“NAH, ini, nih! Lihat, Mi!”
Emilia baru menutup penanya setelah bel istirahat berbunyi beberapa detik lalu, saat Puspa—teman sebangkunya—menunjukkan layar ponselnya dengan antusias sambil menunjuk-nunjuk sebuah pengumuman sayembara cerita pendek yang berasal dari Twitter.
“Kamu harus ikutan, Mi. Kamu suka nulis, kan? Lumayan nih hadiahnya. Cerpen terpilih bakal dibukuin, terus kalau lolos lima cerpen terbaik, dapat sejuta, Mi! Ayo ikutan!” Puspa berbicara penuh semangat dengan mata berkilat-kilat.
Emilia tak segera memberi tanggapan. Ia memiliki hobi menulis, dan Puspa tahu itu. Itulah sebabnya Emilia masuk ekskul mading karena bisa membantunya menyalurkan kesukaannya pada tulis-menulis. Setiap dua minggu sekali, Emilia rutin menyumbangkan sebuah cerita pendek. Meski namanya tidak dipampang secara utuh. Ia menggunakan satu huruf saja dari namanya, ‘E’ yang diletakkan di pojok kanan bawah. Emilia sebenarnya tak perlu melakukan itu. Orang-orang yang rutin membaca mading, biasanya tahu pemilik inisial itu. Namun, Emilia tetap merasa perlu ‘bersembunyi’. Entahlah. Rasanya ia tidak harus memamerkan nama, karena yang diinginkannya hanya menulis, bukan dikenali.
“Aku nggak pernah ikutan lomba, Pa.”
“Ya makanya sekarang kamu ikut.” Puspa masih gigih membujuk, kembali menunjuk pengumuman lomba di ponselnya. “Aku yakin kamu bisa jadi salah satu dari lima cerpen unggulan.”
Emilia meringis. Baginya, tulisannya tidak sebagus seperti yang Puspa kira. Terlebih, yang tengah Puspa tawari adalah sebuah perlombaan, yang pastinya diikuti banyak penulis berbakat. Rasanya, sudah beruntung bagi Emilia diberi peluang mengisi rubrik cerpen di mading, yang sebelumya melalui proses penilaian dari pemimpin redaksi mading.
Saat Emilia menggumam ragu dengan mulut terkatup, Puspa memicing.
“Nggak mau ikut? Ini kesempatan, lho.”
Emilia menyengir. Seolah mengetahui isi pikirannya, Puspa berdecak dan menggeleng.
“Aku share ke kamu dulu aja, deh. Deadline lombanya masih lama. Kamu masih bisa nyari ide. Temanya bebas, kok,” ujarnya seraya mengutak-atik ponsel, yang tidak lama kemudian disusul getaran ponsel Emilia. Puspa baru saja mengirim tautan lomba ke akun Twitter Emilia.
“Oke,” kata Emilia akhirnya, memasukkan ponselnya kembali ke saku rok. “Kantin, yuk?”
“Lapar? Atau kangen Alvaro?”
Emilia tergelak dengan wajah hangat dan merona. Terpaut empat kelas membuatnya tidak bisa menghabiskan banyak waktu bersama dengan Alvaro. Perjumpaan mereka hanya sebelum pelajaran dimulai, waktu istirahat, dan saat pulang sekolah. Mereka berada di kelas yang sama tahun lalu, sehingga perubahan ini sedikit-banyak menyisakan mendung di hati Emilia. Bertambahnya rutinitas Alvaro karena jadwal lesnya, kian menurunkan kadar kebersamaan mereka. Itulah sebabnya Emilia menyusupkan kesempatan setelah sekolah usai, agar mereka bisa pulang bersama. Agak egois memang, mengingat jarak rumah Emilia ke tempat les Alvaro cukup jauh. Maka Emilia perlu meminimalisir egonya dengan meminta Alvaro tak lagi menjemputnya setiap pagi, agar cowok itu memiliki cukup waktu untuk beristirahat.
“Nah, nggak perlu nyari pacarmu, tuh. Udah keburu datang dia.”
Ucapan Puspa begitu mereka berjalan di koridor sekolah menuju kantin, membuat degup jantung Emilia mengencang karena ia tahu siapa yang Puspa maksud. Beberapa meter darinya, Alvaro terlihat berjalan ke arahnya bersama Raka, kawan sekelas Alvaro. Saat tatapan mereka bertemu, Alvaro melambai.
“Yang, bakmi Pak Oji?” sahut Alvaro saat mereka berhadapan.
Bakmi terbaik di sekolah mereka adalah yang dijual Pak Oji. Kedainya selalu yang paling ramai. Alvaro menggemari makanan itu. Nyaris setiap hari Alvaro melahap bakmi Pak Oji. Emilia sebenarnya tak setuju. Berbahaya memakan mie terlalu sering. Ia pernah memberitahu Alvaro untuk memberi jeda menyantap menu itu, tapi Alvaro menanggapinya dengan santai, berkata bahwa ia baik-baik saja. Emilia berharap kesehatan Alvaro tak bermasalah.
“Boleh,” kata Emilia akhirnya.
“Al, gue duluan.” Raka menepuk pundak Alvaro.
“Lho, nggak ikut ke kantin, Ka?” tanya Puspa.
“Dia mau ke perpus,” ujar Alvaro. Bibirnya menyeringai jenaka sambil menaik-turunkan alisnya. “Gebetannya suka ke perpus pas istirahat.”
“Sialan, Al. Mulut lo itu, ya!” Raka memukul pelan lengan Alvaro yang ditanggapi dengan gelak tawa. “Duluan!”
“Jangan macam-macam di perpus, Bro! Terlalu hening, cepat ketahuannya!”
Raka tetap melanjutkan langkahnya dan tak berbalik, tapi Emilia bisa mendengar desis berisi umpatan cowok itu. Selama mengenal Alvaro, Raka adalah sahabat terbaik cowok itu, meski Alvaro memiliki banyak teman akrab.
Berlawanan arah, ketiga siswa itu beranjak menuju kantin. Seperti yang diduga, Pak Oji sudah sibuk menyiapkan bakmi. Emilia kira ini kesempatan agar Alvaro tak memakan bakmi lagi karena kemarin ia sudah melahap menu yang sama. Rupanya, begitu Alvaro tiba di kedai, ia langsung menyebutkan pesanan. Pak Oji pun menyerahkan dua mangkuk bakmi pada Alvaro.
“Kamu udah pesan duluan, ya?” tanya Emilia sambil berjalan bersama Alvaro menuju salah satu meja yang kosong. Puspa tengah sibuk di kedai nasi uduk, setelah memesankan mereka tiga gelas es teh manis.
Alvaro mengangguk sambil tersenyum lebar. “Pasti penuh kalau nggak pesan duluan, Yang.”
“Langsung pesan dua?” Emilia menarik kursi.
“Kan udah dua minggu kamu nggak ikut makan bakmi sama aku. Jadi, pasti hari ini kamu mau.” Alvaro meletakkan kedua mangkuk bakmi di meja, lantas duduk di hadapan Emilia.
Emilia mengulum senyum karena Alvaro ingat waktu Emilia makan bakmi terakhir kali. Memang dua minggu lalu. Dan Alvaro pun tahu, Emilia membatasi dirinya menikmati makanan itu dua minggu sekali. Tidak sama sekali dalam sebulan jika bukan karena ingin menemani Alvaro melahap hidangan yang sama. Dan sepertinya Alvaro pun sadar Emilia lebih memilih disuguhi menu serupa dengan pacar dibandingkan mencari menu lain. Alvaro memang mengenalnya dengan sangat baik.
“Ini tuh nasi uduk terenak di sini, tapi kenapa sih suka pelit ngasih sambal lebih?” Puspa muncul sambil menggerutu. Ia duduk di sisi Emilia. Tidak lama kemudian pesanan es teh mereka tiba. “Eh, Al, bujuk Emi ikutan sayembara coba. Dia malah ragu pas kudorong buat ikutan.”
Emilia tersedak, tak menduga Puspa membicarakan hal itu pada Alvaro.
“Minum, Yang.” Alvaro mengulurkan segelas es teh manis pada Emilia yang terbatuk-batuk.
“Puspa.” Emilia membisiki nama temannya sambil memicing, yang tidak diladeni Puspa.
“Lomba apaan emang, Yang?”
Pertanyaan Alvaro membuat segenap perhatian Emilia beralih pada cowok itu. Alvaro menatapnya lekat sambil mengunyah, yang membuat Emilia meringis ragu.
“Lomba cerpen,” ujar Emilia akhirnya.
Alvaro mengangguk-angguk. “Ikutan aja, Yang. Kamu kan suka nulis.”
“Aku juga bilang begitu.” Puspa mengangkat sendoknya ke udara sejenak, lantas kembali fokus menyantap nasi uduknya.
Emilia baru hendak membuka mulut saat seseorang hadir di antara mereka, duduk di samping Alvaro. Kamila.
“Emi, ada sayembara cerpen, lho. Aku lihat di FB. Kamu ikutan, deh. Tulisan-tulisanmu bagus. Nih, coba lihat di HP-ku.”
Jika Alvaro bersahabat baik dengan Raka, maka Emilia berkawan erat dengan Puspa dan Kamila sejak mereka menempati satu kelas yang sama. Sayangnya, Kamila kini menempati 2 IPA 4, sehingga kesempatan mereka berjumpa biasanya di kantin, seperti sekarang.
“Udah kulihatin,” kata Puspa setelah menelan kunyahannya, saat Kamila menyodorkan ponselnya pada Emilia.
“Udah?” Kamila menyahut dibarengi wajah semringah. “Ikutan, Em. Jangan cuma nulis buat mading. Kemampuanmu harus diasah di peluang lain.”
Napsu makan Emilia menguap bersama suara tawa siswi di belakangnya yang perlahan menjarak karena orang itu sepertinya sudah melenggang dari tempatnya. Meski begitu, keramaian kantin masih melingkupi kebersamaan para siswa, yang sesekali diselingi pekik entah karena apa, juga gelak geli yang nyaman didengar.
Tatapannya berpindah-pindah dari Alvaro, Kamila, Puspa, kembali pada Alvaro. Mereka adalah pendukung hobi Emilia. Emilia masih ingat saat pertama kali karyanya dipajang di mading, orang pertama yang memberinya selamat penuh bangga adalah Alvaro, disusul Puspa dan Kamila. Mereka sepakat Emilia berbakat dalam kepenulisan, membuatnya kian termotivasi untuk mencipta karya lain. Namun, jika harus mengikuti kompetisi, Emilia belum merasa layak.
“Yang, nggak usah mikir berat-berat. Kamu suka nulis, ada lomba, coba ikutan. Soal menang atau nggak sih, urusan belakangan.” Alvaro berkata lugas, seakan bisa memahami isi pikiran Emilia saat ini, membuatnya menelan ludah karena merasa tertangkap basah.
Kamila mengangguk setuju. Perhatiannya lantas tercuri sesuatu, entah apa. “Eh, aku duluan, ya.” Kamila lekas berdiri, menggenggam ponselnya. “Em, harus ikutan lombanya, lho.”
Kamila pun pergi, menyisakan tiga mantan teman sekelasnya yang melongo. Puspa mengambil suapan terakhir.
“Tuh anak udah kayak jelangkung. Nongol sama perginya sesuka hati,” komentar Puspa, yang ditanggapi kekehan Alvaro. Puspa menyenggol tangan Emilia. “Ikutan, Em.”
“Ikutan, Yang.” Alvaro menggenapi.
Emilia melipat bibir, berpikir. Sebenarnya, tidak ada salahnya ia mencoba. Selama ini, karya-karyanya hanya berada di area sekolah. Adalah sebuah kemajuan jika Emilia berani mengirim karyanya ke tempat lain. Apa tulisanku bakalan dilirik juri? Pasti banyak tulisan lain yang lebih bagus. Tapi... Emilia mengarahkan pandangan pada Alvaro yang tengah meneguk minumannya. Al ngedukung aku banget. Puspa sama Kamila juga. Apa aku coba aja ya?
Emilia menghirup udara banyak-banyak, lantas mengangguk. “Aku coba, deh.”
“Nah, begitu dong!” Puspa menjentikkan jari penuh kepuasan.
“Semangat, Yang.” Alvaro berkata dengan suara segar. Tangannya merogoh saku kemeja, mengeluarkan ponsel. Pandangan cowok itu meneduh, disusul senyum lebar. Alvaro lantas mengetik sesuatu. Entah apa, atau pada siapa. Emilia tidak pernah repot menanyakannya.
“Em, cepat habisin bakminya. Keburu istirahat udahan.”
Teguran Puspa menyentak Emilia, membuatnya segera memakan bakmi yang baru ia sadari terabaikan sedari tadi. Proses makannya diselingi obrolan dengan Puspa, sementara Alvaro fokus pada ponselnya.
Entah kenapa, Emilia disisipi resah.