Seseorang tidak akan bisa mengerti perasaan orang lain jika orang itu belum pernah benar-benar merasakannya sendiri.
"Aku bertemu seribu orang sepertimu setiap harinya, yang hanya bisa memandang dari satu sudut pandang saja" ~Stella Patricia
"Apa lagi yang harus kukatakan jika semua salah dimatamu?" ~Ghazi Geraldo
-Distaste-
Kelas X IPA 2 seperti biasa menjadi kelas yang sepi saat pelajaran Bu Caca berlangsung. Hanya satu atau dua siswa saja yang masih fokus pada pelajaran yang dikeramatkan kebanyakan murid ini. Selebihnya sibuk dengan aktivitas mereka sendiri. Kebanyakan dari mereka memilih tidur.
"Sekarang kalian kerjakan buku paket halaman 25-27! Saya mau ke kantor sebentar," pamit Bu Caca. "Oh ya, jangan ada yang keluar kelas atau satu kelas saya suruh lari keliling lapangan 20 kali!" Tambahnya lagi.
"Siap bu," jawab Bastian semangat.
"Jangan cuma bicara aja, awas kalau nanti kamu ketahuan ke kantin sama Figo!" Ancam Bu Caca.
"Astagfirullah, saya diem loh buk, masih aja disangkut pautin," sahut Figo.
"Kamu kan emang sohibnya Bastian kalau urusan bolos."
"Itu namanya setia kawan bu."
"Kalian itu ya! Bisa habis waktu saya ngurusi kalian disini." Bu Caca sudah menyerah melihat kelakuan kedua siswanya itu. Beliau akhirnya meninggalkan ruangan tersebut dengan wajah masam.
Sejak pelajaran berlangsung sampai guru tersebut meninggalkan kelas hanya satu orang yang tetap menunjukkan ekspresi sama. Ia hanya mencoret-coret kertas di depannya tapi tidak membentuk gambar apapun. Pikirannya masih tertuju pada kejadian kemarin sore.
"Gaz, lo kenapa sih? Gue lihat dari tadi diem mulu, nggak kaya biasanya. Ada masalah?" Tanya Rasta, teman sebangku Ghazi.
Ghazi hanya menoleh singkat kemudian menggelengkan kepalanya. Ghazi memang bukan tipikal orang yang sepenuhnya terbuka. Jika ia ingin bercerita sesuatu tanpa ditanya ia akan bercerita sendiri. Tapi kalau tidak ya seperti inilah.
"Gimana kemarin?" Rasta mencoba mengganti topik pembicaraan.
"Apanya?"
"Ya bantuannya lah Gaz. Emang kemarin lo ngapain aja kok bingung banget jawabnya."
"Ya gitu," jawab Ghazi singkat.
Rasta menghela napas panjang. Ia semakin yakin ada yang tidak beres dengan sahabatnya ini. "Pulang jam berapa kemarin?"
"Habis isya."
"Malem amat, Terus Stella lo anter pulang kan?" Tanya Rasta khawatir.
Mendengar nama Stella disebut membuat Ghazi terdiam. Ia bahkan tidak memikirkan bagaimana cewek itu pulang kemarin. Apa ucapannya kemarin terlalu buruk? Sebenarnya ia tidak sungguh-sungguh mengatakan itu. Ghazi tahu jika Dito tidak menyukai Stella itu sebabnya Ghazi mengatakan hal tersebut. Ia tidak menyangka Stella mendengar semuanya.
"Woi Gaz, nglamun lagi. Gue sebenernya ngomong sama manusia apa batu sih? Mana Ghazi yang biasanya ceria, suka teriak-teriak. Lo kalo ada masalah cerita dong. Kita temenan sejak kapan sih? Lo masih nggak percaya sama gue," tutur Rasta panjang lebar.
Tidak mau Rasta semakin curiga Ghazi berusaha mengubah ekspresinya yang semula masam menjadi biasa. "Dia kemarin pulang sendiri nggak sama gue."
"Sendiri? Dijemput apa naik ojek apa gimana?" Tanya Rasta lagi yang hanya mendapat jawaban 'tidak tahu' oleh Ghazi.
Rasta memicingkan matanya, "Lo berantem sama Stella?"
"Nggak."
Jelas ada sesuatu yang tidak beres dari ucapan Ghazi tapi percuma juga bertanya pada Ghazi lagi. Rasta sudah tahu dimana ia akan mendapat jawaban atas pertanyaannya.
***
Setelah bel istirahat berbunyi Stella dan Gita bersiap menuju ke kantin. Sampai di depan pintu kelas, mereka dikejutkan dengan Rasta yang datang dari arah berlawanan.
"Rasta ngagetin tahu nggak," omel Gita.
Rasta menunjukkan cengirannya, "Maaf ya ta, Gue pinjem Stella bentar boleh?"
"Gue sih terserah Stellanya aja mau apa nggak, tapi inget ya lain kali kata-katanya nggak boleh gitu. Stella itu bukan barang nggak bisa dipinjem sana pinjem sini," ujar Gita membuat dua orang di sampingnya tertawa. "Gue duluan ya La," pamit Gita.
"Kenapa nih? Tumben nyari gue?" Tanya Stella.
"Kangen," jawab Rasta absurd.
"Aku nggak tuh. Udah ah cepetan mau apa? Gue udah laper nih." Stella menepuk-nepuk perutnya.
"Janji ya gaboleh marah!" Pinta Rasta.
Stella menaikkan alisnya, "Lihat dulu ngapain," bantah Stella.
Jika berdebat dengan Stella sudah dipastikan Rasta akan kalah. Lebih baik ia bertanya secara halus. "Kemarin gimana lancar?"
"Lancar kok, emang kenapa?"
Rasta menyadari ada sedikit perubahan di raut wajah Stella. "Lo nggak berantem kan sama Ghazi?"
Mendengar nama Ghazi membuat Stella naik pitam sekarang. "Tanya aja sama temen lo sendiri!" Stella beranjak menuju kantin. Rasta segera menyusul Stella yang sudah terlihat marah.
"La jangan marah dong. Gue kan cuma tanya. Gue nggak tahu masalahnya juga kan," bujuk Rasta.
Stella menghentikan langkahnya dan menatap Rasta tajam. "Bilangin sama temen lo, kalau punya mulut tuh dijaga jangan bisanya nyakitin hati orang mulu!" Setelah itu Stella benar-benar meninggalkan Rasta sendiri dengan seribu pertanyaan di kepalanya.
***
Setiap hari Rabu, BEST selalu mengadakan rapat mingguan. Bahasannya hanya seputar anggota yang bermasalah, program kerja yang belum selesai, atau evaluasi kerja. Ghazi seharusnya senang karena semua berjalan lancar seperti yang mereka harapkan. Tapi, pikirannya sejak tadi tertuju pada perempuan di samping mejanya yang sibuk mencatat agenda rapat hari ini. Dia bahkan tidak menatap Ghazi sekalipun selama rapat berlangsung.
Karena rapat sudah selesai Ghazi membubarkan semua anggota BEST. Tinggallah dirinya, Rasta, dan Stella sekarang. Rasta sibuk dengan game-nya sedangkan, Stella terburu-buru memasukkan bukunya ke dalam tas, berniat segera pulang atau lebih tepatnya menghindari Ghazi.
"Stel tunggu!" Ghazi mengejar Stella yang hendak meninggalkan ruangan. Stella tetap tidak mau berhenti. Tepaksa Ghazi mencekal tangan kanan Stella.
"Apaan sih Gaz?!" Kesal Stella.
"Kemarin itu nggak kaya yang lo pikirin," ujar Ghazi perlahan.
"Gue nggak butuh penjelasan dari lo!" Tukas Stella. Ia menghentakkan tangannya dan berhasil lepas dari genggaman Ghazi.
"Dengerin bentar, gue beneran nggak maksud apa-apa," jelas Ghazi.
Stella yang sudah menahan agar tidak marah sejak tadi sekarang tidak lagi. "Terus lo kira semua omongan lo kemarin itu apa? Gue tahu kok Gaz kalo Kak Dito emang nggak suka sama gue. Kalau lo juga nggak suka lo bisa kan bilang baik-baik sama gue, nggak usah kayak gitu!" Ucap Stella mati-matian menahan air matanya keluar.
"Sekali aja lo tahu Gaz, nggak dianggap padahal lo ada itu rasanya gimana?!" Lirih Stella.
Ghazi paham betul arti perkataan Stella. Ia juga menyadari sejak dulu perempuan selalu mengalah. Ingin memberikan kesempatan pada orang lain tapi akhirnya dirinya sendiri juga yang diabaikan. Ghazi hanya bisa pasrah, percuma saja memberikan Stella penjelasan saat ini.
"La, lo itu salah paham, gue-"
"Lo betul kok Gaz gue emang salah paham. Gue emang selalu salah di mata orang. Tapi, coba sekali aja lo lihat dari sudut pandang gue!" Ucap Stella sedikit halus. Perempuan itu tak kuasa lagi membendung air matanya. Ia segera meninggalkan lorong sekolah secepat mungkin.
Ghazi yang melihat Stella semakin menjauh tidak berusaha mengejarnya. Ia tahu mungkin Stella perlu waktu untuk sendiri. Biarlah waktu yang menjelaskan. Ghazi tersentak saat sebuah tangan menepuk bahunya.
"Lain kali mungkin lo bisa belajar, kalo ngomong itu difilter dulu," ucap Rasta seolah ia mengetahui segalanya. Padahal ia hanya mendengar sedikit pembicaraan Stella dan Ghazi.
"Sotoy lo," ejek Ghazi sambil tersenyum miring.
"Lebih baik gue sotoy daripada lo tahu masalahnya tapi nggak bisa nyelesain," sarkas Rasta. Ucapannya barusan mampu membuat Ghazi benar-benar terdiam.
-Distaste-
@flower_flo wkwk gapapa dong, nanti gula di rumah Stella awet
Comment on chapter Senyuman Maut