"Eh, itu yang ngumpet tolong keluar dong." Rika menghela napas, lalu berkacak pinggang.
Diperingati, 4 makhluk yang bersembunyi daritadi pun muncul.
"Mbak Anti, Mas Zian, Mbak Ame, Mas Yusuf." Ia mengabsen satu-satu keempat makhluk di depannya.
Semuanya hanya diam. Menanti Rika bersuara lagi.
"Besok Kakak dateng.” Rika mengedarkan matanya pada empat makhluk tak kasat mata di depannya.
“Mbak Anti jangan gangguin Mbak Lexa, ya.”
Anti—kuntilanak mengangguk saja karena ia tahu Rika sedang serius.
"Mas Yusuf jangan suka jadi guling."
"Yha Rik, asik tau ngisengin orang," kata Yusuf—pocong, membuka kain kafannya. Menampilkan sosok tampan yang tertutupi karena wajah make up-nya.
"Coba Mas bayangin jadi Kakak. Lagi enak-enak meluk guling, tahu-tahu gulingnya jadi pocong."
Yusuf bergidik ngeri. "Ya nggak 'gitu juga keles Rik."
Rika berdecak. "Mas aja takut kalo digituin. Trus Mbak Ame juga jangan tahu-tahu buat jamu malem-malem trus paginya taruh di meja."
"Ya ndak bisa, Nduk. Kan kamu tahu Mbakyumu suka minum jamu," sahut Ame—hantu jamu gendong yang tak pernah menggendong jamu—dengan logat Jawanya yang masih tersisa, setelah terkontaminasi pembawaan Rika dan Anti yang terlalu 'kota'.
"Tapi kan nggak 'gitu juga Mbak. Ntar aku yang ditanyain. Pernah sekali kayak 'gitu, jadinya terpaksa aku bilang kalo aku bangun pagi nyariin jamu buat dia.”
Ame mengangguk saja, sambil tersenyum maklum.
“Terakhir tapi pasti, Mas Zian jangan coba-coba ngisep darah Kakak."
"Yah elah Rik, ya keles Mas minum darah kakakmu," kata Zian. "Kamu kan tahu kakak kasatmatamu yang ganteng ini nggak kuat ngeliat darah. Inget nggak, Mas pernah collapse karena coba minum darah manusia. Selama ini Mas cuma makan buah, udah macem codot aja kan." Zian merebahkan dirinya di sofa, di sebelah Rika.
Rika rasanya ingin menjitak vampir satu itu, tapi ya sudahlah. "Daripada besok malah rese," batinnya. "Mas Zian, mending sana dah balik ke kerajaan."
Zian mengerucutkan bibirnya. "Elah Rik, sama aja kamu kayak Raja Zico."
"Yaaa ..., beda tipis dikiiit lah, kan Raja Zico udah tua." Rika tersenyum.
Zian tertawa. "Dek, Dek. Mas kan udah keukeuh makan buah aja."
Rika mengangguk. "Ya, ya. Tapi kan bisa juga Mas dapet pacar."
Zian menggeleng-gelengkan kepalanya. "Makin mirip. Orangtua Mas juga begitu. Katanya, 'Zian, Zian. Kamu kapan mau nikah? Jangan makan buah aja. Nanti kurus.' Habis ngomong itu bapak gua ketawa."
Rika tertawa. "Ya emang bener sih. Bahkan lebih gedean tangan aku daripada kaki Mas."
Zian cemberut. "Semprul." Lalu ia bangkit dari tidurnya, duduk, lalu mengacak-acak rambut Rika. "Makanya doain dong Mas kamu ini dapet pacar."
Rika cemberut. "Makanya ngelancong melulu tiap malem. Ngapain sih emang?"
Zian ingin menjelaskan, tapi akhirnya hanya menggeleng. "Nggak ngapa-ngapain sih. Cuma cari angin."
Rika mengikat rambut hitam sebahunya. "Ya udah, batesnya sampe nanti malem, jam sebelas. Habis itu, jangan ada yang ke sini-sini lagi. Oke?"
Keempat makhluk itu mengangguk. "Siap, Bos," kata mereka berbarengan.
Rika tepok jidat.
***
Rika terbangun dari tidurnya, lalu melirik ke arah jam dinding.
Jam 10.
Ia mengecek handphone-nya. Tak ada info dari kakaknya. Baru saja ia beranjak dari kasurnya untuk memenuhi kebutuhan hidup (baca: makan), tiba-tiba Yusuf sudah ada di sebelahnya, pura-pura menjadi guling, malah ketiduran.
Rika menghela napas, lalu menjitak pelan pocong yang tak suka memakai kain kafan itu.
Yusuf terbangun. "Astaghfirullah Rik, Mas salah apa sama kamu?"
"Bilang aja mau isengin aku tapi malah gagal karena Mas ketiduran."
Yusuf nyengir. "Oh ya, yang lain pada mau jalan-jalan. Ikut nggak?"
"Sekarang malem ... Minggu ya? Idih, jalan-jalan? Emang mau ngapel? Punya pacar aja kagak mereka." Rika mengernyit. "Yah ..., gua juga sih ...." Suaranya mengecil.
Kini gantian Yusuf yang menjitak Rika. "Yee .... Makanya kite-kite ngajak ente malmingan, kan sesama joms gitu," sahut Yusuf, dengan gaya melambai.
Rika menatap Yusuf dengan jijik. "Ya masa kita jalan-jalan, yang ada kan aku kayak orang gila ngomong sendiri."
Yusuf terdiam, berpikir sejenak, lalu nyengir lebar. "Eh iya ya." Rika tepok jidat. "Ya udah, nobar kuy."
"Nobar apa, Mas?"
"Setan."
Rika tepok jidat lagi.
***
Rika duduk di sofa, menonton film horor yang sempat booming, Sang Biarawati. Anti, Zian, Ame, dan Yusuf duduk di sebelah kanan Rika, saling berpelukan, malah sempat ketakutan.
Baru saja beberapa menit film diputar, Rika mengganti posisi duduknya. "Ah, ganti aja yuk. Nggak serem. Masa kalian takut sih, kan sebangsa."
Mereka berempat menoleh ke arah Rika dengan tatapan "Hah? Serius?".
"Gimana ya, suasananya kondusif buat takut," kata Zian beralasan. "Ya udah deh, ganti aja. Mau film apa emang Rik?" Zian bertanya, masih menekuk lututnya.
"Emm ... Ankoku Joshi aja deh. Mumpung inget."
"Serem?" Yusuf sudah ancang-ancang peluk guling.
"Nggak. Menurut yang aku baca dari novelnya sih, tentang kelicikan, femme fatale, pokoknya novelnya keren." Mata Rika berbinar-binar. Ia berdiri, mengeluarkan CD dari dekoder, lalu memasukkan CD Ankoku Joshi.
Layar TV gelap, lalu sedetik kemudian memunculkan lambang publisher ternama yang sering menghiasi film-film Jepang. Tak lama kemudian, tulisan "????" pun muncul di layar.
"Rik, subtitle-nya mana?" Yusuf yang masih setia dengan mesra memeluk gulingnya, memecah keheningan.
Tak ada jawaban.
"Rik?" Kini Zian yang duduk di paling ujung angkat suara.
"Zi, An, Suf, Rika ... Rika ..."
"Iya? Kenapa, Me?" Anti was-was dengan sepupunya yang memang mudah panik itu.
"Rika ...."
"Iya, kenapa Me?!" Anti bertanya setengah berteriak, panik juga.
"Rika ...
ketiduran."
Anti tepok jidat.
***
Mau tak mau, akhirnya Rika dibangunkan dan disuruh tidur oleh Anti, dan setelah itu kembali ke dunia mereka, mengingat sekarang sudah jam 11 kurang. Sebentar lagi portal ditutup. Meskipun tak wajib kembali ke dunia, tapi mereka tetap harus melapor jika tak akan kembali ke dunia gaib.
Rika terdiam. Matanya sudah terasa berat untuk diangkat, sayang tubuhnya tak ingin berkompromi.
Ia akhirnya duduk, lalu keluar dan membuat segelas susu hangat. Setelah merasa perutnya nyaman, akhirnya Rika kembali ke kamar, dan akhirnya, ia bisa menuju alam mimpi.
***
Rika terbangun dengan normal seperti manusia-manusia lainnya, dengan sinar matahari yang sedikit menyelinap masuk lewat gorden jendela kamarnya.
Handphone-nya berdering, menggetarkan sakunya. Ia melihat nama penelepon di layarnya. Nama "Kakak" tertera di situ.
"Halo?"
"..."
"Oh, sejam lagi."
"..."
"Ya, ya. Rumahnya udah aku beresin kok." Rika meringis kala mengatakan hal itu. Boong dikit nggak apa-apa lah, batinnya.
"..."
"Ya, dah. Jangan lupa oleh-olehnya," katanya tertawa.
Lalu sambungan terputus.
***
Lexa mengetuk pintu rumah perlahan, enggan menurunkan bawannya yang seberat anak gajah itu.
Netranya membulat kala melihat sang empunya rumah membukakan pintu untuknya. "Ya ampun Dek, kamu kok jadi kurus 'gini?" Lexa memegang pipi Rika.
"Perasaan Kakak aja kaliiiii ...." Ia mengerucutkan bibirnya.
"Enggak. Kamu kurusan. Pokoknya, Kakak taruh dulu bawannya, trus kita jalan-jalan cari makan. Nggak ada kata "nggak usah"," titah Lexa.
Rika diam-diam senang. Kapan lagi diajak jalan-jalan, 'kan? Akhirnya Rika mengangguk.
"Bagus. Dah sana, siap-siap. Kakak mau beres-beres dulu."
Tak perlu waktu lama bagi Rika untuk mandi dan berpakaian. Rika melangkah gontai menuju kakaknya. Masih mengantuk, kalau boleh dikatakan. Padahal tubuhnya sudah wangi sabun anti-septik dan rambutnya sudah wangi sampo 2 in 1.
"Dah sana, buruan masuk mobil," titah Lexa.
Rika menurut, lalu mendudukkan pantatnya di kursi mobil H1 yang empuk. Ya, kakaknya merupakan orang yang cukup berada.
Lexa mengikuti adiknya, lalu menyalakan mesin mobil. "Mau makan ke mana?" tanyanya.
"Emcede?" Rika malah bertanya balik. "Sekalian mau ke Papaya yang ada di Terogong."
"Ish, nanya balik. Ya udah, kita ke sana aja deh, katanya ada menu baru. Belanjanya nanti jangan lama-lama ya Rik."
Rika menurut saja, lalu memasang earphone-nya. Keramaian kota Jakarta memang tak ada habisnya. Berlokasikan di tempat orang berada, Pondok Indah, mobil keluaran Hyundai itu berbelok, menuju McDonald's Pondok Indah.
***
Langit telah menguning. Sudah sore. Rika menengadahkan kepalanya ke langit yang tak kunjung hujan. Terpaksa hari ini ia tidak ke gereja, mengingat kakaknya datang jauh-jauh dari BSD.
"Maafin aku Tuhan," batin Rika.
"Rik ...."
"Sst ... Rika lagi galau cinta."
"Ndak, dia itu kangen sekolahnya, Mas."
"Ngelamun mulu. Mas gigit nih Rik."
Rika menghela napas. "Aduh, Mas-Mas, Mbak-Mbak, dari pada begitu bantuin aku aja yuk. Nanti gimana kalo aku ketahuan nggak sekolah? Masa bilang sakit terus?"
Zian terdiam. "Mas rasa kamu mending bilang sama Mbakmu."
"Tapi nanti bakalan disuruh masuk ke sekolah yang lain."
Zian memegang bahu Rika, lalu menatapnya dalam-dalam. "Then, do it. You don't even deserved to received their bad and shitty words, you hear me?"
"Raja Zico ... kenapa anakmu nggak punya pasangan sih? Gentle begini ....," ceplos Rika.
"Rik! Gua serius." Zian menahan senyumnya. "Tuhan belom ngizinin gua ketemu jodoh gua. Apalagi gua kan ribet, megang aja udah bisa dapet energi."
"Kalo 'gitu, kenapa nggak sama aku aja? Yang penting kan Mas dapet energi, 'kan?"
"Tapi nggak bisa gitu, Rik. Kamu mau jadi vampir? Lebih lagi, kamu mau mati lemes karena nggak jadi vampir? Nggak, 'kan?"