Read More >>"> Kesempatan (Kesadaran) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kesempatan
MENU
About Us  

ALVARO membuang batang rokok ke aspal dan menginjaknya. Benda layar sentuh di saku celananya tak henti-hentinya bergetar, tapi Alvaro tidak berniat mengambilnya. Ia justru meraih kotak rokok di kantung lain, dan mengumpat saat tak ia temukan satu pun rokok di sana. Persediaannya habis. Ia mengusap wajahnya kasar dan naik ke motornya, yang berada di pinggir trotoar lengang nyaris tanpa kendaraan. Terang saja akan begitu, karena terakhir kali Alvaro mengecek waktu, jam tangannya menunjuk angka satu.

Getaran ponsel itu berhenti. Alvaro menyalakan motornya dan mesinnya menderu di jalan panjang bercahayakan lampu ala kadar yang sesekali membingkai mata hitam Alvaro dalam berkas samar saat mengenainya.

Alvaro menambah kecepatan. Dadanya kian mengentak-entak. Telapaknya mencengkeram setang kuat-kuat. Tubuhnya dengan angkuh menyambut serbuan angin malam dengan jaket yang tak dirapatkan. Begitu tiba di tempat tujuan, ban motornya berdecit ngilu oleh tarikan pedal rem dadakan. Ia melepas helm dan meletakkannya asal di kaca spion, lalu melangkah lebar memasuki kelab yang ia temukan sembarang.

Terima kasih untuk sistem keamanan sialan yang begitu payah hingga membantu Alvaro masuk kelab tanpa cegatan. Ia memesan sebotol bir di meja bar dan menenggaknya bagai orang kesurupan. Hasrat dalam dirinya menuntut botol kedua. Ketiga. Keempat. Tubuh Alvaro mulai melayang saat ia menari di lantai dansa, tak peduli mengenai bagian tubuh mana pun dari orang di dekatnya.

“Alvaro?”

Sapaan itu terdengar samar. Alvaro menajamkan pandangan, dan mendapati sesosok perempuan muda dengan pakaian ketat dan seksi di hadapan. Ia mengernyit, tak sanggup mengenali. Cewek itu terkekeh.

“Sendirian? Nggak ke Abyss?”

Ah, Abyss adalah nama kelab elit yang Alvaro dan kawan-kawannya datangi setelah tersebarnya video Alvaro. Mereka dengan cekatan mengganti tempat bersenang-senang demi Alvaro. Sungguh, mereka adalah kawan terbaik yang Alvaro miliki. Oh, tunggu. Tentu saja sebelum pengkhianatan itu terjadi, dan Alvaro memilih tak bersama mereka lagi. Terhitung sudah dua hari hingga kini.  

“Kamu cantik.” Alvaro mendekat dan meraih pinggang cewek itu hingga tubuh mereka menempel.

Sosok itu terkikik. Lampu hijau. Alvaro pun tak segan mengarahkan wajahnya mendekat, meraup keranuman bibir rasa bir di depannya. Musik terus membuai, dan Alvaro bagai lupa daratan.

Alvaro merasakannya lagi. Getaran benda di sakunya. Memuakkan. Alvaro menarik diri dari cewek itu dan mengeluarkan ponselnya. Nama ibunya menari di layar. Decakan keras keluar dari bibir Alvaro. Ia mematikan alat komunikasi itu, lalu kembali mencumbu bidadarinya. Tak peduli ia lupa identitas cewek itu. Ia butuh sesuatu. Seseorang. Seorang yang bukan pengkhianat.

“Gue sama Casi lagi di hotel. Udahlah, kayak yang nggak tahu aja lo, cowok sama cewek lagi mabok bareng, ya ujungnya ke hotel! Kayak lo sama Casi nggak pernah aja.”

Sekujur tubuh Alvaro menegang. Ia menyentak keras perempuan di dekapannya, menjauhkan diri begitu rasa pusing dan mual menyerangnya.

“Al?”

Shit!”

Alvaro berbalik. Ia memicing dari sorotan cahaya yang menghunjam wajahnya. Alvaro menyeret langkah pergi entah ke mana, hingga ia tidak lagi bisa menahan desakan kuat untuk mengeluarkan isi perutnya, menimbulkan kekacauan di lantai dan pekik jijik dari entah berapa orang di sana. Lalu teguran-teguran itu datang, bersamaan dengan sentuhan tegas di pundak. Berisik. Berisik!

Alvaro memberontak. Ia tidak tahu lagi apa yang terjadi, apa yang didengar atau dilihatnya. Satu hal yang bisa ia rasakan adalah tangannya melayang entah mengenai siapa, dan wajahnya menerima pukulan kencang. Alvaro mengumpat tiada henti. Keributan itu terasa sebatas bayang tak nyata, tapi rasa nyeri di wajahnya mematahkan praduga. Sekejap saja, bisikan-bisikan itu mengudara.

“Bukannya dia anak walikota itu, ya?”

“Sinting, bikin keributan di sini!”

“Eh, eh, video! Video!”

“Kacau! Kacau!”

Sorot gue! Ayo sorot gue! Alvaro menantang ancaman. Ia menegakkan tubuh dan menyeringai. Kilatan-kilatan cahaya berkelebat pendek dan panjang. Foto atau video, persetan!

Lantas dirinya diusir paksa. Namun, harga diri Alvaro yang masih tersisa tidak menghendakinya. Ia melawan keamanan, mengerahkan tendangan tanpa arah.

“Alvaro!”

Teriakan itu terdengar familier. Cengkeraman mendarat di lengannya. Alvaro mendongak. Ia terkekeh. Wajah yang terbaca samar itu dikenalinya.

“Hei, Ka. Kok lo bisa di sini? Mau mabuk juga lo?”

“Al, ayo balik.”

“Diem lo!” Alvaro melepaskan diri dari cengkeraman Raka. Puluhan orang melingkarinya. Dentuman musik masih terdengar. “Ambil bir, Ka. Enak. Sini, sini, ikut gue.”

“Al, lo udah mabuk!”

“Masih kurang, Ka!”

“Seret keluar!”

Entah perintah siapa. Alvaro tidak tahu. Yang ia tahu, kedua lengannya dicengkeram kuat dan tubuhnya ditarik paksa. Ia didorong keluar kelab diikuti peringatan keras petugas keamanan. Tubuh Alvaro tidak bisa berdiri tegap. Ia membuang ludah dan memaki kasar orang-orang yang mengusirnya, juga menunjuk bangunan di hadapannya.

“Berani kalian ngusir gue?! Bokap gue gusur tempat ini baru tahu rasa lo!” Alvaro tertawa-tawa. Kencang dan bergetar. Kering namun tertahan.

“Al!”

Alvaro terhuyung karena keseimbangannya yang memprihatinkan. Raka dengan sigap menahan tubuhnya, membantunya tetap berdiri.

“Ka, bilangin sama mereka gue anak walikota, Ka! Tempat ini bisa gue beli, Ka!” Alvaro menunjuk pijakan. “Gue mau masuk!”

“Udah, Al!”

“Nggak! Gue mau masuk! Sialan! Beraninya mereka ngusir gue! Laporin mereka ke bokap gue, Ka! Laporin!”

“Iya, gue laporin nanti. Sekarang lo pulang.”

“Pulang?” Alvaro mendengus. Ia mendorong Raka hingga tubuhnya terjerembab. Tatapannya kian tak fokus. Ketajaman telinganya menumpul. “Gue pulang lagi bakal babak belur, Ka. Lo nggak tahu gue udah sering dihajar bokap gue.” Alvaro tergelak.

“Oke. Lo pulang ke rumah gue.” Lalu samar terdengar Raka bicara, “Tolong berhenti ngerekam. Jangan ambil video. Tolong.”

“Biarin, Ka! Biarin!” Alvaro menarik tubuhnya bangun, namun gagal. Ia kembali terhuyung.

“Al—“

“Biar orang-orang tahu kelakuan gue, Ka. Biar mereka tahu anak walikota sebejat ini.” Saat Alvaro berhasil berdiri, ia mengusap wajahnya dan terkekeh hambar. Dadanya terasa menyempit. Kepalanya teramat nyeri.

“Hidup gue ancur, Ka. Ancur!”

“Masih bisa diperbaiki, Al. Gue bantu.”

“Lo nggak bisa bantu! Nggak bisa! Haha! Gue udah nggak punya apa-apa! Bokap-nyokap benci gue! Gue bukan panutan adik-adik gue! Demi Casi gue buang Emi. Tapi cewek itu ngekhianatin gue! Dia jalan sama sahabat gue, Ka! Bangsat mereka, Ka.”

“Udah, Al.”

“Diem lo! Udah sana lo pergi! Gue nggak butuh! Pergi lo!” Alvaro menyeret langkah. “Bir! Gue butuh bir!”

“Oke.”

“Lo punya bir, Ka?”

“Punya. Lo ikut gue, gue kasih apa yang lo mau.”

Alvaro terkekeh. “Ayo pergi, Ka. Kasih gue bir yang banyak, Ka.” Dikeluarkannya kunci motor dengan gerakan asal, membuat benda itu terjatuh dan Alvaro kembali tergelak. Ia membungkuk demi meraih kunci. Keseimbangannya yang payah menyebabkannya terhuyung jatuh ke parkiran. Namun, sebelum ia sempat bangkit, kesadarannya hilang.

 

 

Seberkas cahaya mengusik wajah Alvaro. Ia membuka matanya perlahan, memicing demi beradaptasi dengan sinar mentari yang muncul dari jendela. Ia kembali memejam dan merasakan pengar yang teramat di kepala, juga mual yang mengusik kerongkongannya. Gue di mana? Mata Alvaro terjaga lagi. Ia menyisir sekitar tanpa menggerakkan tubuh. Beberapa detik berlalu dan umpatan pelan meluncur dari mulutnya.

Pintu tiba-tiba terbuka. Alvaro yang baru menarik tubuhnya bangun, nyaris mengumpat sekali lagi saat bersitatap dengan sosok tak asing yang sungguh tak ia harap melihatnya seperti ini.

“Eh, udah bangun. Tunggu sebentar. Ibu bawain teh dulu, ya.”

Pintu mengayun tertutup. Alvaro mendesis seraya mengurut keningnya, mencoba mengingat kejadian semalam. Rasa nyeri dan kaku yang muncul dari area pelipis dan pipi, membuat Alvaro tertegun. Ia bangkit, menyeret tubuhnya ke cermin kecil yang berada di dinding. Ada luka sobek dan lebam di wajahnya yang warnanya agak berbeda. Aroma antiseptik meyakinkannya bahwa seseorang telah mengurus lukanya.

“Al, ini diminum teh jahenya.”

Alvaro berbalik demi mendapati ibu Raka menyodorkan secangkir cairan keruh beraroma jahe padanya. Sikap Alvaro seketika menjadi canggung dan kaku. Ia mengenali betul lokasi keberadaannya sekarang. Rumah Raka.

“Ayo diminum, Al.”

Alvaro mengerjap. Ia memasang senyum kelu dan menerima sodoran itu dengan hati-hati, menyesapnya perlahan. Kehangatan meluncur turun dari mulut ke tenggorokan dan menebar sensasi serupa di perutnya. Energi tubuh Alvaro bagai kembali. Pening dan mual perlahan terobati. Ia tidak berniat menghabiskan minuman itu, tapi Alvaro melakukannya. Ia butuh pergi. Secepatnya.

“Udah enakan?” Ibu Raka mengambil alih cangkir yang telah kosong dan tersenyum.

Alvaro mengangguk kikuk. “Makasih, Tante.” Alvaro berdeham karena suaranya parau dan terdengar menyedihkan, seolah ia baru saja menghabiskannya di tempat karaoke semalaman. Alvaro meraba saku celananya. Ia tidak bisa merasakan kunci di sana. “Saya pulang kalau gitu, Tan,” ujarnya sambil mengedarkan pandangan dengan gelisah demi mencari kuncinya.

“Hush, jangan dulu pulang. Kamu di sini dulu. Raka udah pesan sama Ibu biar kamu nggak dibolehin pulang dulu.”

Saat nama itu disebut, Alvaro berpaling pada ibu sahabatnya.

“Raka lagi sekolah. Dia wanti-wanti sama Ibu biar kamu di sini sampai dia pulang. Mau ya, nungguin?”

Secara refleks Alvaro melirik jam dinding di kamar Raka. Pukul sebelas pagi. Rasanya Alvaro ingin mengumpat dan memaki diri karena berada di rumah Raka dalam keadaan mabuk, tidur di sana hingga pukul segini, dan berhadapan dengan ibu Raka. Apa yang akan dipikirkan wanita itu?

Tampak tak terganggu dengan roman Alvaro yang sudah ingin melarikan diri dari sana, ibu Raka menepuk lengan cowok itu.

“Yuk, makan. Sekalian temenin Ibu makan juga. Pagi tadi ngurus dulu suami sama anak-anak. Biasalah, sarapan jadi kelupaan. Terus beres-beres rumah sama nyuci. Barusan ngecek ke sini buat lihat Al udah bangun atau belum. Yuk, kita makan bareng.”

“Eh? Tapi, Tan, saya kayaknya mending pu—“

“Udah, ayuk. Senang Ibu punya teman makan. Biasanya jam segini sendirian di rumah. Yuk.”

Tanpa menunggu persetujuan Alvaro, ibu Raka menggamit lengan cowok itu dan mengajaknya ke ruang makan. Rumah berlantai satu ini secara teknis semestinya sepi. Namun, celotehan ibu Raka menghiasnya hingga membentuk keramaian yang terasa hangat dan nyaman. Alvaro tak tega meruntuhkan keriangan itu. Alhasil, ia menyanggupi menyantap masakan ibu Raka yang disanjungnya enak dengan tulus. Selama makan, wanita itu bercerita banyak hal. Namun, tak satu pun membahas perihal Alvaro. Luka di wajahnya. Keberadaannya di sana. Atau video yang telah dipastikan mencoreng nama baiknya. Jika saja Alvaro menemukan keterpaksaan di sorot mata ibu Raka, ia akan memakluminya. Luar biasanya, Alvaro tidak mendapati hal itu. Ketulusan ibu Raka begitu nyata.

“Ini handuk. Mandi biar segeran. Bajunya ambil dari lemari Raka aja. Oh, tunggu sebentar.” Ibu Raka yang baru menyerahkan selipat handuk bersih pada Alvaro yang hendak pamit, berlalu sebentar dan kembali dengan kotak berisi celana dalam. Wanita itu terkekeh. “Ini baru, Al. Ibu beli kemarin. Emang buat Raka tapi belum dikasihin. Pakai aja. Nah, gih mandi. Pikiran pasti lebih enakan.”

Sulit menolak kebaikan itu. Alvaro tak bisa melakukan hal lain selain tersenyum dan menurut. Ia membasuh tubuhnya dan berganti pakaian Raka, lalu merenung di kursi depan meja belajar. Pukul setengah satu siang. Alvaro mendesah dan menyugar rambutnya. Ia lantas merogoh saku celana yang tersampir di sandaran kursi demi meraih ponselnya. Benda itu mati total.

Tak heran jika sederet panggilan dan pesan dari keluarganya memenuhi layar ponsel begitu Alvaro menyalakannya. Yang menarik dari itu semua adalah barisan notifikasi dari akun Twitternya. Alvaro membukanya dan menerima banyak sekali kritik pedas dari berbagai akun. Alvaro mengernyit saat menemukan sebuah postingan dengan dua bilah video di sana. Alvaro membukanya, dan ia tertegun.

Video berdurasi masing-masing 30 detik itu memperlihatkan Alvaro di kelab yang tengah menari dan menantang sang perekam. Tanpa membuang waktu membaca cuitan sebagai reaksi video itu, Alvaro membuka rekaman lain dari akun dan sudut pengambilan berbeda. Kali ini Alvaro yang tengah memaki petugas keamanan dan mengumpat layaknya orang kehilangan akal.

Alvaro mendengus dan hendak keluar dari akunnya saat ia mendapati video lain. Kali ini, sorotan di rekaman itu bukan hanya dirinya, tapi juga Raka. Di sana pengambilan gambar cukup baik dan kualitas suaranya jelas, sehingga Alvaro bisa mendengar semua yang ia racaukan juga kelakuannya yang membikin mual.

Alvaro melihat bagaimana ia bertingkah tak masuk akal, memaki tiada henti dan Raka tak sejengkal pun meninggalkan sisinya. Cowok itu berulang kali terlihat meminta perekam untuk berhenti, dan meraih tubuh Alvaro yang lagi-lagi ambruk karena pengaruh alkohol. Samar, Alvaro ingat perbuatannya semalam, tapi ia tidak pernah tahu tindakannya sedemikian menyedihkan. Namun, Raka meladeninya dengan telaten, bahkan meminta seseorang untuk tidak menghubungi polisi karena Alvaro telah menimbulkan keributan.

Detik itu sesuatu dalam diri Alvaro bagai terjaga dari tidur panjangnya. Ia menekan tombol play berulang-ulang hingga adegan memalukan itu bermain-main di depan matanya. Tidak. Alvaro sedang tidak mengagumi kenakalannya. Ia bahkan tiba-tiba jijik dengan tingkah lakunya. Satu-satunya yang menyita perhatiannya adalah sikap Raka yang meladeni Alvaro, membujuk cowok itu untuk pergi bersamanya.

Teguran Raka tentang arti persahabatan yang Alvaro lontarkan tiba-tiba muncul. Sebuah tamparan seolah mencundanginya dengan lancang, menyadarkan Alvaro bahwa selama ini ia telah benar-benar keliru menafsirkan persahabatannya dengan Toni hingga mereka saling membiarkan satu sama lain terjerumus pada lembah kehancuran.

Melalui video itu Alvaro melihat secara gamblang seperti apa seorang sahabat menyikapi kehilafan sikap sahabatnya hingga ia berakhir di tempat yang aman. Alvaro di sini, tepat di kediaman Raka yang tentram. Sungguhlah Alvaro tidak akan di sana jika Raka meninggalkannya begitu saja, sebuah tindakan yang paling mudah dilakukan. Siapa yang tahan turut dipermalukan dan digunjingkan karena kenalannya berbuat onar?

Alvaro mencengkeram ponselnya dan membuang napas. Ia mendongak. Matanya mengerjap menatap langit-langit kamar. Cengkeraman kuat di dadanya telah sedikit terurai. Seulas senyum miring terlukis. Sialan. Alvaro mendengus. Sialan lo, Ka.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
May be Later
13752      2026     1     
Romance
Dalam hidup pasti ada pilihan, apa yang harus aku lakukan bila pilihan hidupku dan pilihan hidupmu berbeda, mungkin kita hanya perlu mundur sedikit mengalahkan ego, merelakan suatu hal demi masa depan yang lebih baik. Mungkin di lain hari kita bisa bersanding dan hidup bersama dengan pilihan hidup yang seharmoni.
The Maiden from Doomsday
9898      2131     600     
Fantasy
Hal yang seorang buruh kasar mendapati pesawat kertas yang terus mengikutinya. Setiap kali ia mengambil pesawat kertas itu isinya selalu sama. Sebuah tulisan entah dari siapa yang berisi kata-kata rindu padanya. Ia yakin itu hanya keisengan orang. Sampai ia menemukan tulisan tetangganya yang persis dengan yang ada di surat. Tetangganya, Milly, malah menyalahkan dirinya yang mengirimi surat cin...
Melihat Mimpi Awan Biru
3372      1144     3     
Romance
Saisa, akan selalu berusaha menggapai semua impiannya. Tuhan pasti akan membantu setiap perjalanan hidup Saisa. Itulah keyakinan yang selalu Saisa tanamkan dalam dirinya. Dengan usaha yang Saisa lakukan dan dengan doa dari orang yang dicintainya. Saisa akan tumbuh menjadi gadis cantik yang penuh semangat.
Sadness of the Harmony:Gloomy memories of Lolip
598      321     10     
Science Fiction
mengisahkan tentang kehidupan bangsa lolip yang berubah drastis.. setelah kedatangan bangsa lain yang mencampuri kehidupan mereka..
Lost In Auto
1215      440     1     
Romance
Vrinda Vanita, adalah seorang remaja putri yang bersekolah di SMK Loka Karya jurusan Mekanik Otomotif bersama sahabatnya Alexa. Di sekolah yang mayoritas muridnya laki-laki, mereka justru suka pada cowok yang sama.
Vandersil : Pembalasan Yang Tertunda
337      243     1     
Short Story
Ketika cinta telah membutakan seseorang hingga hatinya telah tertutup oleh kegelapan dan kebencian. Hanya karena ia tidak bisa mengikhlaskan seseorang yang amat ia sayangi, tetapi orang itu tidak membalas seperti yang diharapkannya, dan menganggapnya sebatas sahabat. Kehadiran orang baru di pertemanan mereka membuat dirinya berubah. Hingga mautlah yang memutuskan, akan seperti apa akhirnya. Ap...
Pulpen Cinta Adik Kelas
455      263     6     
Romance
Segaf tak tahu, pulpen yang ia pinjam menyimpan banyak rahasia. Di pertemuan pertama dengan pemilik pulpen itu, Segaf harus menanggung malu, jatuh di koridor sekolah karena ulah adik kelasnya. Sejak hari itu, Segaf harus dibuat tak tenang, karena pertemuannya dengan Clarisa, membawa ia kepada kenyataan bahwa Clarisa bukanlah gadis baik seperti yang ia kenal. --- Ikut campur tidak, ka...
The Journey is Love
621      427     1     
Romance
Cinta tak selalu berakhir indah, kadang kala tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Mencintai tak mesti memiliki, begitulah banyak orang mengungkapkan nya. Tapi, tidak bagiku rasa cinta ini terus mengejolak dalam dada. Perasaan ini tak mendukung keadaan ku saat ini, keadaan dimana ku harus melepaskan cincin emas ke dasar lautan biru di ujung laut sana.
Seiko
359      258     1     
Romance
Jika tiba-tiba di dunia ini hanya tersisa Kak Tyas sebagai teman manusiaku yang menghuni bumi, aku akan lebih memilih untuk mati saat itu juga. Punya senior di kantor, harusnya bisa jadi teman sepekerjaan yang menyenangkan. Bisa berbagi keluh kesah, berbagi pengalaman, memberi wejangan, juga sekadar jadi teman yang asyik untuk bergosip ria—jika dia perempuan. Ya, harusnya memang begitu. ...
ALACE ; life is too bad for us
1003      603     5     
Short Story
Aku tak tahu mengapa semua ini bisa terjadi dan bagaimana bisa terjadi. Namun itu semua memang sudah terjadi