KENYATAAN YANG MENYAKITKAN
Jakarta 2018
Malam ini adalah malam yang indah bagi Ara. Ara memasuki rumah sambil bersenandung ria hingga ketika ia membuka pintu rumahnya semua senyumannya hilang seketika. Di perhatikannya mamanya menangis, papa yang diam saja dan bang Paskal yang menatap tajam lawan bicaranya. Ya, mbak Gangga datang ke rumah kami setelah sekian lama pergi meninggalkan rumah ini. Semua orang melihat kearah Ara dengan tatapan yang sendu. Ara tak mengerti kenapa mbak Gangga datang kembali ke rumahnya.
“Akhirnya, yang di tunggu datang juga.” Mbank Gangga menatap Ara dengan sinis.
“Ada apa ini?” Tanya Ara kepada Paskal.
“Katakan kepada abang ra. Kamu masih berhubungan dengan lelaki itu ?” bg Paskal menatap mataku dengan lekat. Aku bingung harus mengatakan apa. Mbak Gangga yang menatapku dengan remeh seketika menaikkan amarah yang selama ini ku pendam.
“Ohh jadi mbak yang ngadu ke papa?”
“Ngadu kamu bilang? Aku hanya memberi bukti bahwa anak mereka gak bisa pegang janjinya sendiri.”
“Janji? Aku gak pernah berjanji ke mbak.”
“Hahh dasar. Kamu pernah bilang untuk memberi dia untukku. Ingat?”
“Saya tidak pernah setuju dengan apa yang anda bilang.”
“Anda? Ohh sekarang kamu sudah mulai berani ya?” mbak Gangga berjalan kearahku dan melayangkan tangannya untuk menampar tanganku. Namun, papa menahan tangan itu dengan segera.
“Itu hak anak saya Gangga.” Aku terkejut mendengar perkataan papa.” Selama ini anak saya banyak mengalah kepada kamu.Kamu gak ingat semua perlakuan kamu kepada kami dulu?”
“Ingat, aku sangat ingat. Aku melakukan itu karena kalian telah mengambil semua orang yang aku sayang.”
“Itu bukan salah saya ataupun keluarga saya. Orang tuamu meninggal karena kecelakaan itu.Papa gak pernah sengaja melakukan itu nak.” Disentuh papa bahu mbak Gangga dengan erat. Kulihat bahu itu bergetar dengan kuat. Air mata berjatuhan dari pipinya.
“Tapi, papa dan mama gak akan pernah ninggalin aku seandainya saja om gak pernah nyuruh mereka jemput aku.” Katanya dengan lirih. Aku terdiam melihatnya menangis tersedu – sedu mengingat kematian orang tuanya. Papa pun memeluk mbak Gangga dengan penuh kasih sayang. Namun, mbak Gangga langsung menepis tangan papa dan pergi begitu saja dari rumah kami. Papa masih memperhatikan pintu yang terbuka sedangkan mama hanya bungkam saja. Aku mendudukkan badanku dengan lelahnya. Ku pejamkan mataku sesaat hingga suara papa menginturpsiku.
“Benar kamu masih bertemu dengan dia ra?” aku membuka mataku penuh mendengar perkataan papa.
“Dia atasan Ara di kantor pa.” Papa menatapku dengan tatapan yang sulit sekali di artikan.
“Kenapa susah bagi kamu untuk tidak bertemu lagi dengan dia.”
“Pa, ara sedari awal gak tau kalau Arash…..”
“Jangan sebut namanya di rumah ini” Tegas papa kepadaku dengan matanya yang sungguh tajam.
“Kenapa papa masih saja benci dengannya?” Papa berjalan mendekatiku dan memilih duduk di sampingku. Di genggamnya tanganku seolah mengatakan aku harus mengerti tentang semua ini.
“Papa tak ingin kamu berurusan dengan Gangga lagi ra. Biarkanlah lelaki itu dimiliki olehnya. Sedari dulu bukankah lelaki itu yang di inginkannya?”
“Jika itu yang papa minta maka Ara tak bisa mengabulkannya.” Aku pun melepaskan genggaman tangan papa dan memilih untuk masuk ke kamarku.
Aku berjalan dengan gontai baru beberapa jam yang lalu ia merasakan kebahagiaan ini lalu dengan sekejap kebahagiaan itu hilang begitu saja. Aku memasuki kamarku yang gelap gulita. Aku merebahkan badanku di atas kasurku tanpa membersihkan badanku terlebih dahulu. Ponsel di sampingku terus bordering. Ku lihat nama Galih yang tertera di layarnya.
“Halo” Ucapku dengan singkat.
“Ra, kamu baik – baik saja ?” Ku dengar suaranya yang penuh kekhawatiran itu.
“Ya, aku baik.”
“Tadi aku lihat Gangga kerumahmu” Ucapnya dengan pelan.
“Kamu melihatnya?”
“Ya, papamu juga yang memberi tahu aku tadi.”
“Papa telpon kamu tadi. Buat apa?”
“Aku sahabatmu Ra. Papamu mungkin saja ingin aku menghiburmu.”
“But, I am okay. Jadi aku gak butuh di hibur.”
“Okay, jadi kamu ternyata kerja di firma Arash?”
“Ya, kamu juga mau marah seperti mereka ?” Galih hanya diam tak menjawab pertanyaan Ara.
“Kamu diam berarti iya kan?”
“Aku tidak marah hanya saja sekarang ini aku merasa kalah kembali dengan cinta ini.” Ku dengar di sebrang sana menghela nafas dengan berat “ Istirahatlah agar moodmu kembali lagi. Selamat malam Ara” di matikannya telpon dengan sepihak. Aku menghempaskan ponselku ke tempat tidur. Aku mengusap wajahku dengan kasar. Sungguh aku semakin pusing dengan semua permasalahan ini. Arash, ya hanya dia yang akan mengembalikan cahaya hidupku lagi. Ku raih ponselku kembali dan menghubungi dia. Ponselnya mati tumben dia mematikan ponselnya Pikirku. Aku menggelengkan kepalaku untuk mengusir pikiran buruk tentangnya.
“Gak mungkin dia pergi dari aku lagi. Ra hapus semua pikiran buruk itu” Aku pun berjalan ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diriku terlebih dahulu agar aku dapat berpikir dengan jernih.
***
Di lain tempat seorang lelaki dan wanita yang saling pandang sedang duduk berdua di bangku taman. Mereka saling pandang namun taka da satu pun dari mereka yang memulai berbicara. Sang lelaki memilih membuang tatapannya kearah lain sedangkan sang wanita terus memandang lurus sang lelaki yang di cintainya.
“Kamu berbohong” Ucapnya dengan singkat. Lelaki itu menoleh ke arahnya dengan cepat.
“Maksud kamu apa mel?” suara lelaki itu terdengar sangat berat seperti merasakan beban yang begitu berat.
“Kamu pernah berkata akan melupakan dia dihatimu” Ucapnya dengan pelan.
“Maaf” Hanya itu yang dapat dikatakan oleh Arash. Amel menundukkan kepalanya dengan hati yang teriris. Sungguh hatinya sangat terluka. Luka itu datang dari orang yang dia cintai.
“Kamu jahat Rash. Jahat banget rash selama ini aku selalu menaruh harapan kepadamu tapi kenapa kamu hancuri semua itu.” Amel menatap mata Arash dengan terang – terangan.
“Maafkan aku mel. Aku sungguh sangat melukai hatimu. Karena aku kamu terluka terlalu dalam. Aku gak bermaksud sama sekali mel “
“Percuma selama ini aku berusaha membuat kamu untuk terus melihat aku.”
“Ya, percuma memang karena sampai kapanpun hati ini akan terus untuk dirinya yang sangat ku cintai mel. Kamu harus tau itu.” Arash langsung beranjak dari bangku itu dan berjalan menjauhi Amel yang sedang menangis tersedu – sedu. Sungguh hatinya sakit melihat orang yang sudah di anggap sahabat olehnya harus merasakan sakit karena ulahnya sendiri. Sejujurnya, ia tak bisa melihat Amel menangis seperti ini tapi dia tidak bisa memungkiri bahwa dia tak bisa membahagiakan Amel seperti janjinya dulu kepada Amel karena sekarang dia ingin memperjuangkan kembali wanitanya. Ya, wanitanya Ara.
Penulisan kata ku disambung dengan kata yang mendahuli, atau kata di belakangnya. Salam.
Comment on chapter Prolog