“ALVARO WISTARA!”
Raka menoleh ke sebelahnya, pada bangku kosong milik Alvaro.
“Nggak masuk, Pak.” Ketua kelas menjawab lantang. “Tanpa keterangan.”
Pandangan Raka beralih pada ketua kelasnya—Farid—sejenak, lalu berpaling ke buku modul di depannya. Guru Bahasa Indonesia di depan berdecak samar, tapi Raka yang duduk berjarak tiga bangku dari meja guru, bisa mendengarnya.
“Ada apa sebenarnya dengan anak itu?” Guru di depan berujar lirih sambil menggeleng tak habis pikir.
Raka pun dihujani pertanyaan serupa. Ada apa dengan Alvaro? Seminggu sudah berlalu sejak insiden videonya. Alvaro diberi Surat Peringatan dan setumpuk tugas semua pelajaran. Alvaro tampak tak keberatan. Tidak. Lebih tepatnya, ia terlihat tidak peduli.
Apa Al emang orang kayak gitu? Raka tidak bisa berhenti bertanya-tanya. Selama mengenal Alvaro, cowok itu tidak pernah terlihat berkata atau bertingkah macam-macam. Kepribadiannya yang supel sangat menyenangkan. Di awal-awal Alvaro terus terang menaksir Emilia, ada keceriaan dan kebahagiaan yang membuat Raka terkekeh geli dan siap mendukung sahabatnya itu. Saat mereka resmi berpacaran, Alvaro begitu hidup. Namun, dirinya akhir-akhir ini adalah kebalikan dari itu semua. Auranya suram dan tak terbaca. Tak lagi ada binar cahaya di manik matanya, pun senyum lepas yang dulu kerap menghias romannya. Alvaro berubah menjadi orang yang sangat berbeda. Ataukah, Alvaro yang sekarang adalah dirinya yang sebenarnya?
Apakah selama ini Raka sesungguhnya tidak tahu apa pun tentang sahabatnya?
“Lo serius bilang putus sama Emi?”
“Gue nggak mau nyembunyiin Casi dari siapa pun. Kalau Emi mau putus, bakal gue lakuin.”
“Lo diapain sih sama cewek itu sampai bisa ngomong kayak gini? Lo buang Emi gitu aja cuma gara-gara cewek yang mau jadi selingkuhan lo?!”
“Casi selalu ada buat gue! Dia nemenin gue selama ini!”
“Tapi dia nggak bener-bener peduli sama lo! Emi yang peduli! Dia nyariin lo dan pengin lo baikan sama keluarga lo! Casi nganjurin apa? Ke kelab buat mabuk-mabukan?! Hidup lo makin kacau dekat sama dia!”
“Lo nggak punya hak ngurusin hidup gue, Man!”
“Gue nggak punya hak ngurusin hidup lo! Tapi gue berhak ngingetin lo! Jalan pikiran lo nggak beres semenjak ngabisin waktu sama Toni dan Casi!”
“Sialan! Jangan bawa-bawa mereka! Mereka nggak ada sangkut-pautnya!” geram Alvaro. “Asal lo tahu, Toni sama Casi yang selalu ada buat gue sampai detik ini! Mereka peduli sama gue! Mereka lebih ngertiin gue! Lo sama Emi yang punya keluarga bahagia nggak bakalan paham!”
Raka mengerjap saat tanpa sadar mencengkeram bolpoin di tangannya, begitu teringat percakapannya dengan Alvaro seminggu lalu. Interaksi mereka bagai ditutup setelah ucapan itu. Kalimat Alvaro membuat Raka tak lagi ingin ambil pusing. Jika Alvaro memang ingin merusak hidupnya, silakan saja.
“Ka, Al ngabarin lo nggak?”
Pelajaran telah usai dan waktu istirahat tiba saat Raka dihampiri Farid begitu keluar kelas. Ia menggeleng tegas. Farid menggaruk kepala gusar.
“Tuh anak kenapa, sih? Gue bingung Al bisa tiba-tiba berubah gini. Ada masalah apaan sih dia?” Pertanyaan itu Farid tujukan lebih pada dirinya sendiri, karena berikutnya ia bergumam soal ketidakhadiran Alvaro yang bisa memengaruhi penilaian guru mengingat dirinya telah mendapatkan SP1, dan bahwa tidak ada kabar apa pun dari cowok itu meski Farid sudah mencoba mengirimnya WhatsApp. Farid lalu pamit ke ruang guru demi mengabarkan wali kelas mereka.
“Rid,” tahan Raka. Farid menoleh padanya. “Jangan bilangin Al alfa. Bilangan aja dia sakit, nggak enak badan atau apa pun.”
Farid mengernyit. “Tapi kan gue udah bilang tanpa keterangan sama guru.”
“Bilang aja Al baru ngabarin lo,” bujuk Raka.
Farid diam sejenak, lalu mengangguk. Ia pergi setelah menepuk pundak Raka.
Raka berjalan bagai tak tentu arah di koridor. Semula obrolan siswa-siswi di sana tidak sedikit pun mampu mencuri perhatian Raka, tapi begitu nama Alvaro disebut, Raka praktis memasang telinga baik-baik. Topik video Alvaro masih hangat diperbincangkan.
Langkah Raka melambat saat ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan melihat akun Twitter Alvaro. Raka menelan ludah begitu membaca banyak sekali hujatan di akun itu, mempersoalkan kelakuan Alvaro yang tidak mencerminkan putra seorang walikota. Komentar terbaru adalah sepuluh menit lalu. Meski seminggu berlalu, nyatanya cibiran masih berdatangan.
Raka menggeram frustrasi dan hilang fokus sampai menubruk seseorang di koridor dan menjatuhkan ponselnya. Ia meminta maaf sambil hendak memungut gawai, tapi geraknya terputus karena orang yang ia tabrak sudah lebih dulu melakukannya. Raka pun menegap, hendak berucap terima kasih. Detik itu napasnya bagai tersedot karena dihadapkan pada wajah seorang cewek yang sudah beberapa kali ini diperhatikannya diam-diam di perpustakaan. Sosok itu melempar senyum yang sukses membuat Raka tergagap. Setelah menerima ponselnya, perjumpaan singkat itu berakhir, menyisakan debar cepat di dada.
Raka sangat ingin menikmati waktunya menatap cewek itu atau memberanikan diri menghampirinya, tapi ini bukan saat yang tepat. Ia kembali memusatkan perhatiannya pada ponsel demi mengirim WhatsApp pada Alvaro. Detik itulah ia tersadar. Raka marah dan kecewa atas ucapan Alvaro. Tapi, ia tetap memedulikan sahabatnya.
Raka Manggala
Di mana lo?
Raka menunggu hingga sekolah berakhir, tapi balasan dari Alvaro tak kunjung tiba. Ketika hendak pulang, Raka berpapasan dengan Puspa yang baru berganti pakaian ekskulnya.
“Emi gimana, Pa?”
Puspa menggeleng lesu. Romannya semuram wajah Raka.
“Kacau banget, Ka. Emi sering nggak merhatiin pelajaran. Tadi aja dia lupa bawa buku tugas matematika. Habislah dia kena ceramah guru dan hukuman. Kata Kamila, di mading juga dia sering ditegur ketua karena kerjaannya terbengkalai. Emi udah kayak mayat hidup.”
Raka sudah menduga ini. Meski Emilia terlihat tegar, hatinya justru rapuh. Raka bisa melihat seberapa besar rasa sayang yang Emilia miliki untuk Alvaro. Maka, tak heran cewek itu bagai dibanting keras dari ketinggian karena tingkah Alvaro, terlebih ucapan Alvaro terkait hubungannya dengan Emilia. Siapa yang tidak sakit hati?
“Tapi aku beneran nggak nyangka Al kayak gitu. Dugem, mabuk-mabukan, main cewek pula.” Puspa kembali bicara. “Al orang kayak gitu emang, Ka? Kamu sahabatnya. Kamu pasti lebih tahu dia kayak gimana. Emi nggak suka kalau aku ngomong gini. Walau Al separah itu, masih dia bela juga. Katanya, orang nggak bakal berubah kalau nggak ada penyebabnya. Cuma aku suka kesal aja sama kelakuan Al.”
Raka ingin berkata bahwa ia pun sama ragunya dengan Puspa. Tingkah laku Alvaro membuatnya meragu bahwa ia dan cowok itu memang bersahabat baik. Namun, apa yang Emilia lakukan menyadarkannya akan satu hal. Alvaro mungkin tidak akan terjerumus seperti ini jika tidak ada perselisihan dengan ayahnya. Raka masih ingat memar di wajah Alvaro saat mereka bertemu di kafe Alatta. Ayah Raka tidak pernah berbuat kasar padanya. Raka memang tidak akan tahu seperti apa rasanya dipukuli ayah sendiri. Namun, menempatkan dirinya di posisi Alvaro, jika dirinyalah yang jadi korban kekerasan, apa yang akan Raka lakukan? Marah? Kecewa? Sakit hati? Apa ia masih bisa betah di rumah? Apa ia akan menolak uluran Toni dan Casi di saat ia membutuhkan tempat melarikan diri? Apa ia bahkan bisa berpikir jernih di saat isi kepalanya semrawut?
Sialan, Al. Lo bilang gue nggak paham. Kalau lo nggak berbagi, gimana gue bisa ngerti?
“Kamu temenin Emi. Dia butuh kamu dan Kamila. Al biar aku yang urus.”
Setelah berucap demikian, Raka pamit pergi. Ada hal yang mesti ia lakukan. Mengembalikan Alvaro seperti sedia kala.