16
UJUNG JALAN
Menangis. Tak perlu suatu alasan untuk menangis. Terkadang, jika sedang lelah dan ingin menangis, mata itu akan mengeluarkannya. Atau jika sedang bingung atau resah, maka mata itu pun juga bisa mengeluarkannya dengan tak jelas. Tapi, air mata juga tak dapat banyak membantu, malah membuat merasa semakin panik.
Begitulah yang dirasakan Linta saat itu. Kamarnya gelap tak biasa. Entah mengapa, sedari tadi dia tak bisa mengehentikan air matanya. Dia sedang berada dalam pikiran rumit yang sulit dijabarkan. Akhir-akhir ini, Linta sering memutuskan hal yang tak diinginkannya, sesuatu yang berlainan dengan hatinya. Hal inilah yang membuat otaknya rumit.
Elo harus cari orang yang cinta sama elo dari awal. Yang tulus sayang sama elo, bukan ngerubah elo. Banyak cinta di hidup lo, kan? Itu kurang satu. Tapi, cinta bukan simbol kemesraan, kan? Gue rasa elo-gue itu bukti kalau lo cari cinta yang apa adanya. Satu hal, elo itu bego! Kerjaannya nunggu yang nggak bakal dateng, padahal ada yang nunggu elo!
Jauh sebelum cewek itu, dia juga pernah ngerebut cewek lain.
Air mata di pipi Linta rasanya membeku. Linta selalu menyesal dengan apa yang telah terjadi. Tapi, kini dia telah sadar. Tak akan pernah ada lagi penyesalan dengan perbuatannya. Takkan pernah ada. Linta sudah yakin akan jalannya.
“Iya, gue nyesel di umur delapan belas. Tapi, gue bakal akhiri itu,” desah Linta.
*
Jalan hanya sekelebat bayangan. Mobil merah menembus malam dengan liar. Sang pengemudi menggunakan kedua tangannya untuk memegang erat stir kemudi. Tapi, dia hanya menggunakan satu kaki, untuk menginjak pedal gas kuat-kuat. Kaki yang satunya tak bergerak, tak berminat menginjak pedal yang lain.
Nokva duduk kaku di belakang kemudi. Menatap kegelapan malam di depannya. Hampa. Sebuah kegagalan. Sebuah penyesalan. Yang membuatnya sangat marah. Kemarahan yang tak Nokva mengerti.
Tiba-tiba, dalam kepalanya melintas sebuah wajah marah yang lain. Kemarahan yang tak dapat Nokva mengerti pula. Tapi, rasanya Nokva menyadarinya sekarang…
Ketika kelas telah sepi sepulang sekolah, Nokva keluar ke koridor lantai dua yang juga nyaris kosong. Hanya ada seseorang berdiri di ujung tangga, menyilangkan tangannya dan menatap Nokva dalam, tanpa senyum.
Nokva mengenalnya, lebih tepatnya dia tahu siapa anak itu. Baru melihatnya saja Nokva sudah tahu apa yang akan terjadi. Sepertinya, anak ini akan menghajarnya, jika dilihat dari tampangnya. Nokva tak merasa cari gara-gara dengan orang ini, tapi ini pasti gara-gara cewek tengik itu.
“Dia dianiaya kakaknya!” katanya tanpa merubah posisi. “Ngemis-ngemis mobil kakaknya, buat antar-jemput elo! Dan dia juga jadi dimanfaatin kakaknya!”
Nokva hanya terdiam, masih terpaku di depan ambang pintu kelas.
“Itu demi lo!” bentaknya. “Lo yang cuma manfaatin dia! Gue nggak tahu mau lo apa! Padahal kalian juga nggak beneran pacaran!”
Nokva sangat terkejut. Dia menatap lantai dengan salah tingkah, mencari kata yang sebaiknya diucapkan.
“Gue tahu semua tentang dia,” anak itu menurunkan tangannya. “Yang gue nggak tahu apa mau lo!”
Hening lama. Anak itu masih menatap Nokva. Terkadang mengibaskan seragam putihnya yang sepenuhnya keluar.
“Tapi, gue tahu maksud dia, supaya lo bantuin dia ngehadepin mantanya. Nah, besok saatnya,” anak itu mengambil beberapa langkah maju. “Bawa pergi dia. Dia ulang tahun besok, dan mantannya kesini. Gue yakin dia nggak sanggup ngehadepinnya.”
Tak ada permohonan. Tak ada pemaksaan atau pun ancaman. Setelah puas memandang Nokva, anak itu mulai berbalik dan melangkah.
“Kenapa?” tanya Nokva spontan, sebelum anak itu mencapai tangga.
Anak itu menoleh, tak lagi memandang Nokva. Tapi, memandang ujung sepatu Nokva.
“Karena mantannya bajingan. Dan gue yakin kalau lo itu juga bajingan. Dia nggak akan cinta sama bajingan lagi. Gue rasa, lo juga nggak bakalan cinta sama dia.”
“Lo yang cinta sama dia,” kata Nokva langsung, menarik kesimpulan yang sudah sangat jelas.
Lalu, tanpa dosa anak itu menuruni tangga. Meninggalkan Nokva yang pusing sendiri. Dia dikatai bajingan. Harus menghadapi bajingan. Dan yang mengatainya, sepertinya juga bajingan. Jadi, ada tiga bajingan di hidup gadis tengik itu.
Nokva mengendurkan pijakanya pada pedal gas. Mobilnya mulai memelan. Dia menyadari sesuatu. Sesuatu yang tak dipikirkannya selama ini yang hanya dilakukannya pada satu orang saja di hidupnya.
Pikirannya melintas kembali pada kejadian baru saja. Wajah Linta di depan pintu rumahnya.
Pintu berderik terbuka. Wajah di balik pintu terkejut dan terlihat tak suka melihat kedatangan Nokva. Namun, dia masih menghadapi Nokva dengan sopan, selayaknya seorang tamu.
“Ada apa?” tanya Linta.
Nokva ingin memeluknya. Ingin meminta maaf. Dia sudah hampir gila memikirkan kejahatannya terhadap Linta. Dan dia sangat ingin membenturkan kepalanya untuk menyadari dan mengartikan perasaannya.
“Lintah!” kata Nokva keras, tak dapat menahannya, lebih terdengar seperti membentak. “Gue juga…. cinta elo!”
Linta hanya menatapnya nanar. Dan Nokva menyadari bahwa Linta baru saja menangis. Pasti karena perlakuan Nokva tadi. Nokva mengambil kedua tangannya.
“Sori,” kata Nokva sungguh-sungguh, “Gue cinta sama elo! Entah kenapa gue susah banget nyadarin itu. Gue bodoh! Gue bodoh!”
Linta meremas tangan Nokva.
“Gue tahu,” katanya, “butuh berbulan-bulan gue nahan, tapi dalam sekejap aja lo hancurin itu.”
“Percaya sama gue! Jangan bikin gue gila!” seru Nokva.
Linta tersenyum.
“Lo pasti berjam-jam mikirin perasaan elo,” katanya, “Berjam-jam ini gue juga mikirin perasaan gue.”
Gadis di depannya menatapnya, tersenyum cerah sekali, meski wajahnya sayu sekali.
“Gue berkorban buat lo. Tapi, elo berkorban buat Melani,” katanya lagi, membuat Nokva tak keruan. “Seorang cewek harus cari orang yang cinta sama dia dari awal. Gue rasa, Melani udah dapetin orang itu,”
Pegangan tangan Nokva mengendur.
“Tapi, gue cinta sama elo,” kata Nokva, tak mengerti.
“Gue juga,” kata Linta, “Tapi elo lebih cinta sama Melani, dan ada yang lebih cinta sama gue.”
Nokva melepaskan tangan Linta sepenuhnya. Tak mengerti. Padahal, dia telah meyakinkan dirinya sendiri bahwa Linta lebih baik dari Melani. Dia juga sangat menyesal menjadikan Linta hidup dalam bayang-bayang Melani di matanya. Pasti itu sangat pedih bagi Linta.
“Gue pasti cowok yang jahat,” kata Nokva, lemah.
Tanpa diduga, Linta memeluknya. Menangis keras disana.
“Gue cinta sama elo!” ujarnya. “Sayangnya, elo nggak cinta sama gue dari awal!”
Kemudian, Nokva ingat sesuatu.
“Afo?”
Pengorbanan. Itu yang dilakukan Nokva pada Melani. Dan itu juga yang dilakukan oleh bajingan terakhir pada Linta. Jadi, Nokva sudah tahu jalannya. yang harus dilakukan Nokva adalah melanjutkan pengorbanannya. Mencoba menerima Melani apa adanya, segala kekurangannya. Seperti yang dilakukan Linta padanya dulu.
Nokva tersenyum.
“Lo salah,” desahnya, “Linta bakal dapet bajingan lagi.”
Nokva tahu, pasti sekarang Linta sedang menangis di kamarnya, resah dengan perasaannya. Mencoba mengartikan perasaanya yang tak keruan lagi. Berjam-jam lagi.j
wew
Comment on chapter Pesta Kedua