4
SOPIR DUA ORANG
Meski hampir terjatuh, Linta tetap memencet-mencet tombol di sebelah pintu itu. Dia berdiri di depan pintu besar dan berdaun dua. Tas bergantung di bahu kirinya, dan dua buku tebal di tangan kirinya. Sedangkan tangan kananya terus menggapai bel yang tinggi itu.
Tinggi bel itu sekitar dua meter, dan tinggi Linta hanya satu setengah meter lebih beberapa senti. Dia sudah hampir terjatuh ke belakang dua kali saat mencoba menggapai bel yang tinggi itu. Sekarang, ketika dia hampir jatuh untuk ketiga kalinya, kesabarannya sudah mulai habis.
Linta masih bisa bersabar saat dia harus berjalan dari rumah ke jalan raya. Hari Minggu adalah hari yang sangat penting dimana tak ada yang mau mengantarnya, bahkan hanya sampai jalan raya untuk mencari bus. Linta juga bersabar harus berdiri di bus yang sangat penuh. Hari Minggu adalah hari dimana semua orang tak peduli dengan gadis berukuran kecil dengan kaki pincang dan dagu diperban yang hampir mati tergilas di dalam bus. Dia juga masih sabar saat harus bejalan berkeliling dan bertanya kepada semua orang hanya untuk menanyakan sebuah alamat.
Dan sekarang dia teramat jengkel karena orang yang telah membuatnya seperti ini tak kunjung membukakan pintu. Mungkin dia sedang pergi, atau ini mungkin bukan rumahnya. Namun Linta tak peduli. Badannya sudah pegal semua.
Hari Minggu adalah hari tak peduli.
Sekarang Linta menaik-turunkan knop dengan jengkel. Pintunya tak terkunci. Dia sudah menduganya, karena gerbang di depan rumah ini juga tak terkunci. Linta sedikit sangsi akan masuk atau tidak, namun dia memberanikan diri. Dia masuk ke dalam ruang tamu yang berisi sofa merah gelap dengan meja kaca. Di pojok ruangan ada sebuah akuarium, suara airnya memecah keheningan rumah ini. Di temboknya ada beberapa foto. Linta mendengus kesal, ternyata ini benar rumahnya. Ada fotonya di salah satu foto keluarga yang terpampang.
Linta melangkah masuk lebih ke dalam. Di ruang kedua adalah ruang keluarga. Di situ dia bisa melihat dapur dan ruang makan. Tangga ke lantai dua pun terlihat. Kemudian dia mendengar suara orang mengobrol, dari pintu yang sedikit terbuka di dekat tangga. Hanya suara dua orang, tak mungkin tak mendengar suara bel yang berbunyi berkali-kali.
Dengan kesal, Linta berjalan menyeberangi ruangan dan membuka keras pintu itu. Dua orang mendongak kaget. Nokva sedang tidur tengkurap di ranjangnya, dengan laptop di depannya. Satu lagi, yaitu orang yang lebih tua dari Nokva, duduk di sebelah Nokva dan memegangi kamera.
“Sori,” kata Linta kikuk. “Pintunya nggak dikunci, dan gue udan pencet bel berkali-kali, jadi… jadi…”
Nokva sudah kembali sibuk dengan laptopnya. Tapi orang di sebelahnya masih memandang Linta. Linta artikan itu dengan menilai. Linta hanya menunduk serba salah.
“Gue mau ajak lo hunting sebenernya,” kata orang itu.
“Ntar deh, gue nyusul,” balas Nokva.
“Oke, gue cabut dulu.”
Orang itu menepuk punggung Nokva, berdiri dan mengalungkan kameranya, kemudian melangkah keluar. Ketika akan melewati Linta, dia tersenyum. Linta hanya membalasnya dengan angukan kecil kaku. Linta masih bertahan di depan pintu kamar Nokva sampai terdengar pintu depan tertutup.
“Gue boleh masuk?” tanya Linta.
Nokva tak mengacuhkannya. Linta menganggap itu sebagai jawaban ‘ya’, maka dia masuk.
Dia masuk di kamar yang sangat menyeramkan. Dinding kamar Nokva berwarna merah darah, dengan coretan-coretan grafiti yang tak bisa Linta baca. Tak ada foto-foto seperti di ruang tamu, hanya ada poster-poster. Ada poster band menyeramkan, mungkin band dengan genre rock atau metal. Terdapat poster lain, dua gadis berpakaian dalam saling berpelukan. Poster-poster yang lain sama menyeramkannya.
Kamar Nokva tak terlalu luas, tak heran isinya hanya sedikit. Hanya ranjang dengan meja berlaci di sisinya., dan lemari lumayan besar di pojok ruangan. Lantainya dilapisi karpet dan sangat berantakkan. Sangat mengherankan sekali ranjang dan meja bersih, seakan semua barang disapu paksa dari atasnya kemudan jatuh di karpet. Dan jika jendela dan gordennya tidak dibuka, maka akan gelap meski siang.
Rasanya sekarang Linta mengerti, mengapa Afo tak pernah mengijinkannya masuk ke kamarnya.
Linta menaruh tas di atas meja dan berbaring dengan lega di sebelah Nokva, “capeknya!”
“Eh, apa-apaan sih lo!”
“Apaan, sih!” Linta membentak. “Yang apaan sih itu elo! Gue capek pencet-pencet bel dari tadi! Belnya tinggi lagi!”
“Belnya mati!” balas Nokva. “Lagian kalau udah tahu belnya tinggi ngapain nggak gedor pintu aja?! Masuk rumah orang sembarang itu nggak sopan, bego!”
“Mana gue tahu belnya mati!” kata Linta keras. “Lagian kalau gue tahu ada bel ngapain gue gedor pintu! Kalau belnya mati, benerin atau copot aja, gampang, kan? Yang bego siapa coba?”
“Yang bego itu elo, bego!” bentak Nokva. “Bakal kedengeran dari luar kalau bel bunyi, bego! Kayak gitu elo ngaku kalau elo itu pinter, eh?”
Pipi Linta memanas. “Siapa yang peduli belnya bunyi atau nggak? Masih untung gue kesini!”
“Untung? Siapa yang untung? Gue juga nggak mati kalau lo nggak kesini!” Nokva tertawa tak menyenangkan. “lagian kalau lo masih pake nada sama tampang kayak gitu pas ngomong sama gue, gue bakal cabut omongan gue!”
Linta bangkit mendadak, duduk di depan Nokva. Ekspresinya berubah seketika, dari galak ke memelas. “Lo kok gitu? Lo kan udah janji sama gue.”
“Janji?” Nokva kembali tengkurap di depan laptopnya. “Gue nggak bilang janji kemarin.”
“Lo jangan gitu, dong.” kata Linta semelas mungkin.
“Gue nggak suka sikap lo sama gue,” ada nada geli di suara Nokva, membuat Linta ingin memukulnya.
“Oke, gue ubah itu.”
“Oh, ya.” kata Nokva licin. “Kakak lo nikah bulan Juli, kan? Gue cuma temenin lo kalau gue berhasil masuk IPA.”
“Hah?” Linta mulai berteriak lagi.
“Lo lagi nggak di posisi enak buat ngebantah!” Nokva ikut berteriak. “Dan lo ngomong gitu seakan lo nggak yakin bisa masukin gue ke IPA.”
“Gue bisa,” kata Linta pelan, “asal lo juga usaha.”
“Ya udah, kan? Lo dapet janji gue, gue dapet janji elo.”
Linta mendengus tak sabar, dan meraih tasnya. “Kita…”
“Oh, ya.” potong Nokva. “Gue suka ngantuk kalau pagi.”
“Terus?” tanya Linta tak peduli.
“Kalau ngantuk bahaya buat nyetir, kan?”
“Lo apa-apan, sih?” Linta tak bisa berhenti membentaknya.
“Yah, kalau lo nggak mau…”
“Oke! Oke!” potong Linta keras karena tahu apa yang akan di ucapkan oleh Nokva.
Nokva tersenyum senang.
Menjemput Nokva adalah hal yang sulit untuk Linta. Rumahnya terletak begitu jauh sebelum sekolah, sedangkan rumah Nokva memang dekat dari sekolah, namun dari arah berlawanan. Selain itu, jalan di depan sekolah hingga daerah rumah Nokva berada adalah jalan satu arah. Jadi, untuk ke sekolah dari rumah Nokva harus mengitari setengah kota dulu. Satu hal lagi, bagaimana cara Linta menjemputnya?
“Kita harus muter-muter dulu kalau ke sekolah,” kata Linta keberatan.
“Emang, makanya gue males kalau disuruh sendiri.”
“Kenapa nggak jalan?”
“Apalagi itu, capek!”
Linta benar-benar ingin memukul Nokva. Jadi, Nokva ingin mengikut sertakan Linta dalam penderitaannya?
“Lo harus bangun pagi kalau gitu,” kata Linta.
“Dan lo harus bawain sarapan buat gue kalu gitu.”
“Nggak bisa!” bentak Linta.
“Bisa! Dan sekali lagi lo teriak kayak gitu, kita bubar!”
Linta mendengus tak sabar. “Oke, gue bantu elo masuk IPA! Gue jemput elo! Gue bawain sarapan! Apa lagi?!”
“Anter gue pulang?”
“Oke!”
“Kerjain tugas gue, buatin catetan buat gue, oke?” Nokva menoleh dan tersenyum menang.
Linta mengambil bukunya, dan ikut tengkurap di sebelah Nokva. “Itu oke! Tapi gue nggak mau lo tetep bego!” Linta menaruh buku di depan mereka. “Jadi, ayo belajar!”
Ketika Linta akan menutup laptop Nokva, dia melihat foto gadis sangat cantik. Foto yang sedari tadi dilihat Nokva.
*
Loren sedang di depan cermin ketika Linta masuk ke kamarnya. Tubuhnya hanya terbungkus handuk, begitu juga rambutnya. Dia dengan hati-hati mencukur bulu ketiaknya sambil menatap bayangan Linta di cermin yang berjalan menuju ranjangnya. Dan Loren berteriak keras saat Linta menghempaskan tubuhnya di ranjangnya.
Dengan langkah cepat, dia menghampiri ranjangnya dan menyambar dress barunya. “Lo ngapain, sih, kesini?”
“Lo mau pergi?” tanya Linta, memperhatikan kakaknya yang menggantung dress yang baru disambarnya.
“Iya.”
“Sama?”
“Angga, lah! Menurut lo?”
“Ini kan malem Senin,” kata Linta tak mengerti.
“Terus kenapa?” Loren kembali ke meja riasnya.
“Tadi lo seharian udah pergi, kan? Malam minggu lo juga pergi.”
“Kenapa? Iri?” Loren meniup kulit ketiak yang baru saja dicukurnya, dan kemudian beralih ke ketiak yang satunya.
“Cuma kepengin tahu aja, apa Angga yang jemput elo?”
“Iya! Lo tahu dia antar-jemput gue, kan?”
“Oh, iya. Jadi mobil lo nganggur terus, ya?”
Loren memandang curiga Linta dari cermin. “Pasti ada apa-apanya, kan?”
“Lo tahu aja!” Linta tertawa, “Nokva baru aja kecelakaan.”
“Nokva?”
“Cowok gue,” kata Linta, “yang kemarin gue ceritain.”
“Oh, cowok baru elo yang misterius sama nggak peduli sama elo itu, ya?”
“Gue nggak pernah bilang gitu!” Linta bangkit tak terima. Meski Loren hampir benar, dia ingin Loren menilai Nokva lebih baik dari Vega, kendati pun jauh dari kenyataan.
“Emang iya, kan?” Loren telah selesai mencukur ketiaknya, dan kini beralih merapikan alisnya. “Mana ada coba cowok yang nggak hubungin ceweknya selama liburan dan liburan sendirian?”
“Eh?” Linta bingung.
“Gue perhatiin, dia belum pernah ajak lo keluar, kenapa?”
“Soalnya dia bukan cowok lebay yang harus telepon setiap saat!” kata Linta membela diri. “Dan percaya, deh! Nokva bukan tipe cowok yang bikin gue kayak gitu!” tambah Linta, ketika Loren mencabut alisnya.
Loren melotot di cermin. “Ini biar gue cantik! Bukan Angga yang nyuruh! Lo barusan ngomongin cowok baru elo, kan? Bukan Vega, kan?”
Linta tersentak. Memang, apa yang dikatakannya barusan seperti Vega.
“Dulu lo galau abis pas Vega kayak gitu! Tapi, kenapa sekarang lo belain cowok lain yang juga kayak gitu, coba?”
“Soalnya…” Linta kewalahan menghadapi Loren. “soalnya… soalnya Nokva bukan tipe cowok tukang selingkuh,” pipi Linta panas.
Loren mendengus. “Tapi dia manfaatin elo, deh!”
Nah, itu bener banget! Pikir Linta.
“Langsung aja, elo mau pinjem mobil gue, kan?”
“Iya,” jawab Linta bahagia.
“Dasar, lo!”
“Kasihan Nokva, kan? Dia habis kecelakaan, dan mobilnya masih di bengkel.”
“Bukannya elo yang habis kecelakaan?” Loren memandang sengit dagu Linta yang masih diplester. “Lo emang cewek baik, tapi lo juga harus jadi adik yang baik. Isi bensin sendiri.”
“Kalau itu jelas.” kata Linta. “Makasih!”
“Sama jemput gue!” tambah Loren.
“Kok gitu?” protes Linta.
“Ya, gue rugi, dong! Masak cuma pinjemin elo mobil doang!”
“Lo, kan, ada Angga!”
“Kasihan dia, kan! Tinggal jawab iya atau enggak!”
Linta berpikir sejenak.
“Iya, deh!” katanya akhirnya.
“Bagus, sekarang keluar!”
Linta keluar dengan menggerutu. Paling tidak dia sudah berhasil. Sebenarnya, jika tidak terpaksa, Linta tak mau berhubungan dengan orang-orang ini.
*
Klakson mobil terus berbunyi. Seorang pembantu di rumah sebelah yang sedang menyiram tanaman, terus memandang sedan yang membuat gaduh dan belum pernah terlihat di sekitar sini. Dan pembantu itu sedikit terperanjat saat klakson itu berbunyi lagi. Lebih keras dan panjang. Linta tak peduli dengan pembantu itu dan bebarapa orang yang telah melongok dari dalam rumahnya.
Orang yang ditunggunya, tanpa dosa, melangkah menyeberangi halaman rumahnya yang penuh bunga, santai dan menguap.
“Lo nggak sabaran banget, sih!” bentak Nokva, setelah masuk mobil.
“Bukannya nggak sabaran, gue cuma mau mastiin kalau elo udah bangun aja,” kata Linta, nyengir.
Mereka cukup lama terdiam, Nokva menguap lagi. Dia menyandarkan kepalanya di sandaran jok, kentara sekali masih mengantuk. Sementara itu, Linta mengetukkan seluruh jarinya di stir kemudi, megamati wajah Nokva.
“Ayo jalan!” bentak Nokva lagi, membuat Linta terlonjak.
“Sekarang?” tanya Linta. “Gue kira elo mau ngapain dulu,” tambah Linta, ketika Nokva menjawab pertanyaan barusan dengan lenguhan keras.
“Emangnya lo pikir gue mau ngapain dulu? Mesra-mesaraan sama lo?” bentaknya. “Atau lo nggak bisa nyetir?”
“Pakai itu dulu!” kata Linta, menunjuk sabuk pengaman.
Sabuk pengaman ditarik dan dipakai Nokva dengan perasaan kesal. Kemudian Linta menjalankan mobilnya.
“Tadi banyak banget yang ngeliatin gue,” kata Linta
Nokva tak berkenan menanggapi.
“Gue nggak berani ketuk pintu lo, malu sama nyokap-bokap elo.” Kata Linta lagi.
“Elo punya malu?” Nokva tertawa dingin.
“Gue nggak sopan?” tanya Linta, tak mengacukan tawa Nokva.
“Menurut lo?” kata Nokva tak sabar. “Kapan, sih, elo sopan?”
“Gue pikir-pikir, itu emang berisik, sih.”
“Lingkungan gue suka damai, nggak kayak keluarga elo!”
“Lo kok tahu, sih?” kata Linta senang. “Pagi ini kita rebutan makanan! Dan kayak biasa, gue yang kalah.”
Nokva menguap, jelas tak tertarik, jadi Linta berhenti bicara. Dia fokus menyetir, sambil memperhatikan jalan yang kelewat penuh. Banyak anak berseragam yang berboncengan mesra, pagi-pagi mengobrol dengan tawa. Tak seperti dirinya, menjadi sopir yang terus-menerus di bentak-bentak
Mereka melewati toko kue yang enak. Linta sudah akan bicara untuk memberitahu Nokva, namun Nokva mendahuluinya.
“Gue nggak mau ada yang tahu.”
“Eh?” Linta bingung.
“Tentang lo sama gue! Jangan sampai ada yang tahu.”
“Kenapa?”
“Kok kenapa!” bentak Nokva. “Gue nggak mau, lah disangka gila mau pacaran sama elo!”
Linta mengerucutkan bibirnya. “Siapa juga yang mau pacaran sama elo!” balas Linta.
“Eit!” kata Nokva mengancam. Dia senang melihat Linta menoleh, menatapnya dengan nyengir-terpaksa-singkat. “Dan buat jasa antar jemput elo, cukup hari Senin, Selasa, Kamis, sama Sabtu.”
“Kenapa?”
“Makanya dengerin dulu!” kata Nokva. “Gue nggak mau, kan, kejebak sama elo terus.”
“Gue juga,” bisik Linta hati-hati. Takut Nokva mendengarnya.
“Dan lo ngajarin gue hari Minggu, di rumah gue.”
Mereka telah sampai sekolah.
“Ya,” jawab Linta, seraya membuka sabuk pengaman.
“Eh, elo turun selang dua menit dari gue.”
Linta mendengus.
Nokva turun dengan senyum kemenangan. Rasanya dia bahagia sekali bisa menyetir Linta seperti ini. Linta hanya menatapinya berjalan menjauh, dan melihat ke arah jam tangannya.
Tepat selang dua menit, dia siap bergegas. Linta mengambil tasnya di jok belakang. Dirasakannya sebuah kotak di bagian depan tasnya.
Sarapan yang telah dibuatkannya untuk Nokva dengan mengorbankan dua kuku dan dimarahi ibunya karena menggosongkan wajan, lupa diberikan kepada Nokva. Linta menghela napas. Dia berpikir bagaimana caranya memberikannya tanpa ketahuan siapa pun.
*
Pintu terbanting menutup. Linta tersentak kaget dan jengkel. Seharian ini dia telah bersabar untuknya. Bahkan dia juga menunggu sendirian di depan sekolah hampir dua jam, karena Nokva meminjam mobilnya entah untuk apa. Dan setelah dia menyuruh Linta mengerjakan tugasnya dengan berbagai syarat menyebalkan, yang di dapatkan Linta adalah bantingan pintu mobil, bukan terimakasih.
Jika setelah ini Linta masih diomeli kakaknya karena menjemput terlambat, Linta benar-benar akan membunuh Nokva.
Namun Linta salah.
“Elo pengertian banget,” kata kakaknya setelah masuk mobil. “Tahu aja kalau gue mau pacaran dulu.”
“Iya, dong!” seru Linta. “Gue, kan, juga pacaran dulu!” tambahnya, ingin muntah.
“Oh, ya? Biar gue tebak! Pasti mojok di sekolah! Nggak modal!”
“Nggak, lah! Kita nonton tadi!” seru Linta.
“Nonton? Nonton apa?”
“Eh…” Linta lupa, dia akan kewalahan jika berbohong pada Loren. “Kita sibuk ngobrol, jadi nggak tahu apa ceritanya.”
Loren memandangnya, “Lo lagi ngomongin Nokva, kan? Bukan Vega?” tanyanya curiga. “Lo kayaknya bikin cowok lo hidup di bayang-bayang Vega, deh!”
“Mereka beda, Lo!” kata Linta tajam, ingin menyudahi percakapan ini.
“Oh, ya!” serunya, jelas mengerti Linta dan bicara hal lain. “Tadi pas gue di gazebo sama Angga (Linta mendengus, terbukti sekarang siapa yang tidak modal dan suka mojok di sekolah), gue lihat mobil gue ini! Gue kira itu elo, ternyata bukan. Tapi, beneran! Mobilnya mirip banget!”
Sudah jelas itu Nokva. Tapi, Linta tak memikirkannya. Itu urusannya.
wew
Comment on chapter Pesta Kedua