Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pensil Kayu
MENU
About Us  

 

BAB 1

1

Ia hanya bediri mematung disana, setelah mengucapkan sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. 10 menit telah berlalu sejak dia melontarkan kata-kata itu. Dengan baju lusuh dan rambutnya sedikit acak-acakan. Usianya juga baru saja menginjak usia 18 tahun. Ia berada di sebuah ruangan berukuran lumayan besar, menatap kedepannya beberapa buku-buku dan kertas-kertas yang ditata rapi diatas meja. Direktur utama Cetakmedia begitu tulisnya di depan pintu.

    “Kamu tahu, apa yang kamu barusan katakan?” seorang pria berumur setengah abad dengan poni belah tengahnya yang unik, badannya di balut oleh setelan jas hitam legam yang dijahit oleh penjahit terkenal, tidak lupa ditambah sebuah dasi merah yang makin menambah wibawanya, Ia berdiri didepan meja kesayangannya, 5 meter dari anak itu.

    “Anak saya itu penulis terkenal” Lanjutnya

    “Kalau kamu memang suka dengan Anisa, saya tantang kamu! Ciptakan sebuah novel best seller” Sambil menunjuk pemuda itu dengan jemarinya, lalu melanjutkan kembali kalimatnya.

    ”Jika satu novel mu saja bisa masuk best seller, akan kuberikan Anisa kepadamu” Pria ini terus menahan luapan emosi dalam dirinya, menggunakan usaha terakhirnya untuk mengusir remaja itu.

    Seraya keluar dari pintu ruangan. Ia terus mengutuk dirinya sendiri, kenapa ia harus mengucapkan kalimat tak berdasar. Perasaan yang terus berkecamuk didalam dirinya mulai menikam hatinya, ingin rasanya ia untuk berteriak keras sekencang-kencangnya, agar perasaan tidak enaknya keluar bersama dengan teriakan keras dari dalam hatinya. Putus asa. Kecewa.

    Berjalan menyusuri lorong-lorong hampa, poster poster yang ia lewati bagai tidak berarti. Hilang di pikirannya sendiri. “Bagaimana cara menjadi penulis?” Gumamnya dengan sedih.

   Tanpa di sadari ia telah menuruni tangga sampai ke lantai terendah menuju lobby. Lobby yang dindingnya masih terpampang judul-judul buku best seller, dan beberapa kursi kosong, mungkin karena jam telah menunjuk waktu jam 9 malam, dimana banyak orang telah pulang kerumah untuk menikmati waktu santai mereka bersama keluarganya.

   “Gimana? Kamu uda dengar kan” ucap seorang perempuan. Terlihat umurnya sama dengan pemuda didepannya itu, Gadis ini memiliki rambut hitam panjang yang terurai, dengan sedikit kunciran, ditambah pita merah dibelakangnya, membuat pancaran aura manis nya lebih terlihat.

   Pertanyaan yang hanya membuat hati nya serasa ditikam lagi, tikaman tersebut bukan dalam bentuk patah hati, tetapi dalam bentuk kekecewaan dan putus asa. Tidak tahu harus menjawab apa kepada gadis incarannya. Anisa namanya.

   “Maaf  Nisa, ” Ia mengepal jemari tangannya.

   “Kan udah aku bilang, semua cowok yang dekatin aku harus minta izin sama papa dulu”

   Maklum Anisa adalah anak kesayangan ayahnya, semua pemuda yang ingin mendekati Anisa harus berhadapan dahulu dengan ayahnya.

   “Jadi, kamu uda nyerah kan ngejar aku?” lanjut Anisa, gerak tubuhnya sudah bersiap untuk pergi pulang.

   “Mungkin” Jawab pemuda itu dengan pasrah

   “Jadi, maaf ya, untuk pernyataan cinta mu yang tadi”

   “Belum, Nisa ayah kamu menantang aku, untuk menciptakan novel best seller, jika aku menciptakannya ayah kamu akan mengijinkan ku untuk mendekatimu, dan aku akan menciptakannya” Begitu ucapnya, tetapi dilubuk pikiran dan hati terdalamnya ia merasa bahwa membuat buku sangatlah susah, tidak pernah ia bayangkan bahwa kebahagiaannya ditentukan oleh menulis, karena bagi dia Anisa adalah sumber kebahagiaannya.

   Bulan terus menerus memberikan pancaran cahaya kehangatannya, bahkan tanpa hentinya terus memancari kota yang tidak pernah tidur ini. Setelah memberikan pernyataan yang cukup mengejutkan dan meninggalkan Anisa pulang sendiri. Ia mulai berjalan pergi menuju kediamannya, pikirannya mulai terbang dan menerawang, mulai mencari-cari ide segar yang pantas untuk dijadikan  novel-novel terbarunya, dari genre romantis, fiksi, non-fiksi, sampai ke sci-fi. Satu ide cerita pun tidak terbesit di dalam benakknya. Rasa putus asa kembali lagi menyelimutinya.

   Otaknya seperti mau keluar dari kepalanya, bagaikan roket yang terbakar menembus atmosfir lalu terbakar lagi sampai akhirnya menjadi abu, pikirannya entah melayang kemana tetapi raganya tetap berada diarah jalan pulangnya. Sampai akhirnya raganya telah sampai didepan rumah tetapi pikirannya masih tersesat.

   Rumahnya masih terang benderang, mungkin karena rumahnya dijadikan sebagai toko lampu yang tutup setiap jam 10 malam, kalender di toko ini, semua tanggalnya berwarna hijau dalam artian tidak pernah libur walaupun hari itu adalah hari libur nasional.

   “Kamu dari mana saja? Sudah jam 10 malam kamu baru pulang? Cepat bantu bapak tutup toko” ucapnya sambil menutup beberapa pintu tokonya

   Fito mendongkak begitu mendengar suara teguran dari dekat. Toko ini terlihat sepi, saat siang toko lampu ini sangat lah ramai berbeda jika sudah memasuki jam 8, seorang pembeli pun akan sangat jarang untuk memperlihatkan batang hidungnya.

   Sambil memberi teguran ke Fito, wajah ayahnya muncul dari balik bilik kasir. Keriputan, berambut putih, begitulah ciri ciri ayahnya Fito, jika Fito berjalan bersama ayahnya di jalan raya, pasti seluruh orang berasumsi bahwa mereka berdua kembar, hanya salah satunya terlihat lebih tua.

   Mungkin menutup toko adalah kesenangan tersendiri bagi sebagian orang, tetapi tidak untuk ayah yang satu ini, jika bisa, dia lebih memilih tokonya dapat buka 24 jam, tetapi tidak mungkin bagi usia sang ayah yang mulai menua.

    “Pak, aku ke kamar dulu ya” ucapnya, tanpa berpikir panjang memasuki kamarnya.

    Duduk termenung didepan laptop tua bekas pembelian ayahnya di atas meja. Ia mulai membuka dan mengetikkan kalimat. Novel ciptaan Fito Kusuma.

    Suara khas keyboard yang di tabrak jari jemari, mengisi kamar kecilnya, kamar yang hanya bisa diisi oleh sebuah tempat tidur, lemari dan meja belajar.

     Setelah berhasil mengumpulkan niat, meski belum memiliki ide cerita. Pikirannya mulai menerawang lagi memburu ide-ide segar, sampai akhirnya terlintas lagi kejadian 2 jam yang lalu. Awal panjang dari semua kisah ini.

     “Permisi pak, perkenalkan nama saya Fito”

     “Oh.. jadi kamu…, cowok yang menyukai anak saya? Berarti kamu orang ke 34” Pertanyaan yang dilontarkan dari seorang Direktur utama penerbit Cetakmedia. Sekaligus ayah dari Anisa. Bapak Rudi Wijaya.

   “Benar, pak” Keringat-keringat dingin mulai bercucuran dari dahi sampai dagu wajah, seharusnya ini hanya perkenalan singkat, tetapi kenapa suasananya tertekan sekali.

   “Kamu bisa nulis? Seluruh anggota keluarga Wijaya semuanya bisa menulis”

   “Menulis? Bisa pak, sekarang juga bisa saya praktekkan, mau menulis kalimat apa pak?” dengan percaya dirinya Fito segera mencari kertas dan pena.

   “Aduhhh… bukan itu maksud saya. Menciptakan atau membangkitkan ekspresi dan jiwa hanya dari sebuah tulisan, sederhananya saja novel, literatur, puisi” Bapak Rudi langsung naik dari tempat duduknya, setelah mengucapkannya.

   “Bagaimana dengan menulis surat?” Tanya Fito dengan lugunya.

   “Kamu hanya bisa menulis surat? Haduhhh… Kalau begitu ini adalah pertanyaan terakhir, menurut kamu apa arti dari seorang penulis? Jawab dengan jujur” jelas pak Rudi

   Entah mengapa sebuah perkenalan bisa berubah menjadi interview kerja.

   “Menurut saya seorang penulis kerjanya hanya menulis, dan menurutku pekerjaan itu sangat membosankan” ucapnya tanpa sadar

   Jika penulis yang menggatungkan hidupnya untuk menulis, ataupun seseorang yang mencintai tulisan bahkan seperti mencintai anaknya sendiri mendengar hal itu, mungkin kantor ini akan terjadi bencana yang besar.

   Ucapan pedas Fito mungkin ucapan yang tidak berdasar, tetapi ia memiliki alasannya sendiri.

    Pernah sekali ia diberi tugas untuk menulis makalah di sekolah tanpa menggunakan komputer, belum menulis 1 paragraf dia suda tertidur, semenjak itu dia mengalami sedikit trauma jika disuruh menulis atau mengetik makalah.

   Fito mulai tersadar dan menutup mulutnya, ia baru sadar mengucapkan hal yang tidak menyenangkan didepan direktur utama.

    “Dari sekian banyak laki-laki yang datang kemari, cuma kamu yang berani menjawab seperti itu, tetapi harus kuakui kamu memiliki keberanian, melecehkan penulis di kandang mereka sendiri.” Suara dengan nada tinggi itu seketika memenuhi seisi ruangan.

    Hiruk pikuk yang berasal dari keramaian di luar rumah berangsur-angsur memulihkan kesadaran Fito, ingatan tentang kejadian 2 jam yang lalu masih menghantuinya, kejadian itu mungkin tidak akan terhapus untuk waktu yang sangat lama atau selamanya.

     “Fokus, fokus” Fito mengucapnya sambil menampar pipinya, berharap pikirannya tidak melayang begitu jauh.

     Tamparan yang tidak begitu keras itu ternyata ampuh juga. Laptop didepannya masih menyala menunggu untuk diketik lagi oleh tuannya,

    Ide demi ide terlewati tetapi tidak ada yang pas dengan hati, bagai hari yang terus terlewati tanpa berbuat apa-apa.

  

    Gadis dengan seragam tidurnya berwarna agak biru menghadap laptop dikamarnya, piyama kesukaannya yang dibelikan oleh ayahnya, walau hanya memakai piyama tetap saja tidak mempengaruhi aura kecantikannya,  jika ia berjalan di tempat umum mungkin orang tidak akan mengenalnya, tetapi jika sudah mengenal namanya mungkin pandangan orang lain akan berubah. Setiap hari sepulang sekolah ia hanya akan mengurung dirinya sendiri didalam kamarnya, ditemani oleh teman laptopnya, sudah 40 menit berlalu tetapi dia masih dengan semangatnya mengetik sesuatu.

    Beberapa meter di sampingnya terdapat rak buku, buku-buku itu disusun dengan sedemikian rapinya, dengan nama penulis yang semuanya hampir sama, layaknya kamar anak gadis pada umumnya.

    Tak jarang ia mengetik sambil melihat buku novel yang lain, mungkin sebagai referensi, baginya menulis itu bukanlah sekedar hobi belaka, menurutnya menulis novel itu unik. Ia dapat mengekspresikan segala perasaannya lalu dituangkan dalam sebuah buku, menurutnya itu menyenangkan.

    Beberapa hasil tulisan ceritanya terkenal dengan kisah inspiratif yang ia tuangkan didalamnya, novel nya juga sering masuk best seller, didunia penulis atau penerbit tidak ada yang tidak mengenal Anisa Wijaya

    Hening tiba tiba saja pecah, Anisa yang sibuk menulis itu akhirnya terhenti sejenak, ponsel yang berada tepat di sampingnya berdering, Jimmy nama yang terpampang di poselnya itu.

    “Halo, kenapa Jim?”

    Mulai terdengar suara seorang pria yang mungkin seusia Anisa. Nada suara itu sangat bersemangat.

    “Anisa, gimana novel baru ku? Uda baca belum” Jimmy

    “Belum sih, tapi bentar lagi aku beli kok”

    “Yah.. kok belum beli sih, ya udah deh nanti kamu carinya di rak best seller ya”

    “Eh, katanya buku Anak Anak Samudera ku juga uda diterbitin, nanti dibaca yaa..” Anisa juga ikut mempromosikan buku novel terbarunya kepada Jimmy mentornya, walaupun Jimmy dan Anisa menduduki jenjang bangku SMA yang sama, Anisa tetap memanggilnya mentor karena Jimmy lah yang membuatnya dapat berada di posisi ini.

    Novel yang menceritakan tentang 5 anak yang dibuang oleh orang tuanya ketengah samudera, di tengah samudera mereka menemukan sebuah pulau yang dapat dihuni hanya bermodalkan semangat dan pantang menyerah untuk hidup di pulau kosong tersebut. Namun makin lama ceritanya semakin mengenaskan, satu persatu anak anak itu meninggal karena penyakit, kecelakaan atau bahkan dimangsa hewan liar, tak berselang lama pulau itu kembali menjadi pulau tak berpenghuni. Novel ini memang terkesan sadis tetapi tetap di terbitkan mengigat Anisa adalah seorang penulis terkenal dan buku ini memiliki nilai plus karena banyak mengisahkan soal pertemanan, pantang menyerah dan lain lain walau berujung sad ending.

    “Oke deh aku tutup dulu ya teleponnya, mau lanjut nulis, biar enggak kalah sama kamu” Telepon ditutup oleh Jimmy.

    Hening kembali datang setelah panggilan telepon itu, Anisa kembali ke pekerjaannya.

    Malam itu hanya dipenuhi dengan suara ketikan berirama.

                                        

   

 

     

                                                                  

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                                        2

Mentari pagi seakan menyuruh kita untuk bergegas bangun dan segera beraktifitas melalui cubitannya, cubitan cubitan hangat yang membuat manusia manusia ini berjalan dan berkembang dengan cepat.

     Jejak bintang-bintang yang memanggil satu sama lain perlahan melarikan diri, akibat hiruk pikuk dan cubitan sang mentari yang galak, bintang yang hilang adalah pertanda seluruh kegiatan manusia ini dimulai, mobil-mobil, motor dan bahkan angkutan umum mulai memadati seluruh penjuru jalan. Banyak orang dewasa, remaja, anak anak yang bersiap untuk memulai kisah hidup mereka hari ini.

    Pagi yang sangat cerah untuk memulai hidup dengan bahagia, tampak seseorang yang masih menikmati masa muda nya, lelaki dengan baju putih abu-abunya beserta tas punggung berjalan menuju gedung yang bernama sekolah.

    Lingkaran hitam yang ada di bawah matanya membuktikan bahwa semalam ia kurang tidur. Ia masih saja memikirkan tentang ide cerita apa yang akan ia buat untuk menghiasi novel pertamanya.

     Menghembus nafas pelan-pelan lalu melangkahkan kakinya kedalam gerbang sekolah.

     Sekolah W.R Supratman.

     Hiruk pikuk jalanan juga dirasakan didalam sekolah, para orang tua yang mengantar anaknya, siswa siswa SD yang berlarian, atau siswa SMP dan teman teman SMA yang bermain bola di lapangan. Sekolah swasta ini menampung seluruh siswa SD, SMP, dan SMA, keramaian sekolah ini sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.

     Banyak teman teman sebaya dirinya yang menyapanya, tetapi ia tidak membalas satupun sapaannya.

     “Woy, kelas kita uda kelewatan dari tadi, melamun terus dari tadi, kenapa sih?” ucapan  seorang lelaki berambut cepak itu, secara tidak sengaja mengagetkan Fito, lelaki ini adalah Anton sahabat seperjuangannya.

     “Apa? Kelas kita uda kelewatan? Gila enggak nyadar gue” ucap Fito yang langsung berbalik arah.

    “Kamu melamun terus, atau jangan jangan kamu semalam ditolak sama bapakknya Anisa?” Anton yang seperti membaca pikiran Fito mulai mengejek-ngejeknya.

    “Bukan kali, aku masih ada harapan soalnya aku ditantang bapakknya, buat novel sendiri dan masuk best seller katanya”

    “Mimpii, Fito, mimpii, jangan pernah ambil harapan yang tidak bisa kamu gapai dengan tanganmu”

    “Yahh… belum juga dicoba, kita enggak bakalan tahu jika belum coba” percakapan mereka mulai terhenti didepan kelas, pintu bertuliskan kelas XII -IPA 2 yang sengaja diletakkan agar muridnya tahu kelas mereka ada dimana, tetapi hal itu tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Fito

    Kelas yang ramai, seluruh kursi telah ditempati oleh masing masing siswa-siswinya, sambil menunggu guru, terkadang mereka akan nongkrong atau mengobrol di depan kelas bersama sahabat, kekasih, atau kumpulan pemain game.  

    “Jadi kamu mau buat buku novel?” Tanya Anton sambil membalikkan kepalanya, Anton duduk persis didepan Fito

    “Iya” jawab Fito dengan singkat

    “Gini, aku punya paman, dia itu editor di salah satu penerbit buku,nih aku kasih nomor teleponnya” Anton menyodorkan sebuah kertas yang telah ditulis angka-angka.

    “Ton, sejak kapan lu punya paman?” tanya Fito keheranan, karena setaunya Anton memiliki ayah dan ibu yang secara kebetulan adalah anak tunggal. Kadang Anton merasa kesepian dirumah, ayahnya selalu berangkat kerja pada pagi hari meninggalkannya sendiri di rumah.

    “Kemarin kan bapak gue nikah lagi” Ayah Anton sempat berpikir untuk menikah kembali, ia merasa kasihan kepada Anton yang tidak pernah menikmati kasih sayang seorang ibu. Mungkin alasan itulah yang menggerakan ayah Anton untuk menikah lagi.

    “Loh, kok aku enggak diundang?”

    “Pesta nikah nya cuma kecil kecilan kok, enggak berani undang banyak orang, malu katanya” Anton menceritakannya dengan raut wajah yang sedikit malu.

    “Ini aku ada beberapa tips, kamu harus dengar ya” Fito langsung menyetujui dan mulai mendengarkan. Maklum Fito dan Anton sudah lama berteman apa yang dikatakan Anton selalu beralasan, tetapi tetap saja semuanya akan gagal, walaupun begitu tidak sampai hati Fito menolak mendengarkan Anton, karena hanya Anton teman satu satunya yang tidak pernah terpisahkan, bahkan mereka pernah poop bersama.

    “Nih kata paman ku, kalau kamu ingin membuat sebuah novel yang akan menggemparkan dunia perbukuan, kamu harus membuat sesuatu yang aneh, unik, tidak pernah terpikirkan dan pastinya mengejutkan sebelumnya, dan kamu harus membuatnya dalam 1 hari, kejutkan dulu editormu baru kejutkan yang lain” menurut Fito ucapan Anton ini sangat beralasan, sebelum kamu kejutkan pembaca, kamu harus mengejutkan editor mu terlebih dahulu.

    Fito mendapat pencerahan, ibaratnya seperti pelangi yang muncul setelah hujan selesai, semua keraguan Fito sirna bersama dengan hujan yang sebelumnya terus menguyuri hatinya.

“Eh, kalo lu bicarain tentang paman gue, pake om aja, enggak usah formal formal amet”

“Enggak apa apa nih aku panggil om?”

“Nanti kalo ketemu kamu panggil dia om aja”

 

        Kelas mulai ramai lagi setelah guru yang mengajar keluar dari kelas, beberapa siswa ada yang langsung bergegas pulang, juga ada yang memilih untuk tinggal sebentar dikelas, agar dapat memulai obrolan bersama teman temannya yang sempat tertunda.

      Tidak terkecuali Anton, dia memilih untuk tinggal dikelas bersama tim gamenya untuk membahas strategi yang akan mereka kerahkan di pertandingan selanjutnya.

      “Hoi, duluan ya semua” sapa Fito yang mengisyaratkan bahwa dirinya akan pulang terlebih dahulu.

      “Okee… Hati-hati dijalan ya Fit” Anton beserta teman temanya dari tim game membalas sapaan perpisahan Fito dengan riangnya, sampai akhirnya mereka mulai memasang raut wajah serius kembali.

       Sepanjang lorong ini di samping lapangan ini, ada barisan bangku yang dibuat dari keramik. Tempat untuk menonton permainan bola, tempat rehat bagi beberapa siswa yang ingin makan, atau mungkin hanya untuk menunggu teman.

       Terlihat dari beberapa kotak lantai, Anisa sedang menunggu jemputannya, matanya yang sedikit menghitam sama sekali tidak memudarkan manis di wajahnya, Fito berjalan pelan mendekatinya.

      “Hei, lagi nungguin siapa?” Fito yang menyapa langsung duduk disebelahnya.

      “Biasa, lagi nungguin jemputan, gimana kabar novel kamu?”

      “Udah mau selesai sih, kalau uda terbit pasti langsung masuk best seller kamu tunggu aja” Wajah Fito mulai memancarkan aura-aura optimis padahal kenyataannya dia belum berbuat apa-apa

      “Ya aku harap kamu enggak berhenti di tengah jalan, soalnya aku enggak suka cowok yang patah semangat. Eh, jemputan ku uda datang, aku duluan ya” Mobil sedan hitam yang memasuki area sekolah, mulai membuat para siswa memandang mobil itu, tak terkecuali Fito

      Kata-kata penyemangat Anisa baginya seperti melodi yang terus berdengung di pikiran dan telinganya, dari dalam hatinya mulai ada api yang sangat besar terus bergejolak. Ia langsung berlari menuju rumah tercintanya.

      Dengan nafas yang terburu-buru, kakinya yang terus ia pacu, sama sekali tidak ada tanda tanda kecapekan, padahal rumahnya lumayan jauh, lambat laun mulai terlihat sebuah toko yang ramai pengunjung.

      “Hei, Fito, sini bantu bapak dulu” Pria dengan uban yang tumbuh di kepalanya sibuk melayani pelanggannya.

      Toko yang sebelumnya hanyalah ruko biasa, semenjak di beli oleh keluarga Fito ruko biasa ini disulap menjadi sebuah toko lampu didepannya tetapi rumah didalamnya.

      “Maaf pak, tapi aku lagi sibuk” Tanpa pikir panjang Fito langsung berlari kedalam kamarnya, mengambil laptop dari bawah kasurnya. Ia mulai mengarang cerita dan menyalurkannya kedalam tulisan.

 

      “Kamu, bikin masalah lagi” Terlihat seorang pria paruh baya yang dimarahi oleh atasannya.

      Ruangan kantor yang terlihat sibuk sekali, tampak tumpukkan kertas kertas tersusun tidak rapi diatas meja meja, tidak jarang beberapa orang ini menerima atau menelepon seseorang.

       Kantor redaksi Cetakmedia begitu tulisnya di papan penunjuk yang tetempel di atas loteng putih.

        Tidak sedikit editor yang memegang kumpulan kertas tebal ditangan mereka. Mengecek terus cek lagi, mereka terus membolak balikan kertas yang telah dijilid itu, berharap menemukan kesalahan dan memperbaikinya, mereka tidak akan membiarkan satu pun kesalahan terlihat.

       “Ini fatal sekali Edo, salah satu penulis terbaik kita berhenti menulis gara gara kamu, kamu tau apa masalahnya?” Sekali lagi atasannya menggertak sang editor malang tersebut.

       “Iya pak, saya tahu, saya mengedit seluruh isi bukunya sehingga isi bukunya semuanya berbeda”

       “Tolong Edo, proffesional sedikit, kamu bahkan mengganti judul buku tanpa sepengetahuan penulis, memang bukunya terbit tetapi pesan yang disampaikan penulis menjadi hilang, ingat dia yang penulis kamu editor, kamu hanya memberi saran dan memperbaiki, bukan diubah semuanya, ini sudah ketiga kali Edo, penulis penulis tebaik kita, tidak akan saya berikan ke kamu lagi. Jika kamu mengulanginya sekali lagi bahkan ke penulis pemula, akan saya pecat kamu” Terkadang editor memang boleh memberi saran atau bahkan mengubah isi maupun judul, namun beberapa penulis tidak begitu suka jika alur ceritanya diubah apa lagi jika sampai diubah judul dan isi cerita tanpa sepengetahuan penulis itu sendiri.

       Bagaikan ibu yang memarahi anak-anaknya, atasannya itu memaki dan memarahinya terus berulang-ulang, karena menurutnya itu adalah kesalahan yang sangat fatal.

      Edo hanya bisa terus mengiyakan makian atasannya, melawan atau membela diri bukanlah opsi yang bisa dilakukan Edo saat ini, sempat saja dia melontarkan kata yang salah. Artinya ia harus siap untuk berdiri diam dan mendengarkan makian atasannya sampai atasannya merasa puas.

 

       Menyeruput kopi dikala sore hari apalagi setelah bekerja dan sehabis dimarahi memang hal yang sangat menyenangkan, kedai kopi jalanan disamping kantor lebih banyak diminati oleh para karyawan dibanding di café kopi, apalagi kedai kopi ini memiliki style style kedai jaman dulu.

       Tiba-tiba saja seluruh pelanggan kedai itu seluruhnya melihat pria berumur 34 tahun itu, dengan perut buncitnya itu menerima sebuah telepon dari nomor yang tidak dikenal.

       “Halo, permisi pak ini pamannya Anton?” Terdengar suara anak muda dengan nada yang sedikit ragu-ragu

       “Iya benar”

       “Begini pak, saya temannya Anton mau terbitin buku, boleh dibantu pak?”

       “Oh.., kamu temannya Anton yang ditolak cintanya itu kan, kasihan kamu, boleh-boleh saja, nanti jam 6 kita ketemuan di Café Sentosa dekat rumah Anton ya, jangan lupa ambil naskah mu”

       Telepon itu akhirnya ditutup, kembali menyeruput kopinya dengan nikmatnya, memang benar kata orang, kesempatan pasti akan terus datang, hanya bagaimana cara kamu menghadapinya, menolaknya atau menerimanya?.

       Panggilan telepon tadi bagaikan memberi kesempatan lagi untuk dirinya, walaupun penulis pemula, jika di besarkan dengan baik juga akan menjadi penulis terkenal, dan jika sang editor ini berhasil membesarkannya, mungkin ia akan kembali lagi menangani penulis terkenal.

       Seluruh perjalanan besar dan jauh selalu dimulai dari langkah pertama.

        

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

    

                                                                            3

       Transisi antara sore dengan malam telah tiba. Senja mulai menampakkan dirinya, senja yang jika dilihat hanya akan mendatangkan masa lalu kembali.

       Suasana yang sangat mirip di kala mentari terbit, di kala mentari terbenam semua orang juga akan keluar, manusia-manusia yang menunggu jemputan atau sekedar mencari makan setelah selesai pulang kerja dan aktifitas lainnya.

       Bau-bau makanan yang sedap tercium dimana-mana, interaksi antar pelanggan dan pelayan sangat terasa, senyuman ramah sang pelayan yang memandu pelanggan ke meja nya masing-masing selalu terpasang.      

       Café dekat rumah Anton ini memang terkenal dengan design interiornya, mereka mengambil tema retro, café ini layaknya menghipnotis kita ke era jaman dulu, meja-meja tersusun rapi ke samping, kursinya menggunakan sofa, mungkin karena faktor itulah yang membuat banyak orang ingin berlama-lama di café ini.

       Mencari seorang pria yang bertubuh gemuk, dan memakai baju kemeja kotak-kotak biru di café ini, akan sedikit gampang mencarinya karena hanya terdapat beberapa orang gemuk disini. Seketika mata Fito mengunci sesuatu, pria gemuk dan memakai baju kotak-kotak merah, ia mencoba melambainya, tetapi diabaikan.

       “Permisi om, bapak ini pamannya Anton?” Fito secara nekat menanyai pria gemuk itu berharap ia memanggil orang yang benar.

       “Iya. Iya benar kamu Fito kan? Yang sering diceritakan keponakan saya?” Pria ini juga berharap orang yang memanggilnya adalah orang yang benar.

       “Benar om, perkenalkan namaku Fito”

       “Nama saya Edo, panggil bang saja, jangan panggil om”

       “Nanti saya dikira pedofil” lanjutnya

       “Tapi kan enggak mungkin om nyulik aku”

       “Ya enggak lah saya juga punya selera”

      Bajingan lu Ton batinnya

       Siapa saja pasti akan memanggilnya bapak jika melihat wajahnya, muka dengan jenggot yang tebal, berkacamata, terlebih lagi memiliki poster tubuh yang gemuk.

       “Jadi, bagaimana? Bisa dilihat naskahnya?”

       “Saya bawa bang, sebentar” ia bergegas mengambil sesuatu dari dalam tasnya, apa yang diambilnya tidak terlihat seperti kertas maupun naskah hardcopy pada umumnya, tetapi sesuatu yang berbentuk persegi terlihat berat.

       “Loh kok kamu bawa laptop?” Tanya Edo keheranan

       “Naskahnya ada didalam bang”

       “Kamu enggak print?”

       “Enggak bang, saya takut enggak sempat”

       “Memangnya kamu selesaikan novelnya berapa bulan?”

       “1 hari bang”

       “1 hari?” Muka Edo langsung pucat, karena apa yang ia pikirkan mungkin akan mejadi kenyataan, Edo langsung merebut laptopnya dan secara perlahan melihat naskahnya.

       “Astaga naga, Fito kamu beneran mau jadi penulis atau bercanda?, aku dengar dari Anton kamu serius tapi. Aduh apa ini??” Edo sang editor mulai marah-marah, banyak orang disekitar langsung mengalihkan pandangan mereka ke arah Fito dan Edo, memang pertengkaran antara editor dan penulis itu langka, namun menonton orang yang sedang bertengkar tidaklah baik.

       “Coba saya tanya kamu, novel ini berjudul Rintihan Permen, tapi isinya Fito, kenapa isinya malah jadi cara membuat makanan kucing? Yang saya tidak tahan, kamu memasukkan 50 macam resep dan ini semua berasal dari internet, haram hukumnya bagi penulis untuk melakukan plagiat Fito” Edo sudah tidak tahan dengan luapan emosi di dadanya, baru kali ini dia merasa dihina oleh seorang penulis baru.

       “Tapi dari apa yang saya baca bang, bahwa pembaca menyukai sesuatu yang mengejutkan dan tidak diduga duga, dan saya merasa novel saya penuh kejutan buktinya, abang terkejut sampai marah” Jawab Fito dengan polosnya

       “Maksud dari kejutan itu adalah Plot Twist, biasa diterapkan di cerita, tapi karya mu ini bahkan tidak bisa disebut cerita” Sembari memberikan kembali laptopnya kepada Fito, ia menjelaskan lagi

       “Aku beri kamu kesempatan kedua, buat ulang novel mu, aku beri 1 bulan, buat novel bergenre inspiratif 20 ribu kata sudah cukup, jika kamu tidak menyelesaikannya, saya anggap kamu memang tidak ada niat menjadi penulis.” Edo mengucapkannya sambil mengacungkan telunjuk yang berarti 1.

       Fito yang telah mengerti maksudnya, tanpa lupa mengucapkan terima kasih berjalan keluar.

       Perasaan itu datang dan kembali lagi, kecewa. Benar seharusnya ia tidak boleh percaya apa kata Anton pikirnya.

       “Hei, kamu” Seorang pria kurus, dengan mengenakan topi nya secara terbalik seperti pemeran utama game dari harvest moon, hanya saja dia memiliki kumis yang sangat tebal, terlebih lagi dia memakai kemeja yang berwarna merah terang yang tidak cocok dengan penampilannya. Dengan semangatnya ia datang mengejar Fito.

       “Kenapa, mas?”

       “Aku tadi mendengar pertengkaran kalian, jika kamu mau menerbitkan buku, ke tempatku saja, kebetulan aku juga seorang editor, kalau kamu berminat kirim soft copy naskah kamu ke email ku” Pria misterius ini memberikan secarik kertas yang tertulis informasi email dan nomor telepon nya

       “Nama ku Dapid, kamu Fito kan?”

       “Iya, tapi ini, serius?” tanya Fito dengan ragu-ragu

       “Sudah pasti serius donk, novel mu sudah pasti masuk best seller kalau aku yang menerbitkan novelmu, tapi kamu harus membayar 10 juta untuk penerbitan bagaimana?”

       10 juta? Angka yang cukup fantastis bagi Fito, bahkan ayahnya perlu waktu 1 tahun untuk mengumpulkan uang sebesar itu dari toko lampunya, sesuatu hal yang perlu dipikirkan matang-matang.

       “Baik, besok ketemu lagi gimana?”

       “Jadi kita deal nih? Besok temui aku disini ambil uangnnya, jangan lupa naskahnya dikirim malam ini ya”

       Bagi Fito, 10 juta bukanlah hal yang perlu dipikirkan dibanding cintanya dengan Anisa, toh jika bukunya masuk best seller mungkin saja dia akan mendapat keuntungan yang lebih besar nantinya. Menurutnya hidup ini adalah pertaruhan dan pengorbanan.

       Bulan bagaikan mata dilangit, dia melihat semuanya di bumi ini, mungkin malam ini sang bulan akan melihat sebuah kejahatan.

 

       “Sampai disini saja, acara meet and greet dengan Jimmy, pencipta buku Ocean Sky” suara tepuk tangan mulai menggema mengisi ruangan yang tidak terlalu besar untuk sebuah acara meet and greet

       Buku-buku tersusun dengan rapi sesuai genrenya, terlihat jauh beberapa meter, keramaian yang hendak akan pulang, sebelumnya mereka mengikuti acara dimana moderator melakukan wawancara dengan beberapa pembicara, salah satunya adalah Jimmy. Ia duduk diatas panggung, dibelakangnya terpampang dengan jelas spanduk yang bertuliskan penulis muda berbakat.

       Lelaki dengan gaya rambut sisir atas dengan memakai kaos beserta celana joggernya yang khas itu, ia mulai turun ke arah kerumunan, ia terus – terusan diajak berfoto, tampaknya dia menemukan apa yang ia cari.

       “Nisa, gimana? Tadi aku di panggung keren enggak?”

       “Iya, keren kok”

       “Kamu laper? Cari makan yuk, aku yang traktir”

       “Enggak deh Jim, kamu tau kan papa suka ngelarang pergi malam-malam, lagian aku mau nulis lagi”

       “Yahh…” Jimmy mulai menghembuskan nafas nya keras-keras sebagai tanda kekecewaannya, selama ini Jimmy selalu mengajak Anisa keluar tetapi selalu ditolak, dengan alasan papa nya melarang, memang Jimmy selalu takut dengan orang tua Anisa apalagi papanya. Ia takut di blacklist oleh papa dari gadis itu, layaknya cowok-cowok yang gagal mendekati Anisa.

       Malam itu Jimmy merasa sesuatu yang ia lakukan bagai tak ada hasil, apa makna dari kerja kerasnya selama ini? Menjadi penulis terkenal dan ternama bahkan menjadi mentor Anisa, tapi semua kerja keras itu tak terbayar oleh apa yang dia cari.            

        

       Toko lampu yang biasa terang benderang, entah kenapa malam ini terasa gelap, didepan pintu toko terpasang kata-kata Tutup.

       Kamar dengan pencahayaan sedikit redup, cahaya yang berasal dari layar laptop menerpa langsung ke wajahnya, sambil melihat kertas yang ia pegang, dia mulai mengetikkan sesuatu, tampak kursor mousenya mengarah ke tombol send.

       “Dengan ini, buku ku akan best seller, tinggal memikirkan uangnya” Perasaan Fito sedikit lega setelah menekan tombol send.

       Tak berselang lama telepon genggam Fito berbunyi.

       “Iya, halo”

       “Fito, naskah kamu bagus penuh kejutan sekali, saya saja terkejut melihat judul dan isinya, pokoknya besok sore jam 6 ketempat kemarin ya, jangan lupa bawa uangnya juga” Suara serak-serak itu, akhirnya memutus panggilan telepon nya.

       Setelah mendengar apa yang barusan dikatakan oleh editor di telepon tadi, Anton aku tidak salah mempercayaimu ternyata saran mu benar, pikir Fito.

       Suara dengkuran yang berasal dari samping kamar Fito itu terus terdengar, dengkuran keras itu menandakan capeknya hari ini, suara dengkuran itu berasal dari ayah Fito, terlihat ayahnya hanya tidur sendiri, ibu Fito sudah lama meninggal, ibunya meninggal disaat Fito sangat memerlukan kasih sayang seorang ibu.

        Fito sangat ingin membantu ayahnya dalam hal mencari uang, tetapi tidak banyak yang bisa ia lakukan, dia merasa kurang jika hanya membantu ayahnya menjaga toko. Pernah terbesit di pikirannya, jika buku novel ciptaannya laris, mungkin ayahnya tidak perlu bekerja keras lagi.            

        Pintu dari kamar ayah Fito mulai terbuka, seseorang berusaha masuk dan memastikan apakah orang didalamnya masih tertidur, terdengar suara dengkuran lagi, tanpa ragu-ragu orang yang lebih baik disebut pencuri itu mulai mengendap-endap masuk, ia segera menuju brangkas, brangkas yang diyakini terletak disampin tempat tidur, pencuri itu mulai mengotak-atik kode brangkas berukuran kecil tersebut, sesekali ia melihat suara dengkuran itu berasal.

        Tek! Suara yang disusul terbukanya brangkas, hanya dalam beberapa menit seluruh uang di dalam brangkas ludes tak bersisa.

       

        Sisa-sisa udara dingin sebentar lagi akan digantikan oleh hawa-hawa panas dari cahaya mentari pagi, kabut kabut pada malam hari berubah menjadi asap-asap dari hiruk pikuk kendaraan dan pabrik.

        Manusia-manusia mulai keluar untuk mencari kisah hidupnya hari ini, tidak terkecuali Fito yang berjalan menuju sekolah.

         Pelajaran telah dimulai, kebetulan hari ini guru nya tidak masuk dengan alasan sakit, seluruh siswa di kelas XII-IPA2 mulai mengeluarkan gadget mereka dan bermain game, Kata demi kata mulai terdengar, dari kata yang paling halus sampai yang paling kasar mengisi kelas yang tak berguru ini, kadang teriakan – teriakan kekalahan maupun kemenangan kebanyakan berasal dari meja paling belakang, maklum zaman ini adalah zaman dimana game mobile sedang terkenal.

        Semuanya tampak sama, tetapi entah apa yang merasuki Anton hari ini, ia menolak semua tawaran bermain game yang ditujukan ke dirinya.

         “Fit, gue harus bicara serius sama lu”Anton membalikkan badannya mencoba berbicara dengan Fito, raut muka wajahnya tampak serius.

         “Kenapa? Hp mu enggak ada baterai?”

         “Lu buat aku malu fit, setelah aku beri nasehat yang menakjubkan masa naskah lo ditolak mentah-mentah”

         “Ya memang ditolak, tapi bentar lagi best seller kok”

         “Maksud kamu?” Tanya Anton keheran – heranan.

         “Udah nanti kamu liat aja” Aura optimis dari Fito yang sangat besar, memancar langsung ke arah temannya yang duduk persis didepannya, Anton hanya bisa diam dan mencoba mengalihkan pembicaraan.     

         “Eh.. lu tau enggak Fit? Si Anisa dekat sama cowok dari sekolah lain loh, katanya sih cowoknya itu seorang penulis terkenal”

         “Oh ya? Tenang aja Ton didepan mu sekarang sedang duduk calon penulis terkenal” Fito masih berada pada aura optimisnya.

         Anton yang merasa sedikit jijik dengan ucapan temannya itu, hanya bisa berbalik. Handphone dengan layar yang telah pecah dibagian sampingnya, sudah berkali – kali ia ditawari oleh ayahnya untuk membeli handphone baru, tetap saja ia menolak. Ia tetap bersikeras menolak untuk mengganti gadgetnya yang telah menemaninya selama 3 tahun belakangan ini. 

        Kriiinggg. Suara bel kembali berbunyi lagi menandakan pelajaran selanjutnya akan dimulai.

        Banyak siswa selalu berpikir untuk cepat – cepat menjadi dewasa, agar dapat terbebas dari Pekerjaan Rumah yang secara umum disingkat PR, padahal kenyataannya setelah tamat, mereka akan sangat merindukan momen momen sekolah, bercanda bersama teman dan lain lainnya.

        Kadang ada juga manusia yang seperti itu, mengambil keputusan tanpa memikirkan kedepannya, setelah gagal mereka akan menyalahkan kesalahannya kepada orang sekitar.

        “Fit, lu bisa mate kan? Nanti kasih aku jawabannya”

        “Sip Ton”

        Matematika, pembunuh kejam yang tidak pandang bulu, membunuh setiap siswa yang tidak belajar dan yang lupa mempersiapkan contekan.

        Guru mereka yang bernama Herman, memang terkenal dalam memberikan soal ujian yang susah, mengingat mereka adalah siswa tamatan yang sebentar lagi akan dihadapkan pada UN. Tema ujian matematika kali ini adalah LGBT, ya benar LGBT. Logaritma, Bangun ruang dan Trigonometri.

        Tiap meja, memiliki tekhnik menconteknya masing – masing, seperti menulis rumus di paha, menggunakan handphone, uniknya lagi ada yang menulis rumus di permen karet, menurut pengakuan dari beberapa siswa, menggunakan tekhnik permen karet lebih aman, jika guru mendekat, kamu hanya perlu memasukannya ke dalam mulut dan menelannya.

         Beberapa siswa dengan lihainya mencontek, bahkan sampai detik detik terakhir mereka masih bertahan.

         Akhirnya, suara bel yang mereka paling benci pada saat ujian terdengar, sekaligus pertanda berakhirnya pelajaran sekolah. Kali ini para siswa pulang dengan lemasnya.

         Jalan menuju gerbang begitu sesak, Fito memilih duduk di kursi keramik sambil menunggu berkurangnya sesak dijalan, tanpa ia sadari seseorang memanggilnya.

         Terkadang termenung memang menyenangkan tapi juga bisa bikin membingungkan, apalagi sambil memikirkan bagaimana cara membawa keluar uang 10 juta hasil curiannya dari kamar. Rencananya telah disusun sedemikian rupa, hanya saja tinggal memikirkan alasan jika ia ditangkap basah oleh ayahnya.

         “Fit, nunggu jemputan juga?”

         Teguran dari suara yang paling ia kenal, mulai memecah konsentrasinya.

         “Apa? Enggak kok lagi nunggu agak sepian. Eh” ucapan Fito tertahan sebentar, ia tidak tahu bahwa disampingnya adalah idola sekolah sekaligus gadis yang didambakannya.

         “Nisa, bentar lagi novel ku best seller”

         “Loh, emangnya novel kamu udah terbit?” Anisa terkejut mendengar ucapan Fito, menurutnya menerbitkan buku membutuh waktu proses yang lama, baru 1 minggu semenjak papanya menantang Fito. 

         “Belum, tapi sebentar lagi” Fito merasa sangat percaya diri sekali.

         “Kenapa sih, Kamu niat banget nulisnya?”

         “Demi kamu, kamu itu bagaikan goals ku, contohnya seperti para pelari yang ingin mencapai goals nya”

         Pipi Anisa mulai menampakan sedikit warna merah, baginya baru pertama kali ini, ada seorang cowok yang berkata begitu padanya.    

         “Kamu lucu ya” Anisa mengucapkannya dengan pelan.

         “Kamu bilang apa?”

         “Enggak kok, jemputanku uda datang, duluan ya” Anisa mulai berlari menuju mobilnya.

         Pohon-pohon terus berlalu dengan cepatnya, kadang melamun sambil melihat pemandangan dari mobil hanya akan memperdalam lamunan mu, bagi Anisa Fito adalah lelaki polos dan bodoh tetapi ada sesuatu yang membuatnya berbeda, semua orang pasti akan menjaga bahasanya jika sedang mengobrol dengannya.

         Cowok-cowok yang mendekatinya semua perlahan mundur semenjak diperkenalkan atau bertemu dengan ayahnya, karena ayahnya sering memberikan tantangan yang mustahil dilakukan untuk beberapa orang.

         “Anisa kenapa bengong aja? Ayo turun” Masih didalam lamunannya, bahkan dia belum menyadari ia telah sampai di rumahnya.

         Sebuah mansion yang berjarak sekitar 2 km dari sekolahnya. Mansion dengan pagar putih yang mengelilinginya.

         “Maaf ma, aku turun sekarang”

         Berdiri didepannya sekarang adalah ibunya Anisa, Anisa biasa memanggilnya mama, jika mereka berjalan bersama di tempat umum, mungkin orang-orang akan mengira mereka adalah kakak adik.

         Sebagai anak tunggal, orang tuanya begitu melindunginya, tetapi tetap keras padanya.

         Papanya begitu keras, tidak boleh keluar malam-malam, tidak boleh kemana-mana jika tidak bersama dengan salah satu anggota keluarga, seumur hidupnya ia tidak pernah keluar bersama teman-teman sebayanya.

         Hidupnya hanya ia persembahkan kepada tulisan, bagai putri yang dikurung didalam menara, bedanya menara itu memiliki tv, ac, laptop, internet dan mobil.

         Kesepian, kadang bisa berubah menjadi sangat menyakitkan, bahkan lebih menyakitkan dari patah hati. Patah hati  yang disebabkan oleh kepergian orang tercinta, masih kalah dengan kesepian, yang bahkan tidak memiliki teman untuk berbicara.               

       

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                                           4

Para bintang-bintang mulai mengejek dan mengucapkan selamat tinggal kepada mendung dan hujan, awan-awan terus bergerak sesuai arahan angin tanpa hentinya, bau khas hujan masih tercium dimana-mana, samar samar tampak pelangi dilangit malam.

         Hujan telah berhenti, maka keluar lah orang – orang dari persembunyiannya, jalanan kembali ramai, ada juga orang yang sibuk mendorong motornya keluar dari parkiran, tak jarang beberapa tukang parkir tiba tiba saja keluar dan meminta uang.

         Cinta itu random, seperti tukang parkir yang tiba tiba datang, dengan orang yang berbeda – beda, dan sama – sama berbekas di hati, hanya perbedaannya tukang parkir membekaskan rasa kesal di hati kita.

          Jimmy, lelaki yang dibutakan oleh cinta pertamanya, sedang menaiki mobilnya menuju mansion Anisa, dia berencana membawa Anisa ke toko buku.

          Pintu pagar di buka, para penjaga juga tidak menanyakan kepentingannya karena merasa sudah biasa, dulu Jimmy sering bermain ke rumah Anisa, sekedar bermain, bertemu dengan Bapak Rudi atau menilai novel Anisa.

          Atmosfir mulai berubah sejak Jimmy memasuki ruang tamunya, memberikan sebuah kesan yang susah ditafsirkan, sofa yang didudukinya juga merupakan kualitas terbaik.

          “Hai, Jim mau ajak Anisa keluar ya?” Suara yang lembut memenuhi seisi ruangan, istri dari majikan mansion ini berjalan dengan anggunnya menuju ketempat Jimmy.

          “Iya, tante”

          “Jangan sampai ketahuan sama om ya Jim, nanti urusannya makin panjang”

          “Tenang, tapi om lagi diluar kan tante?”

          “Iya, dia lagi diluar”

          Mamanya Anisa sangat ingin putri kesayangannya dapat merasakan dunia luar, kadang ia memperbolehkan Anisa keluar bersama temannya atau dengan Jimmy, pastinya saat suaminya sedang diluar.

          Kelopak mata Jimmy mulai bergerak dan menerawang sekitarnya, ia jadi ingat pertama kalinya dia memasuki rumah ini, 7 tahun yang lalu. Bapak Rudi dikejutkan oleh seorang penulis baru, yang dimana hanya dalam kurun 1 tahun bukunya terjual dengan oplah 150.000 eksemplar. Terlebih mengejutkannya lagi penulis itu hanya berumur 10 tahun.

          Jimmy berasal dari keluarga yang termasuk miskin, setelah ia menerbitkan buku pertamanya itu, seluruh keadaan keluarganya berubah drastis.

          Tidak lupa juga Bapak Rudi memperkenalkan Anisa kepadanya. Entah kenapa setelah pulang dari kunjungan itu, ia terus terbayang wajah manis Anisa. Begitulah kejadian cinta pertamanya.       

          10 menit lebih telah berlalu, akhirnya sang putri menampakkan dirinya, Anisa hanya memakai pakaian biasanya, tidak lupa memakai pita merah kesayangaannya yang dipasang dibelakang rambutnya.

          “Sorry ya Jim, lama enggak nunggunya?”

          “Enggak kok aku juga baru datang”

          Sebelumnya Anisa sempat mengatakan ingin membeli buku novel baru dari penulis kebangaannya, kebetulan sekali malam ini papanya Anisa sedang lembur, itulah sebabnya Jimmy mengajak nya pergi ke toko buku.

          Anisa sangat mengagumi penulis ini, uniknya penulis ini hanya menerbitkan bukunya setiap 3 tahun sekali, untungnya tahun lalu ia berhasil bertemu dan meminta tanda tangan kepadanya.

          Mobil sedan yang bertipe Corolla Altis melaju dengan kencangnya dijalanan, jalanan masih belum tampak sepi, lampu – lampu yang bersinar ditrotoar semakin mempercantik indahnya malam ini.

           Jalanan makin ramai, karena diwarnai oleh para pedagang kaki lima di sepanjang jalan.

           Lampu merah yang berada 30 meter di depan mereka berdiri kokoh, menunjukkan warna merah, pengendara yang melihatnya langsung menekan pedal rem. Bersabar menunggu warnanya kembali hijau. Tidak terlihat satu pun polisi hal ini serig dimanfaatkan oleh para pengendara nakal untuk menerobos lampu merah.

          Anisa tidak  begitu sering ke toko buku, sesekali ia diundang di sebuah toko buku sebagai bintang tamu atau mengikuti meet and greet penulis lain. Aktifitas membeli buku lebih sering ia lakukan secara online, kebetulan buku yang dia incar sudah terjual habis. Dia sangat senang ketika mendengar ajakan dari Jimmy.

          Sebuah gedung tepat diseberang mobil mereka, Gramedia Gajahmada tulisnya. Waktu terus berlalu, 5 menit terbuang hanya untuk mencari parkiran akhirnya terbayar.

          Anisa dan Jimmy melangkahkan kakinya kedalam pintu masuk, bau bau khas buku baru mulai tercium. Para petugas toko menyambut dengan senyumnya. Buku – buku disusun dengan rapinya sesuai genre masing – masing, selain rak buku terpampang juga rak alat tulis.

          Area novel berada di lantai 2, sesekali beberapa anak kecil berlarian ke arah rak buku komik. Melihat Anisa yang sedikit kebingungan seorang petugas toko memberanikan dirinya dan bertanya.

          “Permisi, boleh saya tahu mau cari buku apa?”

          “Saya lagi cari buku yang berjudul Calon Kertasku karya Santana” Tidak lupa Anisa menyebutkan penulis yang ia kagumi

          “Santana? Santana yang mana ya mbak? Yang berkumis itu ya?”

          “Ihh.. kok berkumis, dia itu cewek loh” Walaupun sedikit kesal dengan penjaga tokonya, tetapi entah kenapa dia teringat dengan seseorang.

          “Kalau penulisnya saya tidak tahu, tapi saya tahu letak dimana buku itu berada”

          Pramuniaga muda tersebut memandu sampai ke arah rak yang bertuliskan New Arrival.

          Buku yang dicari akhirnya menampakkan wajahnya. Cover buku yang masih mengkilap diterpa oleh lampu, dari depan tampak bertuliskan Calon Kertasku. Novelnya sendiri ternyata tidak begitu susah dicari karena berada di paling atas. Anisa mencoba melihat bukunya, akan jadi masalah kalau buku yang ia pegang sekarang ternyata salah.

          Senyuman kebahagiaan dan sedikit anggukan kecil, membuat siapa saja yang melihat kejadian ini tahu bahwa buku yang selama ini ia cari telah ditemukan. 

          “Terima kasih ya mas, uda bantu cariin” Terlihat Anisa segera mengambil 1 buah buku itu dengan senangnya.

          “Sama – sama mbak, saya permisi dulu” ucap Pramuniaga dengan gerakkan sopannya pergi keluar.  

          Walau telah mendapatkan buku yang diincar, sepertinya mereka berdua masih ingin berlama – lama diantara novel novel karya penulis terkenal.

          Keduanya asyik membolak – balikkan sampul hanya sekedar untuk membaca sinopsis, tampak beberapa karya buku dengan penulis yang belum pernah mereka berdua dengar. Mata Jimmy mulai melirik satu novel dengan nama penulis yang tidak asing.

          “Aku beli buku ini deh” Jimmy mengambil buku itu dari rak paling atas, lumayan tebal untuk sebuah novel bergenre Sci-Fi.

          “Loh, itu bukannya Heart in the Jar?” ucapan Anisa membuat Jimmy memekarkan senyumnya.

          Heart in the Jar, buku novel bergenre Sci-Fi  pertama yang Anisa ciptakan. Heart in the Jar sendiri menceritakan tentang masa depan, dimana semua orang bisa memperjual belikan perasaan yang dapat ditaruh kedalam toples, protagonis nya sendiri menjual seluruh perasaannya karena ia tidak memiliki uang untuk merawat kedua orang tuanya. Sampai akhirnya protagonis itu sendiri mejadi robot yang tidak memiliki perasaan.

          “Aku kemarin lupa beli bukunya, kebetulan sekarang aku ketemu jadi kubeli deh”

          “Ohh.. nanti jangan lupa kasih saran lagi ya kakak mentor” Ejek Anisa.

          Masing – masing telah memegang buku yang mereka suka. Keduanya berjalan menuju kasir, membayar novel yang dibeli, lalu pergi menuju pintu keluar. Melewati beberapa rak buku lagi, sampai akhirnya, Jimmy berhenti mengambil langkah sekarang ia hanya berdiri mematung memandang sebuah rak. Rak yang bertuliskan best seller.

          Tatapan kosong.

          Kemudian ia berbalik, arah matanya lurus memandang Anisa.

          “Kamu mau taruhan enggak?” pertanyaan anehnya malah membuat Anisa menjadi kebingungan.

          “Taruhan apa?”

      “Sebentar lagi buku ku terbit, buku kamu juga bentar lagi terbit kan? kita taruhan siapa yang buku nya terjual paling banyak dia lah pemenangnya”

      “Hadiahnya?”                                                                                                                

      “Yang kalah harus menuruti segala permintaan pemenang hanya untuk satu hari. Gimana? Kamu setuju?”

      “Setuju” Tanpa berpikir panjang Anisa menyetujui taruhan itu, karena novel yang akan ia terbitkan sebentar lagi adalah novel trilogi bergenre mystery andalannya yaitu, The Yarn.  

                             

      “Kamu niat enggak sih, kita kan janjinya datang jam 6, kok jam 7 baru datang?”

      Café Sentosa, tempat berkumpulnya anak – anak muda untuk nongkrong atau sekedar pacaran, café ini dipilih oleh orang banyak bukan karena tema retro yang disuguhkan, melainkan makanan murah tetapi rasanya tidak murahan.

      Saat malam tiba seluruh lampu di bagian tamana café akan menyala, tetapi lampu yang diperlihatkan bukanlah lampu taman pada umumnya, lampu 1 menit namanya. Seperti namanya seluruh lampu ditaman ini akan berganti warna secara acak.

      Kekasih, teman, sahabat, keluarga semuanya berkumpul menjadi satu menikmati indahnya lampu 1 menit. 20 meter dari taman tampak dua orang sedang bertatapan. Mereka datang bukan untuk melihat lampu, tetapi sebuah perjanjian yang akan mengutungkan mereka berdua.        

       Pria dengan kumis tebal berbaju kaos kotak – kotak, style masih tidak cocok dengannya. Dihadapannya seorang lelaki, nafasnya terburu – buru sambil membawa tas di punggungnya, ia berlari dari rumah sampai ke café, akibatnya nafasnya terburu – buru.

       “Maaf, Hah… Hah…. Tadi.. Hah… aku bingung cara, Hah… ambil uangnya” ucapan Fito sedikit tidak jelas karena nafasnya yang masih belum beraturan.

      Ayahnya yang terus berjaga dibawahnya membuat Fito sedikit kesusahan untuk mengantarkan uangnya, tak heran jika nafasnya tidak beraturan.

       “Fit masa ambil uang aja bingung, tapi kamu bawa uangnya kan?”

       “Iya, aku bawa” Fito mulai melepaskan tas punggungnya dan memberikannya kepada Dapid.

       Tidak asing melihat tas punggungnya, tas punggung bermerek Body Glove, biasa selalu ia kenakan saat ke sekolah.

       “Aku ambil uang nya ya Fit, jadi perjanjian nya uda deal kamu nunggu buku kamu best seller aja” Dapid mengambil tas nya,  tanpa lupa untuk mengecek isinya.

       “Tunggu mas, tas nya jangan diambil aku masih mau pake” dengan polosnya Fito meminta tas nya kembali.

       “Ya ampun Fit, ya udah ikut aku” Dapid mengajak nya menuju parkiran.

       Parkir, keadaan dimana kendaraan ditinggalkan oleh pengemudinya dengan status sementara. Pastinya fasilitas parkir diberikan oleh pihak restoran.

       Dapid menekan tombol remote yang menggambarkan gembok terbuka, hasilnya. Tetot!! Suara itu berasal dari area belakang parkiran. Sebuah Avanza putih membalasnya dengan suara khasnya. Tak banyak bicara Dapid langsung saja menghitung uang yang diberikan Fito dan memindahkannya ke bagasi mobilnya.

    “Pas, duitnya pas, tinggal nunggu aja, buku mu pasti best seller, tapi aku lagi ada urusan buru buru nih, nanti aku telpon lagi” kata Dapid dengan yakin, lalu dengan terburu-buru menancap gas pergi.

    Suara yang keluar dari mobil Dapid, lama kelamaan mulai menyatu dengan ramai nya jalan raya, sampai akhirnya tidak terdengar lagi.

    “Ini langkah pertama menuju hidup baruku!” Fito melangkahkan kakinya yang ia percaya sebagai langkah pertamanya itu. Angin sepoi sepoi terus menerpa mukanya, sambil berjalan ia terus memikirkan bagaimana cara menghadapi ayahnya yang bakal marah besar jika ia pulang, mengingat tabiat ayahnya yang keras, pernah sekali Fito ketahuan mencuri uang 10 ribu dari laci kasir untuk membeli es krim, tanpa pikir panjang ayahnya langsung memukul dan menghukumnya. Hukumannya cukup sederhana mengembalikan uang 10 ribu itu ketempat asalnya, akhirnya mau tak mau Fito meminjam uang temannya dan mengembalikannya ke laci.

   

    Bulan sabit mulai muncul.

    Biasanya atmosfir di sekitar toko lampu selalu hangat, beberapa lampu dibiarkan menyala oleh ayahnya Fito. Tetapi malam ini terasa beda, kehangatan yang sering pejalan kaki rasakan berubah menjadi dingin, lampu yang biasanya hidup dengan terang malam ini gelap, ditambah dengan kata kata Tutup didepan tokonya, padahal ini baru jam 8 sedangkan toko baru tutup pada pukul 10.

    Seakan mengetahui apa yang terjadi, dengan pelan Fito mengambil kunci komputer yang katanya tidak akan pernah bisa ditiru, terlihat 3 gembok putih buatan jerman masih mengunci beberapa sela di pintu, dengan perlahan Fito membuka satu demi satu gembok tersebut sampai akhirnya pintu toko terbuka. Gelap, tidak ada satupun lampu yang menyala, menggunakan cahaya dari handphonenya perlahan ia menaiki lantai 2.

    Anak tangga demi anak tangga ia naiki, sampai akhirnya ia sampai diatas puncaknya, hal yang akan pertama kali dilihat adalah sebuah meja makan, terkadang beberapa tamu yang mengunjungi rumah Fito akan merasa aneh sebab rumahnya tidak memiliki ruang tamu, sehingga para tamu yang berkunjung akan diajak duduk di kursi dekat meja makan.

    Tampak sesosok pria tua dengan raut wajah serius sedang duduk di kursi menghadap ke meja makan, tulang tulang pria itu sangat jelas terlihat, mungkin karena efek memakai singlet warna putih.

     “Kamu darimana aja?” Tanya orang tua itu yang tidak lain tidak bukan adalah ayahnya Fito.

     “Dari rumah temen pak” Fito telah menyusun beberapa kalimat untuk menghadapi ayahnya agar ia tak terlihat gugup, atau dicurigai.

     “Kamu tahukan? Uang kita dicuri” raut wajah ayahnya semakin membuat Fito takut, pasalnya tatapannya seakan akan menuduh Fito.      

     “Hah?? Uang kita dicuri? Kok bisa?”

     “Fito kamu ngaku, kamu kan yang curi uang bapak?” Deg!! Fito tak kuasa menahan keterkejutannya. “Bagaimana bisa ia tahu?” batinnya. Sorot mata ayahnya makin lama makin buas, seakan memaksa Fito untuk mengakui perbuatannya.

     “Enggak kok pak” Di momen krusial ini, sebenarnya hati terdalamnya  ingin mengaku, mengingat ia selalu diajarkan untuk tidak berbohong, apalagi kepada ayahnya yang sudah tua. Saat melihat rambut ayahnya yang putih selalu timbul rasa kasihan, menopang segala kebutuhan keluarga sendiri semenjak ibu Fito yang telah lama meninggal, seluruh jemari ayahnya kini telah bersisik, tulang pinggang nya tidak seperti dulu lagi, semua ini ia lakukan demi keluarga nya sendiri.

     “Kamu jangan bohong, pintu masuk kita cuma ada satu dan bapak sudah menguncinya dengan 3 gembok, lagian tadi pagi bapak cek gemboknya juga masih utuh, siapa lagi kalo bukan berasal dari orang dalam” Memang benar rumah Fito hanya memiliki satu akses masuk yaitu pintu depan toko, rumahnya juga tidak memiliki jendela, pernah sekali mereka berniat membuat jendela tapi niatnya kembali dikurung karena masalah dana.

     “Bapak sama ibu buang buang duit besarin kamu!!, bukan untuk jadi pencuri!, sekarang kamu jujur uang itu kamu apakan?” Walau kata katanya tidak begitu menusuk hati, tetapi dapat dirasakan Fito bahwa setiap katanya terkandung amarah yang sangat besar.   

     ”Maaf pak, iya Fito ngaku, kemarin aku ditawarin buka usaha sama orang disuruh bayar 10 juta dulu” Terpaksa Fito harus kembali berbohong pasalnya jika ayahnya tau uang itu hanya untuk menerbitkan buku, mungkin namanya akan dicoret dari kartu keluarga.

     “Ya ampun Fito, kamu tuh bego ya?! Bapak mati matian cari uang, dengan gampangnya kamu curi terus ditipu orang?” Kemarahan yang memuncak tidak dapat dihindari lagi, malam itu Fito hanya duduk dan dimarahi habis habisan, masih beruntung Fito hanya dimarahi, beberapa orang tua mungkin sudah melemparkan koper beserta anaknya keluar dari rumah.

     “Tapi pak, mungkin saja dia beneran menempati janjinya dan memberikan kita kesempatan buka usaha” Fito masih belum menyerah untuk meyakinkan ayahnya.

     “Sumpah Fit!, bapak gak bisa ngomong apa apa lagi!, bapak sudah 10 tahun buka usaha, pahit, asam, manis, uda pernah bapak telan semua, penipuan seperti ini sudah biasa Fit”

     Terkadang semakin dewasa usiamu bukan berarti pemikiranmu juga semakin dewasa, pemikiran yang dewasa hanya dapat diajarkan oleh pengalaman, itulah sebabnya mengapa orang orang menyebut pengalaman sebagai guru terbaik.

      Walau telah menginjak 17 tahun, Fito masih tidak dapat membedakan mana baik mana salah, mungkin itulah di benak Fito yang saat ini duduk terdiam sambil menerima omelan dari ayahnya. 

      “Kamu sudah dewasa Fit, bapak gak akan mukul kamu, tapi seperti biasa, hukumannya kamu harus kumpulin uang 10 juta dalam 1 setengah tahun terus balikin uangnya ke tempat semula” Hukuman yang pernah menimpa Fito 8 tahun yang lalu.

     “Kali ini bapak harus tegas Fit, bapak beri kamu kepercayaan tapi kamu kecewain, kadang kepercayaan dari orang tua ada batasnya Fit, kalo dalam 1 setengah tahun ini kamu enggak bisa balikin uangnya, setelah kamu lulus kamu bakal di kirim ke jakarta buat kerja sama pamanmu disana” Pernyataan yang diucapkan secara tegas ini bukan hanya semata mata memberi hukuman untuk mendapat efek jera, namun hukuman ini dipercaya oleh ayah yang ingin membentuk karakter dewasa anaknya.

     Hal yang paling dibenci Fito selain kecoa adalah bekerja ditempat pamannya, pamanya sendiri adalah pemilik pabrik besi. Pernah sekali Fito bekerja di tempat pamannya, dia ditugaskan untuk memotong besi besi tua agar menjadi lebih kecil, bau bau tidak sedap dari besi yang dipotong maupun percikan percikan api yang mengenai kulit merupakan hal biasa bagi pekerja disana tetapi tidak untuk Fito. Sering ia membuat berjuta juta alasan agar ia tidak diajak oleh ayahnya untuk bekerja disana.

     “Baik pak” Jawabnya dengan lesu, sekarang masalahnya yang dihadapinya bukan cuma tantangan dari pak Rudi, tetapi ia harus memikirkan bagaimana cara untuk mengumpulkan uang itu dalam 1 setengah tahun. Keraguan kembali menyelimuti dirinya, muncul berbagai pertanyaan seperti, apakah bukunya beneran terbit dan menjadi best seller? Atau bagaimana jika dirinya beneran ditipu? Akhirnya muncul sebuah kesimpulan yaitu jika Dapid tidak menghubunginya lagi selama seminggu maka dia positif kena tipu.      

 

 Sore hari di sebuah jalan penyebrangan.

    Jimmy termenung, melihat mobil mobil yang melintas dibawah jalan penyebrangan, kali ini ia tidak menggunakan mobilnya seperti biasa.

    Suara gemuruh kaki mulai terdengar, keramaian para pejalan kaki mulai melewati punggung Jimmy, menyenderkan tubuh di atas jalan penyebrangan memang sangat asik apalagi sambil termenung.

    Sebuah colekan yang dengan cepat membangunkan Jimmy dari  lamunannya.

    “Gimana?, ide gue yang kemarin bagus kan?”

    “Ya, memang harus ku akui sih, ide lu tentang cewek nya keracunan di Ocean sky emang top Ric.”

    “Hahahahahaha” Frederico tak kuasa menahan tawanya, kacamatanya terus bergetar hampir jatuh akibat tawanya, pipi Chubby nya terus bergoyang membuat orang yang melihatnya merasa gemas ingin segera mencubitnya.

    Siswa gemuk yang baru menginjakkan bangku kelas 11 SMA ini memang sahabat Jimmy, pernah sekali Jimmy mengejek seorang player dengan nickname KGKZ didalam game Dota, sampai akhirnya. “Siapa yang disini, memakai nickname Jimmy332?” Sekitar 5 orang masuk kedalam warnet dan mencari satu persatu komputer yang tertera nickname tersebut, dan akhirnya menemukan orang yang dimaksud yaitu Jimmy, tidak berlansung lama duel mulut antara 5 orang melawan 1 orang tak terelakkan, sampai pada akhirnya duel tersebut berujung menjadi persahabatan, kadang persahabatan antar lelaki memang aneh dan misterius.

    “Buku mu sendiri? Gimana?’ tanya Jimmy

     “Malas, lagi pengen libur”

     “Enak ya, jadi penulis berbakat sejak lahir”

     “Iya donk, siapa suruh enggak berbakat!. Hahaha” ejekan itu kembali disusul oleh gelak tawa dari Frederico.

     Kebanyakan penulis Cetakmedia memang sudah berbakat sejak lahir, tidak sedikit penulis yang hanya mengandalkan kerja keras berhenti akibat minder atau kalah dengan penulis baru berbakat.

     “Eh lu uda tau belum?”

     “Belum”

     “Lah kan gue belum ngomong” balas Frederico dengan nada marah.

     “ Ah udahlah, nih gue kasih tau, Clash Writer bakal diadain tanggal 5 februari tahun depan.” Lanjut Frederico, Clash Writer adalah event yang diadakan oleh Cetakmedia, secara garis besarnya ini adalah pameran buku sekaligus pemilihan penulis terbaik Cetakmedia.

     “ Loh? Diperlambat?”

     “Iya, gimana persiapan lu? Ini pemilihan yang terakhir kan?”

     “Ya, ini pemilihan ku yang terakhir, aku sih yakin” Jawab Jimmy dengan mantap

     “Pokoknya tahun ini gue gak akan kalah” Clash Writer bukanlah sembarang event, Clash Writer termasuk event terbesar se Asia Tenggara, memenangkan penulis terbaik Cetakmedia adalah hal yang sangat membanggakan. Untuk masuk kedalam nominasi penulis terbaik juga tidak sembarangan, penulis harus memiliki prestasi setidak tidaknya 2 kali buku sang penulis masuk dalam kategori best seller dan memenangkan minimal 1 lomba baik nasional maupun internasional.

     Pernah terjadi kejadian dimana hanya ada 1 nominasi dan secara otomatis terpilih menjadi penulis terbaik pada tahun itu.

      “Ya udah deh, pulang dulu mau main Dota” Frederico mulai berjalan menuruni anak tangga dari jembatan penyebrangan.

      “Lah? Kamu datang kesini cuma bilang itu?”

      “Iya” balas nya dengan singkat, tanpa menoleh sedikitpun, berjalan keluar sampai akhirnya tubuh gendut itu tak terlihat lagi.

      Sore itu ia masih merenung dan melihat kebawah, menikmati pemandangan ramai sambil mengisi ide ide ceritanya kembali.

   

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Untouchable Boy
660      462     1     
Romance
Kikan Kenandria, penyuka bunga Lily dan Es krim rasa strawberry. Lebih sering dikenal dengan cewek cengeng di sekolahnya. Menurutnya menangis adalah cara Kikan mengungkapkan rasa sedih dan rasa bahagianya, selain itu hal-hal sepele juga bisa menjadi alasan mengapa Kikan menangis. Hal yang paling tidak disukai dari Kikan adalah saat seseorang yang disayanginya harus repot karena sifat cengengnya, ...
About us
31721      3080     3     
Romance
Krystal hanya bisa terbengong tak percaya. Ia sungguh tidak dirinya hari ini. CUP~ Benda kenyal nan basah yang mendarat di pipi kanan Krystal itulah yang membuyarkan lamunannya. "kita winner hon" kata Gilang pelan di telinga Krystal. Sedangkan Krystal yang mendengar itu langsung tersenyum senang ke arah Gilang. "gue tau" "aaahh~ senengnya..." kata Gila...
Meet Mettasha
258      207     1     
Romance
Mettasha Sharmila, seorang gadis berusia 25 tahun yang sangat senang mengkoleksi deretan sepatu berhak tinggi, mulai dari merek terkenal seperti Christian Loubotin dan Jimmy Choo, hingga deretan sepatu-sepatu cantik hasil buruannya di bazar diskon di Mall dengan Shabina Arundati. Tidak lupa juga deretan botol parfum yang menghiasi meja rias di dalam kamar Metta. Tentunya, deretan sepatu-sepat...
Kisah yang Kita Tahu
5738      1727     2     
Romance
Dia selalu duduk di tempat yang sama, dengan posisi yang sama, begitu diam seperti patung, sampai-sampai awalnya kupikir dia cuma dekorasi kolam di pojok taman itu. Tapi hari itu angin kencang, rambutnya yang panjang berkibar-kibar ditiup angin, dan poninya yang selalu merumbai ke depan wajahnya, tersibak saat itu, sehingga aku bisa melihatnya dari samping. Sebuah senyuman. * Selama lima...
A - Z
3025      1033     2     
Fan Fiction
Asila seorang gadis bermata coklat berjalan menyusuri lorong sekolah dengan membawa tas ransel hijau tosca dan buku di tangan nya. Tiba tiba di belokkan lorong ada yang menabraknya. "Awws. Jalan tuh pake mata dong!" ucap Asila dengan nada kesalnya masih mengambil buku buku yang dibawa nya tergeletak di lantai "Dimana mana jalan tuh jalan pakai kaki" jawab si penabrak da...
Daniel : A Ruineed Soul
559      327     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...
Langit Jingga
3280      935     2     
Romance
Mana yang lebih baik kau lakukan terhadap mantanmu? Melupakannya tapi tak bisa. Atau mengharapkannya kembali tapi seperti tak mungkin? Bagaimana kalau ada orang lain yang bahkan tak sengaja mengacaukan hubungan permantanan kalian?
She Never Leaves
5197      1520     4     
Inspirational
Dia selalu ada dan setia menemaniku, Menguatkanku dikala lemah, Menyemangatiku dikala lelah, dan .. Menuntunku dikala kehilangan arah.
When You Reach Me
7567      1991     3     
Romance
"is it possible to be in love with someone you've never met?" alternatively; in which a boy and a girl connect through a series of letters. [] Dengan sifatnya yang kelewat pemarah dan emosional, Giana tidak pernah memiliki banyak teman seumur hidupnya--dengan segelintir anak laki-laki di sekolahnya sebagai pengecualian, Giana selalu dikucilkan dan ditakuti oleh teman-teman seba...
CINTA DALAM DOA
2446      980     2     
Romance
Dan biarlah setiap doa doaku memenuhi dunia langit. Sebab ku percaya jika satu per satu dari doa itu akan turun menjadi nyata sesungguhnya