Rika memasang earphone-nya erat-erat. Baginya, semua cacian dan hinaan "anak aneh" sudah menjadi makanan sehari-harinya.
Yang terpenting menurutnya sekarang bukanlah sekolah, melainkan berbaring di rumah dan mengamankan dirinya.
Ia buru-buru berlari ke dalam rumah, merogoh tasnya, mengambil kunci rumah, lalu membuka rumah yang telah kosong semenjak kakak satu-satunya menikah dan kembali ke BSD dan memulai kesibukan rumah tangganya, sesudah kematian kedua orangtuanya 8 tahun lalu.
Kakaknya mengkhawatirkannya dan memintanya tinggal bersama kakaknya, tapi Rika menolaknya. Tak mungkin kehadiran seorang anak SMA kelas 2 tak bisa membuat perkawinan kakaknya hancur, apalagi ini baru tahun kedua perkawinan kakaknya.
Ia menolaknya dengan berkedok mencari kemandirian.
Melihat alasan adik satu-satunya yang lumayan logis itu, akhirnya Rika pun ditinggal sendiri di rumah peninggalan kedua orangtuanya, dengan berjanji akan tetap memberikan uang saku bulanan pada Rika.
Ia rasa, dengan keadaannya sekarang, uang saku bulanan kakaknya akan menggunung. Yang jelas, kakaknya tak boleh tahu jika Rika membolos sekolah. Mungkin tinggal bilang sakit beberapa bulan—itu akan cukup; sangat cukup malah—lalu barulah ia minta pindah sekolah pada kakaknya.
Ia jadi terngiang dengan hal yang mendorongnya untuk melakukan hal gila ini. Ya, lingkungan sekolahnya.
Rika indigo—dan ia merasa biasa saja, tapi ternyata teman-temannya malah takut padanya. Apalagi Rika pendiam dan tak menonjol di semua bidang pelajaran kecuali bahasa dan seni. Jadilah semakin besar jarak antara dia dan teman kelasnya sendiri.
Rika berambut gelombang dan dipotong pendek sebahu—agak berantakan karena dipotong sendiri, beriris cokelat tua hingga terlihat seperti berwarna hitam, hidung mancung, dan bibir kemerahan yang tipis. Tingginya 160 sentimenter, beratnya 45 kilogram.
Ia menyukai bahasa dan seni—sejak ia belum masuk sekolah dasar. Kini ia tengah mempelajari 5 bahasa. Indonesia dan Sastra Indonesia, Inggris, Jepang, Jerman, dan Korea.
Makanan favoritnya bakso dan sate, sedangkan minumannya es teh manis.
Ia jatuh cinta pada animasi Jepang sejak TK karena melihat tontonan di kabel televisi nasional zaman itu.
Pikirannya kembali terlempar makin jauh ke masa lalu kala melihat foto keluarganya.
Di suatu hari di bulan Desember, tepat sehari sebelum Natal 8 tahun lalu, Rika harus merelakan ibunya dipanggil Sang Hyang Perkasa. Penyebabnya, klise.
Kecelakaan lalu lintas.
Saat itu, ibunya hendak menjemput ayah Rika di bandara, sehabis ayah Rika merantau. Entah dari mana, tiba-tiba ada mobil yang gagal menyalipnya dari belakang dan malah mendorong mobil ibu Rika ke bawah jembatan. Pelaku itu pun sudah meminta maaf, ganti rugi, membayar semua keperluan penguburan ibu Rika, sampai dipenjara.
Rika merasa kasihan, tapi mau bagaimana lagi? Mungkin memang sudah saatnya ibunya dipanggil Sang Kuasa.
Tiga tahun kemudian, Rika dan Lexa—kakaknya, harus merelakan orangtuanya lagi. Ayahnya terkena liver, karena terlalu bekerja keras demi menghidupi keluarganya yang sudah tak utuh.
Untung saja, Lexa sudah besar saat itu, hingga ia sudah bisa bekerja dan menggantikan orangtuanya menghidupi Rika.
Yah, meski Lexa kadang menyebalkan, Rika tak punya pilihan lain selain mengikuti anggota keluarga satu-satunya itu.
Axel—suami Lexa juga menyenangkan. Kadang ia diberi uang saku bulanan. Ya, sebagian ia tabung, dan sisanya ia pakai untuk membeli album band Jepang maupun Korea favoritnya.
Nama suami kakaknya yang merupakan kebalikan nama kakaknya itu kadang membuatnya terkekeh sendiri. Betapa jodoh memang tak ke mana. Ia jadi ingat pepatah, "Jodoh memang tak ke mana. Saingannya saja yang di mana-mana."
Axel merupakan anggota gereja yang sama dengan Lexa dan Rika. Bermula dari dipasang-pasangkan karena namanya mirip, akhirnya Axel dan Lexa meang benar-benar menjadi pasangan.
Rika begitu ingat, di saat keduanya mengucap janji suci di altar, di bawah salib—perlambangan Yesus Sang Mesias—disaksikan oleh teman terdekat keduanya, juga orang-orang yang dianggap perlu menjadi saksi pernikahan suci di antara dua insan Tuhan yang saling mencintai itu.
Keduanya belum dikaruniai anak, jadi Axel menganggapnya sebagai seorang anak—daripada seorang adik ipar. Rika bahkan sempat ditawari untuk tinggal oleh Axel, namun Rika menolaknya. Lexa dan Axel terpaksa maklum.
Axel hanya berharap, suatu hari nanti, ia akan bisa membujuk agar Rika tinggal bersama istrinya dan dirinya. Entah mengapa, ia rasanya ingin mengurangi beban gadis itu. Tapi memang dasar Rika keras kepala, lebih baik mati kelaparan sendiri daripada mati kelaparan di rumah kakaknya. Masalahnya, ia tak akan kelaparan di rumah kakaknya, sih. Tapi ia memang lebih suka sendiri, jadinya terpaksalah Axel memaklumi pilihan adik iparnya itu.
Pikiran Rika terlempar ke masa sesudah kakaknya menikah. Hidup sendirian itu memang kadang sulit—dan bodohnya Rika baru sadar. Tapi baginya, tak apa-apa sulit, asal sendirian. Itu prinsipnya.
Rika menghela napas agak berat—seolah melepas semua bebannya, melangkah ke dapur, lalu membuka kabinet atas. Terlihat jejeran mie instan menghiasi kabinet itu.
Tangannya hendak meraih satu bungkus, tapi kemudian ia urungkan niatnya.
"Udah tinggal sendirian masih berani makan pengawet? Rika, Rika. Ntar mati nggak ada yang tau gimana ....," gumamnya.
Akhirnya, ia membuka kulkas. Telur yang masih tersisa 4 itu menghiasi pintu kulkas.
"Mie kuah pake telor enak nih ..., apalagi kalo minumnya es teh manis," gumam Rika lagi.
Ia menggelengkan kepalanya cepat, menghapus bayangan menggoda namun diam-diam mematikan itu.
Ia akhirnya mengambil 1 butir telur, lalu akhirnya membuat hidangan standar: telur ceplok.
Getaran handphone dari sakunya membuat Rika terlonjak sedikit, membuatnya hampir menabur merica terlalu banyak.
Ia cepat-cepat menyelesaikan masakannya. Sesudah semuanya tertata rapi di piring, Rika duduk, lalu merogoh saku roknya, mengambil handphone-nya yang bergetar dari tadi.
Ia lantas melihat nama yang tertera di layar. Rika pun buru-buru mengangkatnya.
"Iya Kak, kenapa?"
"..."
"Nih, lagi makan."
"..."
"Makan telor ceplok."
"..."
"Besok ... nggak. Aku nggak pergi ke mana-mana."
"..."
"Hah? Besok? Pulang kapan?" Ia hampir menjatuhkan sendok berisi telur yang daritadi tak sempat masuk ke mulutnya. Bisa-bisa diganyang jika ia ketahuan tak sekolah.
"..."
"Bukan nggak suka sih, tapi emang gak apa-apa? Suami Kakak? Oh ... di sini sampe Minggu siang. Ya, ya."
"..."
"Mas Axel Sabtu masih kerja?" Rika menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya udah Kak, jangan lupa bawa makanan banyak." Ia tertawa.
"..."
"Yang banyak nih? Serius? Ya udah, dah Kak."
Ia menutup teleponnya, lalu menghabiskan telur di piringnya. Ia pun beranjak, lalu mencuci piringnya.
Ia begitu lelah dengan keadaannya, sebenarnya. Pernah ia ingin bunuh diri, tapi bunuh diri tak akan menyelesaikan masalahnya, ‘kan? Bagaimana pun juga, akal sehat Rika lebih dominan.
Ia pun sekarang lebih lelah lagi kala merasakan pandangan 4 pasang mata yang memandanginya daritadi.