah ternoda oleh bercak-bercak darah. Sekonyong-konyongnya telingaku berdenging. Dengingannya disusul dengan rasa sakit yang sangat. Menjalar ke bagian belakang kepalaku, dan kini kepalaku sakit.
Aku melirik kearah sosok tadi. Tapi ia sudah menghilang. Kini tinggal aku, winter dan anjing bulldog yang bergongong keras. Membuat telingaku semakin sakit.
“apa kau baik-baik saja?” Tanya Mademoiselle Sophia. Aku mengerjapkan mata. Entah apa yang terjadi. Tapi aku merasa selamat. Dan aku nyaman dapat tersadar dengan seseorang yang menemani. Ya aku sering kumat, dan sering siuman di tempat-tempat aneh dan membuatku tidak nyaman.
“aku mendengar gonggongan anjing dan aku teringat kau belum kembali. Aku segera ke pekarangan dan melihat kau pingsan dengan kuping berdarah. Kukira telingamu di gigit kucing atau anjing. Tapi tidak ada bekas taring disana, atau bekas cakaran. Tapi darahmu tetap keluar dari dalam. Apa kau punya pernyakit tertentu? Apa kau ingin ke dokter?”
Tanya Mademoiselle Sophia. Ia mengelus rambutku, hal yan jarang di lakukan oleh ibuku.
“dimana winter?” tanyaku menghindari pertanyaannya. Mademoiselle Sophia tampaknya mengerti, ia kemudian menggendong winter yang ada di lantai. Kini aku berada di uks, yang baunya mirip rumah sakit. Aku benci rumah sakit.
“sekarang waktunya istirahat, apa kau membawa bekal?” aku mengangguk.
“biarku ambilkan ya” tuturnya dan segera pergi keluar.
Aku menatap winter. Sekarang, miss sudah tahu ada sesuatu yang kuderita. Mungkin hanya dia yang ku anggap teman, tapi aku tidak ingin dia tahu penyakitku. Ia akan merasa kasihan padaku dan bersikap kikuk. Aku tidak ingin dikasihani, itu membuatku terasa amat menyedihkan di mata orang-orang. Aku tahu ini sangat menyedihkan, tapi aku ingin melupakannya. Biarkan aku punya masa kecil yang ringan tanpa perlu berat-berat memikirkan masalah hidupku.
Tapi dunia tidak adil.
Tak lama Mademoiselle Sophia datang. Ia membawa tasku. Aku diam tanpa suara. Dan memperhatikannya mengeluarkan kotak makanku. Makanan yang kusiapkan sendiri.
“wah makanannya terlihat lezat.” Tuturnya. Bukan miss itu hanya omlet keju biasa. Mademoiselle Sophia mengambil sendokku dan mulai menyuapkan nasi kearah mulutku.
“buka mulutmu” tuturnya.
Dengan pasrah aku membuka mulutku. Hal ini adalah satu dari banyak hal yang tidak pernah ibuku lakukan lagi sejak aku berumur dua tahun.
Makananku sudah habis. Dan kini waktunya masuk ke kelas. Mademoiselle Sophia menyuruhku untuk tetap tinggal di uks. Di saat seperti ini, aku sangat senang datang ke ruang music. Dimana aku bisa menemukan Kak Ernest seorang cleaning service sekolah yang sedang bermain piano. Suatu saat aku ingin sekali bisa mahir dalam bermain piano. Dia sering mengajarkanku tapi akhir-akhir ini dia sakit dan tidak bisa datang membersihkan sekolah.
Ruangan ini sepi dan sangat suram. Udara dingin dari luar masuk dari ventilasi ruangan. Sinar matahari yang minim memberi kesan sunyi yang nyaman. Aku duduk di bangku piano. Dan mulai menempatkan jemariku. Hanya lima lagu yang bisa ku mainkan. Itupun kebanyakan lagu anak-anak.
Nada demi nada mulai terdengar. Ada suatu aliran yang membawa kesedihanku keluar dan mengalir kesetiap nada. Rasanya ringan dan indah. Walau kegelapan dan kesuraman yang ada dihidupku. Bukan berarti aku tidak berhak bahagia. Aku ingin bahagia. Maka aku tidak ingin menyimpan rasa sedih yang menghatuiku terlalu lama.
Aku memejamkan mata sejenak. Menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Ada aroma coffe yang kental dan membuatku sedikit pusing.
Aku kembali membuka mataku di nada terakhir. Namun aku sedikit tersentak dengan yang kulihat. Piano siapa ini? Benar-benar tidakku kenali. Aku tidak biasa memainkan piano ini. Dan lagu apa yang barusan ku mainkan? Itu bukan lagu yang pernah ku pelajari.
“ting” aku terkejut ketika ada sebuah tangan pucat menekan tuts piano disampingku. Aku menoleh dan melihat seorang gadis yang tersenyum ramah seperti teman lama. Ia mengenakan gaun pastel yang manis. Tapi wajahnya begitu pucat. Mungkin ia adalah teman lama ku. Aku lupa.
Ia mengaulurkan tangannya. Dan membawaku berjalan keruangan yang sepi ini. Kami melewati lorong yang bercat warna-warni dan indah. Dimana aku sebenarnya? Apa aku berada di rumah temanku ini?
Kami berhenti di depan sebuah pintu yang setengah terbuka. Temanku menempelkan telunjuknya ke bibir dan mulai berjalan mengendap ke dalam. Aku mengikutinya dari belakang. Kami bersembunyi di balik meja besar. Di depan kami ada dua orang wanita dan seorang pria dewasa. Wanita yang pertama memakai baju yang sangat resmi dan terlihat berwibawa. Rambutnya terkonde dengan rapi. Sedangkan wanita yang satunya berpakaian simple dengan kuncir kuda yang menggantung di kepalanya. Ia terlihat jauh begitu ramah dari pada wanita yang pertama. Di depan mereka ada seorang pria yang usianya kisaran tiga puluhan. Tapi sudah banyak kerutan didahinya. Menandakan banyak hal ia pikirkan akhir-akhir ini. Ia menandatangani sutu bundel kertas dengan cepat. Menutup pulpen dan menyerahkan sebuah amplop tebal.
“terima kasih atas bantuannya tuan. Kami sangat menghargai jasa tuan. Semoga uang ini kelak dapat menjadikan tempat ini jauh lebih baik” tutur sang wanita berkonde. Merekapun saling berjabat tangan satu sama lain.
Pria itu keluar di kawal oleh dua wanita tadi. Tapi sialnya mereka melewati meja ini dan keberadaan kami diketahui oleh wanita berkuncir kuda.
“apa yang kau lakukan disitu?” tanyanya. Aku tidak bisa menjawab. Ku lirik kesebelahku dan temanku yang tadi sudah tidak ada. Aku melayangkan pandangan ke sekitar ruangan dan melihat temanku berjalan di belakang pria dewasa tadi. Apa itu ayahnya? Aku diam. Ia melambaikan tangan kemudian menunjukan sebuah benda yang memantulkan sinar.
Sejurus kemudian suatu sinar terpantul tepat kearah mataku, dan aku segera menutup mata karena silau. Cahaya yang terpantul sangat terang sehingga membuatku pusing.