Pagi ini aku dan ibu berangkat ke Festival Kartini yang diadakan sekolah. Aku mengamati orang-orang dewasa yang datang hari ini. Yang datang hari ini adalah orang tua murid. “Oh iya, aku belum pernah melihat ibu Lyanna datang ke sekolah, mungkin ibunya tahu sesuatu tentang pembunuh itu”, ucapku dalam hati. Aku melihat Lyanna bersama seorang wanita dewasa yang wajahnya sangat mirip dengan Lyanna. Aku rasa itu adalah ibunya. Wanita itu terlihat terburu-buru menuju ke kamar mandi. Aku menghampiri Lyanna dengan berharap disambut baik.
“Assalamualaikum, Hai Lyanna,” salam yang lembut dariku.
“Waalaikumsalam, Ada apa?” wajah masih terlihat jutek, tapi setidaknya masih mau menjawab salamku.
“Apakah wanita yang bersamamu itu ibumu?” tanyaku dengan blak-blakan.
“Bukan, dia adalah bibiku,” jawabnya dengan singkat, padat, dan jelas.
“Memangnya ibumu kemana?”
“Ibuku sudah meninggal sejak aku kecil, sehingga aku tinggal sendiri di rumah.”
“Astaga, maaf ya sudah menanyakanmu hal yang privasi.”
“Tidak apa-apa, lagipula tidak ada untungnya kalau ditutupi terus menerus.”
“Lalu apa kamu akan tinggal dengan dengan bibimu sekarang?”
“Ya, aku akan tinggal dengan mereka di Jakarta”
“Apa itu berarti kau akan pindah sekolah?”
“Ya, aku sebenarnya ingin memberikan sesuatu,” terlihat sepasang sarung tangan dijulurkannya.
“Wah ini bagus sekali, Terimakasih”
“Sama-sama, anggaplah ini sebagai tanda terimakasihku dan tanda perpisahan kita”
Aku terdiam dan tidak berkata apa-apa. Semua yang telah aku perjuangkan akhirnya berakhir sampa disini. Lyanna akhirnya pergi keluar kota dan tidak meninggal terbunuh sesuai masa lalu. Aku menghabiskan waktuku selama festival bersama ibu, Lyanna, dan bibi Lyanna. Sekarang tinggal Bran, aku harus menyelamatkannya. Setelah festival selesai ibu langsung pergi ke supermarket, sementara Lyanna dan bibinya telah mengucapkan terimakasih dan salam perpisahan kepadaku. Aku melihat Bran sendirian menuju lapangan sepakbola. Aku mengikutinya. Dia melihat pertandingan sepakbola saat itu, lalu pergi ke kamar mandi dengan cepat. Sesampai di depan kamar mandi, aku bertemu Mr. Bell. “Kevin sedang apa kau disini?”. “Aku sedang menunggu Bran,” jawabku. “Bran tadi sepertinya lewat sana,” menunjuk ke arah tangga luar lapangan. Dari tangga itu aku bisa melihat sekumpulan preman yang menghajar Lyanna sedang naik mobil. “Apakah Bran ada di dalam situ,” pikirku. “Mr. Bell bisa tolong aku untuk mengikuti mobil itu,” ucapku pada Mr. Bell.
Sepanjang jalan aku bercerita panjang lebar kepada Mr. Bell bahwa tujuanku adalah melindungi masa ini dari penculikan anak-anak. Walaupun aku berkata kalau ini hanyalah permainan. Setelah mendengarnya, Mr. Bell terlihat senang dengan senyumnya atas perilaku yang aku perbuat. “Sebenarnya aku tahu kalau kau berbohong”, ujar Mr. Bell. Aku kebingungan. “Kau berbohong kalau ini hanyalah main-main, kau sebenarnya tahu kalau ada pembunuh yang nyata sedang mengncar nyawa mereka”, lanjutnya. “Apa maksud guru?”, tanyaku dengan rasa bingung dan curiga yang meluap-luap. “Ya, kau tahu kalau aku akan membunuh Lyanna dan kau menghalangiku untuk melakukannya.” Kabar baiknya aku sudah tahu kalau pembunhnya adalah Mr. Bell dan kabar buruknya adalah aku sedang satu mobil dengan seorang pembunuh. Aku terlalu percaya dengan Mr. Bell sehingga aku tidak mencurigainya. Aku sudah menganggapnya seperti ayahku sendiri.
Mr. Bell membawaku ke tepian danau. Dadaku semakin berdegup kencang. Aku masih belum bisa menerima kenyataan pahit ini. “Karena kau sudah mengacaukan rencanaku, aku akan mennjadikanmu sebagai mainan baruku,” ucap Mr. Bell dengan tawa jahatnya. Aku mencoba melepas sabuk pengamannya, namun tidak bisa dibuka dan parahnya sabuk pengaman itu sangat erat. Dia keluar dari mobil dan meletakan batu yang lumayan besar diatas pedal gas mobilnya. Mobil mulai melaju dan Mr. Bell mulai beralih dariku yang akan tenggelam. Berkali-kali aku mencoba untuk meraih batu itu agar dapat dipindahkan tapi apalah daya kedua tanganku yang mungil ini. “George Bell! Aku tahu takdirmu”, teriakku dengan keras dan penuh emosi dengan tatapan tajam yang menusuk hingga ke dalam pikirannya. Semuanya menjadi buram dan gelap. Aku mulai melihat ibu dan teman-temanku dalam pikiranku. Malam ini memang bukanlah malam merah bagi Lyanna, melainkan bagiku. Aku menyesal telah gagal melakukan ini, tapi setidaknya aku telah menolong Lyanna. Mobil ini mulai ke dasar sungai dan aku mulai kehabisan nafas.
@Yell menurut saya sebagai pembaca webtoon sih, prolog itu cuman ngeliatin sekilas doang dan gak mesti sebagai urutan pertama dalam kronologis.
Comment on chapter Prolog