"Bukan sikapku yang berubah tapi, kau sendiri yang mengubahku menjadi orang jahat." Stella.
"Kau persis seperti kertas. Semua tinta yang kutorehkan padamu, kau menyerapnya sebaik mungkin hingga warnanya takkan pudar." ~ Ghazi.
-Distatste-
Suasana kelas X IPA 1 yang biasanya ramai berubah sepi sekarang. Tugas yang diberikan guru matematika mereka tidak digubris sama sekali oleh seisi kelas kecuali, Stella. Semua sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang disebut bercerita, bermain ponsel, atau berselfi. Guru mereka tidak pernah melarang sebagai tugas yang diberikan selesai tepat waktu.
Saat bel per penggantian jam pemecahan berbunyi. Seisi kelas X IPA 1 langsung bersorak.
"Alhamdulillah," teriak seisi kelas.
"Makasih Tuhan akhirnya penderitaan kami berakhir."
"Matematika, selamat tinggal."
Bagi mereka pelajaran matematika adalah kutukan. Belum lagi menghadapi guru seperti Bu Caca yang super teliti. Tapi, hal itu tidak berlaku untuk Stella. Matematika adalah favoritnya. Bahkan sampai Bu Caca sudah meninggalkan kelas Stella tetap mempelajari buku tersebut.
"La, ikut gue yuk ke toilet!" Ajak Gita.
"Bentar ah tanggung," sela Stella
"Ah, buruan ayo! Nanti ngerjain lagi kan bisa," ujar Gita.
Dengan berat hati Stella menutup bukunya dan mengantarkan Gita ke toilet. Keduanya berjalan beriringan. Sepanjang perjalanan Stella bercerita kepada Gita tentang dirinya dan Ghazi kemarin.
"Sumpa kesel banget gue," ucap Stella mengakhiri ceritanya.
"Masa sih Ghazi bilang gitu?" Tanya Gita ragu.
"Gita gue ini sahabat lo berapa tahun sih? Lo masih aja nggak percaya sama gue," geram Stella.
"Ya gue heran aja, soalnya yang gue denger dari cewek IPA 2 Ghazi tuh asyik orangnya, humoris gitu," tutur Gita.
Stella memilih diam. Ia enggan berpendapat apapun tentang Ghazi. Gita memasuki kamar manfi dan Stella menunggu di luar. "Eh nanti gue agak lama ya, sekalian rapiin rambut," ucap Gita.
Stella mengangguk pasrah. Padahal rambut Stella lebih panjang dari Gita tapi Gita yang paling ribet jika menyangkut rambut. Stella memainkan ponselnya. Ini sudah seperempat jam tapi Gita masih belum keluar. Stella memutuskan berjalan-jalan terlebih dahulu.
Di antara lorong kelas dan kamar mandi perempuan Stella terpaku. Ia memicingkan matanya saat menangkap sosok yang dikenalnya. Ia menyadarkan kepalanya di tembok. Mendengarkan pembicaraan kedua orang tersebut. Kurang lebih lima menit percakapan mereka selesai. Ghazi berjalan melewati Stella.
"Oh jadi ini kerjaan ketua BEST," sindir Stella yang berhasil menghentikan langkah Ghazi.
"Bukan urusan lo," ujar Ghazi.
"Setahu gue ini jam pelajaran kan? Lo malah disini berduaan sama Kak Stevi," ucap Stella.
"Lo sendiri ngapain disini?" Ghazi membalikkan fakta.
"Lo iri?" Tanya Ghazi.
"APA? Gue iri? Nggak lah, ngapain juga gue iri. Gue cuman nggak nyangka aja, lo kemarin nyeramahin gue kayak gitu sekarang lo sendiri kayak gini, cih."Stella hendak melangkahkan kakinya pergi.
"Bilang aja kalau lo iri sama Stevi," sarkas Ghazi.
Stella membalikkan badan. "Lo kalau ngomong kemana-mana ya. Udah gue bilang kan ngapain gue iri? Emang apa yang harus gue iri dari Kak Stevi?"
Ghazi tersenyum miring. "Banyak. Stevi itu cantik, baik, pinter, dan punya sopan santun. Nggak kayak lo."
Stella sudah mengepalkan tangannya. "Lo itu cuma bisa lihat cewek dari tampilannya aja. Lo nggak bisa lihat sisi lain dari dirinya."
Ghazi menaikkan satu alisnya, "Emang lo punya satu kelebihan dibanding Stevi? Tenjukkin ke gue kalau ada!" Tantang Ghazi.
"Gue nggak perlu tunjukin apapun ke lo karena lo bukan siapa-siapa gue," bantah Stella.
"Serah," Tukas Ghazi lalu meninggalkan Stella yang kemarahannya sudah diubun-ubun.
***
Kamar bernuansa oranye ini sekarang penuh dengan teriakan Stella. Sedangkan Gita tetap asyik memakan camilan di depannya.
"INTINYA GUE NGGAK TERIMA GITA." Stella melempar bantal ke lantai.
"Ini udah ke berapa kali lo ngomong gitu La?" Gita jengah mendengarnya.
Stella menyardarkan kepalanya di ranjang. Bibirnya sudah mewek sekarang. Nafasnya tidak beraturan. Matanya sudah berkaca-kaca. Hampir saja Stella menangis. "Aduh Stella udah dong. Jangan diambil hati omongannya si Ghazi." Gita mendekati Stella dan memeluknya. Mereka terdiam beberapa saat.
"Au ah. Minggir! gue mau ngerjain tugas matematika," pinta Stella.
"Galaknya keluar deh." Gita memilih berbaring di kasur Stella yang empuk. Ia membuka aplikasi IG. Membaca beberapa DM yang masuk.
"Ternyata Rasta cakep juga ya," celetuk Gita saat melihat salah satu postingan Rasta.
"Hmm," gumam Stella. Tiba-tiba konsentrasi belajarnya terganggu saat Gita menyebut nama Rasta. Ia membalikkan kursinya menghadap ke arah Gita.
"Ta, btw Rasta tuh orangnya gimana?" Tanya Stella.
Gita terbahak. Tidak biasanya Stella bertanya hal demikian. Apalagi tentang seorang cowok. "Lo nggak kesambet apa-apa kan La?" Gita memegang perutnya menahan tawa.
"Enggak," jawab Stella polos.
"Lo suka sama Rasta?" Gita melontarkan pertanyaan yang membuat Stella terdiam beberapa detik.
"Enggak, cuma penasaran aja," jawab Stella.
"Yang bener?" Sindir Gita.
"Iya beneran. Gue cuma penasaran aja. Lo tahu kan tipe gue bukan orang kayak Rasta," tutur Stella.
"Iya sih, berarti kayak Ghazi dong," canda Gita.
"APA? Amit-amit banget." Stella mengibaskan kedua tangannya. Ia tidak menyangka jika ucapannya mampu memancing ide dari kepala Gita.
"Aha gue tahu." Gita membunyikan jarinya. Ia bangun dari tidurnya dan duduk dengan posisi senyaman mungkin. "Gimana kalau lo buat Ghazi suka sama lo," saran Gita yang mendapat pelototan dari Stella.
"Lo gila ya?" Bantah Stella.
"Jangan salah paham dulu! Kan lo udah dihina kayak gitu, dibandingin sama Kak Stevi pula jadi kalau lo bisa buat Ghazi berpaling dari Kak Stevi dan suka sama lo kan bagus," ujarnya serius.
"Sama aja gue pelakor dong," sarkas Stella.
"Ih neting mulu ah pikirannya. Maksud gue itu lo cuma deketin Ghazi aja. Nggak perlu lebih, kalau sekiranya dia udah keliatan suka sama lo rumahin deh," jelas Gita enteng.
"Sama aja gue PHP," ucap Stella.
"Ck, ya terus lo maunya apa? Ini tuh cuma buat nunjukin ke Ghazi kalau lo itu nggak selemah yang dia pikirin. Deketinnya nggak perlu keterlaluan, biasa aja! Lo cuma harus nunjukin kemampuan lo di depan dia nggak lebih." Gita terlihat sangat antusias. Berbeda dengan Stella yang berpikir keras.
"Jadi intinya gue cuma harus nunjukin lebih gue di depan Ghazi gitu? Dan masalah Ghazi sama Kak Stevi nggak ada sangkut pautnya sama gue?" Stella memastikan
"Mantull," jawab Gita.
"Tumben lo bijak," ejek Stella yang kemudian mendapat lemparan bantal dari Gita.
-Kebencian-
@flower_flo wkwk gapapa dong, nanti gula di rumah Stella awet
Comment on chapter Senyuman Maut