“Apa ini? Siapa orang-orang ini? Siapa gadis berjaket merah ini?” Semuanya terlihat hitam putih. Hingga aku tersadar tentang mereka, "Oh iya, mereka adalah....”
“Dok pasien sudah sadar!” teriak seorang wanita didekatku. Wanita itu adalah Jessica. Dia terlihat bahagia seperti biasanya, namun kali ini terlihat lebih bahagia dari biasanya. Setelah itu, dokter datang dan membolehkanku pulang 2 hari lagi karena kondisi yang tidak terlalu parah. “Alhamdulillah sekarang kakak sudah pulih kembali. Apa ada sesorang yang perlu kuhubungi? Seperti keluarga atau mungkin pacar kakak?” tanya Jessica. “Tidak,” jawabku seadanya. “Oh iya, Pak Rudy berkata bahwa kakak tidak perlu mengkhawatirkan masalah kerusakan dari bom paket, soalnya kerusakan tidaklah parah dan beberapa kerusakan kecil akan ditanggung oleh pihak pos,” tutur Jessica.
“Apa ibu-ibu itu terluka ?”
“Oh, tenang saja. Berkat kakak yang menyuruhnya untuk tiarap, ibu-ibu itu hanya luka ringan”
“Baguslah kalu begitu”
“Oh iya kak, apa kakak tahu siapa orang yang mengirimkan paket bom itu?”
“Tidak, memangnya kenapa ?”
“Soalnya rumah yang dituju dari paket itu adalah rumah seorang milyuner terkenal yang dermawan dan rendah hati”
“Lho, mengapa orang yang dermawan dan rendah hati menjadi sasaran bom?” pikirku dalam hati.
“Biaya perawatan kakak di rumah sakit ini juga dia yang membayarkannya lho,” lanjut Jessica.
“Alhamdulillah, kalau kau bertemu dengannya ucapkan terimakasih dariku ya!”
Dua hari telah berlalu akhirnya aku kembali ke rumah kontrakan milikku. “Assalamualaikum,” ucapku sembari membuka pintu. Aku tinggal sendirian di rumah kontrakanku ini. Sebenarnya aku memiliki ibu tapi dia tinggal jauh dariku. “Besok aku harus kembali bekerja, lebih baik aku istirahat di kamar,” begitu pikirku. Tiba-tiba terlihat sesosok wanita yang sedang menonton tv di kamarku. “Waalaikumsalam, akhirnya kau pulang juga,” ucap wanita itu. Ya, dia adalah ibuku. “Ibu, kenapa ada disini?” tanyaku. “Memangnya tidak boleh seorang ibu datang ketempat anaknya yang sedang sakit?” Aku hanya terdiam. Ibuku ini terlihat seumuran denganku. Aku yakin tidak ada yang akan percaya kalau ibuku ini 25 tahun diatasku. Kalau kalian tidak percaya dengan keberadaan penyihir kalian harus lihat ibuku ini, maka kalian akan langsung mempercayainya. Karena Ibu sudah berada disini, mau tidak mau aku harus menerima ibuku di rumah ini.
Esoknya aku kembali bekerja sebagai tukang pos. Selama bekerja aku terus memikirkan gambaran orang-orang yang telintas di kepalaku saat sedang pingsan. Aku rasa aku telah melupakan mereka. Mereka terlihat seperti sekumpulan anak-anak yang sedang bermain bola dan yang terakhir terlihat sedang sendirian di taman kota dengan jaket merah. Sepulang dari tempat kerja, aku pulang kerumah bersama Jessica. Sebenarnya aku tidak memintanya untuk ikut, tapi dirinya sendirilah yang memaksaku. Katanya agar aku tidak terjadi sesuatu saat di perjalanan pulang. Ya, sudahlah. Mau tidak mau, aku menerimanya untuk mampir ke rumahku.
“Assalamualaikum,” ucap kami bersamaan. “Aku pulang,” ucapku. “Permisi,” lanjut Jessica. “Waalaikumsalam, silahkan masuk,” balas ibuku. Terlihat ibuku sedang memasak di dapur. “Siapa namamu? Apa kau pacar anakku yang tampan ini?” tanya ibuku dengan gampangnya. “Astaghfirullah ibu, mana mungkin aku pacaran bu, ini bukan pacarku dia hanya teman kerjaku,” balasku dengan kesal dengan perkataan ibuku yang tanpa pikir panjang. “Namaku Jessica, aku teman kerja kak Kevin,” sambung Jessica sambil tersenyum. “Oh, ya sudah. Apa kalian sudah makan malam?” tanya ibuku kepada kami. “Belum,” jawabku. “Kalian beruntung sekali karena ibu mamasak opor yang cukup banyak untuk malam ini!”
Setelah selesai makan aku disuruh ibu untuk mengantarkan Jessica pulang. “Masakan ibu kakak enak ya!” ujar Jessica. “Hmmm... mungkin,” balasku. Ibu sudah memperingatkanku untuk tidak cuek dengan wanita. Katanya wanita itu sensitif dan sulit ditebak, maka dari itu kita tidak bisa menebak apakah wanita itu sedang menyukai kita atau hanya sebatas teman saja. Jadi, kita harus memperlakukannya dengan lembut. Tapi tetap saja, aku tidak mau memperlakukan seseorang secara berlebihan seperti itu karena memang pada dasarnya aku ini orang yang tidak mau ikut campur urusan yang aneh-aneh. Lagipula, dalam islam juga dilarang yang namanya pacaran.
Saat kembali ke rumah, aku berpapasan dengan seorang lelaki yang tubuhnya agak tambun dan mengenakan topi sambil menunduk sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Sekilas aku seperti pernah melihat wajahnya di suatu tempat. Aku mulai teringat sesuatu, aku teringat dengan kasus pembunuhan saat aku masih kelas 5 SD. Kasus pembunuhan itu membunuh 2 orang teman kelasku. Seketika aku langsung berlari ke rumah dan saat sampai di rumah, aku melihat ibuku sedang tertidur di lantai dan akupun membalikan tubuhnya. Ternyata, dia berlumuran darah. “Assalamualaikum, Permisi, saya mau mengembalikan panci yang saya pinj... Ahhhhhhhhhhhh!!!!!” teriak salah satu tetanggaku yang melihat tanganku berlumuran darah. Dalam hitungan menit polisi sudah menggrebek rumahku. Aku berniat akan melompat dari balkon rumahku. Aku tidak mau dijadikan tersangka pembunuhan. Aku berlari sekuat tenaga dan melompat dari balkon.
“Tunggu sebentar, ini dimana? Bukankah aku seharusnya berada di gang sempit samping rumahku? Dan bukankah harusnya ini malam hari? Kenapa ada matahari yang bersinar seterang ini di malam hari? Tapi aku seperti mengenal tempat ini, kalau tidak salah ini adalah...”
“Kevin ayo cepat, kamu mau terlambat?” teriak salah satu anak kecil yang sedang berlari bersama teman-teman sekolahnya. Akupun mengikuti mereka. “A...apa-apaan ini? Bu..bukankah ini SD ku dulu?” tanyaku dalam hati. Ini memanglah sangat tidak masuk akal, tapi ini terjadi. Ini bukanlah de javu, melainkan kembali ke masa lalu. Ya, aku kembali ke masa lalu.
@Yell menurut saya sebagai pembaca webtoon sih, prolog itu cuman ngeliatin sekilas doang dan gak mesti sebagai urutan pertama dalam kronologis.
Comment on chapter Prolog