Gadis Berwajah Kaca
�
��������������� Ruang kelas itu adalah ruangan kelas tiga yang letaknya paling ujung dan dekat dengan toilet. Meski ia anak kelas tiga, namun ruang kelasnya lebih dekat dengan ruangan anak-anak kelas dua. Berbeda dengan Rianto, sahabat dekatnya, yang memilih jurusan �Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), ruang kelasnya terpisah dan berlokasi di bagian depan area sekolah, disamping taman sekolah yang damai dengan suara gemericik air terjun mini. Jauh dari bisingnya lapangan upacara �yang terkadang beralih fungsi sebagai lapangan bola ataupun lapangan basket� yang memang selalu riuh di sepanjang pagi. Ruang kelas IPA memang seharusnya seperti itu. Anak-anak IPA lebih membutuhkan keheningan agar bisa berkonsentrasi penuh dalam menghadapi pelajaran guna menyambut ujian kelulusan yang tak lama lagi. Damar sendiri memang sudah bulat dengan keputusannya masuk jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Ia memang tipe murid yang cukup logis. Meski bukan yang terpandai dalam hal akademis, ia adalah seorang pengatur strategi yang cukup baik. Dan keputusan masuk kelas IPS membawanya kepada petualangan lain. Ia terpilih menjadi ketua kelas. Ia memiliki teman-teman yang merupakan eks bencoleng sekolah yang selama ini terkenal sebagai tukang ribut, tukang telat, tukang palak, atau tukang tidur. Ada si Wahyu yang selalu bikin keributan setiap kali timnya kalah main bola. Baik bola sepak, bola basket, bola bekel ataupun bola lampu. Ada Dedi yang selalu beralasan macet ketika telat. Ajaib bukan? Padahal mana mungkin di sebuah kecamatan di pinggir kabupaten bisa terjadi kemacetan. Pak Saring yang tak percaya alasan konyolnya pun akan kembali bertanya perihal jam keberangkatannya ke sekolah. Dan Dedi pun akan dengan mantap menjawab bahwa ia telah berangkat sejak jam tujuh pagi. Iya, berangkat mandi, tambahnya membatin. Ada pula si Budi yang berbadan besar itu. Yang pernah memalak adik kelas yang sedang kasmaran dengan kakak kelas. Ia meminta sejumlah uang kepada adik kelas dengan iming-iming akan menyampaikan salamnya kepada gadis pujaannya. Sadis memang. Atau si Alex, Si ceking yang sering bosan dengan pelajaran sehingga lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan tidur. Tak begitu membanggakan memang mempunyai teman-teman model seperti itu karena mereka tidak bisa diandalkan untuk mengerjakan hal-hal positif, misalnya yang paling remeh yaitu mengambil kapur dari ruang Tata Usaha (TU). Akan tetapi demi cita-citanya, tekadnya tetap bulat utuh, tak terpengaruh oleh segala godaan, ujian maupun cibiran orang lain. Selama tugas menjadi ketua kelas bisa ia kerjakan, hal-hal lain pun tak menjadi masalah. Sebenarnya keputusannya masuk kelas IPS tak hanya disesalkan oleh wali kelasnya dulu ketika masih dikelas dua, yaitu Pak Purnomo, namun juga oleh teman-teman terdekatnya. Prestasi dan nilainya bagus-bagus, meski ia bukan yang terbaik di sekolah. Saat kelas satu dan dua, ia selalu bisa bersaing dengan Rian, Mentari ataupun Agus, para jawara sekolah. Meski pada kenyataannya tak pernah sekalipun bergelar juara umum sekolah, ia beberapa kali bisa menjadi juara kelas dan masuk tiga besar juara sekolah.
��������������� Sementara itu, beberapa teman menganggap keputusannya adalah keputusan yang cengeng. Dengan rata-rata nilai rapor hampir menyentuh angka delapan, lantas mengapa takut dengan pelajaran IPA. Ia tidak mempedulikan itu semua. Baginya masa depannya adalah buah dari usahanya sendiri. Dan hanya ia sendiri yang bisa mengukur kemampuan dirinya. Baginya tak ada pembuktian buat orang lain. Ia hanya ingin membuktikan pada diri sendiri. Bisa melanjutkan kuliah tanpa harus membebani orang tuanya yang pas-pasan secara ekonomi. Ia sama sekali tidak takut dengan pelajaran IPA. Ia hanya tak mau berjudi dengan pelajaran IPA. Ia tak yakin rata-rata nilai Ebtanasnya bisa menyentuh angka tujuh, ketika mengetahui hanya segelintir saja dari kakak-kakak kelasnya dari jurusan IPA yang bisa memperoleh nilai rata-rata diatas tujuh. Ia juga sama sekali tak terpengaruh dengan propaganda pemerintah yang memang menginginkan agar jumlah lulusan IPA bisa jauh lebih banyak dibanding jurusan IPS ataupun bahasa. Sebuah hasil kajian yang terdengar agak aneh baginya karena dengan alasan apapun yang membuat orang berminat untuk sekolah adalah karena rasa suka mereka pada pelajarannya.
�������������� Hari-harinya di kelas berjalan seperti biasa, mempersiapkan kelas untuk kegiatan belajar dengan dibantu oleh teman-temannya. Memastikan ruangan bersih, meja serta kursi rapi dan teratur, papan tulis bersih dan kapur tersedia dalam jumlah yang cukup. Memimpin doa pagi, mengikuti pelajaran, memfotokopi latihan-latihan soal lalu membagikannya kepada setiap murid, melapor ke ruang guru jika guru tak hadir, dan memimpin doa sebelum pulang. Hingga pada suatu saat momen yang sangat singkat mengubah hidupnya untuk selama-lamanya. Merontokkan tembok kukuh pertahanan terakhirnya dalam kegigihan mengejar cita-cita. Saat itu sedang istirahat sekolah dan gerimis turun rintik-rintik. Istirahat dengan hawa dingin seperti itu membuatnya malas untuk keluar kelas. Ia lantas berdiri di balik jendela kelas yang menghadap lapangan basket. Jalan di luar jendela cukup ramai oleh lalu lalang siswa siswi kelas dua yang hendak pergi atau kembali dari kantin. Beberapa masa kemudian, matanya memandang sesosok gadis berlari-lari kecil menghindari gerimis dan datang ke arahnya. Wajahnya bening serupa kaca. Tubuhnya sedang-sedang saja. Kulitnya kuning seperti jeruk. Mukanya yang sedikit basah oleh gerimis menambah bening wajahnya. Begitu juga rambutnya yang panjang terikat, semakin menambah keanggunannya. Jantung Damar berdegup kencang sekali. Satu..Dua.. Tiga..Ia mengatur napas dalam-dalam. Tak pernah ia rasakan perasaan setegang ini. Tak pernah juga ia terpaku dan terpana seperti itu. Seorang gadis cantik berlari-lari kecil dalam gerakan slow motion terasa semakin dekat. Tepat saat di depan Damar, gadis itu pun berhenti berlari lantas menoleh. Merekahlah senyum terindah yang belum pernah ia jumpai sepanjang hayatnya. Damar tetap terdiam seperti patung, tak bergeser sedikitpun. Sepertinya sendi-sendinya mau rontok, pun dengan tenaganya yang berasa tak bersisa. Ubun-ubunnya pun seperti meleleh tersengat senyuman terindah dari gadis asing yang tak dikenalnya itu. Lantas dengan tenaga tersisa ia bergelayut di jendela. Ia sampai tak sadar sudah berapa lama tersangkut di jendela itu. Dua detikkah? Atau dua tahun? Gadis itu lalu berlari-lari kembali menerobos gerimis. Menuju ke ruangan kelas 2.2. Damar masih terpaku di balik jendela. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih. Bunga-bunga yang sedari tadi mendadak datang di depan matanya hingga kini belum mau pergi. Ia terpana terlalu lama. Akalnya lumpuh seketika. Hingga bunyi bel tanda selesainya waktu istirahat menyadarkannya kembali.
��������������� Sepanjang sisa pelajaran sekolah, ia hanya sibuk dengan pikirannya sendiri tanpa peduli dengan sekitarnya. Dengan Budi, teman sebangkunya, dengan pelajarannya, pun dengan gurunya. Teman-temannya menganggapnya sebagai murid edan baru. Senyum-senyum sendiri sembari menciumi buku pelajaran. Sementara itu, pikiran Damar entah �kemana saja. Mengembara menerka-nerka asal-muasal gadis berwajah bening seperti kaca yang terpercik gerimis itu. Menikmati perasaan hatinya yang terbuncah oleh rasa bahagia yang tak biasa. Setelah pelajaran usai, ia baru tersadar dari lamunannya. Ia mencoba merangkai kejadian-kejadian yang menyebabkan ia bisa berjumpa dengan gadis berwajah kaca itu. Ia semakin yakin kalau semuanya terjadi karena kehendak Tuhan. Ia semakin yakin pula kenapa ia hadir di dunia ini, yaitu untuk dipertemukan dengan gadis berwajah kaca itu tentunya. Semakin dalam saja ia jatuh kedalam perasaan itu. Semakin bulat juga tekadnya untuk menjumpai gadis berwajah kaca itu. Esok ia akan menjumpainya. Tentu dengan perjumpaan yang tak biasa. Ya, karena ia ingin tampil sempurna saat perkenalan nanti.
��������������� Oh gadis berwajah kaca yang terpercik gerimis. Siapakah gerangan dirimu?
�
Surat Berwarna Biru, Cinta dan Lelaki di Balik Jendela
�
��������������� Hanum terlihat sedang lekat memandangi surat beramplop biru dan bertali kupu-kupu itu. Ia merasa ragu, apakah akan membukanya sekarang atau nanti malam. Padahal tidak ada siapa-siapa di kamar itu. Tak enak sekali perasaan hatinya. Tak biasanya Danu mengirimi ia surat. Dengan amplop bertali kupu-kupu lagi. Karena tidak ingin terlalu lama dibawa keresahan, segera saja ia selipkan surat biru itu di antara amplop-amplop surat dari sahabat penanya yang berjajar rapi di atas meja belajar. Surat itu bisa ia baca nanti malam, pikirnya. Segera ia keluar kamar dan menemui Hanafi yang sedang asyik bermain gitar di teras depan. Dengan manjanya ia bergelayut di pundak kakak kesayangannya itu sambil memohon.
"Nyanyiin lagunya Katon dong, Mas! Itu loh yang judulnya Negeri di Awan,�
Sang mamas pun hanya tersenyum kecil sembari menimpali,
"Kamu itu loh udah segede itu masih manja."
Meski begitu, Ia kabulkan juga permohonan sang adik untuk memainkan gitar.
"Tapi kamu yang nyanyi loh ya!� pinta Hanafi kemudian.
"Beres, Mas. Lagian aku juga udah nyatet liriknya. Kemarin aku salin dari majalah di perpus sekolah,� jawabnya sambil nyengir-nyengir manis.
Suara Hanum begitu merdu di telinga. Semakin merdu dengan iringan gitar dari Hanafi. Sejenak keresahan gadis berwajah bening itu hilang ditelan alunan lagu-lagu indah dari Katon Bagaskara. Berpadu dengan semilir angin dari persawahan dibelakang rumah. Sungguh harmoni yang melegakan hati dan menghilangkan resah.
�������������� Sore semakin menjelang. Kakak dan adik itu pun sudah beranjak dari tempatnya. Menunaikan kewajiban ilahiyah, tepat setelah adzan Ashar berkumandang. Bagi Hanum, setelah waktu Ashar adalah saat baginya menyiapkan makan malam buat ayah, ibu dan juga Hanafi. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk meringankan pekerjaan ibunya di rumah. Setelah lelah bergulat dengan menu makan malam keluarga, ia lanjutkan dengan mandi sore. Segar sekali rasanya. Sumur di belakang rumah yang dekat persawahan memang lebih banyak menghasilkan air yang segar dibanding sumur di pemukiman padat penduduk. Sumur-sumur itu tak terlalu banyak berebut air dengan sumur-sumur yang lain. Sementara itu kumandang adzan Maghrib terdengar merdu sekali di telinga. Menggetarkan seluruh pepohonan untuk sejenak bersujud pada Sang Pencipta. Seusai menunaikan sholat Maghrib, Hanum masuk kembali ke dalam kamarnya. Waktunya untuk belajar dan mempersiapkan buku-buku pelajaran untuk hari esok. Belum selesai ia menyusun buku-buku pelajaran, teringat ia akan surat biru dari Danu yang tadi siang yang dititipkan lewat Tati, teman sebangkunya. Keresahan itu datang lagi. Diambilnya kembali surat itu. Ia pun beranjak ke depan pintu lantas menguncinya. Tentu akan malu sekali jika nanti Ibu atau Hanafi nyelonong masuk saat ia sedang membaca surat dari Danu, kakak kelasnya yang sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri. Perlahan ia robek ujung amplop surat itu. Dikeluarkan secarik kertas bunga yang masih tersisa bau harumnya. Dibacanya pelan-pelan sambil duduk di depan meja belajar.
Teruntuk Wanita Terindah di Hidupku
Apa kabar Hanum? Semoga kamu baik-baik saja ya.
Kukirim surat ini karena ada yang ingin kusampaikan kepadamu yang tak bisa kusampaikan secara langsung. Aku takut kalau kamu nanti marah dan menjauhiku. Apapun nanti yang ingin kusampaikan kepadamu kamu jangan marah ya?
Kamu ingatkan pertama kali kita ketemu? Saat itu awal-awal kamu sekolah. Hujan turun begitu deras sepulang sekolah dan kita harus berteduh bersama di depan Ruko dekat pasar? Kita kenalan dan ternyata kamu tuh adik kelasku di SMA. Rumah kita ternyata juga tidak berjauhan meski beda desa. Setelah itu kita jadi sering berangkat dan pulang sepedaan bareng meski tak selalu tiap hari. Sejak itu hari-hariku semakin menyenangkan. Aku selalu berharap bisa bareng kamu meski tak selalu bisa karena jam pulang sekolah kita yang kadang beda. Tapi kamu perlu tahu, jika aku pulang duluan, aku sering nungguin kamu pulang. Karena itu kamu sering kaget karena tiba-tiba aku sudah di belakangmu.
Dan tak terasa kebersamaan kita telah setahun. Aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk bisa mengungkapkan perasaanku tepat setahun setelah pertemuan kita itu.
Aku mencintaimu Hanum. Dengan segenap jiwa ragaku. Meski pada awalnya aku bukanlah siapa-siapa, pada akhirnya aku ingin menjadi berarti buat kamu.
Kamu tak perlu membalas suratku. Jika perasaanmu juga sama temui aku di belakang perpustakaan saat jam istirahat esok. Jika kamu marah dan tidak bisa menerima perasaanku, kamu tak perlu datang. Aku akan tahu diri dan mencoba menghapus perasaanku.
Yang sangat mencintaimu
Danu Saputra.
Hanum menghela napas dalam-dalam. Dunia serasa mau runtuh. Ini bukan sekali dua kali ia menerima surat cinta, namun surat cinta dari Danu membuatnya bingung bukan main. Ia merasa nyaman dengan Danu sebagai kakak kelas yang selama ini banyak sekali membantu dan menghiburnya. Namun perasaan nyaman itu sendiri bukanlah cinta. Tak enak rasanya menolak cintanya. Hanum lantas merebahkan badannya di atas kasur. Ia memejamkan mata. Mencoba memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk menghadapi hari esok. Tiba-tiba saja nafsu makannya menghilang. Ia juga jadi malas beranjak dari ranjang. Andaikan ia bisa menghapus periode waktu, mungkin ia akan mempertimbangkannya untuk menghapus periode tiga sampai empat hari yang lalu hingga malam ini.
����������� Menjelang pukul sembilan malam sebuah ketukan di pintu menyadarkannya dari lamunan. Rupanya Ibu mengingatkan kalau ia belum makan malam dan sholat Isya. Dengan bermalas-malasan gadis desa dengan senyum membius itu segera menuju meja makan. Ia makan sedikit saja agar Ibu tak mengomelinya. Setelah itu ia mengambil wudhu dan langsung masuk kamar lagi lalu menguncinya. Ia masih saja bingung dengan keadaannya.
����������� Pagi sekali Hanum sudah terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Ia sudah memutuskan apa yang akan ia lakukan hari ini. Ia akan mencoba untuk bisa menerima cinta Danu. Ia belum pernah mencoba menjalin hubungan serius dengan seorang lelaki pun. Ia berharap bisa mencintai Danu seiring waktu berlalu. Mengubah kebaikan-kebaikan lelaki itu menjadi cinta. Lagian ia tidak menjumpai sesuatu yang buruk tentang Danu. Danu adalah lelaki biasa saja yang baik dan penuh perhatian.
***
�����������
Dua jam pelajaran pertama sudah berlalu bagi Hanum. Itu artinya masih satu jam pelajaran lagi menuju jam istirahat pertama. Ia gelisah dan bingung. Tati mencoba menerka-nerka apa gerangan yang membuat sahabatnya itu resah. Ia membuka percakapan dengan Hanum. Hanum hanya mengatakan bahwa ia akan bercerita padanya nanti. Bel tanda jam istirahat pertama berbunyi kencang sekali. Seperti lonceng kematian saja. Ia buru-buru pergi keluar kelas menuju perpustakaan yang letaknya lumayan jauh dari kelasnya. Sebelum benar-benar sampai di perpustakaan, ia malah balik lagi ke dalam kelas. Ia terduduk di kursi dengan muka cemas. Jemarinya mengetuk-ngetukkan pulpen ke atas meja berkali-kali. Tati semakin bingung melihat tingkah sahabat karibnya itu.
Hanum memang sedang sangat bimbang. Ia telah melewatkan istirahat pertama. Jika saja istirahat kedua nanti ia tak jua menemui Danu, itu artinya ia menolak cinta Danu. Ia benar-benar dibuat tak enak hati. Danu bukanlah lelaki mata keranjang yang tiba-tiba saja mengiriminya surat cinta. Danu adalah lelaki yang selama ini banyak menemaninya dan juga menjadi teman ceritanya. Bel tanda istirahat selesai berdering. Ia masih saja gelisah saat pelajaran sudah dimulai. Namun ia sekuat tenaga tak menampakkan rasa gelisahnya itu. Ia tersenyum getir kepada Tati. Tati malah semakin bingung. Sementara itu awan yang bergelayut di langit menjadi tanda akan datangnya hujan. Semakin lama semakin gelap. Suhu udara pun berangsur turun. Siang yang seharusnya panas malah menjadi dingin karena hembusan angin yang lumayan kencang. Bel tanda istirahat kedua pun akhirnya berbunyi. Kini Hanum memberanikan dirinya kembali. Dengan langkah mantap ia berjalan menuju perpustakaan. Sesampainya di dalam perpustakaan, perlahan ia mendekati jendela yang terletak di bagian paling belakang perpustakaan. Ia mengintip dari balik jendela itu. Rupanya Danu benar-benar sudah berdiri di belakang perpustakaan di bawah pohon tanjung yang tak terlampau tinggi. Mungkin saja istirahat pertama tadi lelaki itu sudah ada di sana pikirnya. Ia menahan diri sejenak lalu mempersiapkan dirinya kembali. Hanum pun lantas keluar dan berjalan ke belakang perpustakaan. Ia berharap percakapan nanti tak lebih dari lima menit. "Ya, jangan sampai lebih dari lima menit,� mantra yang �ia coba ulang-ulang terus.
"Mas Danu sudah dari tadi ya?" tanya Hanum padanya.
"Sudah. Mas seneng banget kamu mau datang Hanum,� jawab Danu dengan muka yang terlihat begitu bahagia.
"Jadi ini artinya �iya� kan?�tanya Danu kemudian.
"Iya Mas, kita coba saja dulu, tapi Hanum ingin tak banyak orang tahu tentang hubungan kita. Hanum ingin tetap bisa fokus belajar meski mulai sekarang sama Mas,� jelasnya.
"Tak apa-apa Hanum. Kamu menerima cintaku saja, aku sudah senang sekali,� jawab Danu.
Untuk beberapa saat mata mereka saling beradu pandang diselingi beberapa senyuman canggung. Mulut mereka berduapun terkunci. Entah apa yang ada di hatikeduanya, apakah sama atau tidak, tentunya hanya mereka berdua yang memahami. Hanum pun berpamitan kepada Danu supaya bisa masuk ke dalam kelas kembali.
"Nanti kita pulang bareng ya!� pinta Danu kemudian.
"Iya Mas. Nanti Mas Danu tungguin Hanum ya,� jawab Hanum sambil mengangguk.
Gadis berwajah bening serupa kaca itupun pergi dari hadapan Danu yang masih terpaku berdiri di bawah pohon tanjung. Lelaki gagah tinggi besar itu pun menggenggam erat tangannya sendiri seperti orang yang hendak menumpahkan ekspresi kegirangan.
"Yes, yes,� teriak Danu.
����������� Sementara itu, Hanum berlari-lari kecil di bawah gerimis yang mulai turun dengan lebat, menyusuri lorong di belakang ruang-ruang kelas 3 IPS yang menghadap lapangan basket menuju ruang kelasnya yaitu kelas 2.2. Dari kejauhan ia lihat lelaki di balik jendela kelas melihatnya tak berkedip. Ada perasaan aneh menghinggapinya. Bukannya itu Damar, kakak kelas yang sempat menjadi bahan cerita diantara teman-temannya karena telah menolak untuk masuk kelas IPA meski nilai-nilai rapornya bagus? Bukannya lelaki itu adalah murid kesayangan Pak Purnomo, wali kelasnya saat ini? Saat tepat di hadapannya, Hanum berhenti sejenak lalu melempar senyum mencoba untuk menunjukkan rasa hormat karena telah lewat di depannya, lalu ia mempercepat lajunya menuju kelas 2.2. Masuk ke kelas dan kembali duduk di kursi. Ia telah membuat pilihan dalam hidupnya. Pada saat itu juga ia telah merasa menjadi perempuan dewasa. Ia juga telah siap menceritakan semuanya kepada Tati.
�
Perjumpaan
�
Suara kokok ayam bersahut-sahutan, pertanda dini hari telah menjelang. Biasanya tak lama setelah itu adzan Subuh bakal terdengar di seluruh penjuru desa. Damar terbangun dari tidurnya dan buru-buru ke dapur untuk mengambil segelas air minum. Tidurnya sangat nyenyak. Ia lantas duduk di depan meja dapur dan bersandar di kursi. Dapur rumah itu memang lebih rendah dari rumah induknya dan hanya berlantai tanah. Di samping dapur terdapat sumur, sekaligus kakus dan juga kamar mandi. Kehidupannya sekarang memang jauh lebih baik dibanding beberapa tahun yang lalu. Saat belum ada kakus maka ia sekeluarga akan buang air besar di pinggir kali. Tanggul kali lesung dijadikan parade �WC� umum untuk sebagian besar warga desa. Namun sekarang sudah tak ada lagi karena sudah resmi dilarang oleh pemerintah. Pemerintah melalui program IDT (Inpres Desa Tertinggal) sudah membangunWC-WC umum di beberapa sudut desa.
Damar tak melanjutkan tidurnya karena tahu subuh bakal menjelang. Pikirnya masih berkutat akan kejadian siang kemarin. Namun akal sehatnya telah kembali pulih. Apalagi jika ia teringat akan pesan mamaknya di masa lalu.
�
"Kamu harus serius belajar, Nak. Menggapai apa yang kamu cita-citakan. Jangan berhenti karena wanita. Jika telanjur berhenti maka memulainya lagi akan susah sekali karena masa mudamu itu cuma sebentar.�
�
Iya, mamak memang selalu cerewet dalam banyak hal. Kecerdasan linguistiknya memang luar biasa. Bisa tahan mengomel berjam-jam. Mamak selalu mengingatkan anak-anaknya bahwa mencari ilmu di sekolah itu dibatasi umur dan waktu. Orang-orang sukses adalah orang yang bisa memanfaatkan masa mudanya dengan sibuk belajar. Ijazah hanya dibuat dan berguna saat kita masih muda. Damar selalu merindukan kecerewetan mamak di saat-saat tertentu. Berbeda sekali dengan bapak. Bapak lebih banyak diam dalam kesehariannya. Tapi kerja keras bapak di kebun seperti berkebalikan dengan diamnya bapak di rumah. Bapak sepertinya juga punya kantong ajaib yang senantiasa ia jaga. Bila sewaktu-waktu mamakatau Damar memerlukan sesuatu, bapak selalu bisa memenuhinya dari kantong ajaib yang ia simpan.
����������� Azan Subuh pun berkumandang. Damar lantas mengambil sarung dari sembahyangan dan buru-buru pergi ke masjid yang letaknya tak begitu jauh. Hanya ada tiga orang yang ikut berjamaah sholat Subuh. Itu pun sudah termasuk imamnya. Selesai dari masjid, Damar lantas membantu mamak menyapu rumah.Sementara itu, Nurul yang sudah bangun tidur lantas mencuci piring menemani mamak yang sibuk memasak di dapur. Damar tak hanya menyapu dalam rumah namun juga halaman depan dan juga samping. Itu kadang yang sering menjadi bahan candaan para tetangga saat mereka melihat anak bujang menyapu halaman. Namun Damar tak begitu peduli. Ia tak terlalu khawatir jika hasil menyapunya tak begitu bersih karena toh nantinya perempuan yang bakal ia nikahi tak akan mungkin berewokan. Selesai membereskan rumah, Damar menyempatkan diri mengulang-ulang materi pelajaran dan berlatih soal-soal ujian. Ia memprioritaskan berlatih soal Matematika dan juga Bahasa Inggris. Setidaknya itu yang ia tahu jika ingin bisa lulus di banyak ujian. Sesempit apapun waktu yang tersedia, selalu ia sempatkan untuk belajar. Tekadnya untuk mendapatkan rata-rata nilai Ebtanas di atas tujuh semakin kuat. Begitu pula tekadnya untuk berkenalan dengan gadis berwajah kaca yang mulai bertumbuh. Entah apapun nanti jadinya, yang penting ia telah mengenal gadis itu. Kalau pun nanti ia mati sebelum berkahwin, setidaknya ia tak jadi mayat penasaran.
����������� Sementara itu bapak masih betah dudukdi risbanmenonton TV sembari menyesap kopi hitam buatan mamak. Disela-sela jarinya, terjepit lintingandengan racikan tembakau, menyan dan klembak yang baru saja ia bakar ujungnya. Baunya sangat harum -menurut beberapa warga desa- meskipun kadang membuat batuk. Bapak menghisap lintingan itu pelan-pelan. Bapak paling senang berita politik. Sejak reformasi bergulir, berita politik seperti mendapatkan tuannya. Andaikan bapak sempat bersekolah, mungkin bapak sudah menjadi anggota dewan, tidak seperti sekarang ini, mengolah beberapa kebun kecil untuk mencukupi kebutuhan hidup. Berbeda sekali dengan Damar yang tidak terlalu suka dengan politik. Baginya politik telah mencederai banyak pihak atas nama kekuasaan. Berita tentang kondisi pengungsi di Atambua mengusik rasa kemanusiaannya. Bagaimana bisa perebutan kekuasaan dengan cara yang paling demokratis sekalipun menyebabkan rakyat Timor terusir dari negerinya sendiri. Apalagi jika ia teringat cerita Pak Johan, guru Bahasa Inggris pindahan dari Timor yang mengajar di sekolahnya saat ini. Nasib rakyat Timor begitu menyedihkan lagi tragis. Hanya karena berbeda pandangan politik, pro integrasiatau pro kemerdekaan membuat banyak keluarga tercerai-berai. Menjadi pengungsi di tanah ibu pertiwi. Pak Johan termasuk yang beruntung karena termasuk bagian dari masyarakat terdidik. Meski harus terusir ia masih punya keahlian mengajar yang biasa ia pakai di Indonesia. Lantas bagaimanadengan masyarakat biasa yang tidak memiliki keterampilan, pengetahuan atau pengaruh politik? Ah entahlah, politik baginya seperti bau kentut busuk. Meski diperlukan tapi sangat memuakkan.
����������� Pukul enam seperempat pagi Damar berpamitan kepada mamak untuk berangkat sekolah lalu mencium telapak tangannya. Bapak sendiri telah berangkat ke kebun beberapa waktu yang lalu. Ia kayuh sepeda jengkinya dengan penuh semangat. Menyusuri jalan desa, tanggul kali, bulakan sawah dan jalan besar antar kabupaten menuju sekolahnya. Setengah jam kemudian ia telah memarkir sepedanya di parkiran. Kesibukannya sekarang bertambah lagi yaitu mencari informasi gadis berwajah bening murid kelas 2.2. Sebenarnya bisa saja ia bertanya langsung pada teman-temannya di kelas tentang gadis itu. Gadis secantik itu pasti sudah banyak yang tahu. Hanya saja mungkin ialah yang selama ini kurang peduli dengan banyak hal di sekitarnya termasuk keberadaan sang bunga sekolah itu. Tapi tentunya pula �itu hal yang sangat memalukan baginya. Predikatnya sebagai murid pandai dan pendiam akan hancur berantakan. Meski sejatinya ia juga sebagaimana lelaki normal pada umumnya yang mungkin saja bisa berubah 180 derajat saat jatuh cinta. Ia hanya tak mau rasa penasarannya diketahui oleh sembarang orang.
����������� Bel tanda masuk sekolah berbunyi. Damar dengan saksama mengikuti setiap pelajaran yang disampaikan oleh guru meski terkadang pikirannya masih sempat berkelanake mana-mana. Ia tak sabar menunggu jam istirahat. Tak berapa lama, yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Bel tanda istirahat pun berbunyi. Hal pertama yang bisa dilakukan olehnya hanyalah berdiri di sela-sela tembok pembatas toilet yang berseberangan dengan lorong ruang kelas 2.2 dan 2.3. Dari situ ia bisa melihat wara-wiri anak kelas 2.2 dan kelas 2.3. Terlihat mencurigakan memang, terutama oleh siswa-siswi yang hendak ke toilet. Karenanya ia membawa buku catatan pelajaran sejarah dan seolah-seolah sedang membaca buku pelajaran tersebut sembari mondar-mandir. Tak lama kemudian seseorang yang ia tunggu-tunggu muncul juga. Gadis berwajah kaca itu keluar dari kelas 2.2. Namun ia tak sendirian, bersama dengan temannya yang tinggi semampai. Jantungnya berdegup kencang meski tak sekencang hari kemarin.
"Wajahnya masih sebening kaca. Senyumnya renyah sekali,� gumamnya.
Ia kemudian menguntit gadis itu. Tentu dengan tetap menjaga jarak. Menelusuri lorong di bawah kelasnya sendiri. Sang gadis dan temannya ternyata memasuki ruang perpustakaan.
"Oh shit, kenapa selama ini tak pernah lihat ya?� tanya Damar menyalahkan diri sendiri.
Ia selama ini sering sekali ke perpustakaan. Tapi mengapa tak pernah menjumpai gadis itu. Ia merasa aneh. Mungkin orang lain juga menganggapnya aneh. Duduk di pojok perpustakaan tanpa memperdulikan siapapun. Bahkan untuk sekadar menyapu pandang ruangan dan berharap adanya bidadari yang juga sedang serius membaca. Namun Damar tak ikut masuk ke perpustakaan, ia malah balik ke kelas dan duduk di kursi sambil memikirkan sesuatu. Ia ingin menata hati dan perasaannya dulu. Ia merasa bodoh sekali. Tentu selama ini merekatelahada di dalam ruangan yang sama lebih dari sekali. Tapi bacaan-bacaan sastra, sains dan juga buku-buku pelajaran sekolah telah menenggelamkannya dalam petualangan yang indah sehingga ia tak sadar dengan kehadiran bidadari manapun, termasuk sang gadis berwajah kaca itu. Meski begitu, tergurat kelegaan di wajahnya karena sang gadis ternyata juga sama-sama suka membaca. Dan kesempatan untuk mengenalnya semakin mendekati kenyataan. Damar tak sabar mendapati momen itu, momen untukberkenalan dengan sang gadis. Tentu di saat sang gadis datang sendiri ke perpustakaan. Kini ia pun menantikan momen-momen itu datang.
����������� Hari itupun berlalu begitu saja. Damar masih saja sabar menunggu saat-saat yang ia dambakan. Baginya, dengan mendatangi gadis itu secara langsung di dalam kelasnya dan mengajak berkenalan adalah hal yang sangat konyol. Hal seperti itu tidak akan memberikan dampak apapun. Meski sebenarnya itu adalah hal yang wajar bagi seorang laki-laki. Ia takut dianggap aneh saja karena orang-orang selama ini menganggapnya sebagai murid yang pendiam. Meski bagi yang telah mengenalnya tentu akan paham bahwa diamnya hanya karena ia malas menanggapi sesuatu yang ia tak suka. Hal yang aneh bagi orang lain,mungkin merupakan hal yang biasa baginya. Dan hal yang biasa untuk orang lain menjadi aneh baginya. Ia ingin perkenalannya nanti seperti bukan di buat-buat. Hingga kemudian, saat-saat yang dinantikan olehnyapun tiba.
����������� Di hari keempat pengintaian, dilihatnya gadis berwajah kaca berjalan sendirian keluar dari kelas 2.2. Nampak ia terburu-buru. Damar dengan tetap menjaga jarak mengikutinya dari belakang. Benar sekali perkiraannya. Sang gadis memang memasuki ruang perpustakaan. Ia lantas memasuki ruang perpustakaan itu juga. Ia melihat sang gadis sedang memilih-milih majalah yang hendak dibacanya. Gadis itu mengambil majalah sastra Horison edisi awal tahun. Damar cukup familiar dengan majalah tersebut karena ia telah membacanya meski belum semuanya. Dengan sekenanya Damar mengambil novel yang tersusun di rak kumpulan novel. Sang gadis pun duduk di kursi di pinggir jendela depan yang tak pernah dibuka. Beruntung sekali Damar kali ini. Kursi yang berada tepat di hadapan sang gadispun kosong. Segera ia duduk di situ dan membolak-balik novel yang asal ia comot tadi. Damar menarik napasnya dalam-dalam. Ia sedang berusaha menetralisir rasa groginya. Dilihat dari dekat, gadis itu memang benar-benar sangat cantik. Wajahnya bersih tanpa noda. Benar-benar pahatan Tuhan yang sempurna. Ia membuka percakapan.
"Suka majalah sastra ya?� tanyanya.
"Eh, Mas Damar ya? Iya mas. Kebetulan ada tugas untuk membuat resensi cerpen tapi syaratnya harus cerpenis masa kini,� jawab sang gadis.
�"Kita belum kenalan, tapi kamu udah tahu namaku. Oh ya nama lengkap pasti belum tahu kan? Damar Arif Prasetio. Namamu siapa?" tanya Damar kemudian sembari mengulurkan tangan kanannya. Sang gadis pun menyambut perkenalan itu.
"Panggil saja Hanum, Mas,� jelasnya.
"Coba Hanum baca cerpen Sang Pemburu-nya Agus Noor. Di halaman agak belakang. Menurutku cerpen itu bagus sekali. Meski cerpenis masa kini, tapi aku tidak tahu masuk dalam angkatan mana. Apa mungkin mereka menamakan diri mereka sebagai angkatan reformasi? Tapi entahlah sepertinya aku tak yakin,� Damar mencoba membantu. Ia menjadi begitu lancar berbicara.
"Iya Mas. Bu Sinta menginginkan kita untuk membuat resensi cerpen-cerpen dari penulis terkini karena berharap kita bisa mengenal penulis-penulis saat ini. Mas sendiri suka dengan novel-novel lama ya?" Hanum balik tanya sambil melirik novel yang Damar bolak-balik dari tadi. Damar tak sadar telah membolak-balik novel lama karya Buya Hamka. Pesona gadis di depannya membuat ia lupa novel yang ia pegang menarik perhatian lawan bicaranya.
"Iya. Ini punya Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Novel lama,tapi penulisnya disebut sebagai bagian dari angkatan Pujangga Baru, loh. Novel-novel pada angkatan itu lebih banyak mempertentangkan nilai-nilai antara pribumi dengan barat. Bahasanya santun dan sangat baku. Penggambarannya pun sangat meyakinkan atau mungkin bahkan berlebihan." Damar mencoba menjelaskan sembari menancapkan cakar-cakar tajam ke alam bawah sadar Hanum. Dengan sekuat tenaga iaberusaha memberi kesan bahwa ia adalah sosok yang tahu dan begitu peduli dengan sastra. Oh, cinta telah membuat Damar bisa terlihat begitu menarik dan tahu akan banyak hal bagi Hanum. Cukup lama mereka berbicara hingga tanpa sadar bel tanda selesai istirahat telah lama mereka abaikan. Ruang perpustakaan pun kembali sepi. Damar beranjak pamit terlebih dahulu. Tergurat bahagia yang tak biasa ia rasakan. Begitu pula dengan Hanum, ada getar-getar aneh menghinggapinya. Ia juga heran mengapa lelaki yang biasanya diam dan asik sendiri di sudut ruangan itu mengajaknya berkenalan. Sementara itu dari ruang penjaga perpustakaan lagu gubahan Yovie Widianto berjudul Ada Cinta yang dibawakan oleh Bening begitu manis terdengar di telinga, terutama di telinga Hanum. Malas sekali ia hendak beranjak dari kursinya, dan ia pun teringat pada Danu. Akankah ia akan menceritakan perkenalan ini. Ah, entahlah.
�
�
Bimbang
�
�
����������� Hari berganti dan berulang kembali. Minggu telah beranjak lebih dari sekali. Saatnya bulan yang harus berganti pula. Begitulah putaran masa dari zaman dahulu hingga kiamat nanti. Seperti putaran roda pedati yang terus berjalan hingga tujuan. Ada yang bahagia dan ada yang bersedih. Ada pula yang bimbang. Berita pagi di televisi menyajikan banyak hal. Salah satunya adalah euforia gelaran Olimpiade di Sidney yang masih terasa gemanya. Rakyat Indonesia patut berbangga hati. Untuk pertama kalinya Cabor angkat besi mempersembahkan tiga medali sekaligus. Bulutangkispun mempersembahkan satu emas lewat ganda bulutangkis andalan Indonesia yaitu pasangan Toni dan Chandra. Dan untuk pertama kalinya juga tim Indonesia membawa pulang enam buah medali. Sebuah rekor yang cukup membanggakan. Sementara itu kegeraman masih dirasakan oleh para pendukung Barcelona atau yang lebih dikenal dengan sebutan culesdi seantero dunia. Pada bulan ini sang mantan mega bintang mereka akan kembali ke Camp Nou. Bukan lagi sebagai pahlawan, akan tetapi sebagai jugadortim lawan dalam lanjutan gelaran La Liga. Aroma pengkhianatan yang telah dilakukan oleh Luis Figo dengan berhijrah ke tim rival abadi mereka yaitu Real Madrid sepertinya masih belum bisa di terima oleh pendukung setia Barca.
����������� Sementara itu nasib pengungsi dari Timor di Atambua masih belum jelas hingga saat ini. Pemerintah masih bimbang apakah akan memulangkan kembali atau menempatkan para pengungsi di pulau tertentu yang masih berada di wilayah Indonesia. Sebimbang hati Hanum saat ini. Berita pagi di televisi tak sepenuhnya bisa mengalihkan kebimbangan hatinya. Diambilnya tas sekolah lalu disampirkannya di pundak. Sarapan yang sudah tersedia hanya sedikit saja ia sentuh. Dikayuhnya sepeda yang telah tersandar di pohon mangga depan rumah sedari pagi menuju sekolah yang berjarak dua setengah kilometer. Di sepanjang perjalanan ia berharap tak bertemu dengan Danu. Ia sedang tidak ingin berbicara apapun dan dengan siapapun. Lima belas menit kemudian ia telah sampai di sekolah. Ia memarkirkan sepedanya di pojokan. Ia benar-benar sedang ingin sendiri.
����������� Tati sudah duduk di kursinya ketika Hanum datang. Melihat sahabatnya datang, ia lantas mengajak sahabatnya itu berbincang.
"Bagaimana weekend kemarin Hanum? Mas Danu malam minggu datang?"
�"Datang sih tapi cuma sebentar saja koq,� jawab Hanum singkat. Hanum memang telah menceritakan hubungan mereka. Tapi Hanum memohon kepada Tati menyimpan rapat-rapat perihal hubungan itu. Pada awalnya Tati juga sudah curiga ketika ia menerima surat dari kakak kelas yang tak ia kenal yang memintanya agar memberikan surat itu kepada Hanum.
"Lantas kalian ngobrolin apa aja?� tanya Tati penasaran.
"Ya biasa aja lah. Tentang sekolah Mas Danu. Tentang keluarga kita masing-masing,� jelas Hanum dengan malas. Tati yang melihat gelagat tak enak tentang sahabatnyapun mencoba mencari tahu.
"Apa kalian bertengkar? Atau ada sesuatu yang pengin kamu ceritain Hanum?�
Hanum menggeleng saja. Sebenarnya ia sangat ingin bercerita tentang perkenalannya dengan kakak kelas yang pendiam itu. Kejadian yang tak pernah ia bayangkan. Pria pendiam yang pernah diceritakan oleh Pak Purnomo itu �wali kelasnya sekarang�, yang dilihatnya berdiri di balik jendela, mengajaknya berkenalan. Lelaki aneh yang setiap kali di perpustakaan hanya mau melihat tulisan dan gambar dalam bukuitu, akhirnya menyapanya. Bercerita tentang pesonanya saat mereka berkenalan di ruang perpustakaan. Pun dengan kejadian beberapa hari yang lalu di parkiran sepeda saat pulang. Lelaki itu tiba-tiba sudah ada di belakangnya lalu menyapanya. Suaranya yang berat terdengar begitu damai di telinganya. Lelaki itu mulai bertanya tentang jalan pulangnya, rumahnya, dan juga memintanya untuk berhati-hati. Sebuah sapaan yang biasa saja namun membuat sukmanya berdesir. Tapi ia merasa sangat bersalah. Belum setengah bulan ia menjalin hubungan yang serius dengan Danu, mengapa pula ada lelaki lain yang mulai mengganggu pikirannya. Tak enak sekali rasanya menceritakannya meski dengan sahabatnya sendiri. ����������������
����������� Bel tanda masuk sekolah berbunyi. Satu per satu murid yang masih� berada di luar kelas masuk ke kelas mereka masing-masing. Minggu ini adalah minggu terakhir pelajaran di caturwulan pertama. Minggu depan sudah ujian sekolah. Hanum hampir tak menyadari itu. Ia telah melewati bulan-bulan yang melelahkan batin. Perhatiannya terpecah-belah. Ia mencoba menyatukan kembali kepingan-kepingan itu. Ia pun tersadar seketika karena telah melalaikan pelajaran sekolahnya akhir-akhir ini. Ia mencoba mengenyahkan kebimbangan hatinya. Nanti pulang sekolah ia ingin bertemu Danu. Ia ingin membicarakan hubungan mereka. Bukan karena pria pendiam penuh pesona itu. Semata-mata karena ingin lebih fokus menghadapi ujian catur wulan. Ia yakin Danu bakal memahami itu. Setidaknya sampai ujian caturwulan nanti benar-benar selesai.
����������� Hanum mengeluarkan buku paket, buku tulis dan peralatan sekolah lainnya dari tas. Ia mulai lepas dari kebimbangan. Wajah ayah dan ibu berseliweran di pikirannya. Ia tak ingin mengecewakan keduanya. Ia juga tidak ingin prestasinya selama ini menurun karena hubungan yang telah ia pilih sendiri dengan sadar.
"Aku harus terus semangat belajar untuk ujian esok.� Ia bergumam menyemangati dirinya sendiri.
����������� Pak Purnomo memasuki ruang kelas. Ia adalah guru Matematika sekaligus wali kelas Hanum saat ini. Ia teringat kembali akan pria pendiam penuh pesona itu. Pak Purnomo adalah wali kelasnya dulu. Dan ia banyak tahu karena Pak Purnomo banyak bercerita tentang mantan murid kesayangannya itu. Selalu memotivasi murid-muridnya agar bisa berprestasi meski harus jauh-jauh bersepeda menuju sekolah seperti pria pendiam itu. Ia menghela napas pelan-pelan. Bagaimanapun juga ia adalah seorang perempuan. Teramat sulit menghapus bayang-bayang yang sudah kadung merasuki pikirannya itu. Bayang-bayang lelaki pendiam penuh pesona, yang selalu dibanggakan oleh wali kelasnya sekarang, bukan Danu kekasihnya sendiri. Ah, sudahlah.
�
�
Janji untuk Bersama
�
�
�
����������� Ujian caturwulan usai sudah. Itu artinya seminggu lagi adalah libur caturwulan. Para guru diberi kesempatan untuk mengoreksi jawaban tiap siswa dan memberi nilai pada buku rapor. Praktis tidak ada jam pelajaran sama sekali, kecuali beberapa siswa yang diwajibkan untuk mengikuti kelas remidial. Sementara itu sambil menunggu pembagian buku rapor di hari Sabtu, OSIS mengadakan classmeeting beberapa cabang olahraga yang mempertemukan kelas satu sampai dengan kelas tiga. Dari beberapa cabang olahraga yang dipertandingkan yang ramai penonton tetaplah sepakbola untuk siswa dan basket untuk siswi. Di acara classmeeting seperti inilah para siswa bisa bermain lepas sekaligus menyalurkan hobinya. Damar sendiri bukanlah tipe siswa yang popular dari dunia olahraga. Ia tak punya cukup minat untuk menggelutinya. Selain kesibukannya dengan pelajaran sekolah dan juga membantu bapak di kebun, ia beberapa kali mengikuti beberapa perlombaan penulisan puisi, cerpen maupun essai. Ia tak pernah memenangkannya. Namun ia memang tidak terlalu terobsesi dengan perlombaan itu. Semua sebatas hobi saja. Justru dari bidang akademis ia bisa memperoleh penghargaan dari beberapa lomba cerdas cermat yang diselenggarakan pihak sekolah maupun Disdikbud. Damar yang sebelumnya tak pernah menonton pertandingan basket putri, kali ini selalu menonton di setiap pertandingannya. Bahkan tak tanggung-tanggung, ia juga mengerahkan semua anak buahnya yang bengal-bengal itu untuk ikut menonton dan bersorak-sorai. Tak ada yang mencurigainya, karena posisinya sebagai ketua kelas yang juga mengirimkan tim basket putri pada classmeetingkali ini. Meski kalau ditelisik lagi sebenarnya keinginan sesungguhnya hanya karena ingin menyemangati Hanum yang ikut bertanding mewakili tim basket putri kelas 2.2.
�
***
�
Sementara itu Rian dan Danu dari kelas 3 IPA 1 mewakili tim sepakbola kelas mereka. Rian sebagai penyerang lubang dan Danu sebagai penyerang depan. Rian adalah sahabat karib Damar ketika mereka masih kelas satu dulu. Mereka selalu bersaing dalam memperoleh predikat juara kelas. Meski begitu mereka bukannya bermusuhan malah menjadi konco kenthel. Rian terobsesi dengan dunia militer. Ia selalu bangga ketika menceritakan kakeknya yang telah ikut berjuang membebaskan Republik ini dari penjajahan. Ia ingin mengulang sejarah menjadi tentara agar bisa berbakti sepenuhnya pada negeri. Mereka terpisah karena ingin menggapai cita-cita yang berbeda. Meski begitu mereka telah berjanji untuk tetap saling menyemangati satu sama lain dan tidak saling melupakan di kehidupan nanti. Rian dan Danu sendiri baru sekali ini berada dalam satu kelas. Meski sama-sama aktif di kegiatan pramuka sejak kelas satu, namun mereka tak pernah seakrab sekarang ini. Mereka sama-sama pemain sepakbola andalan di sekolah. Tak ada yang tak mengunggulkan kelas 3 IPA 1 menjuarai classmeeting kali ini.�
�
***
�
����������� Tiga hari sudah classmeeting berjalan. Tim sepakbola dan basket kelas 3 IPS 3 terhenti di babak semifinal. Tim basket putri dihentikan oleh tim basket kelas 2.2. Semua sudah memprediksikan itu. Damar juga tak menyesalinya karena itu artinya ia bakal bisa terus menonton Hanum hingga final nanti. Tim basket kelas 2.2 memang terdiri dari pemain-pemain andalan sekolah. Mereka akan berhadapan dengan tim basket kelas 3 IPS 1 yang merupakan favorit juara juga. Sedangkan tim sepakbola 3 IPS 3 dikalahkan tim� kelas 3 IPA 1 di semifinal. Semua juga sudah memprediksikan itu. Damar dan Danu akan melawan tim debutan dari kelas 1.6 di final. �������
����������� Selama classmeeting itu juga, Hanum dan Danu saling mendukung satu sama lain. Sebagai sesama penyuka olahraga tentu mereka nanti akan menjadi pasangan yang sangat serasi jika bisa membawa kelas mereka menjuarai pertandingan kali ini. Namun mereka sepakat untuk tidak terlihat mencolok. Itu jika mereka tidak sedang sama-sama bertanding. Lapangan basket dan lapangan bola tempat mereka bertandang sama-sama berada di outdoor dan hanya terpisah oleh lorong penghubung perpustakaan dengan kelas 1.1 dan juga beberapa pepohonan di kanan dan kirinya. Lapangan basket berada di belakang kelas Damar dan juga terletak di depan kelas Hanum. Sedangkan lapangan bola berada di sudut jauh dari tempat biasa sekolah mengadakan upacara bendera. Mereka juga sepakat bahwa barang siapa yang nanti timnya bisa menjadi juara, maka dia harus mentraktir. Jika tim mereka sama-sama juara maka mereka akan gantian mentraktir.
�
�
�
����������� Pertandingan hari keempat pun digelar. Pertandingan final classmeeting sepakbola dan bola basket ternyata dilaksanakan di jam yang sama yaitu pukul sembilan pagi. Teriknya mentari di siang hari membuat kedua pertandingan final itu tidak bisa dilaksanakan bergantian. Tersisa sedikit kecewa di sudut hati Danu. Ia tak bisa melihat Hanum di pinggir lapangan untuk menyemangatinya. Itu karena Hanum harus bertanding juga dilapangan sebelah.
�
Rian yang melihat Danu terlihat lesupun lantas bertanya, "Kenapa kamu Dan?�
�
"Gapapa Bro. Sedih aja. Tak ada bunga-bunga segar yang sedap dipandang di pertandingan sebesar ini,� kelakar Danu sembari menengadahkan kedua telapak tangannya.
�
"Bunga lebih suka di tempat teduh dibanding di lapangan terbuka seperti ini Dan,� Rian menimpali.
�
Benar saja memang kata Rian. Melihat perempuan berlari-lari memasukkan bola ke keranjang lantas berteriak lebih mengasyikkan dibanding melihat pertandingan sesama lelaki yang penuh dengan umpatan dan berisiko berakhir ricuh. Sementara itu Danu sendiri masih belum menceritakan hubungan tertutupnya dengan Hanum. Makanya ia tak bisa berkata jujur tentang kegalauan hatinya. Namun ia bertekad untuk bisa memenangi laga final itu. Ia ingin mempersembahkan kemenangannya untuk kekasih tercintanya, Hanum.
����������� Dan ternyata memang benar adanya. Lapangan basket terlihat lebih riuh penonton. Yel-yel dan teriakan silih berganti bergemuruh memenuhi angkasa luas. Damar memilih tempat di pojokan sebelah kanan, tempat yang tak begitu dekat dengan lapangan. Ia keluarkan potongan kertas kecil dari saku celananya. Ia dekati kerumunan pendukung tim basket kelas 2.2. Ia pilih gadis yang paling kecil dan ligat. Ia minta tolong kepada sang gadis agar mau memberikan potongan kertas yang dilipat rapi kepada Hanum yang sedang bersiap-siap dengan timnya. Damar kembali ke tempat semula ia berdiri. Sementara itu sang gadis telah memberikan potongan kertas yang dilipat itu kepada Hanum. Hanum kaget menerimanya. Ia agak menjauh dari kerumunan timnya. Ia buka potongan kertas yang dilipat itu. Dibacanya dalam hati.
�
�
����������� Buat kamu yang akan bertanding sebentar lagi.
����������� Tuhan memberi hadiah kepada setiap manusia. Beberapa pandai menulis. Beberapa mahir menyanyi. Dan ada juga yang pandai membuat puisi. Dan aku rasa kamu mempunyai banyak hadiah dari Tuhan. Selain bisa membuat hari-hari seseorang menjadi lebih indah kamu juga jago main basket. Semangat ya !!!
����������������������������������������������������������������������������������������������������������� - DAP -
Hanum tersenyum lantas buru-buru menahannya. Ia takut jika ada yang memergokinya tersenyum-senyum sendiri karena merasa aneh menerima surat pendek dari entah siapa yang berinisial DAP itu.Ia malah melamun menerka-nerka siapakah sosok berinisial DAP. Ia pun teringat akan perkenalannya beberapa minggu yang lalu. Ini pasti dari Damar pikirnya. Ia tersadar kembali setelah Tati, pemain satu timnya menepuk pundaknya dan mengajaknya bersiap-siap karena sebentar lagi pertandingan dimulai. Ia menyapu pandang. Tak dijumpainya sosok Damar. Ia mencoba untuk berkonsentrasi kembali karena pertandingan final seperti ini perlu konsentrasi yang lebih. Terlebih riuhnya penonton di pinggir lapangan bakal cukup mengganggu. Meski sebenarnya masih kalah menganggu dibanding surat pendek dari pria yang dikiranya Damar itu.
����������� Pertandingan antara tim kelas 2.2 versus 3 IPS 1 berlangsung seru. Poin mereka saling berkejaran. Sementara itu Hanum benar-benar bermain tidak seperti biasanya. Ia tidak begitu berkonsentrasi karena beberapa kali melempar pandangan keluar lapangan. Entah apa yang ia cari, nyatanya ia memang tak bermain cukup baik. Dibabak akhir ia ditarik keluar. Ia hanya bisa menyemangati dari pinggir lapangan. Setelah 4 kali 10 menit waktu bersih berjalan, tim kelas 2.2 harus mengakui keunggulan tim kelas 3 IPS 1. Para pendukung tim kelas 3 IPS 1 pun bersorak gembira. Mereka memenuhi lapangan merayakan kemenangan. Kemenangan atas adik kelas setidaknya menandakan hegemoni kakak kelas terhadap adik kelas belum benar-benar pudar. Sementara itu Hanum tertunduk lesu. Ia lalu beranjak dari lapangan. Duduk di atas lorong agar lelahnya berkurang. Diambilnya air putih yang telah disediakan oleh teman-teman pendukungnya. Sang gadis yang tadi memberinya potongan kertas yang dilipat mendatanginya kembali. Ia memberikan potongan kertas yang dilipat lagi. Hanum menanyakan siapakah gerangan yang telah mengirimnya potongan kertas yang dilipat itu. Sang gadis hanya menjawab singkat. Kakak kelas yang berdiri di pojok kanan agak jauh dari lapangan. Hanum lantas melongok sebentar dan tak dilihatnya siapapun di sana. Ia lalu membuka potongan kertas itu dan membacanya.
�
�
Buat kamu yang sedang bersedih
����������� Tuhan memberi hadiah kepada setiap manusia. Dan aku rasa kamu mempunyai banyak hadiah dari Tuhan. Hadiah yang terambil hanya satu. Sementara masih banyak hadiah Tuhan yang masih ada padamu. Jika kamu mau, aku ingin mengajakmu makan bakso untuk mengobati kesedihanmu. Kutunggu setengah jam lagi di parkiran sepeda.
����������������������������������������������������������������������������������������������������������� - DAP �
�
����������� Hanum tak habis pikir. Itu artinya Damar sudah mempersiapkan semuanya. Bergegas ia menuju kamar mandi untukmengganti baju olahraga yang ia pakai dengan seragam sekolah lagi. Di dalam kamar mandi ia merasa resah. Tapi menolak seseorang yang mengajaknya makan makanan favoritnya tentulah tindakan yang sangatmerugi. Lagian rasa lapar sudah mulai menyerangnya. Selain itu ia juga merasa permainannya yang tak maksimal juga disebabkan surat dari lelaki itu. Jadi sangat wajar jika ia menuntut imbal balik atas performanya yang menurun itu. Setelah tampil cantik dengan seragam sekolah ia lantas masuk ke kelas lagi. Dilihatnya teman-temannya sedang asyik memperbincangkan apa saja terutama tentang kekalahan tim mereka. Tak ia lihat Hartati di situ. Segera ia keluar lagi dari kelas. Ia menengok kanan dan kiri berharap tak ada yang menguntitnya. Dilihatnya lapangan bola juga sudah sepi. Ia percepat langkah kakinya. Sebentar saja ia sudah di parkiran sepeda. Benar saja. Ada sosok Damar yang sepertinya sedang bertingkah seolah sedang memperbaiki sepeda. Berdiri saja ia di situdi depan sepeda. Damar yang mengetahui kehadiran Hanum segera berdiri.
"Hei, ga ganggu waktu kamu kan?" Damar agak kaget.
"Ga koq. Lagian sekalian pulang. Sudah tidak ada yang perlu dirayakan lagi. Tapi benar ya Mas makan bakso?� Hanum bertanya balik.
"Iya. Kecuali kalau kamu mau yang lain. Sate ambal, mie ayam, soto, dawet ireng? Asal tempat makannya bukan di Jogja aja." Damar menjawab.
"Sate ambal adanya malem kali Mas. Emang kenapa Mas kalau makan di Jogja?� tanya Hanum lagi.
"Iya kan jauh sekali. Kalau kita pake sepeda malam mungkin baru nyampe. Trus makannya kapan? Pasti warung bakso udah tutup semua. Masa kita harus ngetok-ngetok pintu rumah tempat penjual baksonya,� jawab Damar sambil nyengir.
Hanum hanya tertawa kecil mendengar penjelasan jayus dantak masuk akal Damar.� Tak terasa mereka sudah akrab sekali. Seperti sejoli yang sudah lama saling kenal. Mereka pun mengayuh sepeda mereka masing-masing. Damar di depan dan Hanum mengikutinya di belakang. Beriringan namun tak terlampau jauh. Sebelum sampai di pertigaan Prembun, Damar turun dari sepedanya. Hanum mengikuti di belakangnya.
"Mau Pak Jenggot atau Pak Kumis?� tanya Damar kemudian.
Memang di pertigaan itu terdapat dua penjual bakso berdampingan. Yang satu punya Pak Jenggot. Yang satunya lagi punya Pak Kumis. Entah ada hubungan saudara atau tidak kedua penjual bakso itu selalu ramai pengunjung. Mereka tak pernah merasa saling berkompetisi, terkadang malah saling membantu. Atau mungkin ini hanya strategi dagang mereka. Daripada harus buntung semua mending untung bersama-sama. Hanum berpikir sejenak sambil melihat-lihat kondisi kedua warung bakso itu.
"Pak Kumis saja Mas. Lebih sepi,� jawabnya.
Merekapun lantas menaruh sepeda di samping warung agar tak kepanasan kemudian masuk dan memilih mojok di samping jendela sehingga bisa melihat jernihnya aliran irigasi dan juga hamparan tanaman padi yang mulai menghijau. Tetiba Damar merasakan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ini pertama kali ia mengajak wanita yang bukan siapa-siapa makan bareng di warung bakso. Damar tak hendak mengungkapkan perasaan hatinya. Baginya bisa mendengarkan Hanum bercerita saja sudah sangat membahagiakannya. Ia lebih banyak mendengarkan. Dan kenyataannya Hanum banyak sekali bercerita kepada kakak kelasnya itu. Bercerita tentang pelajaran sekolah dan juga para gurunya. Bercerita tentang Pak Purnomo wali kelas Hanum saat ini. Rasanya melihat Hanum antusias bercerita sudah cukup bagi Damar. Hatinya tak bisa berbohong jika Hanum adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna yang pernah ia jumpai. Badannya tinggi semampai namun tak terlalu kurus. Wajahnya begitu rupawan tanpa cela. Kulitnya juga bersih tanpa noda. Bibirnya merah merona tanpa pewarna. Bicaranya halus dan tertata. Tak tersirat ada rona kesedihan yang terpancar di wajahnya. Sepertinya wanita itu memang jarang bersedih. Damar benar-benar terhipnotis oleh pesonanya. Tak terasa sudah setengah jam mereka berbincang. Siang semakin panas. Damar masih ingin duduk di situ. Kalau bisa ia tak ingin beranjak dari situ untuk waktu yang lama. Tapi toh waktu tak bisa dilawan. Hanumpun berpamitan terlebih dulu kepada Damar.
"Mas makasih ya traktirannya. Kapan-kapan Hanum nanti yang traktir," ucapnya sembari membungkuk dan menangkupkan kedua tangan.
Hanum keluar dari warung mengambil sepeda dan mengayuhnya melawati jalan menuju ke rumah. Mata Damar lekat mengikutinya hingga hilang di balik pepohonan. Ia masih saja duduk di situ. Memikirkan apa yang barusan ia lakukan. Bagaimana kalau ada orang dari desanya yang melihatnya duduk di warung berduaan dengan seorang perempuan cantik. Akan gempar desa jika sampai tersiar kabar, Damar anak Pak Paiman ternyata berani juga dengan perempuan. Bukannya pendiam dan tak pernah macam-macam. Ah entahlah. Lamunannya semakin liar.
����������� Hingga datanglah seorang lelaki gagah berkulit gelap menepuknya membuyarkan semua lamunannya. Ia kaget bukan kepalang. Rian berdiri di situ disampingnya, di dalam warung bakso. Kemudian menyusul beberapa personil tim sepakbola kelas 3 IPA 1. Diperkenalkannya satu tim sepakbola kelas 3 IPA 1 kepadanya termasuk Danu, meski sebagian besar dari mereka telah saling kenal. Rupanya kelas 3 IPA 1 memenangi pertandingan final melawan kelas 1.6. Jadi mereka makan bakso untuk merayakan kemenangan. Damar pun tak enak terlalu berlama-lama di situ. Ia lantas berpamitan kepada teman-temannya itu.
"Aku pamit dulu ya kawan-kawan,� ucapnya pada teman-teman IPA-nya itu.
"Sipp. Hati-hati ya Mar,� Rian mengantar keluar sampai tempat Damar menaruh sepeda. Damar pulang mengayuh sepedanya perlahan. Padahal hari terik sekali. Namun ia tak merasakan panas sedikitpun.
�
***
�
Hanum sendiri telah sampai di rumah. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang. Tak lekas juga ia berganti baju. Hatinya masih terbuai apa yang barusan terjadi. Didekapnya bantal erat-erat seolah tak mau ia lepas. Sementara itu alunan lagu ADA berjudul "Bilakah" yang diputar di Radio Indrakila FM menambah kedalaman lamunan Hanum. Berbagai �bila� ia lamunkan. Hingga pada bila menjadi semuanya indah pada akhirnya. Hingga pada suatu titik ia teringat akan sesuatu. Ia terperanjat lantas terduduk. Ia lepas bantal yang telah ia peluk tadi. "Astaghfirullah. Tadi aku kan janjian pulang sama Mas Danu. Kenapa sampai bisa lupa,�gumamnya.
Tentu mas Danu bakal kecewa. Iapun dirundung rasa bersalah yang dalam. Terlebih untuk balik lagi ke sekolah sepertinya tak mungkin.
"Mengapa aku menjadi bodoh begini,� gumamnya lagi.
����������� Matahari mulai berangsur tenggelam. Penyesalan Hanum masih� belum berkurang. Ia bertekad menjumpai Danu esok pagi. Mencoba memberi alasan terbaik agar kekasihnya itu tak kecewa. Ia merasa bersalah sekali. Telah menggoreskan luka yang perih pada hubungan mereka. Semua karena lelaki pendiam itu. Ah, sudahlah.
�
Harmoni
�
����������� Langit cerah menyambut hari Sabtu saat pembagian buku rapor. Tak perlu ada orangtua untuk pengambilan rapor di caturwulan pertama. Nanti saat caturwulan II dan III lah orang tua diperlukan untuk hadir. Damar tersenyum melihat nilai di rapornya. Nggakmuspro juga selama ini giat belajar. Pun dengan Rian, sahabat dekatnya. Nilainya membawanya menjadi juara kelas 3 IPA 1. Meski bukan juara pararel antar kelas. Nilai Hasan, anak kelas 3 IPS 1 juga tak jelek-jelek amat. Juara 2 Lomba Qori' tingkat Provinsi itu memang tak terlalu terobsesi dengan nilai mata pelajaran. Ia hanya ingin memperbanyak hafalan Alquran-nya agar bisa masuk Universitas Islam dengan harapan bisa ikut mendaftar beasiswa ke Mesir yang banyak ditawarkan melalui kantor Depag. Sementara itu Hartono, anggota terakhir Geng Kapak tampak sangat berbunga-bunga. Nilainya banyak mengalami kemajuan. Ia masuk 10 besar kelas 3 IPA 3, kelas IPA paling buncit. Cita-citanya sendiri sangat mulia. Menjadi guru di desa tempat ia dilahirkan. Menghabiskan sisa hidupnya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan bangsa ini berdiri. Dulu mereka berempat adalah murid-murid kelas 1.6 dengan nasib dan visi yang seragam. Sama-sama memprihatinkan namun mempunyai tekad sekuat baja. Di kelas dua mereka tercerai berai karena kebijakan sekolah yang mengacak ulang komposisi tiap-tiap kelas. Persahabatan mereka tak lekang oleh waktu. Meski dipisahkan olehkelas yang berjarak ribuan milimeter.
����������� Seperti liburan caturwulan sebelumnya, mereka telah merencanakan liburan bersama. Tak� muluk-muluk. Tak ke Bali, Sidney ataupun Baitul Maqdis. Hanya tempat-tempat wisata di sekitaran tempat sekolah mereka. Tak jauh-jauh juga. Cita-cita terjauh mereka hanya mau ke Jogja ketika nanti sama-sama sudah lulus sekolah. Ya, masih nanti ketika mereka telah sama-sama lulus. Liburan caturwulan kali ini mereka bersepakat untuk mengunjungi pantai Rowo yang letaknya tak jauh dari rumah Hasan di desa Sitibentar. Meski ini bukan kunjungan pertama, berkumpul bersama dengan sohib-sohib terdekat di kala beban pelajaran usai adalah nikmat tak terperi. Di momen seperti itu kadang mereka saling berbagi cerita dan keluh kesah selama menghadapi pelajaran di kelas masing-masing. Ataupun berbagi mimpi tentang kehidupan mereka di masa mendatang. Bisa juga saling berbagi cerita tentang hubungan percintaan mereka. Sayangnya mereka semua adalah bujang tak laku nan memprihatinkan. Kecuali Rian, tentunya. Cerita mereka hanya tentang obsesi memacari Si A, bunga kelas 3 IPS 2, atau jalan bareng si B adik kelas satu, atau ngajakin nonton si C teman sekelas tercantik. Iya, sekadar obsesi saja. Membayangkan di manapun saja. Toilet, kamar tidur, pinggir jalan, lapangan upacara, kantin, perpustakaan, atau bahkan ruang kelas. Tapi nihil di dunia nyata. Namun kali ada yang berbeda dengan Damar. Ada kebimbangan di matanya. Jujur tentang PDKT-nya yang itu berarti mensejajarkannya dengan Rian. Atau diam saja, namun memendam hasrat sendirian.
����������� Kurang lebih satu jam lamanya Damar mengayuh sepedanya menuju rumah Hasan. Sesampainya di sana ia lantas menaruh sepeda jengkinya itu di bawah pohon jambu. Sementara itu Rian dan Hartono sudah datang lebih dulu dan sedang asyik bergelayutan di atas pohon jambu air macam kera sakti. Mereka sedang mengumpulkan jambu untuk lutisan nanti sepulang dari pantai. Hasan sibuk menyiapkan minum dan juga camilan untuk sahabat-sahabat karibnya itu. Dipiring ada pisang, juga ubi rebus. Di toples kecil ada lanting gethuk yang gurih dan harum. Di toples lain terdapat juga balung kuwuk yang warnanya begitu menggoda. Di bumbui sambal merah menyala menyiratkan level pedas manis yang sempurna. Setelah puas mencicipi semua yang terhidang di meja merekapun berangkat ke pantai. Dengan berboncengan menggunakan sepeda hanya dibutuhkan waktu sekitar lima menit saja untuk sampai di rumah terakhir tempat mereka menitipkan sepeda sebelum sampai di pantai. Rumah itu hanya di tempati oleh mbokde tua yang sedang sibuk membelah kayu. Mereka dengan sopan meminta izin untuk memarkirkan sepeda di samping rumah. Sementara itu dari kejauhan suara gemuruh pantai selatan menggetarkan jiwa siapa saja yang belum pernah mendengarnya. Tapi tidak bagi mereka berempat terutama Hasan. Pantai selatan adalah tempat terindah bagi mereka menumpahkan keluh kesah dan masalah. Suara ombak yang menggelegar mampu menutupi teriakan-teriakan batin yang tertumpah. Seperti sahabat yang selalu bersahut-sahutan menciptakan harmoni. Mereka harus berjalan sepanjang 200 meter agar benar-benar bisa menyentuh bibir pantai.
����������� Dari kejauhan tampak hamparan padang pasir terbentang luas. Di puncak hamparan pasir, baru mereka bisa melihat gagahnya ombak pantai laut selatan yang bergulung-gulung. Pasirnya yang hitam bak berlian hitam yang tampak indah di bawah sinar mentari. Kilatan-kilatan dari cangkang kerang yang berserakan membuat mata silau. Begitu pun gulungan yang berlarian berkejar-kejaran terhempas angin seperti sedang ikut perlombaan lari saja. Tak sabar mereka berempat mendekati bibir pantai. Namun mereka tetap dalam kesiagaan penuh karena ombak pantai selatan tersohor keganasannya. Berjalan mereka menyusuri bibir pantai sembari bercerita apa saja. Lalu berkejar-kejaran seperti anak ayam yang sedang mengejar induknya. Lelah berlari mereka merebahkan diri di gundukan pasir dan bebatuan sambil menatap langit yang membelakangi sinar matahari. Hasan mendekati Hartono seperti hendak menceritakan sesuatu yang penting.
"Menurutmu Ton, setelah bapakku meninggal setahun lalu, aku lebih baik meneruskan tugas bapak atau tetap mengejar apa yang aku cita-citakan? Pihak pondok menginginkan agar aku meneruskan tugas bapak mengajar. Sementara kuliahnya di STAINU di kabupaten saja. Sementara penginku sih di IKH Jombang sambil membuka jalan agar bisa kuliah ke Mesir." Hasan membuka pembicaraan.
"Ibumu sendiri gimana?� Jawab Hartono.
"Ibuku sih menyerahkannya padaku,� Hasan menimpali.
"Kamu kan yang menjalani. Ibumu juga tidak mempermasalahkannya. Lalu apalagi yang membuatmu bimbang?� Hartono bertanya balik.
"Aku khawatir dengan biayanya Ton. Apakah Ibuku yang sendirian bisa membiayai awal-awal kuliahku sementara adik-adikku juga perlu biaya sekolah. Sementara itu jika aku nerusin bapak, itu artinya aku juga membantu ibu. Padahal sejak kecil aku sudah pengin banget keluar dari lingkungan pondok. Aku� pengin menimba ilmu langsung kepada para kyai di pesantren-pesantren modern di Jawa Timur sana. Aku pengin ke Tebu Ireng, Ton. Pengin bisa kuliah di Mesir. Pokoknya pengin menimba ilmu sebanyak-banyaknya,� Hasan bercerita dengan berapi-api.
"Lebih baik kamu sholat Istikharah aja, San. Itu lebih baik. Nanti ketika kamu memutuskan untuk pergi dari pondok, pastikan Ibumu ridho dan ada yang jagain,� Hartono memberi nasihat pamungkasnya.
Pikiran Hasan pun menerawang jauh. Melanglang buana tak tentu arah.
"Andaikan ada saudagar kaya yang masih mau menikahi Ibu dan tentunya baik lagi, tentu aku tak perlu sebimbang ini," gumamnya lirih.
"Jangan kurang ajar kamu, San!� Hartono menimpali sambil menaburkan pasir ke arah Hasan. Merekapun tertawa menertawakan kelakuan mereka masing-masing.
"Kamu sendiri yakin Ton, mau jadi guru. Ngomong aja susah lantas gimana nanti menghadapi murid?� tanya Hasan pada Hartono yang mengingatkannya akan kekurangannya itu.
Hartono memang sedikit gagap. Mungkin itu yang menyebabkan banyak murid malas berbicara dengannya. Tapi tidak dengan Geng Kapak. Mereka tak mempermasalahkan kegagapannya itu, kecuali disaat-saat kegagapannya itu perlu dibicarakan seperti saat ini tentunya.
"Jadi guru itu modal utamanya kan bukan cuma lancar berbicara. Tapi lulus UMPTN dulu. Aku juga sedang belajar berbicara biar tidak gagap.� jawab Hartono dengan susah payah meski masih ada sedikit gagap yang tersisa.
"Emangnya kamu yakin lulus UMPTN?� ejek Hasan pada temannya itu.
"Aku sudah mempersiapkannya dari jauh-jauh hari ndes. Aku sering belajar bareng Rian, sohib kita yang jenius tuh," sambil menunjuk ke arah Rian yang tampak serius berbicara dengan Damar di balik bebatuan yang letaknya agak jauh dari bibir pantai.
"Setidaknya kamu siapkan rencana cadangan. Kecuali kalau kamu mau di IKIP swasta. Persaingan di IKIP negeri sekarang lebih ketat. Passing Grade-nya tinggi-tinggi. Sekarang ini banyak yang pengin jadi guru,� Hasan mencoba memberi pencerahan.
"Iya juga ya, San." Hartono membenarkan.
"Apalagi sekarang IKIP sudah banyak yang berubah jadi Universitas. Jurusannya ga cuma pendidikan saja,� ucap Hasan memperjelas.
Banyak sekali kesempatan yang tersedia di muka bumi ini. Ia tak ingin terpaku hanya menjadi guru sekolah ketika persaingannya menjadi lebih berat. Terlebih dengan kekurangannya dalam berbicara. Namun ia tetap akan berusaha sekuat tenaga mewujudkannya. Tak ada sesuatu yang tidak mungkin. Jika seorang yang terlahir miskin bisa menjadi seorang konglomerat, orang yang terlahir gagap tentu tidak mustahil bisa menjadi pembicara ulung,� pikirnya membesarkan hati.
Tak jauh dari situ Rian dan Damar sedang asik berbincang. Apalagi yang keluar dari mulut lelaki tanggung kalau bukan soal perempuan, perempuan dan perempuan.
"Kamu masih belum lelah mengejar Mentari, Rian?� tanya Damar.
"Belum,dap. Meski kadang aku juga bimbang. Diah si imut nan ceria itu lama-lama juga semakin menarik. Kadang aku� kasihan sama Diah,� jawab Rian sambil tersenyum kecil.
�"Kamu sudah pernah ngomong serius dengan Mentari. Atau jangan-jangan kamu cuma TP-TP saja?� tanya Damar lagi.
"Pernah sekali. Perasaan kita sama sob. Cuman ia bilang ingin fokus dulu dengan sekolah. Ia akan ikut PMDK ambil Pendidikan Bahasa Inggris. Pak Sudi penghalangnya kawan.� jawab Rian dengan muka sedih.
"Itulah risiko menyukai anak kepala TU yang tiap harinya tahu keseharian kita. Lagian ada kue marta di depan mata, mengapa harus menunggu mendo yang digoreng pun belum." Damar menggoda sahabat terbaiknya itu.
"Aku tak begitu suka martabak. Aku sukanya mendoan." Rian menimpali sambil tertawa lebar.
"Kamu sendiri memang ingin fokus mengejar cita-citamu atau memang tak suka perempuan?� Rian balik menggoda.
"Kurang ajar kamu, Yan. Pada awalnya aku memang sungguh-sungguh fokus belajar. Buktinya kita kan bisa jadi lawan yang sepadan. Dulu di kelas satu kita selalu gantian jadi juara kelas meski kamu dua kali dan aku cuma sekali. Namun sekarang semuanya berubah kawan. Aku ga tahu, Yan. Ini cobaan atau berkah. Aku jatuh hati pada seorang perempuan,� Damar membuka tabirnya perlahan.
"Apa? Ga guyon kamu, Mar,� ucap Rian kaget.
Ia pun menggeser posisinya mendekati Damar hingga benar-benar pada posisi yang sangat menjijikkan.
"Yang pasti itu Normal. Kalau boleh tahu siapa sih wanita yang bisa menaklukkan sang pujangga di geng kita ini?� tambah Rian penasaran.
"Tapi kamu janji ya jangan sampai orang lain tahu. Karena aku sendiri juga bimbang. Apakah tepat di saat-saat seperti ini menyatakan cinta. Sepertinya dia juga menyukaiku. Aku sudah mengajaknya kenalan di perpustakaan dan sudah dua kali kuajak jalan. Tak pernah ia menolak,� Damar berucap dengan sangat amat yakin.
"Memang suka atau sekadar kagum? karena pria pendiam dan pintar sepertimu tentu membuat penasaran para wanita,� ejek Rian sambil tersenyum sinis.
"Yang jelas aku bakalan ngomong. Menunggu waktu yang tepat. Oh iya, dia itu adik kelas kita, Rian. Anak kelas 2.2." Damar menjelaskan.
"Jangan-jangan Hanum ya. Mar? Juara pararel kelas satu dulu?� Rian tambah penasaran sekaligus kaget. Damar hanya mengangguk.
"Ya Allah, Mar. Dia itu murid paling pinter dan cantik di kelas dua. Siapa sih ya ga kedanan sama dia. Kamu tahu ga gosipnya sudah ada tujuh siswa yang ditolaknya mentah-mentah.�
Rian bangkit dari posisinya dan berganti duduk biar ga dikira pasangan penyuka sejenis sambil menunjukkan ketujuh jarinya sebagai penegasan. Damar semakin heran dengan dirinya sendiri. Jadi selama ini gadis berwajah kaca itu sudah menjadi idola seantero sekolah. Mengapa ia tidak tahu. Atau memang tidak mau tahu. Dan seingatnya tak pernah ada siswi juara sekolah bernama Hanum saat pemberian penghargaan siswa-siswi terbaik sekolah di awal tahun pelajaran. Dan herannya lagi mengapa ia baru mengenal gadis itu sekarang di tahun terakhirnya bersekolah.
"Aku semakin bimbang, Yan. Di saat aku harus fokus mengapa juga perasaan ini datang?" Damar mendesah.
"Yah Sebaiknya kamu fokus dulu saja. Nanti setelah kelulusan kamu bisa mengutarakan perasaanmu,� Rian memberi saran.
"Apa itu tidak egois, Rian. Apa artinya nanti ketika aku sudah lulus trus kita harus berpisah. Apa itu tidak kejam?� Damar balik bertanya.
"Terus sekarang kamu mau �nembak� dia. Lalu kalian pacaran. Itu kalau cintamu tak bertepuk sebelah tangan. Terus kamu lupa dengan apa yang sudah kamu cita-citakan selama ini. Fokus, Mar! Fokus! Jika nanti kamu gagal kamu mau menyalahkan keadaan. Apa itu tidak lebih kejam. Menurutku, Mar, hidup itu harus memilih. Dan perasaan suka itu tidak berarti harus pacaran runtang runtung berduaan terus. Kamu tahu kan bagaimana perasaanku pada Mentari? Dari kelas satu aku mencintainya. Dia juga mencintaiku. Bahkan sampai sekarang status kita tak juga menuai kejelasan. Kita sama-sama tahu posisi kita masing-masing. Kita punya komitmen untuk memberikan yang terbaik untuk orang-orang terdekat kita sebelum pendapat kita dihargai oleh mereka. Aku sendiri ingin membuktikan kepada Pak Sudi, Ayah Mentari bahwa aku bisa menjadi seseorang yang berguna sebelum aku memacari anak gadisnya itu,� Rian mengakhiri ceramahnya.
Damar berpikir keras. Benar apa yang dikatakan Rian. Manusia harus berbuat dulu supaya bisa diakui. Cinta memang tentang bukti. Kalau cuma tentang suara yang keluar dari mulut, anak SD pun bisa menyatakan cinta. Wajah bapak dan mamak bergantian melintas di angannya. Ia tidak ingin kalah oleh perasaan cintanya. Ia ingin membuktikan juga pada Hanum bahwa ia pantas mendapatkan hatinya. Ia mengakhiri percakapan itu dengan perasaan bimbang.
����������� Matahari semakin terik. Hamparan pasir makin terasa hangat. Keempat sahabat karib itu memutuskan untuk menyudahi perjalanan mereka. Merekapun balik ke rumah Hasan untuk mempersiapkan lutisan seperti yang telah mereka rencanakan sedari pagi. Di dapur, rupanya Bu Marni, ibunya Hasan telah menyiapkan sayur asem, sambal terasi dan ikan asin untuk makan siang mereka. Hasan pun mengajak sahabat-sahabatnya itu menghabiskan hidangan yang telah disajikan di meja makan. Sayur asem, sambal terasi dan juga ikan asin merupakan salah satu kombinasi kenikmatan yang khusus diturunkan oleh Tuhan ke tanah Jawa. Dan para pemuda lapar itu laksana para pemburu kenikmatan yang berhasilmendapatkan buruannya.
Dan benar saja, tak tersisa sedikitpun makanan yang telah tersaji itu. Sementara itu matahari telah benar-benar pada titik tertinggi. Adzan Dhuhur pun bergema. Sehabis makan siang keempat sahabat itu menunaikan sholat berjamaah di masjid pondok dekat rumah. Tak begitu banyak yang berjamaah di masjid itu karena memang sedang musim libur sekolah. Banyak para santri yang berlibur di kampung halaman. Palingan hanya beberapa santri, para pengajar dan masyarakat sekitar yang ikut memakmurkan masjid. Setelah selesai, kemudian mereka kembali lagi ke rumah. Sembari menunggu berkurangnya sengatan sang mentari yang membakar bumi, mereka melanjutkan obrolan mereka. Hari ini adalah hari terakhir libur caturwulan mereka. Esok Senin mereka harus berjibaku lagi dengan mata pelajaran yang bakal diujikan kurang lebih tujuh bulan lagi.
����������� Jam pun sudah menunjukkan pukul dua siang. Damar, Rian juga Hartono berpamitan kepada Hasan dan Ibunya. Liburan mereka usai sudah. Mereka akan kembali kepada rutinitas masing-masing. Begitu pun Damar. Ia kayuh sepeda jengkinya pelan-pelan. Di perjalanan pulang dijumpainya banyak para santri turun dari angkutan umum dan berjalan berkelompok menuju pondok pesantren dekat rumah Hasan. Ia membayangkan kejadian enam tahun lalu. Ia diberi pilihan antara sekolah atau mondok. Bapakingin Damar dibesarkan di pondok sementara mamak berharap kebalikannya. Mamak ingin Damar tetap di rumah agar bisa membantu kedua orang tuanya. Mamak juga ingin agar Damar tahu kerja keras orang tua mereka dalam mencari nafkah. Mamak ingin agar nilai-nilai luhur tertanam begitu rupa di rumah mereka. Tidak hanya pulang saat butuh uang saja. Perdebatan itu berakhir pada keputusan Damar sendiri. Ia tahu bahwa mamak keberatan kalau selulus SD harus berjauhan dengannya. Ia tahu mamak sangat menyayanginya dan tak ingin buru-buru berpisah dengannya. Ia akhirnya ingin tetap bersekolah dan tinggal di rumah. Ia punya hasrat terpendam menjadi seorang dokter. Namun hasrat itu tak pernah keluar dari mulutnya. Ia sadar diri jika cita-citanya itu akan sangat memberatkan orang tuanya. Ia tak ingin kedua orang tuanya menyesal jika tak bisa mewujudkan cita-citanya. Semakin lama mengayuh, pikirannya semakin beraneka rupa macamnya. Ia malah jadi teringat pada Hanum. Ia tak bisa fokus apalagi setelah mendengar penuturan Rian, sahabatnya. Cinta itu tentang pembuktian bukan tentang ucapan. Cinta itu tentang memberikan perhatian yang tak kenal lelah. Ibarat membuka pintu gerbang istana yang tak bisa sekali dorong. Sejam kemudian ia telah sampai di rumah. Tak dijumpainya bapak dan mamak. "Pasti sedang di kebun,� gumamnya.
Segera saja ia tuntaskan semua pekerjaan rumah dari mulai menyapu, mencuci piring hingga memasak. Tentu mamak akan senang sekali ketika pulang dari kebun semuanya sudah rapi. Setelah selesai ia mengambil wudhu untuk sholat Ashar.
����������� Minggu malam yang selalu di tunggu-tunggu oleh Damar sebentar lagi tiba. Apalagi kalau bukan karena tayangan Lega Calcio di RCTI. Sebagai seorang Romanisti, Damar sangat yakin Pasukan Roma yang dipimpin Sang Pangeran Francesco Totti dan juga bomber maut Gabriel "Omar" Batistuta bakal sanggup berjaya menjadi kampiun sebagaimana misi mustahil yang menjadi nyata yang telah dilakukan oleh tetangga sekaligus rival mereka, Lazio pada musim lalu. Ia juga yakin dengan ramuan Allenatore eks AC Milan mereka, Fabio Capello yang terbukti membuat permainan sang Serigala Ibukota begitu impresif sejak awal musim. Ia tak sabar menunggu jam delapan malam saat kick off dimulai. Menonton bola adalah pelipur lara baginya ketika beban pelajaran dan pekerjaan di kebun terasa melelahkan.
�
*
�
����������� Senin pagi tak menghadirkan mendung sama sekali. Berkebalikan dengan kebiasaan di akhir tahun yang akrab dengan hujan. Langit begitu cerah menyambut hari pertama sekolah di Caturwulan II. Hilir mudik sepeda, angkot dan beberapa bus antar kota meningkat di pagi hari, menuju beberapa sekolah di kecamatan. Rian mengayuh sepedanya sepanjang tiga kilometer menuju sekolah. Ia mengebut bukan karena terburu-buru namun semata-mata karena itu hobinya. Ia senang berkompetisi dan tidak suka dengan keterlambatan. Setelah sampai sekolah ia sandarkan sepeda jengki warna biru mengkilatnya itu di bagian paling depan, agar tak jauh ketika nanti pulang. Ia pun masuk kelas dan duduk di kursi tempat ia biasa duduk. Ia memikirkan peristiwa hari kemarin. Ia masih tak percaya dengan pengakuan Damar, teman karibnya. Teman yang dilihatnya pendiam itu bisa-bisanya jatuh cinta. Dengan kembang sekolah lagi. Ia masih ingat akan cerita si Kalong beberapa bulan yang lalu yang begitu gigih dengan cita-citanya. Hingga harus berselisih paham dengan Pak Purnomo, wali kelasnya karena tak mau masuk IPA. Sepertinya aneh saja, seorang siswa pandai di sekolah dan tak pernah dekat dengan seorang murid perempuan pun bisa jatuh cinta di saat-saat terakhir. Ada kekhawatiran dalam dirinya. Biasanya pria yang baru pertama jatuh hati lalu kecewa akan terlalu lama larut dalam derita jika saja cintanya tertolak. Apalagi ia tak yakin akan nasib sahabat karibnya itu di saat berita tentang penolakan Hanum kepada setiap lelaki yang mendekatinya telah menjadi cerita dimana-mana. Ia takut Damar akan jatuh. Jatuh di saat pendakiannya hampir mencapai puncak. Tak bisa menjadikan pedihnya rasa sakit karena cinta sebagai cambuk untuk memperbaiki hidup. Ia tersadar dari lamunannya ketika seorang lelaki berperawakan besar dan berkulit putih menepuk bahunya kemudian bertanya,
"Hai. Gimana liburanmu?�
Lelaki itu adalah Danu. Teman sebangkunya. Rian tak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil.
"Aku mau nanya sesuatu sama kamu,� kata Danu sambil duduk di kursi samping Rian.
Sekali lagi Rian hanya tersenyum. Meski pada akhirnya ia menjawab,"Lagian baru aja dateng udah tanya-tanya. Emangnya kamu mau nanya apa?�
"Tentang perempuan. Bagaimana kita bisa tahu kalau kekasih kita itu benar-benar mencintai kita atau tidak?� tanya Danu.
Rian tak langsung menjawab. Ia tak habis pikir. Saat-saat menjelang ujian mengapa teman-teman dekatnya malah sibuk dengan perempuan.
"Siapa yang kamu maksud sebagai kekasihmu itu, Dan?� Rian penasaran.
"Ok. Aku mau cerita. Tapi kamu adalah orang pertama di sekolah ini yang tahu dari aku. Dan aku harap kamu menyimpan rahasia ini. Kamu tahu Hanum, kan? Perempuan paling cantik di sekolah kita. Kita udah jadian sejak dua bulan lalu. Tapi dia pengin ngebackstreet hubungan kita. Ia tak ingin banyak orang tahu. Kalau memang sayang kenapa mesti diam-diam. Menurutmu apa dia benar-benar mencintaiku, Yan?�
Danu berbicara pelan malah seperti berbisik. Rian terperanjat. Ia mencoba menutupi keterkejutannya. Otaknya yang brilian dapat menangkap dengan jelas apa kira-kira yang sedang terjadi. Dunia memang sudah benar-benar edan. Semua seperti sebuah kebetulan saja. Dua sahabatnya terlibat pertarungan asmara dalam lorong gelap tak bercahaya. Tak tahu lawan dan tak tahu kawan. Otaknya berpikir keras. Danu jadian dengan Hanum dua bulan lalu. Mereka tak mau banyak orang tahu mengenai hubungan mereka. Damar mendekati Hanum. Damar yakin akan cintanya pada Hanum yang tak bertepuk sebelah tangan. Bahkan mereka telah pergi bersama lebih dari dua kali. Rasanya ia ingin langsung menanyakan itu kepada Hanum. Sayangnya mereka tak saling kenal. Apa sekadar berkenalan dengan Damar dan pergi bersama itu sudah berselingkuh. Lantas mengapa Danu menceritakan hubungan senyapnya dengan Hanum kepadanya. Pasti ada yang dipikirkan oleh Danu. Danu menepuk pundak Rian untuk kedua kalinya lalu bertanya.
"Koq kamu malah melamun?�
Rian terkaget untuk kedua kalinya. Ia pura-pura berpikir dengan lebih serius.
"Kamu ga yakin, Dan, dengan hubungan kalian?� tanya Rian kemudian.
"Bukannya ga yakin. Cuma ada yang aneh saja. Kamu ingat waktu kita makan bakso di warung Pak Kumis setelah kita juara classmeeting? Pas ketemu temen kamu yang anak IPS itu. Sebenernya waktu itu aku udah janjian buat nraktir dia. Tapi setelah pertandingan selesai kucari ia di kelasnya, tapi tak kujumpai sama sekali. Makanya aku mau mengikuti ajakan kalian untuk makan bakso bareng merayakan kemenangan. Esoknya ia meminta maaf karena sudah lupa janji. Bilangnya kelelahan dan langsung pulang karena kecewa kalah bertanding. Cuma aku agak curiga saja. Belum dua bulan kita jalan masa janji seperti itu saja lupa,� jawab Danu.
"Ya menurutku sebaiknya kamu tanyakan saja pada Hanum. Atau bisa saja� itu cuma perasaanmu saja,� singkat Rian memberikan solusi atas kebimbangan Danu sekaligus mengalihkan pembicaraan. Ia tidak suka berada pada posisinya sekarang.
Menurutnya lebih baik mencangkul sawah seluas seratus ubin dibanding menjadi saksi kekisruhan asmara seperti ini. Bel tanda masuk menghentikan obrolan mereka. Jam pertama adalah pelajaran Pendidikan Agama Islam. Rian masih kepikiran dengan kejadian kemarin juga percakapan barusan yang memang berhubungan. Kekhawatirannya kepada Damar bertambah lagi. Bagaimana perasaan lelaki yang tengkuknya dipenuhi bulu tak beraturan itu, kalau nantitahu ternyata Hanum telah menjadi kekasih Danu sejak dua bulan yang lalu. Atau bagaimana perasaan Danu jika ia tahu Hanum telah jalan beberapa kali dengan Damar. Atau malah berpacaran di belakangnya? Apakah itu bukannya pengkhianatan? Ia semakin menjadi serba salah.
�
Perbincangan Dengan Ayah
�
����������� Hanum, Ibu dan Ayah berbincang santai di ruang tengah. Isya sendiri sudah lewat beberapa menit yang lalu. Mereka memperbincangkan banyak hal sembari menonton TV. Memilih-milih acara yang kira-kira menarik perhatian mereka. Tak begitu lama kemudian jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Ibu beranjak menuju kamar. Ia lelah mengurus rumah seharian makanya selalu cepat tidur. Ayah dan Hanum masih asyik melanjutkan perbincangan mereka. Di saat-saat berdua seperti itu biasanya Ayah bisa bebas menanyakan apa saja pada Hanum. Ayah meminta perhatian Hanum. Ia menyuruh Hanum mematikan TV.
"Ayah ingin menanyakan sesuatu," ucapnya.
Hanum pun mengambil remote dan langsung mematikannya.
"Ayah pengin ngobrolin apa?� tanya Hanum pada Ayahnya yang gaul dan amat dicintainya itu.
"Apa ada yang mengganggu hatimu, Nduk. Nilai rapormu turun. Kamu juga sering mengurung diri di kamar?� tanya Ayah kemudian.
"Hanum bingung memulainya, Yah,� jawab Hanum lantas terdiam beberapa saat.
Ayah yang tahu anak gadisnya sedang bimbang mencoba memahami perasaannya itu. Ia beranjak ke dapur untuk mengambil segelas air minum dan memberikannya pada Hanum. Hanum menatap lekat-lekat wajah ayahnya.
"Jika kamu tak mau cerita sekarang ya gapapa, Nduk,� Ayah mencoba bijak.
"Hanum bingung, Yah. Hanum pacaran sama Mas Danu. Tapi makin ke sini Hanum semakin kasihan sama Mas Danu,� Hanum membuka cerita.
"Kenapa mesti kasihan?� tanya Ayah penasaran.
"Pada awalnya Hanum menerima Mas Danu karena Hanum kasihan sama Mas Danu. Hanum berharap perasaan cinta akan tumbuh seiring jalan. Pada kenyataannya Hanum cuma bisa menganggap Mas Danu sebatas kakak saja,� jawabnya polos.
"Itulah mengapa sebenarnya Ayah ga suka kalau kamu pacaran. Tapi Ayah sudah menganggapmu dewasa dan bisa bertanggungjawab atas pilihanmu sendiri. Makanya Ayah tak melarangmu. Ayah juga pernah semuda kamu, Nduk. Ayah berharap kamu bisa bersikap." Ayah mencoba membuka kesadaran Hanum.
"Sepertinya Hanum sudah salah sejak awal ya, Yah? Sementara kalau harus mengakhiri sekarang Hanum tak bisa. Mas Danu sebentar lagi ujian akhir,� Hanum melanjutkan ceritanya.
"Ayah ingin kamu banyak belajar dari kejadian ini. Kamu boleh pacaran, tapi prestasimu tak boleh terus turun. Lantas apa gunanya pacaran jika itu berdampak negatif. Kamu sudah dewasa lo, Nduk. Kamu harus bisa memilih. Tahun lalu kamu juara sekolah. Kamu masih mau jadi Dokter to? Hal-hal seperti itu wajar terjadi di masa mudamu. Yang penting kamu harus selalu bisa belajar darinya dan bangkit lagi,� nasihat Ayah kemudian.
Ayah sebenarnya ingin melarang anak gadis satu-satunya itu untuk pacaran. Baginya Hanum masihlah sangat kecil. Namun ia melihat lelaki yang memacari anak gadisnya bukanlah lelaki yang tak punya etika. Lelaki itu selama ini bersikap baik pada anak gadisnya. Ia juga teringat akan dirinya sendiri saat dulu mendekati Tanti, istri sekaligus Ibu Hanum sekarang. Ia mendekati Tanti saat ia seumuran dengan Hanum. Namun ia tak begitu beruntung. Butuh waktu hingga 10 tahun untuk membuktikan bahwa ia benar-benar layak bagi Tanti.
Hanum memikirkan dalam-dalam apa yang Ayahnya katakan barusan. Baginya ayahnya adalah ayah terbaik yang ada di muka bumi. Sementara itu ia sendiri adalah perempuan dewasa yang dalam hitungan hari akan berumur enam belas tahun. Bisakah ia perlahan-lahan menjadi sosok yang benar-benar diandalkan. Ayah lantas menyuruh Hanum untuk lekas tidur karena esok hari harus pergi ke sekolah seperti hari-hari biasanya. Ia pun masuk kamar. Ada hal lebih besar yang tak ia ceritakan ke Ayahnya. Yaitu tentang lelaki pendiam bermata cokelat yang telah menyusup ke bagian terdalam hatinya. Yang telah menghipnotis kesadarannya saat berjumpa. Nalarnya telah kalah. Bukan oleh kebimbangan tentang Danu. Tapi tentang kehadiran lelaki pendiam di waktu yang sangat tidak tepat.
����������� Hanum bangun pagi-pagi sekali. Ia telah bersiap-siap berangkat ke sekolah. Ayah dan Ibu duduk di ruang keluarga sambil menonton TV. Sebagaimana kebanyakan lelaki paruh baya di ujung negeri di manapun, Ayah sedang asyik menyeruput kopi buatan Ibu. Ditemani pisang goreng terasa lebih mantap rasanya. Ibu sibuk memisahkan daun kangkung dari batangnya dengan kedua tangannya. Ayah juga sibuk mengomentari berita di televisi. Berita politik di TV didominasi oleh perseteruan antara Presiden Gusdur dengan Ketua MPR Amien Rais. Agak memprihatinkan memang. Di awal-awal reformasi seperti ini bangsa ini belum juga menemukan formula yang tepat demi akselerasi pembangunan di segala bidang. Mengejar ketertinggalan akibat krisis moneter yang mendera. Sementara itu berita internasional masih didominasi riuhnya pemilihan Presiden Amerika Serikat yang diikuti oleh Wapres Al Gore dari kubu Demokrat melawan Gubernur Texas George W. Bush dari kubu Republik. Ayah berpendapat jika sistem politik kita tak keblabasan seperti sekarang ini dan suksesi kepemimpinan di Indonesia bisa meniru Negeri Paman Sam sebagai "role model" tentu tak akan terlalu banyak pertikaian antar elit politik seperti yang terjadi saat ini. Kericuhan hanya cukup di tingkat partai politik. Pejabat publik hanya akan sibuk bekerja. Masyarakat awam akan mendapatkan figur negarawan yang sejuk dan bisa dijadikan panutan.
����������� Hanum berpamitan kepada ibu dan ayah. Ia mencium tangan kedua orang yang amat dicintainya itu. Dikayuhnya sepeda menuju sekolah. Di persimpangan jalan desa, Danu sudah menunggunya. Setelah mereka jadian, semakin sering saja Danu menungguinya. Mereka lantas mengayuh sepeda beriringan menuju sekolah. Danu selalu mempedulikan Hanum. Dibawakannya sarapan kalau-kalau Hanum tak sempat sarapan. Tak enak hati Hanum menolaknya. Jika ia merasa sudah kenyang maka akan dimakannya saat jam istirahat nanti. Kadang saat tak bernafsu ia berikan kepada teman-temannya.
"Ibu bikinin ager-ager cetak buat kamu,� Danu mengulurkan tangannya memberikan kotak makanan pada Hanum.
"Makasih ya, Mas. Tapi nanti dulu. Jangan-jangan Ibumu seneng kalau aku jadi tambah gemuk? Masa tiap kali ngasih pasti makanan,� tanya Hanum. Danu hanya terkekeh.
"Ya enggaklah. Ibu memang bikin kue tiap hari. Untuk dijual di kantin sekolah. Makanya ngasihnya kue. Kalau Ibu jual beras, mau kamu mas kasih beras?� ledek Danu kemudian.
"Mau aja. Nanti aku jual trus buat beli bakso,� Hanum membalas manja. Mereka melanjutkan obrolan sambil mengayuh sepeda.
"Oh ya Hanum, Mas pengin tanya sesuatu ke kamu? Tapi Hanum jangan marah ya?� tanyanya.
"Kenapa mesti marah mas. Aku kan bukan nenek sihir yang gampang marah. Lagian kapan mas Danu lihat Hanum marah. Tak pernah kan?�� Hanum menjawab heran.
"Kenapa orang-orang tak boleh tahu tentang hubungan kita Hanum. Akhir-akhir� ini kamu juga sering melamun. Bahkan saat kita ngobrol. Termasuk lupa janji pulang bareng waktu itu?� tanya Danu hati-hati.
"Hanum cuma pengin hubungan kita tak berpengaruh buruk pada sekolah kita. Toh yang punya hubungan kan kita, Mas. Mas Danu sendiri sebentar lagi ujian juga? Kita tak harus memaksakan diri untuk selalu bareng, Mas. Hanum ga keberatan jika terkadang Mas Danu lebih fokus ke persiapan ujian. Hanum hanya ingin hubungan kita ini sehat, Mas,�� jelasnya.
"Oh iya terkait janji pada waktu itu, Hanum minta maaf banget sama, Mas. Mungkin karena kekalahan di final membuat Hanum jadi sedih. Jadi lupa deh sama janji kita,� tambahnya dengan memasang muka memelas.
"Benar juga ya. Mas juga pengin hubungan kita ini sehat. Apa artinya jika sekarang ini kita bareng terus tapi sekolah kita terbengkalai. Cita-cita kita tak ada yang kesampaian,� Danu mengiyakan perkataan kekasihnya itu.
"Sekarangkan dasarnya kepercayaan. Hanum percaya sama Mas. Kalau Mas percaya sama Hanum, hubungan kita akan baik-baik saja. Sampai nanti saat kita sama-sama meraih cita-cita kita masing-masing,� ucapnya untuk meyakinkan.
"Memang cita-cita Hanum apa?� tanya Danu tiba-tiba pada kekasihnya itu.
"Dokter. Kalau, Mas?� Hanum bertanya balik.
"Suami Dokter,� goda Danu kemudian.
"Awas kamu ya, Mas. Hanum tak mau punya suami yang hanya mau numpang hidup,� jawabnya kesal mendengar jawaban kekasihnya itu.
����������� Tak terasa sampai juga sepasang kekasih itu di sekolah. Danu memarkirkan sepedanya terlebih dahulu. Hanum memarkirkannya agak terpisah. Ketika sampai sekolah mereka memang agak mengurangi kemesraan mereka, tidak seperti saat di luar sekolah. Mereka lantas memasuki ruang kelas masing-masing. Menghabiskan hari dengan pelajaran sekolah yang tak pernah ada selesainya
�
Pemberian
�
����������� Hanum berlari-lari kecil dari parkiran sepeda menuju kelas 2.2. Mukanya sedikit berkeringat meski hari masih pagi. Ketika berlaripun ia tetap kelihatan cantik dengan rambut yang terombang-ambing oleh angin. Sementara itu tasnya yang tak terlalu kencang bergoyang menandakan bahwa tas itu telah penuh oleh buku pelajaran. Bel tanda masuk telah berbunyi saat ia baru saja sampai parkiran tadi. Ia tak ingin kalah start dibanding Bu Sinta, guru Bahasa Indonesia yang terkenal sangat disiplin dan tak pernah telat masuk kelas. Pada akhirnya Hanum lebih dulu masuk kelas dibandingkan ibu gurunya itu. Tati, teman sebangkunya telah datang lebih dulu. Ia agak heran melihat sahabatnya datang hampir terlambat hari ini.
"Darimana saja kamu, sampai-sampai hampir telat seperti ini?� tanya Tati. Hanum hanya tersenyum kecil sambil membuka tas sekolahnya dan memperlihatkan sebuah bingkisan kecil yang tersimpan di situ.
"Dari Mas Danu ya?� tanya Tati penasaran. Hanum mengangguk pelan sambil menggigit bibirnya.
"Oh iya, selamat ya,� ucap Tati.
Hanum mengangkat jari telunjuk menutupi tengah bibirnya sambil berbisik lirih, "Jangan keras-keras. Nanti semua teman satu kelas minta traktir.�
Tati pun terkekeh sambil berujar, "Dasar kamu itu pelit."
Pembicaraan mereka terhenti saat Bu Sinta memasuki ruang kelas. Dua jam pertama adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Pelajaran yang amat disukainya hingga ia pun merasakan waktu begitu cepat berjalan. Selain itu, hari ini memang hari yang membahagiakan bagi Hanum. Umurnya sudah genap enam belas tahun. Pagi-pagi ayah dan ibu sudah mengucapkan selamat kepadanya dan mendaratkan sebuah ciuman di pipi kiri dan kanannya. Danu juga sudah memberinya hadiah yang sama sekali belum ia buka. Itulah yang menyebabkan ia hampir telat tadi pagi.
����������� Bel tanda istirahat berbunyi. Hanum belum memasukkan tasnya ke kolong meja. Tasnya masih ia taruh di belakang kursi yang ia duduki sedari tadi. Lalu ia masukkan tas sekolah tadi ke kolong meja. Ia menaruh curiga. Tas itu tak sepenuhnya bisa masuk. Ia tarik keluar lagi tas miliknya itu. Ia coba melongok ke dalam kolong meja. Betapa terkejutnya ia ketika dilihatnya ada sebuah bungkusan berukuran kecil di dalamkolong meja. Bungkusnya terlihat rapi. Ada secarik kertas terlipat yang ditempelkan dibungkusan berselotip itu. Hanum menengok ke kanan dan ke kiri agar tak ada temannya yang tahu kalau di mejanya ada bungkusan misterius. Setelah merasa aman, ia ambil bungkusan itu dan ia pindahkan ke dalam tas. Hanum melepas lipatan kertas yang direkatkan dengan selotip itu. Ia buka lipatan kertas itu lalu ia selipkan di buku pelajaran. Ia tidak ingin ada orang tahu saat nanti ia membaca kertas itu.
Tati mengajaknya ke kantin. Ia menolak halus ajakan itu.
"Kamu takut kalau harus bayarin ya?� goda temannya itu.
"Aku masih kenyang,say,� jawab Hanum sambil memegang erat buku pelajaran. Setelah kelas agak sepi ia buka buku pelajaran itu dimana terselip kertas yang tertempel di hadiah tadi.
����������� Teruntuk gadis yang menyandarkan keduatangannya di meja ini, ada hadiah buat kamu. Happy sweet seventeen, ya! Jangan lama-lama buka hadiahnya. Karena aku sendiri yang lahir kedunia lebih dulu darimu sudah menunggu cukup lama untuk bisa memberimu hadiah ini.
����������� Oh iya, bukan bermaksud menagih janji, namun janji adalah hutang. Dan hutang harus ditunaikan. Kalau mau bayar hari ini kutunggu di parkiran sepeda paling lama setengah jam setelah pulang sekolah. :-)
����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������� -DAP-
����������� Hanum tersenyum tipis setelah membaca surat itu. Isinya pendek tapi membuat ia geli. Masa belum genap satu triwulan mereka berkenalan, katanya ia sudah jauh-jauh hari mempersiapkan hadiah itu. Gombal sekali memang. Lagian ujung-ujungnya menagih janji buat gantian traktir makan bakso. Namun ia merasa sangat bahagia. Damar ternyata tahu hari spesialnya. Bahkan memberikan hadiah dengan cara yang tak biasa. Ia membayangkan bagaimana repotnya lelaki itu menaruh hadiah kecil itu di kolong mejanya. Untung saja tidak salah meja. Hanum lantas membuka tasnya kembali. Ada dua bungkusan tersimpan di sana. Ia buka dulu hadiah dari Damar yang ternyata isinya adalah sebuah kaset dari album terbaru grup band kesukaannya Kahitna yang bertitel Permaisuriku. Tak terkira rasa bahagia Hanum. Ia sudah mendambakan kaset itu sejak pertama kali diluncurkan medio tahun ini. Ia tak sabar ingin pulang dan memutar kaset hadiah itu. Kemudian ia buka lagi hadiah satunya lagi dari kekasihnya, Danu. Bungkusnya rapi berwarna biru. Ternyata isinya sebuah kerudung berwarna biru. Ia cium kerudung yang masih wangi itu. Ia merasa Mas Danu sangat mencintainya. Ia tak begitu tahu maksud dari pemberian kerudung berwarna biru itu. Seketika rasa bahagia itu beralih. Hanum merasa sedih. Seperti ada yang menggores luka di hatinya. Perasaan bersalahnya kepada Danu semakin dalam. Ia ingat beberapa kebohongan-kebohongan yang telah ia lakukan kepadanya. Namun di sisi lain ia merasakan kebahagiaan yang utuh saat teringat Damar. Ia tak kuasa menolak perasaan itu. Bahagia dan resah yang silih berganti datang. Ia pun memasukkan kembali kedua kado dari orang-orang yang mulai mengisi hari-harinya belakangan ini ke dalam tas. Ia juga bingung dengan ajakan Damar. Pergi dengannya apakah itu berarti mengkhianati kepercayaan Danu. Atau lebih baik ia tidak pergi, tapi ia menginginkannya. Ia mendesah perlahan. Ditiupnya angin didepanya hingga membuat beberapa� lembar rambut di depannya melayang. Lalu ia pejamkan matanya menenangkan hati sambil menunggu teman-temanya masuk kembali ke kelas dan melanjutkan pelajaran kembali.
����������� Bel tanda masuk kelas berbunyi. Pelajaran demi pelajaran berlalu. Siang pun menjelang. Beberapa murid di sekolah melaksanakan sholat Ashar di sela-sela istirahat jam kedua. Sebagian menunggu waktu pulang sekolah. Hanum malas beranjak dari tempat duduknya. Semakin siang semakin ia bingung antara pergi dan tidak. Bel tanda selesainya waktu istirahat berdering. Itu artinya masih ada satu kali pelajaran lagi. Terakhir adalah pelajaran sejarah Indonesia. Pak Iman datang agak terlambat. Beliau banyak bercerita tentang awal-awal pergerakan pemuda Indonesia di Belanda. Dipelopori oleh Bung Hatta, dibentuklah Perhimpunan Indonesia untuk mempertegas eksistensi kebangsaan Indonesia. Hanum tak sepenuhnya mendengarkan. Ia hanya memainkan pulpennya sendiri. Mencoret-coret kertas atau memutar-mutarnya menumpahkan perasaan bimbang di hatinya hingga jam pelajaran benar-benar selesai. Hanum keluar dari kelas paling belakang menunggu sekolah agak sepi. Ia sudah pasrah. Membiarkan ke mana kakinya melangkah. Ia lantas menuju parkiran. Ia ambil sepeda yang ia parkir di depan. Dilihatnya Damar sudah berdiri di pintu parkiran dengan sepedanya. Tersenyum ia dari kejauhan. Hanum mau tak mau membalas senyum itu. Ia merasakan kegembiraan seketika. Lelaki pendiam bermata cokelat itu ternyata benar-benar menunggunya. Benar-benar mengikat hatinya dengan pesonanya. Hanum menghampiri kakak kelasnya itu.
"Aku belum sholat, Mas. Kalau mau tunggu Hanum sholat di mushola dulu ya,� ucapnya.
"Ya udah aku tunggu di sini. Aku tadi udah sholat pas jam istirahat,� Damar menjawab.
Dengan sabar Damar menunggui gadis itu menyelesaikan sholat. Masih belum sirna kekagumannya pada gadis itu. Belum atau tak akan sirna ia tidak tahu. Tak lama kemudian Hanum telah selesai dari sholatnya. Tak lagi gadis itu bimbang. Mereka pun sama-sama keluar dari sekolah beriringan dengan sepeda masing-masing.
"Mas Damar mau makan apa?� tanya Hanum sembari mengayuh sepedanya.
"Gimana kalau Hanum temenin aku ke kabupaten. Kita naik bis Tigaperempat ke sananya. Kita titipin aja sepeda di penitipan depan situ,� jawab Damar sambil lalu.
Awalnya Hanum ragu. Namun pada akhirnya ia mengiyakan saja ajakan itu. Mereka pun menitipkan sepeda di tempat penitipan yang terletak di sebelah kanan pertigaan� Prembun. Mereka lalu menyeberang jalan dan menunggu bis Tigaperempat lewat. Damar yang biasanya canggung menjadi fasih sekali berbicara saat itu. Lima menit yang sangat indah. Lima menit dengan berdiri yang tak membuat badan lelah. Lima menit yang membuatnya lupa bahwa ia lapar. Lima menit kemudian bis jurusan Kebumen benar-benar datang. Perjalanan ke kabupaten ditempuh kurang lebih setengah jam lebih sedikit saja. Mereka memilih duduk di bagian tengah, tepat di depan pintu belakang. Damar tak merelakan gadisnya itu berdesak-desakan sehingga merelakan kursi di samping jendela. Damar mencoba menutupi kegembiraannya yang sangat saat duduk berdua di dalam bus itu. Beberapa masa mereka terdiam kembali dan sesekali saling pandang. Hingga kemudian sang sunyi pun pecah berantakan.
"Suka ga tadi hadiahnya?� tanyanya.
"Suka sekali, Mas. Hanum punya semua album dari yang pertama sampai yang ketiga Sampai Nanti. Tapi punya Mas Hanafi,�� Jawabnya tak jelas. Punyanya atau punya Mas Hanafi.
"Makasih ya, Mas, sudah mau repot-repot ngasih hadiah buat ulang tahun Hanum,� tambahnya.
"Aku suka kok ngasihnya. Kamu tak perlu merasa tak enak karena aku tulus ngasihnya ke kamu,� lanjut Damar menggombal.
"Oh iya, Mas, kita mau ke mana nih? Jangan terlalu sore. Hanum tak enak sama ibu dan ayah di rumah kalau kelamaan,� tanya Hanum kemudian.
"Aku janji kita ga bakalan lama koq. Nanti abis Ashar kita pulang,� jawab Damar.
Tak lama kemudian mereka telah sampai di terminal. Hanya lima menit saja dari terminal dengan menggunakan angkot, mereka telah sampai di toko buku dekat pasar. Damar memang sedang mencari buku meski tujuan utamanya hanyalah agar bisa mengajak Hanum jalan. Setelah cukup lama memilah-milah akhirnya ia mendapatkan buku yang ia cari. Kumpulan soal-soal Tes Potensi Akademik, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia dari penerbit yang direkomendasikan oleh Pak Purnomo saat tanpa sengaja berpapasan dengannya di lorong kelas tiga beberapa waktu yang lalu. Hanum sabar menemani dengan sesekali melemparkan candaan yang selalu bisa dibalas oleh Damar. Layaknya sepasang kekasih saja mereka itu, meski tak pernah tercurah kata cinta walaupun sepenggal kata saja. Saat hendak membayar di kasir, mas-mas kasir pun mengisengi Damar,
"Mas koq lain sama yang kemarin. Kali ini jauh lebih cantik?� tanyanya tiba-tiba.
Damar pun tertawa kemudian menyahut, "Insya Allah ini yang terakhir, Mas," Hanum tersipu dibuatnya.
"Lah wong ke sini aja jarang, pake bilang yang lain,� Damar berbisik lirih ke telinga Hanum. Telinga yang terlihat begitu mulus dengan rambut yang menutupi sebagiannya.
Hanum lantas tertawa renyah mendengarnya. Semua lelaki normal pasti akan bilang seperti itu saat pertama kali bertemu dengannya. Ia memang sangat cantik. Ia akan selalu jadi pusat perhatian di manapun juga. Wajahnya ibarat reinkarnasi dari Ratu Ayu Kencana Wungudari kerajaan Majapahit di masa silam. Dan Damar pun sadar bahwa ia sedang membawa permaisuri kerajaan itu berjalan-jalan. Selesai dari toko buku mereka lantas berjalan kaki menuju pasar kota.
"Hanum sudah lapar?� tanyanya.
"Sudah, Mas. Emangnya kenapa, Mas?� Hanum balik bertanya.
"Sebelum makan gimana klo kita main Dingdong dulu. Biar makannya enak banget kalau lapernya udah pake banget,� ajak Damar mengulur-ulur waktu.
"Boleh, Mas. Tapi Hanum ga pernah main Dingdong,� ucapnya sambil memasang muka bodoh.
"Nanti aku ajarin ya,� jawab Damar sembari tersenyum.
Damar sendiri tidaklah pandai bermain game. Saat kelas dua, dulu ia memang pernah beberapa kali diajak oleh Ikhsan, teman sebangkunya bermain Dingdong. Saat ini ia hanya ingin terlihat mahir dalam banyak hal. Ia hanya ingin mendapatkan perhatian Hanum. Mereka pun lantas menuju tempat bermain. Kebetulan saja tidak terlalu ramai sehingga tak perlu mengantre. Bermain Dingdong di sebuah pasar di pelosok kabupaten di Jawa Tengah tentunya tidaklah semeriah seperti yang ada di ibukota provinsi apalagi ibukota negara. Palingan hanya ada empat sampai lima meja. Games berbasis arcade ini hanya menyediakan games pertarungan semisal Street Fighter atau Mortal Kombat. Hampir setengah jam mereka asyik bermain Dingdong sebelum Hanum mengajak pulang.
"Sudah sore, Mas. Kita pulang saja ya,� pintanya� sambil melihat langit yang semakin lama terlihat semakin gelap. Hanum juga merasa tak bisa menikmati permainan itu. Ia hanya menikmati kebersamaannya saja.
�Bukannya kita belum makan?� tanya Damar kemudian.
�Kita makan di Prembun aja ya, Mas,� pintanya kemudian.
"Ya udah gapapa.� jawab Damar.
"Kita makan bakso saja ya, Mas," tambahnya.
�Tapi jangan di Pak Kumis. Pak Jenggot saja." pinta Damar.
"Boleh. Kali ini kan Hanum yang traktir jadi terserah Mas Damar mau makan bakso di mana,� jawab Hanum lagi.
����������� Segera saja mereka berjalan keluar dari pasar. Sebentar saja mobil angkot yang akan membawa mereka ke terminal datang. Mereka lantas menaiki angkot yang telah penuh dengan penumpang. Mereka memutuskan untuk turun dan menghadang bis luar kota di luar terminal agar lebih cepat sampai. Lebih dari pukul setengah empat sore mereka sudah ada di dalam bis menuju Prembun. Bis di sore seperti saat-saat ini memang lebih lengang. Anak-anak sekolah banyak yang sudah pulang. Panas pun tak lagi menyengat. Damar membuka jendela bis sehingga hembusan angin sepanjang perjalanan dari persawahan yang terbentang luas membuat perjalanan pulang mereka menjadi lebih mengasyikkan. Dan ia tetap masih tak mengizinkan gadis itu duduk ditengah. Ia benar-benar tak menginginkan gadis itu berdesak-desakan. Kebahagiaan memang benar-benar sedang menyelimuti hati mereka. Sementara itu lagu campursari berjudul Cidro dari Didi Kempot seperti tak pas menerjemahkan kebahagiaan mereka. Begitu juga dengan Hanum. Bersama Damar ia merasa nyaman. Bersama Damar ia tak bisa bilang tidak. Bersama Damar ia bisa lupa segalanya. Termasuk Danu kekasihnya sendiri.
����������� Setelah setengah jam berlalu sampai juga mereka di kecamatan. Sebelum benar-benar berpisah mereka menyempatkan diri menikmati bakso di warung Pak Jenggot. Namun kali ini mereka tak begitu bisa menikmati sajian yang ada. Hari semakin sore sehingga membuat mereka tak bisa berlama-lama. Mereka harus berpisah menuju rumah yang berlawanan arah. Satu ke selatan dan satunya ke utara. Bagi Damar pulang sore bukanlah menjadi soal karena di akhir-akhir sekolah memang seringkali kelas mengadakan les untuk mempersiapkan ujian nasional. Tapi tidak bagi Hanum. Ia benar-benar harus mencari alasan atas keterlambatan pulang sekolah di hari ulang tahunnya itu.
�
***
�
����������� Hanum mengayuh sepedanya menuju rumah dengan sangat buru-buru. Sebentar saja secepat kilat ia sudah sampai rumah. Karena sudah sore sepeda langsung ia masukkan ke dapur lewat samping rumah. Ia ingat belum sholat Ashar. Ditaruhnya tas di kursi makan lantas di ambilnya air wudhu dari sumur belakang. Ia lalu menuju tempat sholat yang terdapat di pojok rumah di dekat ruang keluarga. Ia tak menaruh curiga sedikitpun. Baginya yang terpenting adalah sholat terlebih dahulu karena waktu Ashar sudah hampir habis. Selesai sholat ia balik ke dapur dan mengambil tas sekolah yang tadi ditaruhnya kursi. Segera ia beranjak menuju kamar tidurnya. Namun belum juga ia masuk kamar, Ayah dan Ibu memanggilnya dari ruang tamu depan. Ia lempar tas sekolah ke dalam kamarnya lantas menuju ruang tamu tanpa berganti pakaian. Ibu dan Ayah sedang duduk di kursi. Di meja terdapat kue ulang tahun berbentuk hati yang masih utuh, belum terjamah sedikitpun. Terdapat lilin angka enam belas yang belum dinyalakan. Ia terheran lantas duduk di samping ibu.
"Darimana kamu, Nduk, sore sekali baru pulang?� tanya Ayah.
Hanum tak langsung menjawab. Pandangannya menyisir seisi ruangan. Sepertinya ruang tamu ini kotor sekali pikirnya.
"Hanum tadi maen, Yah, sama beberapa temen satu kelas ngerayain ultah Hanum." Ia berbohong kepada Ayahnya.
"Koq sampai sore sekali?� Ayah bertanya lagi.
"Tadi Hanum sekalian nyari buku, Yah, di pasar kabupaten jadi lama,� tambahnya pelan.
Ia tak pernah takut pada ayahnya karena ia yakin ayahnya adalah sosok yang sangat pengertian dan baik hati. Ia hanya merasa berdosa sekali telah membohongi ayahnya itu. Di usianya yang telah menyentuh angka enam belas ia malah jadi sering berbohong. Ia sedih melihat kebohongannya sendiri. Hanum mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Ia tak ingin kebohongannya bertambah lagi karena sepertinya ayah sudah mulai menaruh curiga.
"Ibu beli kueh ini buat Hanum ya?� tanyanya tiba-tiba padanya.
"Bukan, Nduk. Tadi itu pacarmu datang ngasih kue ini buat kamu. Bahkan ia nunggu lama di sini. Ngobrol panjang lebar sama Ayahmu. Siapa, Yah, namanya?� Ibu menanyakannya kepada ayah sambil mengingat-ingatnya. Ibu memang sering lupa nama orang karena sudah terlalu banyak yang dipikirkan.
"Itu loh si Danu. Katanya ia pengin ngasih surprise buat kamu. Makanya ga ngasih tahu kamu. Dia di sini dari jam setengah dua loh. Karena kelamaan nunggu kamu, sehabis Ashar dia langsung pulang,� jawab Ayah kemudian.
Hanum tak berani mengangkat wajahnya. Maksud hati mengalihkan pembicaraan namun apa lacur ketika fakta yang tersaji tetaplah tentang Danu, kekasihnya. Getir sekali rasanya. Andaikan Danu mau datang tentu ia tak akan mau diajak Damar pergi. Andaikan tak ada kejutan itu tentunya ia telah di rumah bersama Danu. Mengapa waktu sering tak merestui. Untuk kesekian kalinya ia menyakiti hati Danu. Namun sudut lain hatinya berkata lain. Perasaan itu bukan sebuah kesalahan. Hanya saja waktu yang tak tepat. Setiap orang berhak mencinta dan dicinta. Berhak bahagia dengan siapa saja. Hanum pun beranjak dari tempat ia duduk.
"Hanum ganti baju dulu, Yah," terdengar sekali kalau suaranya berat.
Lantas ia masuk ke kamar. Disetelnya radio agak keras. Melompat ia ke atas kasur lalu diambilnya bantal kesayangannya. Ditutupi mukanya dengan bantal itu. Lirih suara isak tangis itu tak terdengar ditelan lantunan lagu-lagu terkini yang diputar di radio Indrakila FM. Hanum menumpahkan segala perasaannya. Mungkin hanya air mata yang bisa mengerti kebimbangan hatinya. Sementara itu di ruang tamu, ayah dan ibu hanya bisa saling pandang. Saat-saat seperti itu sepertinya memang sudah mereka perkirakan.
�
�
Mustika Rasa
�
����������� Danu tak habis akal. Lelaki tinggi besar berwajah mulus itu ternyata bisa berbuat curang juga. Padahal selama ini ia terlihat sebagai lelaki yang sangat bertanggungjawab dan juga tidak neko-neko. Dengan alasan sakit ia meminta izin kepada Bu Sinta, guru Bahasa Indonesia agar ia bisa izin untuk pulang terlebih dulu dan melewatkan pelajarannya. Danu begitu sempurna memasang muka sakit hingga akhirnya mendapatkan belas kasihan Bu Sinta. Beliau mengizinkan Danu untuk pulang terlebih dahulu. Pada awalnya Bu Sinta meminta Rian untuk mengantar Danu pulang. Namun Danu menolaknya. Ia bilang kalau masih kuat pulang sendiri. Sebelum benar-benar pulang ia mengedipkan matanya ke Rian sebagai tanda kalau tipu dayanya telah berhasil. Rian yang tahu akal bulus sahabatnya itu tersenyum saja. Namun di dalam hatinya terbersit firasat tak baik. Ia semakin gelisah memikirkan kisah percintaan sahabatnya itu. Namun ia sudah bertekad untuk tidak mencampuri urusan sahabatnya karena semata-mata tak enak hati kepada keduanya.
Danu tak benar-benar pulang. Ia melakukan itu semua hanya karena ingin memberi surprise pada Hanum kekasihnya. Hanya dengan berpura-pura sakit ia bisa punya waktu untuk mencari cake ulang tahun yang akan ia berikan kepada Hanum sebagai kejutan sore nanti saat Hanum telah pulang ke rumahnya. Sebenarnya ia telah memberi kekasihnya itu kado ulang tahun. Namun semua itu hanya untuk mengelabuinya karena memang ada surprise besar yang ingin ia berikan kepada perempuan yang dicintainya itu. Dikayuhnya sepeda langsung ke toko kue di dekat pasar kecamatan. Mustika Rasa nama tokonya. Menyajikan beberapa cake hias dan juga jajan pasar yang beraneka ragam. Dicarinya cake terbaik yang menggambarkan perasaan hatinya. Di lubuk hati terdalamnya ia hanya ingin memberikan yang terbaik untuk kekasihnya itu. Diambilnya cakecokelat berbentuk hati dengan topping cream yang cantik lalu ia letakkan di meja kasir. Tak lupa ia mengambil pisau pemotong cake dan juga lilin angka satu dan enam. Ia juga meminta kepada mbak-mbak kasir bernama Ratna agar membungkusnya dengan sangat hati-hati.
Ditangannya telah terjinjing kue dalam kotak berbungkus plastik tebal. Dengan hati-hati sekali ia membawanya. Setelah itu ia mampir ke lapak buah di pinggir jalan. Membeli sekilo jeruk untuk Om Pras dan Tante.
����������� Setelah lelah berputar-putar mengelilingi pasar, Danu pun lantas menuju rumah Hanum. Ia ingin sampai di sana setengah jam sebelum waktu gadis itu pulang. Dikayuhnya sepeda dengan rasa bahagia. Setelah lima belas menit perjalanan akhirnya ia sampai di rumah Hanum. Dilihatnya jam menunjukkan hampir pukul setengah dua. Ia sandarkan sepedanya di samping rumah. Dengan begitu percaya diri, kemudian ia mengetuk pintu rumah yang tertutup rapat itu. Dari dalam rumah terdengar suara langkah kaki terburu-buru ke depan rumah. Benar saja, Ayah Hanum-lah yang membukakan pintu.
"Eh, Nak Danu. Mau ketemu siapa?� tanya Ayah yang kaget dengan kedatangannya sambil membuka pintu.
"Hanum, Om,� jawab Danu.
�Hanumnya belum pulang. Mungkin setengah jam lagi.�
�Memang saya sengaja dateng duluan karena mau kasih surprise buat Hanum,� jawabnya.
"Nak Danu koq udah pulang?� tanya Ayah lagi penasaran sambil mempersilahkannya duduk.
�Tadi saya izin, Om. Jadi bisa pulang lebih dulu,� jawabnya lagi.
"Oh ya, Om, ini ada jeruk buat Om sama Bulek." Danu memberikan sebungkus jeruk pada Om Pras.
"Makasih loh. Oh ya emangnya mau kasih surprise apa?� Ayah bertanya kembali.
"Saya bawa cake ulang tahun buat Hanum, Om. Biar nanti dirayain bareng-bareng di sini, Om.� Danu menjelaskan.
Danu dan ayah Hanumlantas berbincang sambil menunggu kepulangan Hanum. Sementara itu ibu Hanummau tak mau harus mempersiapkan makan siang untuk tamu yang mendadak datang. Setengah jam berlalu, Hanum belum pulang juga. Danu masih setia menunggu. Ibu mengajak ayah dan Danu untuk menyantap makan siang yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Dengan setengah malas Danu mencicipi juga masakan itu. Ibu membuat tumis kangkung dan ikan sambal ijo. Danu semakin gelisah. Gadis yang ditunggu-tunggunya tak juga pulang. Jarum pendek di jam dinding hampir menyentuh angka tiga. Danu tak bisa berkonsentrasi penuh. Om Pras banyak bercerita. Sementara matanya berganti-ganti antara Om Pras dan juga jam dinding. Ujung jari kakinya bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri. Om Pras yang melihat kegelisahan itu pun akhirnya angkat bicara.
"Nak Danu khawatir ya kenapa Hanum koq belum pulang?�
"Iya, Om,� jawabnya singkat.
"Sebenarnya Nak Danu tak perlu harus bikin surprise seperti ini. Kalaupun ingin merayakan ultah Hanum di sini, ya tinggal bilang saja sama Hanum. Di hari ulang tahunnya biasanya Hanum mentraktir teman-temannya sehabis pulang sekolah. Nak Danu ga usah khawatir. Nanti kalau Hanum pulang dan ga sempet ketemu Nak Danu, biar Om kasih tahu Hanum kalau kamu sudah lama nunggu diadi sini. Oh iya, om pengin tahu sebenarnya hubungan kalian itu seperti apa sih?� Ayah Hanumberusaha menggali informasi lebih dalam.
"Saya sangat mencintai Hanum, Om. Makanya saya ga pengin main-main. Kita juga berusaha agar hubungan kita ini bisa menjadi hubungan yang sehat. Hubungan yang tak menghalangi apa yang menjadi cita-cita kita masing-masing. Makanya sejak awal saya berani ke sini, ke rumah Om, biar Om yakin kalau saya ga cuma main-main,� jawab Danu mantap.
"Om sih percaya sama kamu. Tapi hubungan di usia kalian ini sangat rentan dengan godaan. Sekarang bilang cinta. Besok menjumpai yang lebih cantik, lebih tampan jadi berubah lagi. Kalian masih sangat muda. Tentu masih banyak yang ingin kalian raih. Jika kamu memang benar-benar mencintai Hanum, tentunya kamu juga bisa menerima dia apa adanya. Dia itu masih manja sekali sama ayah dan ibunya. Takutnya nanti nak Danu kecewa karena Hanum masih belum sepenuhnya menjadi wanita dewasa. Masih sering nangis dan juga ngambek,� Ayah menjelaskan dengan gamblang.
"Sejak pertama kali mengungkapkan perasaan saya ke Hanum, saya sudah siap, Om. Saya akan mencoba mencintai Hanum seperti apa adanya. Saya akan belajar dan membimbing dia, Om,� jawab lelaki itu penuh yakin.
"Yang jelas Om hanya perlu bukti dari kamu dan juga Hanum kalau hubungan kalian itu hubungan yang sehat. Yang tak mengalahkan cita-cita kalian. Apalagi nak Danu sebentar lagi juga ujian kan? Cita-cita Hanum juga memerlukan banyak waktu untuk belajar. Ia pengin jadi Dokter. Awalnya, Om ingin melarang hubungan kalian karena kebanyakan pacaran saat ini banyak negatifnya. Tapi Om berpikir ulang. Bagaimana kalau lantas kalian berhubungan di belakang Om. Sekali lagi ya, Nak, terpenting sekarang kalian harus bisa buktikan ke Om,� Ayah memohon sekali kepada pemuda itu. Tersirat harapan yang mendalam dalam sorot matanya.
"Iya, Om. Danu akan berusaha memberikan yang terbaik." Danu berusaha memahami semua yang Ayah harapkan.
����������� Tak terasa adzan Ashar berkumandang lewat speaker masjid yang tak jauh dari rumah. Hanum masih belum pulang juga. Danu berpamitan karena tak enak sudah terlalu lama menunggu. Ia hanya menitipkan salam untuk Hanum. Danu sangat kecewa karena telah gagal memberikan surprise buat Hanum di hari ulang tahunnya. Di sisi lain ia senang karena Om Pras peduli pada hubungan mereka. Ia juga tak ingin mengecewakan harapan Om Pras yang telah memberinya kepercayaan. Ia semakin yakin dengan hubungan cintanya. Lantas bagaimana dengan Hanum? Entahlah.
�
Mimpi Putih
�
����������� Rian terbangun seketika. Padahal jam masih menunjukkan pukul empat pagi. Segera saja ia beranjak dari dipan lalu keluar menuju dapur. Diambilnya air minum sembari duduk di meja panjang dekat dengan tungku. Ia terbangun karena mimpi. Mimpi berjalan-jalan dengan Bapak. Dalam mimpinya ia masih bocah, kira-kira kelas satu sekolah dasar. Mimpinya persis seperti kenangannya di masa kecil. Seperti memutar ulang kaset cerita masa lalu saja. Dengan naik sepeda, ia diajak oleh bapak ke pasar di kecamatan. Bapak bilang kalau hendak bercukur. Rian senang sekali karena biasanya sehabis bercukur pasti bapak mengajaknya mampir ke warung mie ayam dekat pasar. Begitu kebiasaannya dan terus berulang-ulang. Rian selalu menunggu momen-momen seperti itu sampai akhirnya bapak tak bisa lagi mengajak ia ke pasar tepat saat ia naik ke kelas tiga SD. Ingatannya kembali kepada masa-masa kecil saat bapak dan mamak masih bersama-sama. Kehidupannya amat sempurna. Meski secara finansial sangat kekurangan, namun bagi anak kecil sepertinya kebahagiaan hidup adalah tentang bagaimana menghabiskan hari dengan bermain. Bermain dengan teman-teman maupun dengan saudara. Rian menerawang jauh mengingat masa-masa kecilnya yang penuh dengan cerita.
����������� Rian teringat masa kecilnya saat di pagi hari dengan teman-teman masa kecilnya berebut mengumpulkan blinjo, baik untuk dibuat mainan maupun untuk dijual. Itu kalau sudah terkumpul minimal empat sampai lima kilo, karena pengumpul biasanya tak mau membeli kalau berat kurang dari segitu. Dan jangan kira mengumpulkan biji melinjo sebanyak itu tidak membutuhkan waktu lama. Biasanya blinjosebanyak lima kilo dikumpulkan selama sebulan penuh. Harganya pun sangat murah antara lima ratus sampai rupiah per kilonya. Yang paling menyenangkan adalah ketika musim hujan mulai turun. Akan banyak sekali pohon melinjo yang gugruk bizinya. Dan itu artinya blinjo akan sangat mudah dikumpulkan. Anak-anak akan berebut mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Uang hasil penjualan blinjoia tabung dan jika sudah terkumpul banyak bisa ia gunakan untuk membeli buku dan peralatan sekolah.� Sepulang sekolah Rian selalu angon kambing di nergy. Dibawanya kambing-kambing itu ke nergy untuk makan sepuas-puasnya. Sementara kambingnya kenyang, Rian juga ngarituntuk bekal makan kambing dimalam hari. Namun tak terlalu banyak. Kambing yang biasa di-angon tidak memerlukan banyak makan di malam hari. Satu hal yang membedakan Rian dengan teman-teman angon-nya adalah ia selalu membawa buku pelajaran saat angon. Ia selalu mengulang-mengulang pelajaran yang diberikan di sekolah saat kambing-kambingnya asik makan rerumputan. Hal itu membuat ia selalu menjadi juara kelas sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas seperti sekarang ini. Namun di sela-sela belajarnya terkadang tercetus keisengan yang biasa ia dan teman-temannya lakukan. Ia dan banyak teman-teman angon-nya sering mencuri buahapa saja yang ada di tegalan. Di musim kemarau saat banyak petani menanam palawija tentunya. Apalagi saat panen bengkuang. Terkadang ia menyembunyikan bengkuang curiannya diantara rerumputan yang ia masukkan ke karung. Tak akan banyak yang curiga karena hasil panen bengkuang di desa akan melimpah. Semua untuk memenuhi permintaan kios sepanjang jalur selatan di kecamatan yang banyak menjadi persinggahan para pengunjung yang hendak pergi ke Jogja. Tak pernah ia kepergok mencuri. Tidak seperti beberapa temannya yang ketahuan mencuri bengkuang dan harus menerima risiko digebuk oleh orang tua mereka. Saat panen bengkuang juga, Rian dan teman-temannya mendapatkan uang tambahan yang cukup berarti. Para remaja tanggung itu mendapatkan upah dari mencuci bengkuang di saluran irigasi yang airnya bening di sepanjang jalur selatan. Cukup dengan menginjak-injak kandi berisi bengkuang maka bengkuang yang ada dalam kandi akan bersih dari tanah. Setelah itu bengkuang yang sudah bersih dari tanah itu dipotong ujungnya dan dijajarkan rapi di kios. Bengkuang yang sudah bersih dan berjajar rapi itu akan menarik para pembeli yang kebanyakan adalah orang jauh. Namun sebenarnya bagi Rian dan kebanyakan orang desa, memakan bengkuang yang sudah bersih dan rapi yang dijajarkan di kios, itu adalah hal yang tak menyenangkan karena mereka tahu cara membersihkannya yaitu dengan cara diinjak-injak dengan kaki. Orang desa lebih senang makan bengkuang yang masih kotor dan belum dipotong ujungnya. Lebih manis dan higienis.
Saat ujian sekolah tiba, itu akan menjadi hari-hari istimewa buatnya. Orang tuanya akan membebaskannya seminggu penuh dari semua pekerjaan rumah. Ia diberikan waktu seminggu penuh untuk nerg belajar. Meski bukan dilahirkan dari latar belakang keluarga berpendidikan, mamak selalu mendukung sepenuhnya anak-anaknya untuk belajar. Apalagi melihat kecerdasan Rian dan tekadnya yang kukuh untuk menggapai cita-citanya. Buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Begitulah kata pepatah. Begitulah Rian memaknai hari-harinya dengan semangat yang telah dibangun oleh kakeknya dalam menghadapi kompeni Belanda.
����������� Ada satu kebiasaan aneh Rian yang apabila ia mengingatnya ia akan tertawa sendiri. Di saat-saat hari ujian sehabis pulang sekolah, ia akan belajar di atas pohon jambu di belakang rumah dekat dengan sungai. Ia merasa bisa memaksimalkan konsentrasinya ketika sedang duduk di situ. Sungainya masih rungkut. Banyak pohon nergy, maja, jambu juga kenari. Repotnya jika sedang musim buah maka pohon jambu akan ramai diserbu bocah-bocah. Sebenarnya tak hanya jambu, kenari dan mlandingan juga tak lepas dari serbuan bocah-bocah desa yang lapar. Terkadang kalau air sungai cukup tinggi, ia juga tak segan-segan untuk meloncat bersama teman-temannya. Kalau musim hujan dan air sungai sedang tingi-tinginya, ia malah lebih nekat lagi. Berbekal besi bengkok yang diikatkan pada nergy panjang, ia lantas menarik kayu basah, batang kelapa, cumplung atau sampah keras lainnya yang hanyut dibawa air. Nantinya kayu itu akan dikumpulkan kemudian di jemur. Jika telah kering bisa digunakan untuk memasak. Bakal lebih hemat. Ia juga teringat kebiasaannya di sore hari saat berkumpul dengan teman-teman sebayanya di lapangan balai desa. Entah untuk bermain bola ataupun voli sampai menjelang bedug Maghrib. Itu mungkin yang membuatnya jago main bola dan bisa melompat tinggi-tinggi. Setelahnya tanpa perlu mandi ia langsung berangkat ke mushola untuk mengaji. Saat-saat paling berkesan baginya adalah saat mengisi air kulahdi mushola. Ia dan teman-temanya sering saling mengisengi. Sudah capek-capek mengisi kulah, teman yang iseng akan mencopot penutup kulah hingga akhirnya air dikulah berkurang lagi. Memang ada-ada saja keisengan-keisengan yang indah di masa itu. Sepulang mengaji di saat �musim kawin�, nergy santri mengaji kadang diadu fisik oleh kakak-kakak yang lebih tua. Itu sebagai sarat wajib bagi seorang lelaki agar bisa disebut sebagai lelaki sejati atau tidak. Siapa yang menangis duluan maka dia yang kalah dan harus mau memakai rok selama tiga hari sebagai hukuman. Dan di desa hanya satu orang yang bisa membuat dirinya menangis. Sebaliknya, ia telah membuat menangis puluhan kawan desanya yang seumuran. Saat menjalani hukuman memakai rok selama tiga hari itulah ia merasa menjadi lelaki paling lemah di muka bumi. Dan di saat musim kawin itu juga mau tak mau Rianterkadang ikutbeberapa temannya yang telahdengan rapi menyusun strategi liar agar bisa menonton live show acara nergy setelah akad nikah. Perumahan di desa yang dindingnya masih banyak terbuat dari gedeg atau seng membuat acara yang seharusnya nergy itu menjadi tak lagi nergy. Bergerombol mereka akan melubangi gedeng atau memperlebar lubang di seng yang biasanya banyak dijumpai di rumah-rumah yang berdinding seng. Sungguh sebuah tontonan yang memacu adrenalin. Kalaupun tak dapat view yang bagus, minimal mereka bisa merekam suara-suara aneh yang terdengar melalui pendengaran mereka. Rian sebenarnya tak benar-benar menginginkannya, semata-mata hanya karena rasa setia kawan meskipun itu perbuatan binal.
Malam hari sepulang mengaji, Rian mempersiapkan buku-buku pelajaran untuk pelajaran esok dan mengulang kembali materi yang diajarkan pada hari kemarin. Karena lelah seharian beraktivitas, ia pun sering tertidur saat belajar di malam hari. Materi yang ia baca siang tadi saat angon akan muncul di mimpinya. Kebiasaan itu berulang terus-menerus sampai ia besar. Kambing yang ia angon memang membawa berkah di kehidupannya. Itulah rahasia kecerdasannya yang tak pernah ia bagikan kepada orang lain. Tepat dipagi hari setelah bangun dan sholat Subuh, ia mempersiapkan lagi apa-apa yang belum lengkap untuk bekal ke sekolah. Setelah itu ia akan membantu mamak membereskan rumah dan mencari blinjo lagi sampai saat menjelang berangkat sekolah. Begitu seterusnya berulang dari hari ke hari. Dari bulan ke bulan hingga dari tahun ke tahun. Hingga tak terasa bahwa hal itu sudah ia lalui sampai sekarang. Tentu masa-masa seperti itu tak lama lagi akan berakhir. Masa-masa indah yang takkan bisa diulangi lagi karena sebentar lagi, dalam waktu enam bulan ke depan ia akan menghadapi ujian SMA.
����������� Rian terbangun dari lamunannya ketika mamak masuk ke dapur. Tak terasa setengah jam ia telah duduk termenung di situ.
�Kenapa, Le, subuh-subuh koq udah melamun?� nerg mamak pada anak yang amat dibanggakannya itu.
�Rian mimpi ketemu Bapak, Mak,� jawabnya.
�nergy kalau gitu. Tengokin Bapak! Udah lamakan kamu ga nengokin Bapak? Yah meski Bapak udah punya keluarga sendiri, tapi kan kamu tetep anaknya to?� pinta mamak pada Rian.
�Minggu depan sudah mau puasa. Akan lebih baik jika sebelum puasa kamu sudah ketemu Bapak,� Mamak menambahkan.
Rian memang memendam rindu pada bapak. Begitu juga mungkin bapak. Mungkin itu juga yang menyebabkan ia bermimpi tentang bapak. Berkelebat lagi di benaknya bayangan saat-saat perpisahannya dengan bapak. Seminggu lebih bapak dan mamak bertengkar hebat di rumah. Ia tak tahu apa yang diributkan karena waktu ia masih terlalu kecil untuk tahu semuanya. Bapak bukan tipe lelaki yang berkeras diri. Itu mungkin yang membuat ia lebih memilih pergi. Entah apa yang menjadi pangkal persoalan tiba-tiba saja bapak sudah tidak ada di rumah. Terasa berat di awal namun ia akhirnya bisa melewatinya juga. Semua karena sosok mamak yang begitu gigih berjuang seorang diri sepeninggal bapak meninggalkan rumah.
Sampai saat ini Rian sendiri belum tahu dan sudah tak mau tahu apa penyebab mamak dan bapak berpisah. Mamak juga tak pernah menanamkan kebencian kepada sosok bapak meski mereka berpisah. Bahkan sejak berpisah, bapak rutin menengok Rian. Setelah besar dan tahu tempat tinggal bapaknya, malah Rian yang sering menengok bapak. Baginya, itu sebagai bentuk baktinya kepada orang tua meski ia tak sempurna mendapatkan curahan kasih nergy darinya. Dalam benak terdalam Rian, ia tak mau mengulang apa yang sudah menimpa kedua orang tuanya itu. Kelak ia ingin mendampingi anak-anak dan melihatnya tumbuh bersamanya, karena hidup tanpa sosok bapak adalah kehidupan yang pedih. Beruntung saja ia bisa mengubah kekecewaan itu menjadi nergy yang besar untuk menggapai apa yang ia cita-citakan. Tengok saja bagaimana anak-anak lain yang tak lengkap kehidupannya. Banyak yang terjerumus dalam lembah kekalutan sepanjang hidupnya. Suara adzan Subuh berkumandang menggugah sebagian kesadarannya. Diambilnya air wudhu di sumur belakang. Rian mengimami mamak sholat Subuh. Setelahnya, ia berdoa khusyuk sekali. Berdoa bagi kesehatan mamak dan juga bapak yang tinggal dekat kabupaten. Ia berencana untuk mengunjungi bapak minggu esok. Mumpung belum masuk bulan puasa.
�
***
�
����������� Hari minggu menjelang. Ada dua kebahagiaan sekaligus yang bakal direngkuh umat Islam hingga sampai pelosok-pelosok negeri saat ini. Yang pertama tentu libur penuh di bulan puasa yang telah menjadi keputusan final pemerintah. Keputusan itu tentu membahagiakan bagi banyak manusia terutama anak-anak sekolah. Kedua,di tahun ini, puasa dan lebaran terjadi dua kali. Sebuah berkah bagi umat muslim di dunia karena peristiwa ini jarang terjadi. Pemerintah berharap dengan libur sebulan penuh maka bulan Ramadhan akan menjadi lebih semarak baik di kota-kota maupun di desa-desa. Meski begitu banyak sekolah-sekolah yang mengadakan pesantren kilat guna memeriahkan sekolah yang sepi tanpa adanya kegiatan belajar. Di sekolah Rian, hanya murid beragama Islam kelas satu dan dua yang diwajibkan ikut. Seminggu penuh mereka wajib ikut pesantren kilat. Bahkan untuk murid laki-laki diwajibkan menginap agar bisa berbuka dan sahur bersama. Untuk murid kelas tiga lebih banyak diisi dengan les persiapan ujian. Itupun tidak seminggu penuh, hanya di hari Senin, Rabu dan Jumat. Pun selama setengah hari saja.����
����������� Setelah selesai membantu mamak membersihkan rumah, Rian mempersiapkan diri menjenguk Bapak di kabupaten. Mamak juga sudah selesai memasak, dan kemudian harus segera pergi karena tenaganya dibutuhkan oleh Pak RT yang menikahkan anaknya hari ini. Mamak sering dimintai tolong untuk memasak makanan. Ia memang terkenal bisa membuat masakan yang enak. Upah yang didapat dari pekerjaan itu lumayan untuk menyambung hidup sekeluarga. Mamak memberikan sekantung emping mentah untuk oleh-oleh. Sebelum benar-benar berangkat, entah kenapa sejenak waktu iamenolehke arah rumah yang ia tinggali saat ini. Ia sangat prihatin melihatnya. Rumah beratap gedeg itu semakin lama semakin miring. Mungkin dalam beberapa tahun ke depan akan roboh dengan sendirinya. Sejak ditinggal oleh Bapak, rumah itu memang sudah tak pernah diperbaiki lagi. Semakin lama semakin memprihatinkan. Bahkan kandang kambing di samping rumah lebih terlihat kukuh. Begitupun sumur di belakang kandang terlihat lebih bagus karena gedeg-nya masih baru. Sepanjang perjalanan ia bertekad di dalam hati supaya nantinya bisa memperbaiki rumah agar mamak lebih tenang beristirahat. Agar saat hujan tak perlu menaruh baskom akibat trocoh dimana-mana. Agar tak takut rumah roboh saat tidur dimalam hari.
Setelah lima menit berjalan kaki, segera saja ia sampai di jalan besar lintas selatan menuju kabupaten.� Ia menghentikan bis antar kabupatenyang tengah melintas. Di pagi hari bis Tigaperempat pasti ramai karena banyak mengangkut mbok-mbok penjual yang berangkat atau pulang dari pasar. Sepanjang perjalanan Rian hanya termenung sambil memandangi jalan. Teringat kembali ia akan mimpinya kemarin. Tentang usaha gigihnya bersama mamak bahu membahu menyambung hidup. Mengapa ia tak pernah menyalahkan bapak? Ya karena mamak tak pernah mengizinkan anak-anaknya membenci bapak. Kata mamak, ini semua sudah takdir. Kita tak bisa menyalahkan keadaan. Kita harus menerima keadaan dan menjadikannya sebagai dasar mengambil keputusan.
"Kalau masalah salah dan benar, Bapak dan Mamak sama-sama salah,Le,� terngiang ia akan perkataan mamak dulu ketika ia mencoba bertanya kepadanya tentang penyebab perpisahan mereka.
Ia pun tak pernah bertanya lagi setelah itu. Begitu pula ketika ia merasa sudah cukup besar ia mencoba menggali informasi mengenai penyebab perpisahan itu pada bapak. Bapak tak mau menjawab. Bapak berkata bahwa menceritakan penyebab perpisahan mereka sama dengan membuka aib. Biarlah itu menjadi masa lalu yang tak perlu diulang kembali.
����������� Rian telah sampai di terminal. Untuk sampairumah bapak masih harus naik angkot kuning sekali lagi. Setelah sepuluh menit, sampai juga Rian di jalan desa tempat tinggal bapak. Rumahnya tak jauh dari jalan. Paling hanya lima menit dengan berjalan kaki. Secara ekonomi kehidupan bapak jauh lebih baik daripada dirinya dan mamak. Bapak telah menikah lagi dan mempunyai sepasang anak. Laki-laki dan perempuan. Namanya Bayu dan Retno. Akhirnya ia sampai juga di depan rumah. Ia mengucapkan salam sambil mengetuk pintu rumah yang tertutup itu. Kondisi rumah sangat sepi. Perempuan paruh baya tergopoh-gopoh mendatangi pintu dan membukanya untuk tamu yang tak asing lagi. Bu Ningsih namanya. Istri bapak sekarang. Rian biasa memanggilnya bulek.
"Oh nak Rian. Masuk, Nak,� ucapnya.
Rian pun masuk sambil memberikan oleh-oleh emping yang dititipkan mamak tadi.
"Bapak ada, Bulek? Bayu sama Retno sehat?� tanya Rian pada ibu tirinya itu.
Bu Ningsih tak buru-buru ke belakang untuk membuat minum. Ia lantas duduk di depan anak tirinya itu.
"Bapakmu sudah agak mendingan sekarang. Sudah seminggu Bapakmu terbaring di kamar. Beliau sakit. Sekarang sudah agak mendingan, Nak. Alhamdulillah, Nak,� Bu Ningsih menjelaskan.
Rian terkaget. Mimpinya kemarin ternyata bermakna. Bapak sakit dan itu mungkin saja karena rindu dengan anaknya. Bergegas ia ke kamar tempat bapak berbaring diiringi ibu tirinya. Diketuknya pintu kamar. Tanpa perlu menunggu dibukanya pintu, dengan perlahan ia buka pintu kamar itu. Dilihatnya bapak sedang berbaring di ranjang. Ia hampiri bapak yang sempat menemani masa kecilnya itu. Bapak terbangun dari tidurnya yang tak nyaman. Lalu ia duduk. Raut mukanya berubah seketika setelah anak lelakinya mendatanginya.
"Bapak sakit apa toh?� tanya Rian dengan penuh kasih.
"Bapak gapapa koq cuma batuk aja,� jawabnya.
"Akhir-akhir ini Bapakmu ngrokoknya nambah, Nak. Itu mungkin yang bikin napasnya tambah sesek. Semakin tua seharusnya semakin dikurangi ngrokoknya to, Pak,� sahut Bu Ningsih dengan muka khawatir.
Rian hanya diam saja. Ia melihat lelaki itu semakin kurus. Laki-laki terkadang memang aneh. Sudah diurus bener-bener oleh pasangan hidupnya masih saja menjerumuskan diri ke dalam kesia-siaan. Namun Rian tak bisa berbuat apa-apa. Merokok adalah soal pilihan hidup. Teringat ia akan sebuah ungkapan yang terasa menohok sekali. Lelaki yang merokok di depan perempuannya adalah lelaki yang tak sepenuhnya bahagia dengan keberadaan perempuannya itu. Bagi orang yang bahagia dengan merokok, menyuruhnya berhenti ibarat menyuruhnya berhenti berbahagia di dunia ini. Menurutnya dengan memberikan alternatif lain yang bisa membahagiakan, bapak mungkin bisa mengurangi kebahagiaan dari merokok itu sendiri. Namun apa yang bisa diharapkan dari sebuah keluarga yang tak utuh. Tak mungkin ia meninggalkan mamak sendirian untuk tinggal bersama bapak, sementara bapak sendiri sudah punya keluarga baru. Seindah-indahnya perpisahan adalah seburuk-buruknya kebersamaan karena pasti ada yang terluka. Setidaknya itu yang ia rasakan saat ini. Ia merasa sedih melihat kondisi bapak.
"Sekolahmu gimana, Nak? Masih mau jadi tentra?� tanya Bapak mengagetkan lamunan Rian.
"Insya Allah Pak. Rian minta doa Bapak supaya cita-cita Rian lancar,� jawabnya mantap.
"Bapak bosen di kamar. Kita ngobrol di luar aja ya, Nak,� ajak Bapak kemudian.
Rian lantas memapah bapak menuju teras. Wajah bapak berangsur ceria. Sebenarnya bapak memang tak benar-benar sakit. Ia hanya rindu dengan anaknya itu, yang sudah enam bulan tak mengunjunginya. Lama sekali bapak dan anak itu berbincang di teras depan, ditemani teh hangat dan pisang goreng. Membicarakan apapun. Tentang pekerjaan bapak yang semakin lama semakin sepi, sekolah Rian, mengenang masa-masa kecil Rian dan yang lain-lain. Tawa mereka bersahutan diiringi batuk yang sesekali menyela. Tak terasa satu jam berlalu. Rian harus pamit pulang. Tak mungkin ia menginap karena ia kasihan dengan mamak di rumah. Namun secara tiba-tiba itu memperoleh ide. Ia kemudian memohon kepada Bulek Ningsih agar bisa membawa motor yang ada di rumah dan mengajak bapak jalan-jalan keliling kota sebelum ia pulangke rumah. Bu Ningsih mengiyakan saja. Asalkan itu bisa membuat bapak menjadi lebih sehat. Bapak sangat senang diajak oleh anak tertuanya itu jalan-jalan. Diboncengnya bapak menuju kabupaten dengan sepeda motor. Bapak duduk di belakang sambilmemegang erat-erat pinggang anaknya itu. Rian sengaja membawa motor dengan pelan. Ia teringat saat kecil dahulu dibonceng sepeda oleh bapak menuju pasar kecamatan. Saat ini, mungkin hanya ini cara yang bisa ia lakukan agar bapak semakin membaik kesehatannya, karena ia yakin awal mula datangnya penyakit adalah karena beban pikiran.
����������� Akhirnya sampai juga mereka di alun-alun kabupaten. Diparkirkannya motor itu di samping penjual mie ayam yang ada di situ.
"Kita makan dulu ya, Pak. Bapak dulu sering ngajak Rian makan mie ayam. Sekarang gantian Rian yang traktir,� Rian berbicara sambil tersenyum.
Bapak ikut tersenyum mendengarkan penuturan anaknya itu. Rian memahami kebahagiaan yang sedang bapak rasakan saat ini. Rian juga merasa bahagia. Bisa bersama dengan orang yang mencintai dan dicintai. Meskipun tak bisa sepanjang waktu. Cukup lama mereka bercengkrama mencurahkan rasa. Dan kelihatannya bapak pun sudah sehat sepenuhnya. Tak juga ia mengeluarkan rokok yang biasanya ia hisap sehabis makan. Rupanya ia tak ingin mengganggu anaknya itu. Anak yang tak mengikuti jejaknya untuk merokok. Anak yang tetap menjadi hebat saat ia tinggalkan. Anak yang tetap menjadi baik saat ia pergi. Ah, terkadang Bapak merasa malu di hadapan anaknya sendiri. Ternyata Tuhan menyelipkan permata diantara pecahan beling di kehidupannya.
����������� Matahari semakin tinggi saja meski malu-malu diantara awan-awan. Cuaca yang mendung menjadi penanda hujan yang bakal turun tak lama lagi. Rian segera mengajak pulang bapak agar tak kehujanan. Bapak yang belum begitu sehat akan tambah sakit jika harus terkena hujan di usia senjanya. Dipacunya motor dengan kencang menuju rumah. Sebentar saja mereka telah sampai di rumah. Rian tak langsung pulang. Bapak menahannya sebentar. Bapak ingin berbincang serius dengan anaknya itu. Sementara di luar mendung semakin tebal.
"Rian pengin tahu penyebab Bapak dan Mamakmu pisah? Umurmu sudah mau delapan belas, Nak. Kamu sudah cukup dewasa jika pengin tahu alasannya,� Bapak tiba-tiba bertanya dengan nada serius.
Rian terdiam. Ia menghela napas dalam-dalam. Lantas ia duduk kembali setelah tadi telah berdiri hendak berpamitan. Jawaban akan pertanyaan itu sudah lama sekali ia nantikan. Namun seiring waktu ia semakin tak memerlukan jawaban itu. Toh jawaban atas pertanyaan itu tak bisa mempersatukan keluarga yang sudah pisah sekian tahun.
"Namun Bapak harap kamu bisa memaafkan Bapak dan Mamakmu jika kamu sudah tahu semuanya,� tambahnya.
Rian menatap wajah bapak dengan tajam. Bapak malah menunduk karena rasa malu yang mendalam.
"Rian sudah tidak mau tahu apa-apa lagi tentang masa lalu keluarga kita, Pak. Toh itu tidak bisa mengubah apa-apa. Rian sudah ikhlas dengan takdir yang harus dijalani,� jawab Rian sedewasa mungkin.
"Bagi Rian, yang penting Bapak bisa bahagia dengan keluarga Bapak saat ini. Rian juga bisa selalu bahagia dengan mamak dan Tio. Dan satu lagi, Rian pengin Bapak selalu mendoakan Rian dan Tio agar segala yang kita cita-citakan bisa tercapai," imbuhnya.
Bapak terharu sekali mendengarkan penuturan anaknya itu. Dipeluknya erat-erat bujangnya itu. Tumpahlah airmata kebahagiaannya. Ia menangis kencang sekali. Menangis karena bahagia mendapati kenyataan bahwa anak yang ditinggalkannya sama sekali tidakmeninggalkan dendam. Tak menumpahkan kemarahan dengan berbuat hal-hal negatif. Dan masih mau mengakuinya sebagai bapak meski telah ia campakkan. Merekapun berpelukan lama. Rian ikut menangis sesenggukan. Tak tahu apa yang ia tangisi. Entah karena melihat bapak menangis. Entah karena menangisi kegetiran hidupnya. Entah karena merasa getir dengan ucapannya sendiri yang memang terlihat seperti ungkapan dari orang tua yang sudah puas dengan asam garam kehidupan. Ia heran karena mendapatkan energi sebesar itu. Ia lepaskan denganperlahan pelukan bapak. Rian pun mohon pamit. Bapak melepas anaknya itu di pintu depan. Melihatnya sampai hilang diantara pepohonan. Rian bergegas berjalan menuju jalan desa diiringi gerimis kecil. Saat berada di angkot kuning menuju terminal, hujan pun turun. Ia bersyukur tak basah kuyup oleh hujan. Lega sekali ia telah bisa membuat bapaknya bahagia kembali. Pikirnya menerawang jauh. Apakah gerangan yang telah membuat dirinya begitu bijak menghadapi hidup yang tak bisa dibilang mulus. Entahlah. Nyatanya banyak manusia di dunia ini yang tak lebih bahagia dibanding dirinya sekarang.
Memori Masa Silam
�
����������� Lebaran tinggal menunggu hari. Suasana desa semakin ramai. Apalagi kalau bukan karena pulangnya para pemudik dari ibukota. Pagi hari setelah sahur lebih rame lagi. Suara ojek yang mengantar para pemudik dari terminal menuju rumah seperti tak berhenti bersaut-sautan. Desa yang biasanya sepi menjadi meriah. Banyak pula pedagang makanan dan mainan dadakan menjelang lebaran ini. Ada penjual bakso, mie ayam, pecel, gembus, kacang rembus, mpek-mpek juga gorengan. Paling lama bertahan sampai lebaran selesai setelah para pemudik telah balik ke ibukota. Mengapa seperti itu? Karena berdagang makanan di desa tak akan begitu laku. Daya beli pemukim desa sangat rendah. Tak ada yang bisa diandalkan dari hasil bertani daripada sekadar untuk bertahan hidup. Hanya berharap pada pundi-pundi para pemudik saja para pedagang dadakan ini berharap untung. Setelah itu mereka kembali lagi ke pekerjaan awal sebagai pedagang sayuran di pasar atau buruh tani di sawah. Damar ikut senang dengan perubahan yang terjadi di desanya sekali dalam setahun itu. Di desa yang pada zaman Pak Harto termasuk sebagai desa tertinggal itu memang tidak ada yang bisa diharapkan lebih. Desanya berada di perbatasan antara dua kabupaten, dipisahkan oleh kali Lesung. Jalannya tak pernah mulus. Jangankan aspal, timbunan kerikil dan pasir pun tidak. Jalan desa akan menjadi kubangan saat musim hujan sedang deras-derasnya. Tapi masyarakat desa menerima dengan lapang dada kondisi yang ada. Mereka menyadari bahwa tak ada dari mereka sendiri yang bisa memperjuangkan nasib desanya. Letak mereka jauh dari kabupaten. Tak cukup banyak orang berpendidikan tinggal di desa. Hanya beberapa guru yang mengajar di SD. Sedangkan birokrat yang berkarir di kantor kabupaten bisa dikatakan nihil. Apalagi anggota dewan yang berasal dari desa yang mungkin bisa menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Dan kondisi seperti itu sudah terjadi sejak Republik ini berdiri. Terkadang mereka merasa seperti anak yang tak dianggap. Ada, namun tiada. Kalau kata warga desa ga dianggep ning nyolok moto. Beberapa pemuka desa sempat berujar agar desa bergabung saja dengan kabupaten tetangga di seberang kali Lesung yang kondisinya relatif maju, jalannya mulus, dan banyak mendapatkan perhatian dari pemerintah kabupaten.
����������� Bagi Damar, momen terbaik selain berlebaran dengan keluarga adalah bisa bersua sahabat karibnya yang telah setahun lebih merantau ke ibukota. Namanya Benowo. Lelaki bertampang sangat ndeso, berambut panjang, pendek berotot namun sangat setia kawan. Bicaranya juga sangat lugas dan jelas, yang kemungkinan besar disebabkan oleh giginya yang agak sedikit berada di �area permainan lawan�. Bagi Damar, Benowo tak cukup beruntung karena tak bisa melanjutkan sekolah setamat SMP. Adik-adiknya ada lima. Dan ia tak tega melihat orangtuanya berpeluh keringat disawah untuk membiayai anaknya yang berjumlah delapan, sementara ia harus pergi bersekolah. Kakak-kakaknya hanyalah lulusan SD. Ia saja yang menganggap dirinya sangat beruntung karena bisa mengenyam pendidikan sampai SMP. Makanya setelah lulus dari SMP ia memutuskan untuk merantau ke Jakarta dan bertekad untuk bisa membantu bapaknya membiayai adik-adiknya minimal sampai lulus SMA. Ia memutuskan lekas-lekas bekerja juga dikarenakan mendapatkan tawaran menggiurkan dari perantau senior untuk bekerja di pabrik sendok di daerah Rawa Buaya. Damar dan Benowo adalah sahabat kental sedari kecil. Benowo adalah teman terbaik yang menemani dan mengajari Damar sejak kelas 3 SD, saat pertama kali Damar menginjakkan kaki di desa itu. Dulu, Damar tak terlalu fasih berbahasa Jawa. Bersekolah di tengah-tengah pulau Sumatera dengan bersekolah di pedesaan di Jawa ternyata berbeda sekali. Dengan sabar, Benowo menuntun Damar beradaptasi di sekolah barunya. Damar memang tak lahir di desa ini. Dahulu, Bapak, Mamak, Damar dan Nurul merantau di tengah-tengah belantara pulau Sumatera. Setelah sepuluh tahun diperantauan dan mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk membeli beberapa tanah ladang, bapak memutuskan untuk kembali lagi ke Jawa. Bapak dan mamak mengkhawatirkan nasib pendidikan anak-anaknya kelak karena di tengah-tengah belantara pulau Sumatera jarang sekali ada anak yang bisa bersekolah. Selepas SD mereka akan bekerja di pabrik atau perkebunan lalu menikah muda. Bapak tak ingin anak-anaknya bernasib seperti itu. Baginya cukup ia dan mamak yang tak berpendidikan. Damar dan adik-adiknya harus punya pendidikan yang tinggi biar tak hidup susah, terombang-ambing oleh perubahan zaman. Selain itu bekerja di pabrik kayu lapis juga bakal ada masanya. Ketika kayu telah habis maka sudah tidak ada lagi yang bisa dikerjakan. Itulah mungkin yang menyebabkan Damar bisa akrab dengan Benowo. Namun selepas SMP ia menanggung kegetiran ketika sahabat karib yang telah banyak membantunya itu tak bisa melanjutkan pendidikannya. Benowo sendiri tak mempermasalahkan itu. Baginya adik-adiknya harus bisa lebih baik darinya sekarang. Memang pencapaian sebagai tolok ukur kesuksesan tiap-tiap orang itu berbeda. Suatu kali ia pernah berujar bahwa beberapa orang diberi beberapa pilihan oleh Tuhan. Dan sebagian yang lain tak diberi pilihan. Hanya bisa menjalani ketetapannya saja.
�
����������� Di hari terakhir puasa Benowo telah sampai rumah. Tak sabar ia ingin bertemu Damar, sahabatnya yang sudah setahun tak dijumpainya. Begitu juga Damar. Sebulan penuh puasa tanpa aktivitas sekolah yang padat membuatnya sedikit bosan. Apalagi tak melihat Hanum selama sebulan seperti kering rasa di hatinya. Biasanya Damar, Benowo dan juga teman-teman pengajian akan berkumpul di masjid saat malam takbiran tiba. Mereka akan bergantian mengumandangkan takbir di masjid sembari mengobrol menceritakan apapun. Saat malam semakin larut para pemuda pengajian itu akan diminta oleh Pak Kaum untuk membagikan zakat fitrah ke rumah-rumah para mustahiq zakat. Perjalanan membagikan zakat di malam yang larut dengan memasuki pelosok-pelosok desa sangatlah mengasyikkan. Tak ada yang mencekam sama sekali karena di malam takbiran rumah-rumah bakal ramai oleh ibu-ibu di dapur yang sibuk mempersiapkan makanan untuk lebaran esok. Di sudut-sudut desa para penjual makanan juga ramai dikunjungi para muda-mudi yang barusan sampai dari Jakarta. Dahulu di malam-malam seperti itu, biasanya Benowo dan Damar akan menjadi satu tim yang kompak dalam membagi zakat. Satu tim biasanya terdiri dari dua sampai tiga orang dan berkewajiban membagikan zakat kepada lima atau enam mustahiq zakat.
����������� Malam takbiran kali ini masih sama seperti malam takbiran sebelum-sebelumnya. Benowo menuju masjid setelah selesai berbuka puasa di rumah. Dilihatnya dari teras masjid Damar sedang khusuk mengumandangkan takbir sebagai ungkapan akan Kebesaran Allah, Tuhan Semesta Alam.� Damar khusuk sekali menyerapi tiap makna dari kumandang takbir. Namun bagi Benowo, Damar belum sepenuhnya lulus dari penghayatan akan kumandang takbir jika ia belum pernah merantau dan merasakan jauh dari orangtua. Di saat jauh seperti Benowo saat ini yang merantau ke ibukota, saat itu juga ia akan sempurna memaknai kumandang takbir di hari raya. Rasa rindu akan orang tua dan juga kampung halaman atau mungkin kekasih akan lebih bisa dimaknai saat telinga mendengar kumandang takbir. Meski itu cuma� terdengar lewat iklan di TV. Begitulah adanya iklan sirup yang bukannya membangkitkan rasa suka namun malah membuat orang menjadi sedih karena rindu kampung halaman. Beberapa saat kemudian Benowo menepuk pundak Damar. Damar pun menoleh. Segera ia selesaikan takbirnya. Ia serahkan pengeras suara kepada kawan yang lain yang ikut takbiran. Segera ia menyalami sahabatnya itu. Lantas mereka bergegas menuju teras masjid dan berbincang di sana. ���������
"Bagaimana kabar Ibukota, Ben?� tanya Damar kemudian.
"Jakarta masih seperti orang tak berkepribadian, Mar. Kadang jahat, kadang baik, kadang marah, kadang dermawan dan kadang juga pelit,� jawabnya berfilosofi.
Damar memang punya obsesi tentang Jakarta. Ia ingin ke sana. Tapi bukan sebagai pekerja, melainkan sebagai mahasiswa.
"Desa kita gimana perkembangannya, Mar?� Benowo balik bertanya.
"Masih seperti biasanya, Ben. Masih seperti ini saja. Jalan belum banyak berubah. Kali juga belum dikeruk supaya memperkuat tanggul, jadi sawah petani masih sering terkena banjir. Kamu sendiri betah di Jakarta? Tak inginkah kau pulang terus membangun desa ini?" tanya Damar meledek.
"Entahlah, Mar. Tak mau juga aku mati di Jakarta. Tapi sekarang yang aku bisa lakukan ya cuma itu. Di desa kita susah nyari duit cepet. Oh ya bagaimana dengan kelompok barzanji kita. Masih aktifkah?� Benowo kembali bertanya.
"Masih, Ben. Tapi sepertinya tak ada regenerasi lagi. Angkatan kita bakal jadi yang terakhir. Jarang ada anak muda yang tertarik dengan kencreng. Aku khawatir saja tak bakal ada lagi yang mau melestarikan budaya baik itu,� Damar berkisah dengan raut muka sedih. Permainan kencreng memang menemani kebersamaan mereka dahulu. Setiap malam Senin kelompok kencreng yang dipimpin oleh Siwo Dalawi itu akan rutin mengadakan latihan secara bergiliran di rumah-rumah anggotanya. Anggotanya sendiri merupakan perpaduan dari generasi tua dan muda. Namun sayang semakin lama generasi mudanya semakin sedikit. Bagi santri yang fasih bacaan arabnya akan berposisi sebagai pemimpin pembacaan salawat sekaligus pembaca kitab Barzanji. Bagi santri yang kuat fisiknya, akan menabuh kencreng, seperti Benowo misalnya. Kelompok kencreng itu juga satu-satunya di desa sehingga selalu laris diundang saat acara puputan digelar.
�"Beberapa dari kita kelak memang harus ada yang pulang, Mar. Membangun desa ini. Mewariskan hal-hal baik yang telah banyakdilupakan. Kalau kamu tak perlulah. Kamu cukup pandai. Orang pandai sepertimu harus mengejar cita-cita yang lebih dari sekadar kembali membangun desa,� Benowo memaparkan.
Damar kemudian terdiam. Sebenarnya Benowo bukanlah murid yang biasa-biasa saja. Ia secara akademis cukuplah pandai. Ia sangat kritis saat SD dulu. Bahkan ia lebih jago berhitung dibanding dirinya dahulu. Namun keadaan benar-benar mengalahkannya. Sementara itu Damar sendiri juga merasa bingung. Bercerita tentang kampung halaman ia masih tak begitu paham. Dimana kampung halamannya ia juga tak tahu. Ia dilahirkan di tengah belantara hutan di Jambi di tengah-tengah Sumatera. Kemudian ia harus pulang ke Jawa, ikut dengan orang tuanya. Tak tahu lagi dimana sebenarnya kampung halamannya. Di Jambi kah? Tak ada siapa-siapa lagi yang ia kenal di sana? Di Jawa kah? Meskipun ia sekarang tinggal bersama orang tuanya, nyatanya ia adalah seorang anak adam yang dilahirkan dari rahim tanah Sumatera. Meminum air� sungai Batanghari. Yang menurut mitos, barang siapa telah mencicipinya bakal kembali lagi ke sana. Kemudian mereka melanjutkan perbincangan itu hingga adzan Isya berkumandang. Segera mereka beranjak mengambil wudlu lalu mengambil shaf terdepan. Khusuk sekali mereka berjamaah sholat Isya. Masjid yang biasanya sepi, malam itu terlihat ramai sekali. Teman-teman Damar dan Benowo yang telah banyak merantau pun pulang di hari lebaran kali ini. Masjid yang ramai itu mengingatkannya akan kenangan mereka delapan tahun lalu ketika mereka masih kecil dan sibuk mengaji di masjid. Sebelum pindah ke tempat Pak Mahmud. Sungguh menggetarkan hati. Tentu tak ada yang lebih indah daripada kenangan indah di masa kecil bukan?.
����������� Benar saja, menjelang tengah malam utusan Pak Kaum mengundang para pemuda yang masih tersisa di masjid untuk membagikan zakat fitrah, termasuk Damar, Benowo dan beberapa pemuda. Mereka memang tak mempunyai tempat yang lebih favorit untuk mengobrol di malam takbiran selain di masjid. Mereka senang saja dengan tugas tahunan mereka itu. Itu artinya mereka akan bebas bercerita sepanjang malam sambil membagi-bagikan zakat ke warga yang kurang mampu. Itu bukan tugas yang sederhana karena warga tak mampu di desa jumlahnya cukup banyak. Apalagi janda-janda tua berumur panjang dan tinggal mendiami rumah yang sudah tak layak. Setelah makan malam dengan menu gulai kambing yang disediakan di rumah Pak Kaum, Damar dan Benowo pun kebagian membagikan zakat ke ujung desa. Mereka memang memintanya sekaligus berjalan-jalan ke pelosok desa. Mereka membawa empat karung beras untuk empat orang tak mampu.
����������� Sepanjang perjalanan mereka mengobrolkan banyak hal. Terutama cerita-cerita menarik yang belum pernah mereka perbincangkan sebelumnya.
"Kamu masih memendam rasa pada Rumi, Ben?� tanya Damar pada Benowo seketika.
"Mungkin masih. Kamu kenapa tiba-tiba menanyakan itu. Kamu sendiri gimana dengan Wulan anak juragan legen. Teman SD kita yang centil itu?� Benowo balik bertanya.
"Itu sudah lama sekali, Ben. Itu hanya cinta monyet sesaat karena di masa-masa SD dulu pasti kita akan dijodoh-jodohin. Iya kan?� Damar berkilah.
"Iya juga sih. Aku hanya curiga saja. Biasanya hanya orang yang sedang memendam rasa yang peduli dengan perasaan sahabatnya,� Benowo menyindir Damar. Ia sangat paham dengan kondisi kejiwaan sahabatnya itu
"Atau kamu sedang jatuh cinta kawan?� imbuhnya.
Damar tersenyum simpul di tengah gelapnya jalanan desa. Ia tak langsung menjawab. Sedikit malu-malu akhirnya ia membuka suara.
"Aku sedang bingung, Ben. Di SMA ada satu gadis yang mengusik hidupku. Aku tak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Menurutmu aku harus bagaimana?� Damar malah balik bertanya.
"Ya udah ikuti saja perasaanmu. Kalau dia lulus SMA langsung aja kau ajak kawin,� Benowo mengejek sinis.
"Gila kau, Ben, kamu kan udah tahu kalau aku pengin kuliah. Lantas mengapa kamu menyuruhku lekas-lekas kawin,� jawabnya kemudian.
"Hidup itu harus memilih kawan. Aku mengorbankan sekolahku agar adik-adikku bisa sekolah lebih tinggi dari aku. Begitu juga kamu. Orang berpacaran itu tujuannya menikah. Aku tahu sekali kamu, Mar. Tak mungkin kamu pacaran hanya untuk main-main. Nanti kamu apakan pacarmu kalau kamu sudah kuliah di Jakarta. Kamu tinggal di sini? Lantas bagaimana kalau kamu tak lulus?� tanya Benowo.
Damar terdiam tak menjawab. Ia heran kenapa sahabat-sahabatnya berpikiran serupa. Ia benar-benar penasaran. Apa memang setiap jawaban dari pertanyaannya sudah tertulis di jidatnya sehingga jawaban Rian dan Benowo hampir persis sama. Tahu keduanya sudah saling kenal dan janjian untuk mengejeknya. Atau jangan-jangan ia yang salah memilih teman. Pikirannya malah ke mana-mana.
"Aku tak bisa membayangkan jadi kamu, Mar. Memikirkan sekolahmu saja sepertinya kamu sudah sangat pusing. Mamak tadi cerita tentang kamu. Katanya kamu tak pernah keluar rumah. Sepulang sekolah paling ke kebun. Setelah itu di rumah saja tak pernah main ke mana-mana. Orang-orang membicarakanmu, Mar. Mereka bilang kalau kamu sekarang sombong. Tapi aku tahu kamu dan tak peduli itu. Kamu punya keinginan yang kuat untuk merubah nasibmu. Menjadi kamu tentu tak mudah kawan. Aku yakin kamu pasti sedang fokus belajar agar cita-citamu tercapai. Akan sangat sayang jika harus menambah beban pikiran lagi,� tambahnya.
Damar mencerna setiap perkataan Benowo, sahabatnya itu. Hatinya semakin kalut. Akankah berpengaruh dalam kehidupannya nanti jika mengabaikan nasihat kedua sahabatnya itu. Ia berpikir keras. Pada akhirnya ia sadar bahwa yang tahu perasaannya adalah dirinya sendiri. Ia adalah lelaki dewasa yang bertanggungjawab atas pilihannya sendiri, bukan orang lain meski itu sahabatnya sendiri. Ia benar-benar percaya pada kekuatan cinta. Setidaknya saat ini. Ia mungkin memang sedang benar-benar kehilangan akal sehat.
"Oh ya, Mar, ngomong-ngomong perempuan yang mengalihkan perhatianmu itu siapa sih? Dari desa mana?� Benowo bertanya penasaran.
"Dia dari desa di seberang rel,� jawab Damar singkat.
"Kamu tahu ga cerita dari orang tua kita?� Benowo kembali bertanya dengan antusias.
Damar hanya menggelang.
"Hubungan sejoli antara lelaki atau perempuan yang berasal dari utara rel kereta api dengan lelaki atau perempuan yang berasal dari selatan rel kereta api tak akan bisa langgeng,� Benowo meledek dengan mimik muka serius.
Sekali lagi Damar hanya tersenyum saja. Bisa-bisanya ada mitos seperti itu. Tentu itu hanya cara menakut-nakuti yang dilakukan oleh orang yang pernah gagal dalam cintanya. Meski memang mitos itu ada kisahnya. Ia sebenarnya tahu itu. Ia hanya berpura-pura agar Benowo merasa puas dengan olok-oloknya. Mbah Mun pernah menceritakan itu ketika ia masih kecil.
Waktu di zaman penjajahan dahulu ada seorang putri demang bernama Sri Palupi dari kademangan di selatan rel kereta api, dia tergila-gila dengan pemuda bernama Sujiwo dari utara rel kereta, yang berjualan burung di pasar kawedanan. Gadis cantik itu tergila-gila karena saat sang pemuda berjualan, siulan dari mulutnya sangat merdu melebihi merdunya suara burung-burung yang ia jual. Begitupun Jiwo yang sangat terpesona dengan kecantikan Sri. Perasaan mereka bak gayung bertemu dengan air. Asmara yang membara diantara keduanya pun tak bisa dibendung lagi. Sri jadi sering ke pasar. Ia pergi dengan alasan mencari kebutuhan rumah tangga. Menjadi aneh saja karena itu terjadi hampir tiap hari. Namun pada akhirnya Sri dipergoki oleh bapaknya lewat telik sandi yang ia utus setelah sang bapak curiga dengan anaknya yang selalu pergi ke pasar tiap harinya. Pada akhirnya hubungan itu pun tak direstui. Pedagang burung di pasar tentu tak pantas bagi seorang anak demang pada masa itu. Sang pemuda diusir dari pasar. Ia dilarang bersiul apalagi berjualan. Berita tentang pelarangan Sujiwo berjualan burung juga disebar ke segala penjuru arah angin. Pasar-pasar pun dilarang menerima kedatangan Sujiwo sang penjual burung. Tidak cukup sampai di situ, akhirnya semua pedagang burung juga dilarang berjualan di pasar kawedanan. Lapak yang tadinya digunakan untuk memajang burung diganti menjadi tempat menjual buah kelapa. Setelah kejadian itu, Sujiwo pusing bukan kepalang. Hatinya pedih karena pengusiran. Cintanya pada Sri juga membuatnya merana. Mata pencahariannya juga hangus oleh keegoisan sang demang. Ia lantas memutuskan untuk pergi berkelana menyeberangi selat Sunda dan bersumpah untuk tidak akan menginjakkan kakinya di tanah Jawa. Ia benar-benar sedih dan kecewa dengan perlakukan ki demang kepadanya. Sri pun sakit-sakitan sepeninggal Sujiwo. Sakitnya tak membuat ia meninggal. Ia menjadi gila dan selalu bersiul-siul di jalanan. Sang demang pun menyesali semua perbuatan jahatnya pada Sujiwo. Ia tak menyangka begitu besar cinta anaknya pada lelaki penjual burung itu. Ia berharap Sujiwo mau pulang dengan harapan anaknya bisa sembuh. Namun apa lacur. Sumpah sudah terucap dan tak bisa ditarik lagi. Kegilaan Sri semakin menjadi-jadi. Bahkan ia tak mau pulang lagi ke rumah. Ia ngglarang dari pasar ke pasar. Bersiul-siul sambil menyebut-nyebut nama Sujiwo. Sang demang semakin teriris hatinya. Rasa bersalahnya bercampur dengan jengkel. Akhirnya sang demang pun ikut-ikutan bersumpah bahwa setiap lelaki atau perempuan dari daerahnya di selatan rel kereta api yang berhubungan asmara dengan lelaki atau perempuan dari utara rel kereta api akan bernasib serupa dengan anaknya. Sengsara karena penderitaan cinta. Sang demang pun mati bunuh diri karena rasa malu yang amat sangat. Meski cerita itu hanya mitos belaka, pada kenyataannya banyak orang yang masih mempercayainya. Terutama bagi mereka yang perlu pembenaran atas kegagalan hubungan mereka.
����������� Menjelang sepertiga malam, selesai juga pembagian zakat yang ditugaskan. Sebelum benar-benar pulang, Benowo memberikan sekaleng besar biskuit untuk Damar. Untuk pulang ke rumah, Damar memang harus melewati rumah Benowo. Katanya oleh-oleh dari Jakarta. Buat nambahin sajian di meja tamu saat lebaran esok. Setelahnyaia lalu bergegas pulang. Tidur dua sampai tiga jam tentu diperlukan guna menghadapi esok lebaran yang padat aktivitas. Damar mengetuk pintu rumah dengan agak keras agar mamak bangun membukakan pintu. Mamak memang langsung bergegas membukanya. Rupanya mamak belum sepenuhnya tidur. Beliau baru saja merebahkan tubuhnya diranjang dan matanya baru saja kemriyep. Mamak baru selesai ngungkep ayam dan merebus ketupat. Lebaran selalu istimewa buat keluarga Damar. Setiap lebaran tiba empat sampai lima ekor ayam kampung disembelih oleh bapak untuk menjamu tamu. Tentu yang disembelih adalah ayam peliharaan sendiri. Kebiasaan yang terus berlanjut dari sejak di Jambi hingga saat ini.
Teringat ia akan kenangan makan ayam di masa kecil dulu. Bapak selalu kebagian dada dan brutu karena bapak adalah kepala keluarga. Damar selalu kebagian bagian paha. Begitu juga Nurul, adiknya. Katanya biar larinya kencang. Damar dan Nurul tak boleh makan kepak. Kata nenek juga atuk di Jambi dulu, saat itu jika anak-anak makan kepak ayam nanti besarnya akan sulit mendapatkan jodoh. Akan ditolak oleh lawan jenis. Aneh memang tapi mamak hanya tersenyum tanpa sepatah katapun mengingat penjelasan nenek tetangga rumah yang sudah dianggap saudara sendiri itu. Dan pada akhirnya mamaklah yang menghabiskan kepak ayam. Setelah cukup dewasa, akhirnya Damar bisa memakan gurihnya sayap ayam. Ia jadi tahu kenapa waktu kecik dulu tak boleh makan kepak ayam. Ternyata karena rasanya yang lebih gurih dibanding bagian-bagian lainnya.
�
***
�
����������� Terlalu lelah di malam takbiran membuat Damar bangun agak kesiangan. Mamak membangunkannya hampir pukul setengah enam. Sementara itu gema takbir masih menggema sedari subuh tadi. Dulu saat ia masih SD tak mungkin jam segitu ia belum bangun karena sejak subuh anak-anak sudah mengantredi tempat Pak Kaum untuk meminta sangu. Begitu memang kebiasaannya. Pak Kaum akan menyediakan sekantong plastik uang receh yang dibagi-bagikan kepada anak-anak kecil yang mendatangi rumahnya. Dua ratus atau tiga ratus rupiah amat berharga buatnya. Namun sekarang tak lagi karena Damar sudah bukan anak-anak lagi. Malu juga dengan umur yang sudah jauh beranjak dari dua digit.
Sehabis sholat Subuh, ia lantas membersihkan rumah. Merapikan meja dan mempersiapkan makanan di meja tamu dibantu oleh Nurul. Mamak sibuk menyantani ayam yang sudah diungkep tadi malam. Lontong sudah tersedia di meja makan. Ada juga sambal goreng kentang dengan potongan ampela dan hati. Mamak menyiapkan juga sayur bening untuk tamu maupun keluarga yang tak mau opor ayam. Tersedia juga tahu dan tempe, baik yang digoreng maupun dibacem. Lengkap pokoknya. Sementara itu di meja tamu telah tersaji beraneka cemilan khas lebaran. Mamak membuat peyek, kacang bawang, rengginang, satu kacang ijo, kue unca, jipang, kuping gajah dan kacang telur. Mamak juga membuat tape ketan item dan juga agar-agar untuk tamu yang tak suka kue kering. Sementara itu, astor, kacang kapri dan kacang bandung didapat oleh mamak dari membeli di pasar. Begitu juga dengan permen aneka rasa yang amat diminati anak-anak. Tak lupa biskuit kaleng pemberian Benowo juga ia taruh di meja.
Damar terduduk di kursi. Ia melamun lagi. Sebulan penuh ia telah berpuasa. Puasa terakhirnya sebagai anak sekolah. Beberapa teman desanya telah memilih untuk mandiri sebelum waktunya. Tak melanjutkan sekolah tapi memutuskan untuk mencari uang. Merantau ke ibukota dengan bekal keterampilan seadanya. Sebagian besar menjadi buruh pabrik, buruh bangunan atau berjualan keliling menjajakan barang-barang kebutuhan sehari-hari di ibukota. Beberapa merantau di Sumatera atau Kalimantan menjadi buruh di perkebunan sawit, karet atau tebu. Ada yang juga yang pergi ke negeri jiran menjadi TKI ilegal. Beberapa yang beruntung mendaftar menjadi tamtama atau bintara ABRI, itu pun setelah menjual sawah atau kebun. Sedikit saja yang bisa berkuliah. Itu pun kebanyakan mengambil program D-II PGSD. Banyak yang telah berubah. Teman-temannya yang dulu amat bersahaja sekarang pulang dengan memakai baju baru, jam tangan yang bagus dan juga gaya bicara yang baru juga. Mereka juga banyak menceritakan perihal mudahnya mencari uang di perantauan. Terkadang terbersit iri di hatinya. Terlebih tak ada yang mendukung ia sepenuhnya untuk kuliah selain bapak dan mamak. Terlebih lagi saat melihat beberapa lulusan PGSD yang hanya menjadi guru bakti bertahun-tahun dan tetap menjadi beban orang tua. Pilihan yang sulit memang. Apalagi saat Bulek Mirna menasihatinya pada suatu waktu.
"Apa kamu tak kasihan sama Mamak dan Bapak, kelamaan sekolah, ga kerja-kerja tapi membebani orang tua terus. Lihatlah itu Komariyah anak Bu Joyo, setahun di Jakarta sudah membelikan kulkas untuk mamaknya. Apa kamu ga pengin begitu juga?"
Damar menceritakan omongan Bulek Mirna itu kepada bapak. Bapak hanya bilang agar mengabaikannya saja. Untuk menggapai cita-cita memang banyak pengorbanan yang harus dilakukan. Banyak cibiran diterima. Bapak malah bilang akan sangat kecewa jika Damar harus terhenti di tengah jalan. Namun terkadang tetap saja pikiran itu mengganggunya. Dilihatnya wajah Nurul, adiknya yang sudah mulai beranjak dewasa. Tiga setengah tahun lagi dia juga akan lulus SMA. Lantas siapa yang akan membantu membiayai kuliahnya jika saja ia berhasrat untuk kuliah seperti dirinya.
����������� Damar beranjak dari duduknya. Diambilnya handuk dan segera menuju kamar mandi. Di hari lebaran mengapa harus berpikir yang berat-berat batinnya. Tentu dengan mandi pagi badan dan pikiran akan menjadi segar. Setelah berganti dengan baju terbaik, memakai sarung dan kupluk, ia lantas menuju meja makan untuk berbuka. Memang sebelum sholat idul Fitri dianjurkan untuk makan terlebih dahulu. Diambilnya nasi, sayur bening serta tahu bacem sebagai menu berbuka. Ia masih belum mau makan ketupat. Mungkin nanti saja setelah pulang pikirnya. Lahap sekali ia menyantap bacem tahu kesukaannya itu meski ia hanya mengambil dalam porsi sedikit saja. Sambil menunggu bapak, ibu dan Nurul bersiap-siap, ia menuju ruang tengah lantas diambilnya remote TV yang tergeletak di atas lemari.
����������� Beberapa TV menayangkan live siaran Sholat Idul Fitri dari Masjid Istiqlal. Sementara itu berita pengeboman malam Natal masih juga ramai di TV. Aksi para biadab yang menjual agama untuk menuntaskan hasrat membunuhnya itu menelan korban puluhan nyawa tak berdosa. Perayaan hari besar agama yang hampir bersamaan yang seharusnya berlangsung meriah menjadi duka di seluruh penjuru Indonesia. Bom meledak di gereja-gereja di Batam, Pekanbaru, Jakarta, Bandung, Mojokerto dan beberapa daerah lain. Umat Kristiani berkabung. Umat Islam juga ikut berduka karena beberapa saudara muslim yang ikut menjaga perayaan misa di beberapa gereja juga menjadi korban kebiadaban itu. Damar kadang terheran-heran. Bagaimana bisa seseorang dengan sengaja menampilkan wajah yang garang atas nama agama. Apakah doktrin ayat-ayat suci hanya sampai di tenggorokan saja sehingga mengambil darah sesama manusia seperti mencabut pentil dari ban. Reformasi yang telah bergulir lebih dari dua tahun itu sepertinya juga belum memberikan efek baik yang berarti. Di tingkat elit politik, masih saja ribut bertikai untuk memperebutkan kekuasaan. Simbol-simbol negara yang dahulu sangat sakral sekarang menjadi dihinakan oleh ulah mereka-mereka sendiri. Rasa aman yang telah hilang setelah krisis moneter tak kunjung pulih kembali. Bahkan aksi kriminalitas berlatar belakang perbedaan agama dan kesukuan semakin menjadi-jadi. Tengoklah bagaimana memprihatinkannya konflik di Ambon. Pembantaian dukun santet oleh ninja misterius yang juga menyasar guru ngaji di Jawa Timur juga sangat menyedihkan. Pembunuhan, penganiayaan dan juga pengeboman menjadi berita yang biasa dikonsumsi dari media massa. Sementara itu media massa penghasut kebencian juga semakin bebas berkeliaran. Era keterbukaan memang seperti saringan santan yang jebol. Segala rupa propagandayang baik maupun yang buruk bisa dinikmati tanpa terkendali. Semua orang baik pandai maupun dungu berhak berbicara atas nama kebebasan berpendapat tanpa mau mempelajari fakta terlebih dahulu. Lebih tepatnya bangsa ini telah keblabasan dalam berdemokrasi. Di sisi lain masyarakatnya belum sepenuhnya bisa menerima perbedaan dalam berbagai sisi.
����������� Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat. Bapak, ibu dan Nurul telah siap dengan baju terbaiknya menuju masjid desa untuk melaksanakan sholat Idul Fitri. Mereka berempat kompakberjalan beriringan menuju masjid yang tak begitu jauh dari rumah. Sholat dimulai tepat pukul tujuh pagi. Imam menyampaikan khotbah dengan begitu semangat. Di hari raya ini umat Islam memang layak bergembira setelah sebulan penuh menahan musuh terbesarnya, yaitu hawa nafsu dengan berpuasa sebulan penuh. Namun Khotib yang juga sekaligus imam sholat juga mengingatkan bahwa merayakan kemenangan bukanlah dengan mengunjungi tempat-tempat maksiat, bukan dengan berpesta pora berlebih-lebihan, namun harus dirayakan dengan melakukan zikrullah, mensyiarkan agama Allah, mengumandangkan kalimat tasbih, takbir, tahlil dan tahmid sebagai pengakuan akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Idul Fitri juga selayaknya meningkatkan ikatan tali persaudaraan, saling mencintai, santun-menyantuni, dan memupuk rasa kesetiakawanan. Merapatkan tali silaturahmi dengan saling memaafkan, saling berkunjung antara keluarga dengan keluarga, tetangga dengan tetangga, sahabat dengan sahabat, baik saudara muslim maupun non muslim. Apalagi ketika bangsa Indonesia sedang diuji kerukunannya dengan fitnah dunia yang keji. Khatib mengakhiri khotbah dengan ajakan agar umat Islam tidak luntur semangat beribadahnya ketika bulan Ramadhan telat lewat. Bulan Ramadhan adalah bulan latihan sekaligus ujian agar dibulan-bulan berikutnya umat Islammenjadi semakin baik ibadah maupun akhlaknya.
����������� Kurang lebih pukul delapan sholat Idul Fitri selesai. Setelah selesai bersalam-salaman, Pak Paiman mengajak istri dan kedua anaknya sungkeman ke rumah mbah kung dari garis bapak. Tinggal mbah kung ditemani mbah wedok, istri kedua mbah kung yang ada di rumah. Pakde dan paman dari keluarga bapak belum ada yang datang. Mereka kebanyakan tinggal di luar desa bahkan di luar kabupaten. Agak siang biasanya mereka baru datang. Setelah cukup waktu yang digunakan untuk bersilaturahmi, Pak Paiman dan keluarga lantas melanjutkan perjalanan menuju rumah mbah wedok dari garis mamak yang berada agak jauh diujung desa dengan berjalan kaki. Berkebalikan dengan mbah kung dari garis bapak, mbah wedok dari garis mamak telah lama hidup sendiri tanpa pendamping. Memang begitu umumnya. Wanita lebih bisa bertahan menghadapi zaman saat ditinggal pasangannya. Mereka memanggil mbah wedok dengan sebutan mbah ibu. Mbah lanang dari garis mamak telah lama meninggalkan rumah. Semua karena fitnah keji di masa awal-awal kemerdekaan. Mbah lanang harus menghabiskan hidup di Nusakambangan sebagai tahanan politik tanpa kepastian. Tepatnya pada bulan Maret tahun 1966 mbah lanang dijemput dari rumah oleh tiga orang misterius bersenjata. Mbah ibu yang masih amat muda saat itu tak tahu apa-apa dan tak bisa berbuat apa-apa. Pada awalnya mbah ibu telah mengikhlaskan jika memang mbah lanang harus mati oleh peluru pertikaian rezim pada saat itu. Namun saat satu persatu warga desa kembali dari Nusakambangan dan membawa kabar keberadaan mbah di sana, harapan mbah ibu tumbuh kembali. Namun amat disayangkan, mbah lanang tak pernah kembali lagi. Hanya sebuah surat pemberitahuan tentang penguburannya di tahun 90-an yang menjadi bekal keyakinan mbah ibu bahwa mbah lanang telah wafat dalam pengasingan. Kata mbah ibu, sebenarnya mbah lanang dulu bukanlah seorang aktivis dari kelompok ideologi yang bertikai pada saat itu seperti yang dituduhkan oleh demang desa. Mbah lanang hanyalah seorang guru desa yang dikirim dari Jogja untuk mengajar di sekolah rakyat dan juga seorang aktivis koperasi pengagum Bung Hatta yang mencoba membantu mengentaskan kemiskinan desa lewat gerakan koperasi. Ia dikorbankan karena kebencian demang desa bermotif asmara padanya. Demang desa merasa kecewa ketika mbah ibu menerima pinangan mbah lanang di saat demang desa tersebut telah lama mengincarnya. Pengakuan itu sendiri diungkapkan oleh demang desa kepada mbah ibu setahun sebelum sang demang desa mati tertabrak truk di jalan kecamatan dengan usus yang terburai. Pengakuan atas kelalimannya di masa lalu yang membuat hidup sebuah keluarga hancur berantakan. Pengakuan yang tak berpengaruh apapun selain rasa sesal yang tak hilang sampai mati. Mbah ibu masih belum bisa memaafkan perlakukan demang desa meskipun dia telah lama terkubur berkalang tanah. Pertemuan antara mbah lanang dan mbah ibu sendiri terbilang unik. Mbah lanang pada waktu itu mengajar sekolah rakyat di desa bagian utara dekat kaki bukit bernama Brengkol. Pada masa itu tidak setiap desa mempunyai sekolah rakyat. Biasanya sekolah rakyat hanya ada di desa yang besar dan penduduk desa-desa kecil di sekitarnya akan menyekolahkan anak mereka di sekolah rakyat di desa induk tersebut. Itu pun hanya bagi keluarga yang mampu menyekolahkan anaknya saja. Mbah ibu adalah salah satu murid kesayangan mbah lanang karena kepandaiannya dalam menangkap pelajaran. Namun ternyata perasaan itu tak hanya berhenti pada hubungan antara guru dan murid. Perasaan cinta tumbuh seiring seringnya berinteraksi. Mbah lanang menikahi mbah Ibu selepas mbah ibu lulus dari SR. Masih sangat muda memang, karena belum genap berumur 15 tahun. Namun kata mbah ibu, mbah lanang dulu sangatlah baik dan sabar. Mbah lanang rela menunggu setahun sampai mbah ibu mendapatkan menstruasinya yang pertama. Pernikahan bahagia itu dikarunia tiga orang anak. Anak pertama adalah mamak. Sedangkan kedua adik mamak adalah lelaki, sehingga Damar memanggilnya paman. Sebutan mamak sendiri mempunyai cerita tersendiri di saat semua perempuan dari garis mamak yang telah mempunyai anak akan dipanggil ibu. Mamak sendiri dipanggil seperti itu sejak merantau di Jambi dan bergaul dengan masyarakat asli Jambi, orang melayu. Panggilan sehari-hari mereka untuk perempuan yang telah menikah dan telah mempunyai anak adalah mamak. Hingga pada akhirnya Damar dan Nurul memanggil mamak seperti anak-anak lainnya di Jambi pada saat itu. Saat mbah lanang dibawa ke Nusakambangan, Mamak belum genap berumur lima tahun. Sementara paman yang pertama berusia tiga tahun dan paman kedua belum genap setahun. Periode itu adalah periode terberat dalam hidup mbah ibu. Lewat perjuangan yang gigih, mbah ibu menghidupi ketiga anaknya. Mamak sebagai anak perempuan tertua membantu mbah ibu menghadapi masa-masa terberat itu. Mamak hanya bersekolah sampai SD saja. Mamak mengorbankan pendidikannya karena berharap kedua adiknya bisa mempunyai harapan yang lebih baik. Akhirnya kedua adiknyabisa bersekolah hingga lulus SPG dan menjadi guru. Mamak yang masih sangat muda menerima pinangan keluarga bapak karena tak ingin terlalu lama membebani mbah ibu saat itu. Setahun menikah dalam ketidakpastian bapak dan mamak memutuskan untuk kembali merantau ke belantara sumatera, tepatnya di desa Rantau Indah, Muara Sabak, Jambi menyusul para transmigran dari Jawa Timur yang lebih dulu membuka lahan di sana. Disanalah Damar dilahirkan hingga kembali lagi ke Jawa tepat saat naik kelas tiga SD. Dan pada akhirnya Pak Paiman memutuskan untuk tinggal dan menghabiskan hidup di Jawa.
����������� Setelah lebih dari lima belas menit berjalan kaki akhirnya mereka sampai di rumah mbah ibu di ujung desa. Raut muka mbah ibu jauh lebih tua dari umurnya. Semua karena kegetiran hidup di masa mudanya. Setelah pindah dan tinggal di Jawa, Damar dan Nurul lebih dekat dengan mbah ibu karena perempuan memang lebih bisa memahami perasaan anak-anak. Disaat ingin sendiri, Damar sering menginap menemani mbah yang tinggal sendirian. Di desa memang sudah terlihat umum jika menjumpai para lansia hidup sebatang kara dan tak mau menumpang hidup pada anak-anaknya. Ada kenangan indah tertinggal yang tak mau mereka lepaskan begitu saja dari tempat menghabiskan hidup sebelum maut menjemput salah satu dari mereka. Begitupun dengan mbah ibu. Sehari dua hari saja menginap di rumah Damar, atau di tempat paman, pasti esoknya minta diantar pulang. Itu juga yang menjadi pertimbangan Damar ataupun Nurul sesekali menemani mbah ibu di rumahnya. Mbah ibu tak pernah betah tinggal bersama anak-anaknya. Damar teringat kembali akan indahnya masa-masa kecil saat menginap di tempat mbah ibu. Di pagi hari mbah ibu akan sibuk menyiapkan sarapan untuk cucunya itu. Mbah ibu tak akan kekurangan makanan di rumah karena pekarangannya luas. Sering mereka makan ganyong rebus yang banyak hidup di pekarangan belakang. Yang tak mudah dilupakan juga adalah ketika mbah ibu sedang menggoreng pisang. Tak seperti orang pada umumnya, mbah selalu memotong pisang menjadi beberapa bagian kecil seperti dadu lantas diaduk dengan adonan tepung seperti saat menggoreng bakwan. Pisang goreng menjadi lebih crispy dan tidak eneg. Selain itu juga bisa jadi lebih banyak. Mbah ibu juga senang membuat cucur maupun galundeng yang biasa orang kota sebut sebagai roti goreng. Sesekali mbah membuat sego wuduk. Tempe dan tahu bacem mbah ibu juga yang paling sedap di dunia. �������
����������� Satu hal yang hanya bisa ia dengar dari mbah ibu dan tidak diceritakan oleh orang lain adalah mengenai silsilah keluarga mereka. Damar tak pernah tahu silsilah keluarga dari garis mamak karena mamak memang tak pernah mau bercerita. Mamak mencoba berdamai dengan masa kecilnya yang pedih ditinggalkan bapak. Semua cerita hanya didapati dari mbah ibu yang selalu bersemangat saat bercerita kepada cucu-cucunya. Cerita yang selalu diingatnya adalah tentang leluhurnya yang ternyata adalah seorang Tumenggung. Damar tak mau mencari kebenaran akan cerita mbah ibu karena ia berpikir bahwa cerita hanyalah sekadar apa yang diceritakan, belum tentu hal-hal itu memang terjadi dan juga ada. Di sisi lain, kalaupun cerita itu benar tetap saja tidak bisa mengubah jalan hidup mbah ibu yang penuh dengan penderitaan. Damar berprinsip bahwa keberhasilan adalah buah pikir dari manusia, bukannya ditentukan oleh garis darah atau keturunan. Cerita hanya sebagai peletup semangat agar bisa menjadi lebih baik. Cerita bermula saat Pangeran Diponegoro ditangkap oleh pemerintah kolonial. Tumenggung Wirajenaka, salah satu pendukung setianya melarikan diri setelah satu persatu tokoh-tokoh besar yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro dalam perang di Jogja ditangkapi. Tumenggung Wirajenaka akhirnya lari ke barat. Kepedalaman Kadipaten Bagelen dekat Kutowinangun. Lari ke sebuah desa yang bernama Pekacangan. Pekacangan ini dekat Pecarikan dan Pejengkolan. Letaknya dibawah bukit. Ada jalan besar yang biasanya dilewati saat hendak bepergian ke Wonosobo. Wirajenaka akhirnya membuat persembunyian. Dia membuka lahan baru yang awalnya berbentuk rawa di daerah selatan Brengkol dan ia beri nama Kabuaran. Daerah yang pada awalnya berupa rawa-rawa itu, lambat laun berkat pengerahan massa yang dilakukan oleh sang Tumenggung berubah menjadi sebuah perkampungan. Beredar isu bahwa ternyata pemerintah kolonial belanda telah menemukan daerah pelarian Wirajenaka melalui telik sandi yang disebar. Pihak kompeni Belanda hendak menangkapnya. Berbekal kecerdikannya, Sang Tumenggung menemukan sebuah ide brilian untuk menghindar dari sergapan kolonial Belanda. Wirajenaka akhirnya bekerjasama dengan kepala desa Pekacangan, menukar nama kedua daerah tersebut. Wirajenaka yang saat itu memimpin perkampungan baru dan menamakannya dengan nama Kabuaran akhirnya mengubah nama menjadi Pekacangan. Pekacangan yang dekat Pecarikan dan Pejengkolan berubah nama menjadi Kabuaran. Masing-masing pemimpin memberitahu warganya untuk mengganti nama desa mereka untuk sementara. Akhirnya Belanda sampai di Kabuaran (sebelumnya Pekacangan), namun setelah melakukan penggeledahan segala macam tetap saja tak menemukan keberadaan sang Tumenggung. Strategi tersebut ternyata jitu sekali. Belanda bisa dikelabuhi dengan mudah. Wirajenaka akhirnya bebas dari Belanda dan menetap di Pekacangan sampai meninggal dan beranak-pinak. Mbah ibu juga menceritakan versi lain yang tak kalah menariknya. Konon katanya Tumenggung Wirajenaka mempunyai ilmu ghaib yang bisa membutakan mata Belanda. Suatu kali kompeni Belanda mendapatkan laporan dari para informannya mengenaikabar tentang adanya pemukiman baru di daerah selatan yang terlihat mencurigakan. Para kolonial ini pun berniat untuk mengunjunginya. Ketika sampai di perbatasan desa, Belanda melihat Pekacangan seolah-olah sebuah rawa tanpa penghuni. Mereka pulang dengan kecewa karena tak menjumpai apapun. Pada akhirnya kedua desa tetap bertahan dan tak bertukar kembali sampai sekarang. Pekacangan sekarang berbatasan dengan Karanggetas disebelah utara, Luweng Kidul di sebelah timur, Petuguran di sebelah selatan dan Pesuningan disebelah barat. Setelah Indonesia merdeka, kedua desa yang sengaja tertukar itu akhirnya terpisah menjadi bagian dari dua kabupaten yang berbeda, yaitu Pekacangan dibawah Kabupaten Purworejo dan Kabuaran di bawah Kabupaten Kebumen.
����������� Mbah ibu masih seperti biasanya, menyediakan es sirup ABC rasa jeruk yang hadir di tiap lebaran, meski sudah mulai ditinggalkan. Mbah masih menganggap anak-anak kecil saat ini menyukai sirup jeruk itu. Damar selalu menghabiskan segelas sirup di tempat mbah ibu. Itu semata-mata karena ingin menghargai mbah yang beranggapan bahwa anak-anak pasti menyukainya. Iya meski telah kelas 3 SMA, bagi mbah ibu, Damar tetaplah seorang anak-anak. Damar dan Nurul selalu betah di rumah mbah ibu. Apalagi setelah keluarga paman yang tinggal di kabupaten juga datang menggunakan mobil kijang tua. Paman memang lebih beruntung dibandingkan mamak. Setelah lulus SPG, ia hanya perlu menjadi guru bakti selama tujuh tahun saja sebelum diangkat menjadi guru negeri. Beberapa kawan guru baktinya malah ada yang belum diangkat hingga saat ini. Suasana rumah pun menjadi ramai sekali. Tak lama kemudian, bapak, mamak dan Damar pamit meninggalkan Nurul dan mbah ibu bersama keluarga paman yang datang dari Kabupaten. Mereka harus berkumpul di rumah Pak Lurah seperti tahun-tahun sebelumnya.
����������� Sudah menjadi kewajiban Pak Lurah untuk menjamu setiap warganya saat lebaran tiba. Acara ramah tamah itu berlangsung hingga siang menjelang. Bapak-bapak berkumpul dengan bapak-bapak. Ibu-ibu juga begitu. Sementara itu para muda-mudi diwajibkan melayani para sesepuh dari mulai menyiapkan makanan, menyajikannya hingga nanti membersihkannya. Di saat seperti itulah warga desa bisa bercengkerama dan bebas bercerita apapun. Setelah dari rumah Pak Lurah, dan matahari sudahtak begitu terik, barulah para warga desa akan saling berkunjung terutama kepada keluarga dan tetangga dekat. Begitu pula dengan Pak Paiman sekeluarga. Mereka akan berkeliling lagi ke tetangga dekat tempat para orang tua tinggal hingga sebelum Ashar. Setelahnya hanya Damar dan Nurul saja yang berkeliling. Bapak dan mamak akan tinggal di rumah menunggu tamu yang datang. Begitulah adatnya. Orang tua menjaga rumah, sementara anak muda wajib berkeliling mengunjungi setiap rumah.
����������� Malam harinya Damar dan kawan-kawan pengajian mengunjungi rumah guru ngaji mereka. Namanya Pak Mahmud. Seperti sudah menjadi kebiasaan, kediaman Pak Mahmud akan ramai di malam pertama lebaran. Para mantan santri akan datang silih berganti hingga terkadang membuat Bu Mahmud kewalahan. Bagi santri-santri pemula, itu menjadi kesempatan bagi mereka menunjukkan bakti mereka dengan cara membantu Pak Mahmud melayani tamu. Damar dan Benowo adalah teman satu pengajian juga. Dulu pada saat masih SD, bukanlah hal yang aneh saat para santri menginap di rumah Pak Mahmud sehabis mengaji. Dengan menggelar karpet para santri akan tidur berjajar seperti ikan asin yang dijemur. Mereka membawa bantal sendiri dari rumah. Bagi Damar dan Benowo banyak kenangan tertinggal di langgar tempat para santri mengaji. Salah satunya yang tak terlupakan adalah ketika Pak Mahmud diundang kenduri oleh para tetangga. Terkadang pengajian akan libur, dipercepat atau ditunda tergantung hari apa undangan untuk kenduri itu. Setiap sohibul hajat di desa akan memberikan berkat lebih banyak kepada Pak Mahmud karena sebagian besar dari mereka menitipkan anak-anak mereka untuk mengaji di tempat Pak Mahmud. Berkat yang dibawa pulang Pak Mahmud akan dimakan rame-rame oleh para santri. Mereka akan berebut suwiran ingkung yang tak seberapa. Nikmat sekali rasanya meskipun dalam pithi itu hanya berisi nasi, suwiran ayam kampung, lalapan mentah, oseng mie gepeng, oseng kubis, krupuk merah putih dan srundeng. Kenikmatan bukan terletak pada berkatnya, tapi kepada kebersamaan para santri dalam mensyukuri nikmat yang tersedia. Para santri juga tidak tiap hari�menyetorkan� bacaan kepada Pak Mahmud. Pak Mahmud membuat jadwal harian yang wajib ditaati. Para santri pemula yang sedang belajar membaca huruf hijaiyah diwajibkan belajar turutan dan� �menyetorkan�bacaan tiap malam Senin, Rabu dan Sabtu. Selain hari itu para santri pemula diwajibkan belajar membaca kepada santri yang sudah mengaji Al Qur'an. Bagi santri yang telah khatam turutan bisa meneruskan belajar Al Qur'an dan memberikan setoran bacaan kepada Pak Mahmud tiap malam Kamis dan Minggu. Tiap malam Selasa seluruh santri diwajibkan mendengarkan ceramah fiqih kitab Safinatunnajah ataupun kitab� Sulamuttaufiq. Sedangkan pada malam Jumat semua santri diwajibkan mengkaji kitab Ta'limul Mut'aalim dilanjutkan dengan pembacaan kitab Barzani. Pak Mahmud memang tak menuntut para santrinya agar lekas pandai membaca Al Qur�an. Pak Mahmud lebih mengharapkan para santrinya menjadi pribadi yang rendah hati dan berakhlak mulia. Pak Mahmud merupakan lulusan pesantren di kabupaten dan mengabdikan sebagian besar hidupnya menjadi guru ngaji, selain bertani mengolah sawah tentunya. Semua agar ia bisa menjaga izzahnya karena beliau memang tak pernah memungut biaya apapun kepada para santri atau pun berharap belas kasihan pada pemerintah. Bagi beliau balasan dari Allah sudah sangat cukup untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
����������� Bagi Damar, hari lebaran pertama amat membahagiakan sekaligus melelahkan. Di hari kedua lebaran, Damar dan Benowo mengunjungi guru-guru SD mereka di masa kecil. Beberapa tinggal di desa dan beberapa lainnya tinggal di desa tetangga. Tentu banyak kejadian menarik yang tak bakal mereka lupakan saat mereka mengunjungi guru-guru SD dahulu. Kejadian yang paling tak terlupakan adalah saat berkunjung ke rumah Pak Kosim, guru agama mereka beberapa waktu yang lalu. Damar, Benowo, Samsul dan Huda bersepeda berboncengan menuju rumah Pak Kosim di desa seberang, yaitu di desa Pecarikan. Tak ada yang aneh pada awalnya. Kebetulan Pak Kosim berada di rumah dan mempersilahkan para muridnya itu untuk mencicipi makanan yang tersedia di meja. Saat itu beberapa jajanan yang disajikan menarik perhatian mereka. Damar terheran-heran karena di tempat pak Kosim masih tersaji roti blungkang yang legendaris itu. Ada juga bolu emprit merah putih yang menggugah selera. Untir-untir tawar dan manis juga tersedia menemani beberapa kue kering lainnya seperti peyek, kacang atom dan kacang kapri. Dahulu, roti panggang kering (yang mereka sebut sebagai blungkang) itu selalu hadir menemani mie gepeng, bolu emprit, kelapa dan juga beras dalam jobong ibu-ibu. Menjadi bekal kondangan mereka menuju tempat hajatan seperti kelahiran anak, pernikahan atau sunatan. Saat ini di desanya sudah tak ada lagi yang menyajikan roti blungkang maupun bolu emprit sebagai sajian lebaran. Lantas beberapa dari mereka mencicipi beberapa makanan kering itu. Namun tidak bagi Benowo. Ia sangat menyukai peyek kacang. Dan ia hanya mau makan peyek kacang. Jika di depannya ada peyek kacang dan ia tidak memakannya, maka selama tujuh hari tujuh malam ia tidak akan bisa tidur. Butiran-butiran kacang yang gurih dan lembut akan terus menghantui pikirannya. Melayang-layang tanpa henti di depan pelupuk matanya. Lantas dengan penuh semangat menggelora, diambilnya peyek kacang dalam toples lonjong yang terletak di depannya. Pak Kosim memang mencetak peyek kacang berbentuk bulat dalam ukuran jumbo. Sayangnya pak Kosim tak mencicipi dulu peyeknya itu sebelum disajikan untuk para tamu yang hadir. Pada gigitan pertama Benowo merasakan sengar tak enak. Ternyata peyek pak Kosim sudah tengik. Tak ada tempat sampah maupun tisu di situ, sehingga Benowo tak enak saat hendak memuntahkannya. Sambil nyengir, terpaksa dengan perlahan ia telan peyek tersebut sedikit-demi sedikit sembari berdoa agar Pak Kosim segera pergi dari situ, entah dengan alasan apapun, tiba-tiba diare,tak menjadi masalah. Dipanggil Bu Kosim-lah, kebelet kebelakang lah, terpenting asal beliau mau pergi ke belakang karena Benowo sudah tak tahan makan peyek kacang tengik itu. Doa Benowo dikabulkan oleh Tuhan. Pak Kosim mohon izin ke belakang dulu karena ada hal yang harus ia kerjakan. Setelah Pak Kosim ke belakang Benowo langsung menaruh sisa penyek yang belum ia habiskan itu di atas meja. Ia kemudian menghabiskan air minum yang telah disajikan untuk menetralisir rasa sengar ditenggorokannya. Teman-temannya hanya menertawakannya. Ia bilang kepada kawan-kawannya kalau peyeknya tengik. Ia lantas mencari akal bagaimana membuang sisa peyek yang belum habis itu. Tak mungkin ia kembalikan ke toples karena itu akan kelihatan, oleh sebab warna toplesnya bening. Ia tak habis akal. Mereka saat itu duduk di dipan panjang beralas plupuh. Untuk alas duduk dipakailah tikar anyaman menutupi plupuh. Ditaruhnya sisa peyek tadi dibawah tikar anyaman. Setidaknya tidak akan ada yang tahu sampai pak Kosim membersihkan dipan itu atau ada orang yang mendudukinya nanti. Setelah Pak Kosim keluar, merekapun buru-buru pamit pulang. Sepanjang perjalanan pulang mereka tak henti-hentinya menertawakan kemalangan dan kejahilan Benowo, kawan mereka. Kejahilan yang menandakan bahwa Benowo bukanlah lelaki biasa saja. Setidaknya ada tiga pelajaran berharga yang bisa diambil dari kejadian konyol itu. Pertama, ciciplah setiap makanan sebelum disajikan kepada tamu. Jangan sampai makanan yang disajikan mengandung racun atau sudah busuk. Kedua, selalu bersihkan tempat yang tertutup alas. Jangan-jangan banyak sisa makanan yang bisa mengundang kecoa atau semut untuk datang karena kecoa termasuk binatang yang bisa menyebarkan penyakit. Yang terakhir jadilah seperti Benowo. Tak habis akal di saat-saat kepepet.
�
***
�
����������� Tak terasa lebaran sudah masuk hari kelima. Damar merasakan lelah yang luar biasa. Liburan juga tinggal dua hari lagi. Itu termasuk liburan tahun baru. Ingin rasanya ia berkunjung ke rumah Hanum, tetapi ia sadar ia belumlah jadi siapa-siapanya. Ia masih belum sepenuhnya yakin akan usahanya. Sementara itu teman-temannya juga sibuk dengan kesibukan mereka masing-masing. Beberapa kawan di desa mengajaknya ke pantai untuk merayakan akhir lebaran karena beberapa perantau sudah harus segera balik ke kota. Damar tak berhasrat ke pantai. Selain karena rasa lelah, beberapa bulan yang lalu ia juga sudah ke sana. Meski tak enak menolak ajakan kawan-kawannya, rasa lelah yang tak biasa itu tak bisa saja ia abaikan karena ia takut akan jatuh sakit nantinya. Sementara itu ujian caturwulan tinggal sebulan lagi. Damar menghabiskan waktu di rumah saja sambil menunggu beberapa sanak saudara ataupun tetangga yang bersilaturahmike rumah. Lebaran yang sangat singkat baginya.
�
�
Kerudung Warna Biru
�
����������� Hanum bangun kesiangan. Ia kelelahan setelah pulang dari tempat mbah uti di daerah Lembah Tidar, Magelang. Letaknya tak jauh dari kompleks Akmil. Memang sudah menjadi kebiasaan Hanum dan keluarga mengunjungi mbah Utidari pihak ibu setiap lebaran tiba. Di sore hari pertama lebaran, mereka berangkat. Dua jam perjalanan tak terlalu terasa karena jalan yang mereka lalui memang mulus. Selain itu rasa bahagia karena berjumpa orang-orang tercinta juga bisa mengalahkan segala kesusahan. Mbah mengharuskan Hanum menginap di rumahnya. Setiap di Magelang, Hanum selalu diajak oleh bulek berkeliling kota. Tiap tahun juga ia diajak berwisata ke Borobudur. Sampai bosan ia karena itu terjadi hampir tiap tahun. Malam hari kedua lebaran, baru mereka diperbolehkan pulang lagi ke Kebumen.
����������� Suasana lebaran ketiga, di tempat Hanum sudah mulai sepi. Wajar saja karena memang lahan persawahan didesanya lebih luas dibanding rumah warga desanya. Desa tempat tinggal Hanum memang tak terlalu banyak didiami warga. Rumahnya besar-besar dan halamannya luas. Rumah-rumah dengan pekarangan luas bergerombol dalam kelompok yang tak lebih dari sepuluh rumah dipisahkan bulakan sawah sepanjang kira-kira lima ratus meter. Itu yang kadang membuat Hanum takut keluar malam, karena saat malam datang, suasana pedesaan menjadi sangat sepi. Sangat kontras memang dibandingkan dengan kebiasaan desa di Jawa yang padatdengan rumah dan ramai. Selepas sholat Subuh, Hanum lantas membantu ibu memasak di dapur. Sementara itu Hanafi sudah terlihat rapi. Hanafi harus menghadiri undangan temannya yang menikah di Jogja. Akad nikah yang dijadwalkan pukul sembilan pagi, membuat Hanafi terpaksa berangkat pagi-pagi. Temannya yang menikah adalah senior Hanafi di kampus. Sementara itu, ayah masih seperti biasanya, menikmati kopi sambil menonton TV di ruang tengah. Ibu memasak agak banyak untuk tamu yang datang. Brongkos ayam kampung dan sop sayuran menjadi menu utama yang dimasak olehnya. Sementara itu Hanum membantu menggoreng tahu, tempe dan membuat sambal terasi. Setelah cukup lama bergumul dengan tungku di dapur, akhirnya mereka menyelesaikan masakan mereka. Hanum lantas menuju kamar mandi untuk menyegarkan badan. Ia kemudian berganti baju dengan baju baru yang dibelikan oleh ibu. Hanum meminta ibu untuk membelikannya beberapa baju dan juga rok panjang. Ia sudah membulatkan tekad untuk lebih menutupi tubuhnya dengan hijab. Momen Ramadhan yang lalu menjadi titik balik itu semua. Meski sebenarnya ia telah lama ingin berkerudung agar lebih bisa menutupi diri. Hadiah dari Danu juga menyiratkan akan keinginan kekasihnya itu. Namun ia ingin memulainya dengan sepenuh hati hanya karena Allah semata. Ibu juga telah menjahitkan semua baju sekolah yang baru. Baik seragam OSIS, PMR maupun Pramuka.
����������� Hanum lantas ke ruang tengah menemani ayah yang masih asik menonton TV. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Film Warkop yang ditayangkan di TV swasta menemani ayah hingga ia lupa mandi dan sarapan pagi.
"Ayah, mandi dan sarapan dulu. Nanti kalau ada tamu yang dateng, Ayah masih bau prengus kan kasihan tamunya," ledek Hanum.
"Ya udah. Ayah mandi dulu. Tapi jangan dipindah tivinya. Ayah masih mau nonton,� jawab Ayah gamblang.
Hanum hanya tersenyum melihat tingkah pola ayahnya. Film Warkop DKI memang membangkitkan memori masa mudah ayah dan ibu. Terutama pada sosok almarhum Kasino, sang pemeran multidialek, yang asli kelahiran Gombong. Yang celetukan-celetukannya berjasa menaikkan rating filmnya. Pada masa itu layar tancap masih menjadi hiburan yang dinanti-nantikan masyarakat desa. Selain komedi slapstickseperti halnya Warkop DKI, film-film kolosal seperti Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi, Si Buta dari Gua Hantudan Saur Sepuhjuga menjadi raja di pertunjukkan-pertunjukan layar tancap di pelosok-pelosok desa. Begitu juga dengan film romance dari sang Raja Dangdut Rhoma Irama yang begitu digandrungi. Sayangnya masa keemasan layar tancap berlalu seiring bertambahnya siaran TV swasta yang mengudara. Meski begitu, drama-drama kolosal masih bisa dinikmati oleh para pendengar di pelosok-pelosok desa melalui sandiwara radio. Beberapa stasiun TV swasta juga menayangkan cerita-cerita kolosal yang didaur ulang menjadi sinetron. Meskipun begitu, sinetron-sinetron tersebut tetap tidak mampu menyaingi kedigdayaan film laga kolosal pada zamannya.
����������� Jam menunjukkan pukul sembilan lewat. Ayah telah selesai mandi dan juga sarapan pagi bersama ibu. Beberapa tetangga pun mengunjungi rumah. Mereka adalah tetangga rumah yang tak sempat bertemu di hari pertama lebaran. Hanum sendiri masih asyik menonton Warkop di ruang tengah. Hampir pukul setengah sepuluh, terdengar suara motor perlahan berhenti di halaman rumah. Kemudian turunlah seorang lelaki tinggi besar berambut rapih belah pinggir. Kemudian ia mengucapkan salam saat berdiri tepat di depan pintu. Ayah yang sedang duduk di kursi tamu menjawab salam itu lantas mempersilahkannya masuk.
"Oh Nak Danu. Masuk, Nak," ucap Ayah.
"Selamat lebaran, Om Pras. Maafin Danu kalau selama ini dah banyak bikin salah ke Om,� Danu mengulurkan tangannya memohon maaf.
"Sama-sama, Nak. Bapak juga sering khilaf. Maklumlah orang tua," ayah menyambut uluran tangannya itu.
Sementara itu, ibu yang mendengar kedatangan Danu, segera keluar dari dapur dan menemuinya. Begitu pula Hanum. Namun ia teringat akan sesuatu. Ia belum menggunakan kerudung. Hanum lalu berlari menuju kamar. Dipilihnya kerudung yang hendak dipakai. Tak banyak kerudung yang ia punyai. Ia lihat kerudung yang terlipat rapi di lemari, kerudung yang ia terima sebagai hadiah ulang tahun dari Danu. Segera ia ambil kerudung biru yang masih baru itu, lalu dipakainya sambil berkaca di depan cermin. Ia merasa berbeda dengan dirinya yang dulu.
����������� Hanum tak lantas keluar menemui Danu, kekasihnya. Ia ke dapur dulu membuat teh hangat untuk disajikan. Ia juga memberikan kesempatan kepada ayah dan ibu untuk mengobrol terlebih dahulu. Ia masih tak percaya dengan penampilan barunya. Segera ia kembali ke kamarnya dan memandang wajah dirinya yang baru, di depan cermin. Wajah yang telah tertutupi hijab. Ia benar-benar seperti melihat orang lain. Lama ia membenarkan posisi kerudungnya yang dirasa belum pas. Ia tak sadar ketika ibu menepuk pundaknya,sambil berucap, "Semoga kerudungmu benar-benar karena Allah, Nduk. Ibuk ga seneng kalau lihat perempuan bukak tutup kerudung sak enakeudele dhewe".
"Insya Allah ga koq, Bu. Hanum ingin menjadi muslimah yang lebih baik bukan karena manusia. Hanum melakukan ini InsyaAllah karena Allah, Bu,� jawabnya sambil memeluk orang yang paling disayangi itu.
"Sudah keluar temui pacarmu itu, Nduk. Kasian udah nunggu dari tadi, "perintah ibu sambil melepaskan pelukan anak perempuannya itu.
Hanum kemudian mengambil nampan dan menaruh teh hangat yang telah ia buat, lantas keluar menuju ruang tamu. Danu menyambutnya dengan senyum tak biasa. Terpancar kekaguman luar biasa diwajahnya. Hanum menyalami Danu dan lantas duduk di samping ayah. Ayah lantas undur diri dan masuk ke ruang tengah. Tinggal Danu dan Hanum saja di situ. Tak enak di ruang tamu berduaan saja dan juga bakal repot kalau ada tetangga yang datang bertamu, Hanum mengajak Danu mengobrol di teras depan. Danu mengiyakan saja. Diambilnya teh hangat yang telah dibuatkan oleh Hanum itu. Hanum juga membawa serta beberapa toples kue kering yang ada di meja.
"Hanum gimana kabarnya? Sehat, kan?" Danu membuka percakapan.
"Alhamdulillah, Mas. Untung, Mas dateng hari ini? Kalau kemarin datengnya, Hanum lagi di Magelang, loh," Hanum balik bertanya.
"Hanum kan pernah cerita kalau tiap lebaran pasti ke Magelang. Oh iya, Hanum suka?� Danu bertanya sambil menunjuk kerudung yang dipakai Hanum.
Hanum mengangguk saja.
"Hari ini saja atau seterusnya?� Danu kembali bertanya dengan antusias.
"Insya Allah seterusnya, Mas,� jawabnya.
Begitu bahagianya hati Danu mendapati jawaban seperti itu. Hadiahnya ternyata tak sia-sia. Keinginannya yang tak sempat terucap oleh lisannya ternyata dipahami oleh kekasihnya itu. Mereka berdua pun lantas melanjutkan perbincangan apa saja, tentang cita-cita dan juga harapan dari hubungan mereka ke depan. Hingga tak terasa waktu telah lama berlalu. Dan hari ini adalah hari Jumat. Danu tak bisa lama-lama lagi. Ia harus segera pulang karena harus menunaikan sholat Jumat. Ia pun berpamitan. Namun ibu menahannya sebentar agar ia bisa mencicipi masakan yang sudah tersaji. Danu pun tak sungkan. Dengan ditemani ayah, ia menyantap makanan yang sudah disediakan. Hanum merasa belum lapar, sehingga tidak ikut makan. Ia menunggu saja di ruang tengah bersama ibu.
Setelah kenyang menyantap makanan, baru ia benar-benar diperbolehkan pulang. Hanum melepas kekasihnya itu dari teras rumah. Kekasih yang sepertinya begitu tulus mencintainya. Kekasih yang mungkin belum benar-benar bisa ia cintai sepenuhnya. Sesudah bayangan kekasihnya itu hilang, segera ia bersihkan semua meja dan kursi yang berantakan. Gelas dan piring yang kotor ia cuci. Toples tempat kue kering ia kembalikan ke tempat semula. Mendadak ia merasa letih. Ia lantas masuk kamar dan merebahkan tubuhnya di ranjang, sembari mendengarkan acara di radio. Pikirannya berkelana mengingat kejadian beberapa masa yang lalu. Tiba-tiba saja ia merindukan seseorang. Rindu yang tak terkira. Merindukan seseorang yang telah membuatnya bimbang. Diambilnya kaset pemberian dari lelaki bermata cokelat itu. Diputarnya kaset itu dan didengarkannya alunan lagu sendu dari Kahitna. Ia masih engga ngerti perasaannya yang campur aduk saat ini. Masih juga engga ngerti dengan kerinduannya yang terlarang. Seperti judul lagu dari kaset yang ia putar itu. Engga Ngerti.
�
Riang
�
����������� Hujan yang semalam turun, meninggalkan aroma semerbak di pagi hari. Jalanan tanah berpagar pohon teh-tehan yang tumbuh rapi di sepanjang desa juga basah karena hujan. Di saat seperti itu biasanya anak-anak SD yang sedang berangkat ke sekolah akan bergembira memainkan pohon teh-tehan itu agar kedua tangan mereka basah oleh air. Atau kalau ada yang iseng maka mereka akan mendorong kawannya ke pohon teh-tehan agar bajunya basah oleh sisa hujan. Sementara itu, suara burung Prenjak dan burung Gereja berganti-gantian meramaikan suasana pagi. Hari ini adalah hari pertama sekolah di tahun yang baru. Damar bersemangat sekali menghadapi hari pertama sekolah setelah liburan panjang. Yang ingin dijumpainya hanya satu, yaitu Hanum. Ia juga telah membulatkan tekadnya untuk mengutarakan perasaannya pada perempuan yang amat dikaguminya itu. Dipakainya seragam putih biru yang masih baru,yang ia beli darisangu lebaran. Iya, meskipun ia telah besar, ia masih tetap dapat sangu. Meski hanya sedikit yang memberinya sangu, namun jumlahnya tidaklah sedikit. Disemprotkannya juga minyak wangi di seluruh badan. Ia pakai minyak rambut merek terkeren agar rambutnya terlihat klimis. Berkali-kali ia berkaca di depan lemari kaca. Ia ingin tampil sempurna di depan Hanum. Setelah sarapan seadanya, segera ia berpamitan kepada bapak dan mamak. Meminta restu atas rencana besar dalam hidupnya itu. Mencium kedua tangan kedua orang tuanya. Mamak sampai terheran-heran. Tak biasanya jagoannya itu tampil sempurna dan begitu riang. Damar lantas mengayuh sepedanya pelan-pelan sekali agar dandanannya tak rusak oleh angin atau debu. Sementara itu,di ujung sangat jauh matahari muncul malu-malu tertutup awan. Mungkin hujan semalam belum cukup hingga awan masih belum mau beranjak dari langit. Setelah cukup lama mengayuh, akhirnya ia sampai di sekolah dengan selamat. Tanpa �kerusakan� sedikitpun. Kondisi sekolah pun tak banyak berubah meski cukup lama ia tinggalkan. Tak biasanya ia berdiri cukup lama di depan sekolah. Ia tatap lekat patung setengah badan Ki Hajar Dewantara yang terpajang di atas air mancur. Parkiran sepeda di sebelah kanan dan juga mushola di sebelah kiri yang luas, menandakan kemegahan bangunan sekolah itu. Untuk ukuran sekolah kecamatan di pinggir kabupaten, sekolahnya memang terlihat sangat besar. Lapangan basketnya saja ada dua. Begitupun dengan lapangan bola. Semua ruang penunjang tersedia lengkap. Ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS), Laboratorium Fisika, Biologi, ruang musik, dan ruang-ruang lainnya. Jika kita bisa mengitarinya dua kali tanpa berkeringat tentu sudah sangat hebat. Muridnya juga sangat banyak, karena menampung pelajar dari dua kabupaten. Tapi begitulah adanya pembangunan di Republik kita yang selalu menyisihkan bagian pinggir. Gedung memang megah meski agak tak terurus, siswa di sana juga banyak, namun sebagian besar berlatar belakang keluarga tak mampu. Banyak murid berpotensi,terjegal di sini. Meski sekolah ini mampu bersaing dalam berbagai perlombaan non akademik maupun dalam hal prestasi akademik dengan sekolah negeri di kabupaten, namun sangat disayangkan ketika berpuluh-puluh pelajar potensial itu tak sanggup menembus bangku kuliah. Damar benar-benar tak ingin bernasib seperti mereka. Ia ingin menggapai cita-citanya setinggi langit. Ia teringat akan cerita beberapa juara sekolah yang berakhir menjadi buruh pabrik ataupun TKI di luar negeri. Mas Harjono, juara umum jurusan IPS tiga tahun lalu, harus menanggalkan harapannya untuk kuliah di UNDIP. Padahal ia telah diterima PMDK jurusan Akuntansi. Itu mungkin yang menyebabkan sekolah mendapatkan sanksi selama dua tahun dari UNDIP berupa penutupan penerimaan mahasiswa melalui jalur PMDK. Mas Alif, juara umum IPA beberapa tahun yang lalu, saat ini juga masih betah di Malaysia bekerja di kebun sawit. Potensi cemerlang seperti mereka tentu sangat disayangkan jika hanya berakhir sampai di situ. Negara bukannya tak peduli. Sistem pendidikan memang telah semakin baik dari masa ke masa. Akan tetapi perbaikan yang telah dilakukan belum maksimal menyentuh setiap potensi rakyat. Seharusnya potensi-potensi seperti mereka, otomatis diberikan prioritas untuk melanjutkan kuliah. Jika biaya alasannya, maka beasiswa dari pemerintah mutlak perlu. Jika kepedulian pemerintah sudah pada tahap itu, maka kehidupan berbangsa dan bernegara akan jauh lebih baik. Siswa dengan potensi dan minat menjadi dokter, tetap bisa mewujudkan keinginannya menjadi dokter meski ia anak orang miskin. Siswa dari keluarga mampu juga tak perlu dipaksakan menjadi dokter jika memang ia tak punya potensi di situ. Biarkan setiap siswa menjadi apa yang mereka inginkan berdasarkan minat dan kemampuan mereka. Pemerintah mendorong secara maksimal tiap-tiap individu untuk� berkembang secara maksimal. Sayangnya harapan seperti itu masih jauh panggang dari api.
����������� Hari pertama sehabis lebaran selalu diisi dengan acara halalbihalal, sehingga tidak ada pelajaran selamaseharian penuh. Setelah para siswa dikumpulkan di lapangan dan bersilaturahmi dengan para guru, mereka kemudian diwajibkan bersilaturahmi dengan wali kelas dan teman sekelas di ruang kelas masing-masing. Setelah itu, baru dibebaskan berkeliling mengunjungi siapa saja. Para penjaga sekolah, petugas kebersihan, ibu kantin, penjaga perpustakaan atau teman sekolah. Damar sendiri agak bimbang. Setelah memimpin acara silaturahmi di kelas, ia lantas mengunjungi Hasan, Hartono juga Rian, yang tak sempat ia kunjungi saat lebaran, karena libur lebaran yang sangat pendek. Tapi hal itu tidak menjadi masalah, karena suasana lebaran belum benar-benar hilang, sebab seminggu pun belum lewat dari hari lebaran. Semua kawan karibnya itu masih berada di kelas mereka masing-masing. Setelah selesai mengunjungi kawan-kawannya itu, rasanya ia ingin sekali ke kelas Hanum. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk jujur tentang perasaannya. Meski bimbang, ia langkahkan juga kakinya ke kelas 2.2 untuk menjumpai Hanum.
����������� Awan yang menggantung di langit semakin tebal saja. Pepohonan yang tumbuh di beberapa sudut sekolah mendesis diterpa angin. Sepertinya hujan tak lama lagi bakal turun. Dilihatnya kelas 2.2 tak begitu ramai. Hanya tinggal beberapa siswa menggerombol membincangkan sesuatu yang tak bisa ia dengar dengan jelas. Damar berdiri di pintu, lalu menyapu pandang. Sekali dua kali matanya menjelajah. Ia tak begitu yakin dengan apa yang ia lihat. Adakah Hanum di situ? Seperti ada,namun ia tak melihat gadis berambut panjang terurai yang kadang terikat itu. Seperti tak ada, tapi ia merasakan dekat sekali. Agak lama ia terpaku di depan pintu kelas hingga seorang gadis berkerudung putih menghampiri lalu menyapanya.
"Mas Damar cari siapa?� tanya sang gadis.
Damar kaget. Gadis itu tahu namanya. Mulutnya diam terkunci tak menjawab apapun. Sekali lagi ia pandangi wajah gadis itu lekat-lekat. Wajahnya bening seperti kaca. Jilbabnya yang berwarna putih bersih menambah kecantikan dan keanggunannya. Hatinya berdegup kencang. Berdesir-desir hingga embuat ia lemas. Benarkah ia Hanum batinnya. Masih saja ia terpaku.
"Mas Damar, ini Hanum, Mas,� Hanum menyadarkan Damar yang berdiri terpaku seperti orang linglung.
Damar pun akhirnya tersadar.
"Maaf, akutidak sadar kalau ternyata bidadari yang membisikkan mantera barusan itu ternyata kamu.�
Damar masih saja bisa menggombal di saat kekaguman sedang menghinggapinya. Pipi Hanum memerah dan mukanya pun tertunduk. Untuk beberapa saat mereka terdiam tak bicara. Sementara itu gerimis tak bisa dibendung lagi. Ia turun pelan-pelan, menambah suasana menjadi dingin. Angin yang berhembus perlahan membuat hari menjadi semakin dingin.
"Eh iya, Hanum,met lebaran ya. Maafin aku kalau selama ini banyak salah sama kamu," Damar membuka percakapan sembari mengulurkan tangannya.
"Sama-sama, Mas. Maafin Hanum juga ya,� jawabnya sambil mengajak Damar duduk di kursi panjang di depan kelas sambil menatap gerimis di depannya. Damar pun ikut duduk disebelahnya. Semakin lama semakin mendekati gadis itu. Pada awalnya mereka malu-malu, seperti sejoli yang baru saja kenal. Namun saat kedua pasang mata beradu pandang, tawa kecil merekapun memecahkan suasana canggung itu.
"Kamu tambah cantik, Hanum, dengan kerudung itu. Hampir saja aku tak mengenalimu. Selamanya, kan?" tanya Damar kemudian.
"Insya Allah. Doain Hanum, semoga istiqomah,� jawabnya.
"Meski sekarang kamu sudah berkerudung, tetapi aku tak ingin kamu berubah jadi Istiqomah." Damar tiba-tiba bicara dengan mimik muka sangat serius.
"Ya iyalah, Mas. Hanum tetap jadi Hanum. Ga lantas berubah jadi Istiqomah." balas Hanum menjawab akting yang garing itu.
"Eh kamu tahu ga siapa itu Istiqomah?� tanya Damar lagi tak habis akal.
"Ga tahu, Mas.� jawab Hanum. "Itu nama Mamak. Kalau kelak kamu mau menjadi Istiqomah, ya ga papa juga sih. Menjadi perempuan yang selalu hadir di kehidupanku." Sekali lagi Damar membual namun kali ini terlihat konyol.
Hanum tertunduk tak menjawab. Ada getir di hatinya. Apakah yang sedang dilakukannya ini tak salah. Berbincang mesra dan bercanda dengan Damar. Bagaimana kalau Damar lantas tiba-tiba menembaknya. Mengucapkan kata cinta dan mengajaknya berpacaran. Jawaban apa yang harus ia berikan. Ia tak menginginkannya. Ia tak ingin menolak Damar. Ia ingin tetap bisa lama-lama bersamanya. Ia mungkin benar-benar mencintai lelaki itu. Damar yang mengira Hanum tak suka, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Hei, Kamu suka gerimis ga?" tanyanya kemudian.
"Biasa aja, Mas. Tak ada yang istimewa,� jawabnya datar.
"Bagiku, gerimis itu sangat berarti. Saat gerimis, aku tak perlu menyiram tanaman di kebun. Gerimis juga tak menyebabkan petaka seperti banjir. Gerimis menghidupkan tanaman yang layu, bahkan yangmati. Gerimis itu menutup luka. Gerimis menyamarkan air mata. Cobalah menangis dalam gerimis. Tangismu takkan mengakibatkan orang tahu. Oh iya, jika kita sedang beruntung, kita bakal melihat pelangi sehabis gerimis." Damar berbicara panjang lebar penuh semangat agar Hanum antusias.
Hanum selalu bisa terpesona oleh cara Damar bertutur. Meski kadang terdengar garing dan tak masuk akal. Ia tak pernah bisa berpaling sedikitpun dari setiap ucapan lelaki itu. Kemudian Damar bangun dan melangkah beberapa jengkal ke depan, mendekati gerimis lalu menengadahkan kedua tangannya. Setelah cukup menampung air, seketika ia percikkan air itu ke muka Hanum. Hanum pun tak terima diperlakukan seperti itu. Ia tak diam saja. Ia juga ikut menengadahkan tangan menyambut gerimis dan memercikkannya ke Damar. Tingkah keduanya seperti bocah kecil yang bermain dalam gerimis. Berbalas percikkan berkali-kali. Riang tanpa dosa. Cukup lama mereka bermain air sambil sesekali saling mengolok sembari menunggu gerimis benar-benar berhenti.
"Lihat, ada cecak di tembok itu,� Damar tiba-tiba berbicara kepada Hanum sambil menunjuk tembok di belakang dengan telunjuknya.
Mereka pun lantas duduk kembali dan kali ini semakin bertambah dekat lagi.
"Mana ada cecak di siang hari, Mas?� Jawabnya mendengar ucapan Damar yang sama sekali tak masuk akal dan mengada-ada.
Damar tertawa kecil kemudian memandang tajam ke wajah Hanum sambil berbicara.
"Lupakan tentang cecaknya, Hanum. Yang penting pertanyaannya sekarang adalah tahu ga bedanya kamu sama cecak?" tanyanya lagi tak jelas.�
Hanum pun menggeleng manja. Ujung jemari mereka pun tanpa sengaja bersentuhan. Seperti tersengat aliran listrik bervoltase tinggi, tiba-tiba saja bagian dalam tubuh sejoli itu bergetar. Ada hasrat yang membuncah seketika. Tatapan mata mereka berpadu. Tetiba juga ujung jari kedua anak cucu adam itu menyatu, membatu dan dingin. Entah berapa detik hingga kemudian Damar sedikit menjauhkan duduknya.
"Kalau cecak nempelnya di tembok. Kalau kamu nempelnya di hatiku." jelasnya terbata-bata.
Hanum yang gemas memukul pelan pundak kiri kakak kelasnya itu. Sementara itu Damar telah lupa kembali dengan tujuan awalnya. Baginya melihat Hanum tersenyum dan tertawa riang itu sudah cukup. Mereka juga tak sadar jika sepasang mata sedang memperhatikan semua kejadian yang barusan terjadi. Sepasang mata dengan sorot tajam dan menakutkan.
Sebuah teriakan kecil dari dalam kelas menghentikan keriangan sejoli itu.
"Hanna. Where are you?� Hartati berteriak agak keras lantas keluar dari kelas menuju lorong depan.
Dilihatnya Hanum berdiri dekat sekali di samping seorang lelaki yang dikenalnya sebagai Damar, kakak kelas tiga. Tati terdiam, namun matanya lekat memandang ke arah sejoli itu. Sontak Damar bergeser menjauh lagi dari sisi Hanum.
"Hei, Ada apa, Tan?" Hanum menjawab teriakan itu.
"Gerimis sudah berhenti. Ayo kita pulang,� jawabnya namun masih saja ia terpaku diposisinya. Ia seperti tak percaya dengan apa yang terlihat didepan matanya.
Damar pun berpamitan ke Hanum.
"Ya udah kalau mau balik. Aku balik ke kelas dulu ya. Oh ya,sorry bajumu basah," ucapnya sembari menunjuk baju gadis itu yang sedikit basah oleh ulah mereka berdua itu. Hanum mengiyakan saja. Damar berjalan cepat menuju kelas. Perasaannya berbunga-bunga, melihat Hanum tertawa riang adalah kebahagiaan tak terkira baginya. Namun kali ini ia gagal lagi. Gagal berbicara tentang perasaannya. Namun tak apalah, pikirnya. Kebahagiaan Hanum lebih dari kebahagiaannya sendiri, batinnya.
����������� Sementara itu Hanum masuk ke dalam kelas dengan baju yang sedikit basah. Tati pun jadi penasaran.
"Tadi ngapain aja kamu sama Mas Damar itu?� tanyanya menelisik.
"Iya biasa aja. Dia kan teman Hanum juga. Jadi awalnya tadi mau maaf-maafan aja. Tapi karena gerimisnya cukup lebat, ya udah kita ngobrol dulu sambil menunggu gerimis reda,� Hanum menjelaskan.
"Benar kalian berteman? Sejak kapan? Mas Danu tahu? Koq kalian akrab sekali?" Tati nyerocos tanpa jeda.
Hanum hanya menggeleng.
"Waduh gawat ini," Tati bergumam lantas menggigit bibir bawahnya.
Hanum mengernyitkan dahi. Lagi-lagi ia dirundung rasa bersalah. Namun bersama Damar ia merasa nyaman. Hati dan akal sehatnya tak berpadu. Sepertinya hanya soal waktu saat semuanya akan tertumpah ke segala arah.
�
�
Mendung Menjelang Siang
�
����������� Suasana mendung membuat acara halalbihalal kelas 3 IPA 1 menjadi khusuk. Acara diakhiri dengan salam-salaman. Beberapa siswa pun membawa makanan kering untuk dinikmati rame-rame oleh teman satu kelas. Mereka menyebutnya sebagai THR atau Turahan Hari Raya. Sisa-sisa makanan yang tentunya akan terasa nikmat karena statusnya sebagai makanan terakhir. Setelah acara berakhir, Rian hanya mengobrol saja di kelas. Sebenarnya ia ingin menjumpai Mentari. Namun ia menahan diri beberapa waktu. Ia ingin mengajaknya pulang bareng nanti. Dan sekarang tentunya masih terlalu pagi untuk pulang ke rumah. Begitu juga Danu. Mereka berdua bercengkerama dengan teman-teman sekelas sambil mencicipi beberapa makanan sisa. Tak lama berselang teman Geng Kapak Rian datang. Ada Damar, Hartono juga Hasan. Mereka kompak bertiga, setelah diajak oleh Damar, karena memang kelas Damar dan Rian berada dari ujung ke ujung. Seperti kata pepatah,sekali mendayung, satu dua pulau terlampaui. Akrab sekali keempat sahabat itu saat berkumpul. Mereka bercerita apa saja, sementara Danu duduk di situ mendengarkan saja. Memang Danu hanya kenal-kenal asu saja dengan teman-teman geng Rian tersebut. Ada sedikit kekhawatiran tersirat di wajah Rian. Ia tak ingin memperbincangkan perempuan. Rian masih gamang dengan ranjau-ranjau cinta yang menjebak sahabat-sahabatnya itu, yang bisa meledak dan menimbulkan tragedi kapan saja. Ia sebagai sahabat tak ingin dipersalahkan karena diamnya, sementara ia tahu siapa yang seharusnya lebih bisa bertanggungjawab.
"Oh ya kawan, akhir caturwulan dua ini kita mau pergi ke mana?� Rian berusaha mengalihkan pembicaraan agar tak melebar ke perihal asmara.
�Gimana kalau ke Gua Jatijajar," usul Hartono.
"Apa tidak terlalu jauh. Gimana kalau ke Waduk Wadaslintang saja." Damar ikut urun rembuk.
"Ke Karangsambung saja. Sekalian nyari akik," Hasan tak mau kalah.
"Kalau ke Karangsambung, aksesnya yang susah. Masih belum banyak yang tahu akan keindahan keajaiban Tuhan itu. Tak mungkin ke sana bersepeda. Selain jauh, kita juga tak paham jalannya. Sedangkan ke Wadaslintang, kita sudah sering. Bagaimana kalau ke Jatijajar? Aksesnya mudah. Angkot selalu ada," Rian� menyetujui usul Hartono.
"Yo wis kalau gitu. Nanti kita bawa bekal dari rumah. Sepeda kita titipkan di tempatmu saja, Rian," Damar pun menyetujui usul Hartono dan Rian.
"Ya udah kalau itu maunya. Sekalian ke pantai saja nanti, kalausempet.� Hasan mau tak mau ikut menyetujuinya juga.
"Oh ya, Danu mau ikut juga?� Damar bertanya kepada Danu yang sedari tadi hanya menguping saja.
"Lihat nanti saja ya,� jawabnya sambil tersenyum.
Danu sebenarnya sedang resah. Tiba-tiba saja ia kangen kepada Hanum, kekasihnya. Padahal baru Jumat kemarin ia ke rumahnya. Sementara itu, Damar, Hartono dan Hasan berpamitan kepada Rian dan Danu.
"Bentar-bentar. Ada apa gerangan denganmu hari ini,long?" tanya Rian heran sambil memegang pundak Damar yang banyak ditumbuhi wulu kalong, lalu berputar mengelilinginya. Dilihatnya si kalong itu sangat necis. Bajunya mlipis bekas setrikaan. Rambutnya licin seperti memakai minyak rambut merk Tanco. Celananya membentuk sudut dari atas kebawah. Sepatunya yang biasanya buluk menjadi hitam mengkilat.
"Biasa, urusan asmara,� jawabnya sambil berbisik di telinga Rian. Damar cengar-cengir meninggalkan sahabatnya itu. Begitu juga Hartono dan Hasan.
����������� Sementara itu awan semakin tebal. Sepertinya gerimis sebentar lagi turun. Danu semakin gelisah saja. Tak pernah ia merasakan kegelisahan seperti ini sebelumnya. Rian yang melihat kegelisahan sahabatnya itu pun lalu bertanya.
"Kenapa kamu, Dan?�
"Tiba-tiba saja aku teringat Hanum, Yan,� jawabnya lirih.
Rian yang tadi dibisiki oleh Damar, ikut merasakan kegelisahan juga. Gerimis pun turun cukup deras namun tak sampai menjadi hujan.
"Aku harus ketemu Hanum, Yan,� tiba-tiba saja Danu berbicara kepada Rian lantas beranjak keluar kelas.
Ia berjalan cepat, menerobos gerimis menuju kelas Hanum yang letaknya agak jauh di belakang. Tak dipedulikan lagi bajunya yang sedikit basah oleh gerimis. Rian yang tahu ada yang tak beres, lantas menguntitnya dari belakang sambil berjaga-jaga agar Danu tidak menyadari keberadaannya. Saat melewati tembok pembatas kelas 2.4, langkah Danu terhenti. Danu melihat dari kejauhan sesosok lelaki berperawakan sedang berbincang akrab sekali dengan perempuan berkerudung yang ia kenal sebagai Hanum, kekasihnya. Meski tertutupi gerimis, ia yakin akan itu. Ia terperanjat setelah lelaki tadi menoleh. Bukankah ia Damar, batinnya. Lantas ia menerobos gerimis untuk melihatnya lebih jelas. Ia mendekati pintu kelas 2.3 yang terbuka, dan berdiri di balik pintu agar tidak ketahuan. Danu menguping pembicaraan sejoli yang tak sadar sedang diperhatikan itu. Sejoli yang terlalu asyik, hingga lupa sekitar dan menganggap dunia hanya milik mereka berdua. Seketika darahnya mendidih. Ingin ia keluar dari balik pintu dan mendapati kekasihnya yang sedang berbincang asyik dengan Damar. Ia ingin melabraknya. Ia ingin berduel dan menjungkalkan lelaki yang dianggapnya munafik itu. Namun ia menahan diri. Ia masih menganggap Damar sebagai lelaki yang ia kenal. Ia ingin mendengar percakapan itu hingga selesai. Rasa cemburu menggelayutinya. Ia merasa tak terima melihat kekasihnya begitu riang berbincang dengan Damar. Rasa sedih meliputinya. Terpikir olehnya, apakah perhatian yang ia curahkan selama ini tak bisa membuat Hanum bahagia sepenuhnya. Apakah kebersamaan mereka yang telah lebih dari setahun itu tak membuat kekasihnya bisa menjaga hubungan dengan lelaki lain. Perasaannya menjadi campur aduk.
Sementara itu, Rian berdiri di balik tembok pembatas gedung kelas. Dilihatnya Danu bersembunyi di balik pintu yang terbuka sambil mendengarkan percakapan sepasang muda-mudi yang terlihat begitu asyik. Rian masih menerka siapa gerangan muda-mudi itu. Seketika ia ikut terperangah. Bukankah itu Damar, pikirnya. Gadis berkerudung putih itu? Ia memutar otak, mengingat-ingatnya, karena wajahnya familiar meski tertutupi kerudung.
"Oh My God. Mampuslah. Itu kan Damar dan Hanum," gumamnya.
Apa yang ia khawatirkan akhirnya terjadi juga. Ranjau itu telah meledak. Semua orang pasti tersayat. Semua orang akan tercabik-cabik, lalu hancur berkeping-keping. Semua orang akan berkorban. Rian menghela napas panjang. Dilihatnya dari kejauhan, seorang perempuan keluar dari kelas 2.2 dan menghentikan percakapan muda-mudi itu. Begitupun Danu yang ia lihat pelan-pelan meninggalkan kelas. Ia tak ingin ketahuan mengintip. Ia pun bergegas menuju kelas. Ia berpura-pura seakan-akan tak tahu apa yang barusan terjadi. Beberapa saat kemudian ia lihat Danu masuk ke kelas tanpa berkata sepatah katapun. Wajahnya memerah seperti menahan amarah. Ia tidak peduli pada siapapun yang ada di kelas itu. Ia lantas mengambil tas sekolahnya dan keluar dari kelas tanpa pamit. Setelah itu, Rian tak ingin tahu lebih jauh lagi. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Semoga tak terjadi apa-apa batinnya.��������
�
Hujan Bulan Januari
�
����������� Meski gerimis telah reda, namun mendung tak mau beranjak juga. Bukannya berkurang, malah bertambah hingga langit menjadi semakin gelap. Sementara itu, Danu duduk di pojok depan parkiran sepeda sendirian. Ia jadikan tas sekolahnya sebagai sandaran agar bajunya tak putih oleh tembok pagar. Dengan kedua sorot matanya yang tajam, diawasinya setiap sepeda yang keluar dari parkiran. Tak juga dijumpainya Hanum. Setelah lima belas menit menunggu, akhirnya dilihatnya juga dari kejauhan, Hanum kekasihnya berbicara dengan Tati sambil menarik sepedanya dan hendak pulang. Hanum tak sadar kalau Danu sudah menunggu di depan. Saat dirinya hendak keluar dari parkiran Danu sudah berdiri di sana. Danu sudah tak semarah tadi. Ia mencoba menetralisir kecemburuannya. Hanum yang melihat Danu menunggu di situ pun kaget. Ada sedikit rasa takut menghinggapinya. Terlebih saat ia lihat mimik mukanya yang sangat serius.
"Ada apa, Mas?� Hanum lantas bertanya penuh penasaran.
"Bisa bicara sebentar,� jawab Danu.
Hanum mempersilahkan Tati untuk pulang terlebih dahulu. Danu meminta Hanum menepikan sepeda, lantas mengajaknya ke belakang mushola sekolah yang memang terlihat sepi. Tak keluar sepatah kata apapun sampai kedua muda-mudi itu sampai di teras belakang mushola. Setelah sampai, Danu mengajak Hanum untuk duduk di situ.
"Ada apa, Mas? Ada yang penting banget ya?" tanya Hanum kemudian dengan rasa takut.
Danu menarik napas panjang. Ia mencoba menetralisir perasaan hatinya. Sebenarnya ia sangat ingin marah. Namun saat matanya memandang wajah kekasihnya itu, tiba-tiba hatinya menjadi ciut. Namun, akal sehatnya tetap menginginkan penjelasan.
"Mas mau tanya. Tapi Hanum harus jujur," akhirnya Danu berbicara juga.
Sementara itu, Hanum yang merasa tak enak hati hanya bisa diam saja. Sejurus kemudian Danu berbicara lagi dengan getir.
"Tadi Mas ke kelas kamu. Sebenarnya sejauh apa sih hubungan kalian sehingga harus bertingkah seperti itu?"
Hanum kaget seketika. Apa yang dikhawatirkan selama ini ternyata menjadi nyata. Danu memergokinya. Danu mengetahui percakapan dan juga tingkah mereka tadi. Tingkah yang tentu sangat tidak menyenangkan bagi kekasihnya itu. Hatinya mulai gerimis. Tenggorakannya juga mulai serak. Rasa bersalahnya semakin memuncak.
"Tak ada apa-apa, Mas. Kami hanya berteman,� jawabgadis itu lirih.
"Atau ini yang menjadi alasan hubungan kita tak perlu diketahui banyak orang? Apa semua teman lelakimu bersikap seperti itu semua?" Danu menatap wajah Hanum dalam-dalam.
Hanum tak berani menatap balik, hanya tertunduk lesu. Air matanya mulai mengalir.
"Damar itu kawan Mas juga. Mas atau Hanum yang harus ngomong?" Danu bertanya kembali.
"Damar bukan siapa-siapa. Kita hanya teman, Mas. Hanum bakal ngomong ke Mas Damar tentang hubungan kita,� Hanum menjawab sesenggukan.
"Mas mencintaimu, Hanum. Bahkan lebih dari yang kamu tahu. Jadi tak mungkin Mas ninggalin Hanum. Tapi, dalam satu kapal tentu tak mungkin ada dua nakhoda. Dalam satu payung tak mungkin juga ada tiga orang, Hanum." Danu berbicara dengan suara gemetar.
Ingin sekali ia menangis merasakan kegetiran hatinya. Namun lelaki pantang untuk menangis.
�"Sekarang semua terserah kamu. Sebaiknya kita tak perlu bertemu dulu dalam seminggu ini." Danu mengakhiri bicaranya.
"Maafin Hanum, Mas,� Hanum memohon maaf sambil menangis.
Ia sungguh tak tega melihat kekasihnya bersedih hati karena ulahnya. Tangisnya tak terbendung. Ia memeluk tas sekolahnya karena malu dengan tangisannya sendiri. Sementara itu tak dilihatnya lagi Danu di sampingnya. Laki-laki yang mencintainya itu sudah pergi meninggalkannya. Namun,ia berfikir itu masih tak sebanding dengan apa yang sudah ia lakukan terhadapnya. Terus saja ia menangis hingga terkuras air matanya. Hingga langit menjadi semakin gelap. Kali ini tidak hanya gerimis, tapi sudah menjadi hujan. Hujan yang sangat deras. Ia benar-benar linglung. Tak ada dalam hitungan jam, hatinya bisa teraduk-aduk. Dari bahagia yang tak terperi, hingga sedih menyayat hati. Pada akhirnya, ia tak bisa bersembunyi di balik tas sekolah itu lagi. Seperti apa yang dikatakan Damar, ia ingin menumpahkan tangis di kala hujan turun dengan deras. Biar tak ada seorangpun yang tahu. Berjalan pelan, ia menerobos hujan dalam tangis yang tak terdengar. Seluruh tubuhnya sudah menyatu dengan hujan. Begitu pula suara tangisnya yang kalah oleh deru suaranya. Sementara itu dari kejauhan, dari arah yang berlawanan, seorang lelaki menghampirinya dengan menerobos hujan. Memeluk Hanum erat-erat dalam tangisnya yang tak tertahan. Erat sekali ia memeluknya.
"Maafin Hanum, Mas. Maafin Hanum,� Hanum membisikkan permintaan maaf di telinga kekasihnya itu.
Sebuah penyesalan yang amat mendalam. Sang lelaki hanya diam dan memeluk semakin erat sang gadis. Sungguh lelaki itu amat mencintai sang gadis. Ia tak bisa meninggalkannya meski sebentar saja. Sementara itu seorang lelaki lain melihat sejoli itu berpelukan dalam hujan. Ia tak bisa melihat dengan jelas karena hujan memang turun dengan begitu deras. Lelaki itu melanjutkan kayuhan sepedanya menembus hujan. Benar-benar lelaki sinting. Lagian, di dunia ini apa lagi sih yang membuat seseorang bertindak gila selain oleh karena cinta. Hanya karena merasa berbahagia telah berbincang dengan wanita pujaannya, lantas mau saja menerobos hujan lebat. Tak menunggu hujan reda saja. Cinta memang luar biasa.
����������� Sementara itu, hujan semakin deras. Menumpahkan semua yang tersembunyi di balikawan hingga habis, dan langit menjadi cerah kembali. Namun sayang tak terbit pelangi. Memang pelangi tak pernah terbit di siang hari. Seperti cinta seseorang yang terkadang tak pernah bisa berbalas.
�
�
Menghitung Hari
�
����������� Hari kedua sekolah diawal tahun diisi dengan pelajaran seperti biasa. Ujian caturwulan kedua juga tinggal menghitung hari. Namun kegundahan hati Damar masih belum hilang juga. Setiap kali bertemu Hanum lidahnya selalu kelu setiap kali hendak mengucapkan cinta. Ia memang bisa menggombal apapun atau bertingkah lucu, namun sulit baginya untuk mengatakan cinta. Rasa gelisahnya semakin menjadi-jadi. Ia ingin pengakuan. Tak bisa ia merana terus seperti itu. Ia bahkan telah mengabaikan semua nasihat sahabat dekatnya. Ia yakin, karena Hanum sepertinya menikmati saat-saat bersamanya selama ini. Damar menganggap kisah cintanya seperti sebuah perjalanan. Perjalanan mendaki gunung Merbabu. Ia sudah berjalan jauh dari rumah dan memerlukan waktu berhari-hari. Ia sudah melewati perkotaan juga perdesaan untuk kemudian naik melalui jalur Selo, Boyolali. Beberapa bukit dengan tanjakan curam telah ia lewati. Ia juga telah beristirahat di padang sabana dengan rumput-rumput hijau yang terlihat sangat cantik. Ia telah memasuki hutan edelweis dan juga bukit-bukit berbunga nan indah dipandang mata. Dan hanya butuh beberapa langkah lagi untuk sampai puncak dan menantang gagahnya gunung Merapi dari kejauhan. Masa ia harus turun lagi dan kembali pulang tanpa menggapai puncak. Tak mungkin juga kan?
����������� Bunyi bel sekolah yang nyaring membangunkannya dari lamunan. Malas sekali ia hendak bangun dari kursi. Tak banyak yang bisa ia lakukan. Ia coba melanjutkan lamunannya kembali. Lamunan yang sebenarnya sangat tidak bermanfaat. Akan tetapi sebuah panggilan dari temannya, Budi yang berdiri di pintu belakang kelas mengusik keasyikannya melamun. Segera ia bangun dan menghampirinya. Ternyata ia dapati Tati berdiri di situ. Ia menitipkan sesuatu untuknya. Sebuah potongan kertas yang dilipat menjadi surat. Setelah menengok ke kanan kiri, lantas ia masukkan kertas tadi ke sakunya. Tak lupa ia ucapkan terima kasih kepada Tati yang telah repot menjadi pengantar surat. Ia yakin potongan kertas itu dari Hanum, wanita yang dipujanya selama ini. Budi meledeknya karena masih mendapatkan pesan melalui potongan kertas. Zaman sudah masuk ke abad milenium, namun kenapa masih mempertahankan berkirim surat. Namun ia tak mempedulikannya. Menurutnya, lelaki berbadan besar itu memang tidak mempunyai sisi romantis. Dikiranya setiap sesuatu harus disampaikan secara gamblang. Damar hanya tersenyum kecil saja. Lantas ia kembali ke bangku semula ia duduk. Diambilnya potongan kertas itu dari sakunya. Tak ada yang istimewa. Hanyalah potongan kertas dari sebuah buku tulis sekolah merek Bola Dunia. Dibukanya lipatan itu dan dibacanya perlahan.
�
Buat Mas Damar
Assalamu'alaikum
Maaf jika surat ini mengganggu kesibukan belajar, Mas. Hanum minta kita bisa ketemu sore nanti sehabis sekolah di belakang perpustakaan. Ini penting buat hidup Mas dan juga Hanum. Terima kasih������������������������������������������� ����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������� ����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������� Hanna Nurmala P
����������� Damar mendadak resah. Surat sependek itu, tanpa basa-basi babibu, langsung menohok ke jantunghasrat membuatnya menaruh curiga. Adakah sesuatu yang teramat penting hingga harus membawa-bawa hidup. Tak tenang rasanya menanti jam pulang sekolah. Ingin sekali menuntaskan panasaran dan segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
����������� Bunyi panjang bel tanda usai sekolah menggema ke seantero sekolah. Seusai memimpin doa penutup pelajaran, Damar tak lantas keluar dari kelas. Ia menanti barang lima sampai sepuluh menit hingga suasana sekolah menjadi sepi. Ia tepis semua kekhawatiran. Ia menuju toilet dan memutar keran air lalu memercikkan air ke mukanya agar lebih fresh. Dikibasnya rambutnya yang ikal ke belakang lalu diusapnya dengar air. Ia memandangi wajahnya di depan cermin. Jambangnya mulai tumbuh halus. Rahangnya yang kukuh menambah aura kejantanannya. Hidungnya juga mancung seperti aktor laga India Akhsay Kumar yang populer di tanah air lewat film Dil To Pagal Hai. Sorot matanya tajam dan bola matanya berwarna cokelat muda. Bulu-bulu halus juga mulai tumbuh dibanyak tempat di tubuhnya. Tentunya juga ditengkuknya, sehingga kawan-kawan gengnya terkadang memanggilnya sebagai si kalong. Damar mengumpulkan semua keberaniannya. Dan sekali lagi untuk kesekian kalinya ia bertekad untuk mengungkapkan perasaannya pada Hanum, wanita yang amat dicintainya. Setelah merasa cukup percaya diri, segera ia keluar dari toilet, lalu berjalan pelan menuju belakang perpustakaan tempat dimana ia diminta bertemu oleh Hanum.
����������� Dari kejauhan ia lihat Hanum duduk dengan menggenggam erat tas sekolahnya. Ia sendirian saja di situ. Muncul rasa bersalah dalam diri Damar karena melihat wanita yang dicintainya telah menungguinya di situ. Segera saja ia percepat langkanya. Setengah mengageti, Damar mendeham berkali-kali. Lalu ia duduk di samping perempuan yang wajahnya bening seperti kaca itu. Perempuan yang wajahnya seperti Aishwarya Rai yang berperan sebagai Nandini dalam film Hum Dil De Chuke Sanam itu. Namun baginya, Hanum memiliki mata yang jauh lebih indah dan menceriakan.
"Hai Hanna, maaf kalau sudah menunggu lama,� Damar� meminta maaf karena telah membuat Hanum menunggu.
"Ga papa, Mas?" Hanum menjawab serius.
"Baru tahu sekarang kalau Hanum itu Hanna Nurmala. Pantas tak pernah dengar nama itu saat pengumuman juara sekolah di awal tahun. Kalau boleh tahu P-nya siapa?� tanya Damar mencoba memecah suasana yang terlihat formal itu.
�Itu nama Ayah. Seperti nama terakhirmu, Mas?" jawab Hanum datar.
"Sepertinya kita berjodoh ya, Hanum," Damar mulai merayu lagi. Hanum diam saja.
"Oh ya, apa yang ingin kamu sampaikan tadi?� tanya Damar langsung.
Hanum tak berani memandang wajah Damar sedikitpun. Sebentar menunggu akhirnya Hanum berucap juga. Namun dengan teramat berat dan pelan.
"Hanum sudah punya kekasih, Mas."
Suasana menjadi beku. Seketika, bagi Damar langit tiba-tiba saja menjadi gelap. Awan seperti mengutukinya. Bumi mengolok-ngoloknya. Begitu juga dengan pohon yang asyik mencibirnya. Jiwa Hanum juga gerimis. Sebenarnya ia tak ingin mengkhianati perasaannya sendiri, namun ia juga tak ingin memberi harapan pada seseorang, di lain waktu menyakiti hati orang yang mencintainya sepenuh hati. Suasana benar-benar menjadi hening meski kecamuk badai bergelora di dalam jiwa dua insan berbeda jenis itu.
"Jadi apa yang terjadi selama ini tak ada artinya ya?" Damar bertanya seolah-olah tegar namun terselip getir dalam pertanyaannya.
Hanum menangis sesenggukan. Seolah-olah ia ingin menahan tangis itu sekuat tenaga.
"Mulai sekarang sebaiknya kita tak usah bertemu lagi, Mas," lanjut Hanum.
"Meski hanya sebagai teman?� Damar bertanya sambil tertawa kecil seolah-olah sedang menghibur diri.
Damar menghela napas panjang. Sejurus kemudian sikapnya berubah. Kemalangan yang barusan ia dapati seperti tamparan yang harus ia balaskan rasa sakitnya.
"Sebenarnya sudah berkali-kali aku pengin ngomong ini juga ke kamu Hanum, namun lidah ini kelu setiap hendak mengucapkannya. Terkadang keceriaanmu, tawamu, keluguanmu sudah cukup membuatku bahagia dan melupakan hasratku untuk berucap jujur padamu. Aku mencintaimu, Hanum. Namun kalau belum apa-apa ternyata sudah seperti ini adanya, aku bisa apa. Aku benar-benar tak menyangka. Biar kecewa ini kupendam sendiri,� ujar lelaki itu.
"Cukup Mas. Hanum mengerti. Karena itu, Hanum tak sanggup lagi mendengarnya," Hanum menangis merasakan kesakitan hatinya.
Ia tak sanggup lagi membendung kepedihan hatinya, mengingkari hatinya dan telah menggoreskan sayatan tajam ke lubuk hati pria tak berdosa yang dicintainya itu.
"Mas Damar yang harus ninggalin Hanum, Mas. Mas Damar yang harus pergi. Cita-cita Mas Damar masih panjang. Mas Damar masih pengin kuliah S-2 ke Korea kan? Atau mungkin ke Australia? Hanum hanya akan menjadi penghalang bagi cita-cita Mas jika kita bersama-sama saat ini,� Hanum berbicara terpatah-patah di sela sesenggukan tangisnya.
Sebuah alasan yang sebenarnya sangat tidak berhubungan dengan penolakannya. Sebuah pernyataan paling halus untuk menggantikan kalimat silahkan kamu pergi. Aku sudah tidak ingin bersamamu lagi.
"Namamu sudah terpahat di hatiku, Hanum. Kamu seperti bayangan bagiku. Tahukah kamu dimana saat seseorang tanpa bayangan? Dalam gelap, Hanum," Damar berbicara gemetar.
Hanum semakin larut dalam tangisnya. Dalam beberapa saat Damar merelakan sebelah bahu kirinya menjadi tempat bersandar wanita cantik itu. Ia raih tangan perempuan itu. Namun perlahan gadis itu melepaskan genggaman itu.
"Aku mencintaimu sejak pertama kali aku melihatmu berlari-lari dalam gerimis, saat ini dan juga sampai esok nanti. Jika suatu saat engkau ingin kembali, kembalilah karena tempatmu akan selalu ada." Damar melanjutkan bicaranya lirih.
Hanum bangkit dari sandarannya. Beberapa saat kemudian ia beranjak dari duduknya dan berpamitan kepada Damar.
"Aku harus pulang, Mas. Dan mungkin ini bisa jadi terakhir kalinya kita ketemu, Mas,� ucapnya denganserak dan lirih.
Hanum mengusap matanya yang sembab oleh tangis. Ia berjalan pelan meninggalkan Damar. Damar berdiri terpaku. Matanya tak lepas mengikuti arah Hanum pergi. Semakin jauh hatinya semakin sakit. Apalagi saat dari kejauhan ia lihat Hanum dihampiri oleh lelaki yang ia kenal. Iya, dialah Danu, lelaki yang dianggapnya beruntung itu. Lelaki asu yang tanpa ia ketahui tiba-tiba sudah menjadi kekasih gadis yang dipujanya. Damar berjalan gontai menuju parkiran. Ternyata cinta telah membutakan dunianya sehingga perempuan yang telah berkekasih pun terlihat seperti bunga liar yang tumbuh di taman sendiran. Mulutnya bergumam. Menyenandungkan sebuah lagu lama dari Chrisye bertitel Sendiri Lagi.
"Tinggallah ku sendiri dalam sepi ini tiada temanku lagi. Tak sanggup hati ini sendiri begini tanpa dirimu kasih. Tiada ada arti hidupku bila kau tak di sisiku. Mengapa oh mengapa kau tinggalkan diriku.Ku tak tahu, ku tak tahu salahku padamu hingga kau pun tega biarkan diriku sendiri lagi. Tak mungkin ku mencari pengganti dirimu. Walau kini ku sepi. Oh ku ingin kaupun tahu cinta suci ini kubawa sampai mati."
����������� Hatinya semakin tersayat. Tak sanggup rasanya ia di situ. Ingin segera ia pulang dan menangis dipelukan mamak. Menumpahkan segala kekecewaan cinta di pangkuan mamak. Ia benar-benar rapuh saat ini.
�
Deras
�
����������� Bel tanda waktu istirahat berdering. Beberapa siswa tetap berada di kelas. Ada yang langsung menuju kantin. Ada juga yang ke mushola sambil menunggu waktu Dzuhur tiba. Sementara itu, Rian hanya duduk di kursi saja. Hubungan Rian dan Danu terlihat canggung akhir-akhir ini. Meski sudah sekuat tenaga Rian berbohong, namun tetap saja kecurigaan Danu yang menganggap Rian tahu hubungan Hanum dengan Damar masih tetap ada. Danu sangat menyesalkan mengapa harus dengan Damar. Danu berujar jika lelaki itu bukan Damar tentu ia akan menghajarnya langsung. Akan tetapi sebenarnya bukan itu yang lebih dikhawatirkan oleh Rian. Sabtu ini sudah hari ketiga Damar tak masuk sekolah. Beberapa teman kelasnya mengabarkan kalau Damar sakit. Rian sudah memprediksikan semuanya. Sahabatnya itu tumbang oleh cinta. Saat jiwanya ambruk, tubuhnya ikut roboh. Namun apa lacur. Bumi sudah terlanjur berputar. Nasi sudah menjadi bubur. Mau tak mau hidup harus berlanjut. Mengharapkan Hanum datang untuk menjenguk Damar, seperti menyiram minyak kepada orang yang terbakar. Bukan menyembuhkan luka, malah menghanguskan yang tersisa. Sebagai sahabat dekatnya ia tahu kepedihan yang dirasakan oleh Damar. Kepedihan karena tahu puncak gunung yang sebentar lagi bisa ia taklukan ternyata mengirimkan batu-batu besar dari puncaknya dan menenggelamkannya kembali ke dalam tanah. Kecewa karena tak dicintai tentu sakit, tapi itu masih bisa diterima. Namun kecewa karena harapan yang begitu besar tentu melipatgandakan kepedihan. Rian memutuskan untuk menjenguk Damar selepas sekolah. Ia tak mengajak siapapun, karena ia tahu hanya segelintir saja orang yang tahu kemalangan yang sedang Damar alami. Damar tak perlu sekilo jeruk, selusin botol susu cair, sebungkus roti tawar atau sekaleng biskuit. Ia yakin Damar hanya perlu dirinya untuk berbagi kekecewaan.
����������� Seusai bel tanda sekolah berbunyi, Rian langsung menuju mushola untuk sholat Dzuhur. Perjalanan ke rumah Damar bukan perjalanan yang sebentar, karenanya jika ia telah sholat tentu tak akan ada beban lagi yang tersisa. Dari kejauhan ia lihat Danu dan Hanum keluar dari parkiran sepeda bersama-sama. Ada rasa muak dalam dirinya. Mengapa perempuan harus seperti itu, batinnya. Apakah kecantikannya itu hanya untuk menyakiti perasaan laki-laki. Rian memang mempunyai pandangan berbeda terhadap perempuan. Baginya perempuan terbaik ya seperti Mentari. Perempuan lugas yang teguh dengan prinsipnya. Perempuan pekerja keras yang tabah menjalani hidup seperti mamak. Perempuan yang tak bingung oleh pilihan-pilihan. Namun ia urung berpikir seperti itu. Perempuan seperti Hanum-lah yang membuat hari-hari Damar menjadi lebih bahagia. Mungkin sumber kebahagiaan orang memang berbeda-beda. Menyesal juga ia telah berpikiran buruk tentang Hanum. Toh ia juga tak pernah bisa tertarik apalagi bertekuk lutut di hadapan perempuan seperti Hanum, meskipun wajahnya secantik bidadari.
����������� Setelah setengah jam mengayuh sepeda, akhirnya ia sampai di rumah Damar. Hanya Damar yang ada di rumah. Melihat sahabatnya datang, Damar lantas mempersilahkannya masuk. Tak tega rasanya melihat sahabatnya berpeluh keringat sehabis mengayuh sepeda lebih dari setengah jam, Damar langsung mengajak Rian untuk makan siang. Kebetulan juga ada nasi punjungan dari saudara jauh yang hendak menikah. Rian tak pernah canggung di rumah Damar. Begitu pula Damar yang sudah terbiasa berkunjung ke rumah Rian.
"Sepertinya kamu sudah sehat,long. Kenapa tadi tak masuk?"� tanya Rian sambil menikmati bobor lembayung, tempe ulek, sambil terasi dan juga nasi berkat punjungan yang tersedia.
"Pagi tadi sebenarnya aku sudah mau berangkat, Yan. Tapi nanggung sudah hari Sabtu,� jawabnya terkekeh.
"Kamu jangan berpikir macam-macam. Mungkin aku kelelahan karena terlalu lelah saat lebaran kemarin. Badanku demam. Jadi mau tak mau aku harus beristirahat," tambahnya.
"Aku sudah tahu semuanya,dap,� jawab Rian kemudian.
"Mungkin kalau ada orang mengungkapkan cinta, terus ditolak, tentu dia akan merasakan kecewa. Tapi ketika semua yang berlalu membahagiakan dan di tengah jalan tiba-tiba tahu kebahagiaan kita itu hanya ilusi tentu itu sangat menyakitkan, Yan. Tapi sudahlah. Semua sudah kucoba lupakan. Mungkin ini kehendak Tuhan agar aku bisa fokus belajar," ujarnya menghibur diri.
"Kamu sih tidak mau mendengarkan nasihatku. Oh ya, akhir bulan ini sudah ujian caturwulan. Sudah seharusnya kita semua fokus belajar. Masih ingat dengan rencana kita untuk pergi ke Jatijajar sehabis ujian caturwulan?� tanya Rian lagi. Damar mengangguk saja.
"Kata teman-teman yang pernah berkunjung, di sana banyak perempuan cantik. Banyak juga yang pacaran di sudut-sudut gua," bual Rian.
Mereka berdua tertawa tergelak bersama-sama. Dilihatnya Damar memang sudah membaik. Wajahnya sudah kembali cerah. Namun Rian tak tahu bagaimana perasaan terdalamnya. Selesai makan, Damar lantas mengajak Rian berjalan sebentar menuju kali Lesung yang letaknya tak jauh di belakang rumah. Mereka duduk di atas tanggul kali sambil mengobrol sekaligus melihat aliran sungai yang tak begitu deras. Dilihat oleh mereka banyak anak kecil sedang mandi di kali dan bercanda satu dengan yang lain.
"Di sini biasanya aku menghabiskan hari saat hatiku tak enak,� ujar Damar.
�Kalau sedang ke kebun, ada sebuah jembatan di ujung desa yang sampingnya terbentang rumput hijau yang biasa didatangi oleh para penggembala. Tempatnya indah. Di sore hari setelah menyiram semangka, cabe, tomat atau mentimun aku sering menghabiskan waktu di situ sambil membaca buku. Menjelang maghrib baru aku pulang," tambahnya sembari menunjuk tempat yang jauh disebelah kiri dengan tangan kanannya.
"Di tempatku, sungainya masih rungkut, Mar. Masih banyak hewan liar, jadi kurang nyaman," Rian menimpali.
"Namun tak semua tempat bisa menyembuhkan luka. Terkadang tekad dalam hati untuk bangkit setelah jatuh, lebih cepat menyembuhkan luka," tambahnya.
"Oh iya, Yan, mana mungkin seorang perempuan cantik, tanpa alasan yang jelas memutuskan sebuah pengharapan. Lantas apa artinya semua hal yang telah dilalui bersama. Tidakkah itu berarti?� Damar berujar karena terlintas kembali peristiwa kemarin.
Rian ikut bimbang menghadapi semua kekalutan itu. Damar memang belum sepenuhnya tahu semua peristiwa yang telah terjadi. Tiba-tiba saja tanpa penjelasan yang berarti ia harus menerima kenyataan bahwa Hanum telah mempunyai kekasih. Memang semuanya kejam bagi Damar. Ingin sekali ia menceritakan semua kebenaran yang telah diceritakan oleh Danu kepadanya. Dan memposisikan Damar sebagai pria yang mengganggu hubungan orang lain. Namun ia tak sanggup. Ia benar-benar pada posisi yang sulit. Suatu saat pasti ia akan menceritakan semuanya. Karena sekarang memang bukanlah waktu yang tepat. Semuanya masih kacau balau. Lama Rian terdiam. Kemudian meluncur juga jawaban darinya yang telah ditunggu-tunggu oleh Damar.
"Yang tahu cuma dia, Mar. Gadis pujaanmu. Bertanya padanya saat ini tak membawa kebaikan apapun. Dia telah menjadi kekasih orang lain. Orang yang kamu kenal juga. Sekarang ini kamu hanya bisa menerima kalau kamu sudah kalah." Lekat Rian menatap wajah sahabatnya itu.
Sekali lagi dengan tatapan yang menjijikkan. Kadang Damar heran dengan sikap sahabatnya itu. Jangan-jangan tatapan mata Rian kepadanya sama dengan tatapan matanya ke Mentari. Tiba-tiba saja Damar bergidik. Segera ia bergeser menjauh. Rian pun tertawa geli. Rian memang ingin sahabatnya itu terhibur dan lekas melupakan segalanya.
"Cinta itu kejam ya, Yan?" tanya Damar sejurus kemudian.
"Mungkin saja. Dan sudah saatnya untuk menutup lembaran yang menyakitkan itu. Oh Ya, Mar, tentu kamu pernah nonton Pedang Pembunuh Naga, kan? Tahu In So So? Sebelum meninggal di depan anak lelakinya, Thio Buki, apa yang dikatakannya? Semakin cantik perempuan, semakin ia pandai berbohong," Rian menimpali dengan sedikit tersenyum.
Damar tak menyangka sahabat terdekatnya masih ingat detail-detail film yang booming pada masa kecil mereka itu.
"Bagaimana dengan dirimu sendiri, Yan?� Damar balik bertanya.
"Kami menjalani hubungan yang mungkin orang lain akan menganggapnya aneh. Kami jarang saling cemburu. Jika suatu saat diantara kami menemukan orang lain yang dianggapnya lebih baik, kami berjanji untuk bisa saling menerima. Namun anehnya aku tak pernah bisa berpaling dari dia. Hasratku saat ini hanya ingin membuktikan kepada Pak Sudi kalau anak gadisnya mencintai lelaki yang tidak salah," jelasnya.
"Benar kata banyak orang tua. Cinta memang memerlukan pengorbanan. Dan terkadang itu adalah bagian dari tubuh dan jiwa kita," tetiba Damar berbicara sok bijak.
Ashar pun menjelang, sehingga membuat mereka harus segera menghentikan perbincangan itu. Tentu Rian juga harus segera pulang agar mamak tak mengkhawatirkannya. Tadi pagi iatak sempat bicara ke mamak, kalau hendak menengok Damar. Lagian keinginan menengok Damar juga hasrat yang muncul tiba-tiba saja. Segera saja ia beranjak untuk pamit. Damar memeluk sahabat terdekatnya itu dan mengantarnya sampai pinggir jalan.
����������� Sore berganti malam. Malam berganti pagi. Hari-haripun telah berjalan berkali-kali. Bahkan seminggu telah dilampaui. Berganti dengan minggu-minggu yang baru. Hari-hari berlalu dengan sangat membosankan bagi Damar. Hingga hari ujian pun datang juga. Pikirannya hampir sepenuhnya untuk pelajaran. Damar mencoba menjadikan kekecewaannya sebagai pelecut semangat. Dalam lubuk hati terdalamnya ia ingin sekali segera meninggalkan sekolah. Tak ada lagi yang bisa ia harapkan dari tempat yang membangunkan luka itu. Namun ia masih sabar. Ia masih ingin mengubah kekecewaan itu menjadi energi besar yang mengubah hidupnya. Dan benar saja. Ia sangat bersemangat sehingga seminggu ujian seperti berlalu begitu saja. Hari pembagian rapor pun datang begitu cepat. Damar benar-benar menunjukkan hegemoninya. Ia menjadi juara pararel sekolah untuk jurusan IPS. Rata-rata nilainya jauh mengungguli teman-temannya. Namun tetap saja terselip sedikit kecewa. Ia tak bisa membagi kebahagiaannya itu dengan gadis yang dicintainya. Gadis yang belum sepenuhnya pergi dari dirinya. Pada akhirnya ia tersadar bahwa semua yang berlalu tak perlu disesali. Luka yang menganga memang telah kering. Namun masih menyisakan sedikit perih. Dan juga bekas. Bekas yang takkan hilang oleh apapun.
�
�
Jatijajar
�
����������� Libur caturwulan telah datang. Geng Kapak tetap pada rencana awal hendak mengunjungi Gua Jatijajar di Kecamatan Ayah. Cuma waktunya masih menjadi perdebatan. Apakah hari Sabtu atau Minggu sebelum masuk sekolah di caturwulan terakhir mereka bersekolah. Damar kekeuh dengan keinginannya pergi pada hari Sabtu. Pertimbangannya adalah karena perjalanan kali ini cukup menyita waktu. Jadi dengan pergi hari Sabtu berarti masih ada hari Minggu untuk beristirahat. Pada akhirnya semua menyetujui usul Damar. Apalagi Rian yang hanya bisa mengiyakan usulnya. Rian tahu kondisi Damar hingga menyerahkan semuanya sesuai dengan yang ia inginkan.
����������� Sabtu pagi sekali Damar telah bersiap-siap. Mamak membuatkan arem-arem dan tahu berontak sebagai bekal. Sementara itu bapak masih sibuk dengan berita di TV. Sebagai seorang santri pendukung Presiden saat ini, bapak ikut muak dengan ulah anggota dewan yang dianggapnya mirip dengan anak TK. Gara-gara Presiden tak mau membagi-bagi kapling kekuasaan, para politisi itu pun rame-rame membentuk Pansus untuk menggulingkan presiden yang mereka pilih. Macam-macam tuduhan yang dilontarkan mulai dari keterlibatan dalam kasus Bruneigate hingga Buloggate. Dewan Perwakilan Rakyat telah resmi mengeluarkan Memorandum I untuk Presiden agar meletakkan jabatannya. Meskipun tak lulus sekolah dasar, Bapak juga paham bahwa dasar negara ini adalah konstitusi yang berlaku, bukannya selera politik yang suatu saat bisa berubah-ubah semaunya. Dari mendukung menjadi menjegal. Dari suka menjadi benci. Dari memilihnya secara konstitusional lalu memecatnya secara inkonstitusional. Bapak menganggap ada yang salah dari tatanan politik yang telah disepakati akhir-akhir ini. Ternyata kekuasaan politik bisa mengangkangi ketetapan hukum yang berlaku. Hukum tak lagi menjadi panglima. Untuk menjegal Presiden seharusnya harus berdasar keputusan peradilan yang tetap dan mengikat. Misalkan Presiden terbukti sah secara hukum telah berbuat asusila. Atau Mahkamah Agung telah memutuskan bahwa ternyata Presiden telah melakukan tindakan penggelapan uang negara. Damar yang ikut mencuri-mencuri lihat berita di TV hanya tersenyum sinis. Semuanya memang entut mberut. Kekuasaan memang untuk dibagi-bagi. Karena memang lezat dan bikin ketagihan. Tingkah para politisi itu memang menggelikan. Ia teringat waktu masih kecil dulu berebut gula jawa dengan teman-temannya. Berbagai cara digunakan untuk sekadar mendapat sepotong kecil gula jawa sebagai bekal kemutan. Dari membuat menangis teman perempuan yang lebih kecil, sampai dengan meludahi gula jawanya agar tak dimakan oleh teman yang lain. Melihat politisi saat ini seperti melihat kenakalannya di masa kecil. Mendapatkan sepotong gula jawa dengan melukai hati dan fisik teman sendiri.
"Bapak ga daftar pasukan berani mati saja? Itu jihad juga loh, Pak?" tiba-tiba saja Damar meledek bapak yang masih asyik saja di depan TV.
"Kerja di kebun buat biaya sekolah kamu itu juga jihad loh, Nak,� jawab Bapak sembari beranjak dari tempat duduk untuk bersiap-siap ke kebun.
Memang ironi ini akan terus berlanjut sampai kiamat kelak. Setiap yang memimpin Republik ini akan selalu dituntut untuk membagi-bagikan kue. Jika pihak besar tak mendapatkan jatah yang cukup, maka sudah pasti sabotase akan selalu didengungkan. Dengan cara apapun. Maka untuk mendapatkan sebuah negara yang gemah ripah loh jinawi masih menjadi angan-angan semu saja. Yaitu saat kue-kue kekuasaan benar-benar dikuasai rakyat sepenuhnya. Damar pun berpamitan kepada bapak dan mamak. Geng Kapak telah berjanji untuk berangkat dari rumah Rian tepat pukul tujuh pagi. Diperlukan waktu lebih dari empat puluh menit untuk sampai rumah Rian. Damar mengayuh sepedanya dengan perasaan gembira. Secerah cuaca pagi hari ini,juga langit yang bersih dengan sedikit saja awan. Sedikit demi sedikit ia telah mulai melupakan kekecewaannya. Pukul tujuh kurang seperempat, ia telah sampai rumah Rian. Sementara itu, Hasan dan Hartono telah sampai di sana. Mereka sedang asyik mencurhat dengan kambing. Menceritakan kekalutan mereka yang tak jua mendapatkan kekasih, atau setidaknya ada gadis yang menaksir mereka. Namun sang kambing pun malas mendengarkan curhatan itu. Buktinya para kambing itu berteriak-teriak kencang agar Hasan dan Hartono segera pergi dari hadapannya. Mengetahui teman-temannya telah berkumpul, Rian pun menyapa sahabat-sahabatnya itu.
"Selamat ya kawan. Jawara paruh musim," Rian menyelamati Damar.
"Terima kasih kawan-kawan," Damar tersenyum sambil membalas salaman sahabat-sahabatnya.
"Batigol dua gol. Konsisten sampai akhir musim Roma pasti juara. Milan sepertinya sudah nyerah," Rian pesimis.
Sebagai seorang milanisti, Rian menilai penampilan Milan memang kurang maksimal. Ia sudah pasrah dan mengakui kehebatan tim yang didukung oleh karibnya itu.
"Roma baru akan membuktikan diri, kawan. Sedangkan Milan sudah konsisten selama sepuluh tahun terakhir. Semoga ini tahunnya Roma." Damar menghibur Rian yang sudah menyerah.
Sementara itu Hasan dan Hartono bukanlah penggila bola. Mereka adalah penggila wanita karena tak kunjung jua mendapatkan wanita. Mereka hanya hafal nama pemain bola dari tim sepakbola satu kelas mereka.
����������� Masing-masing telah membawa bekal. Sebelum berangkat, mereka memeriksa kembali perbekalan agar tak ada yang ketinggalan. Hartono membawa tustelmilik bapaknya. Hasan dan Hartono seperti saudara kembar saja. Bekal makan siang mereka sama. Nasi, telor dan oseng mie keriting. Sementara itu, Rian membawa bekal paling banyak. Selain membawa bekal untuk makan siang, ia juga membawa lebih dari sejinah jambu air dan sesisir pisang dibungkus kresek yang mungkin bisa dimakan sepanjang perjalanan nanti. Setelah semuanya siap mereka berempat berpamitan ke Mamak. Mamak berpesan agar mereka berhati-hati di jalan dan berharap mereka pulang sebelum malam. Dengan berjalan kaki kurang lebih lima menit saja mereka akhirnya sampai di jalan lintas selatan. Tak lama menunggu, akhirnya datang juga bis antar kota jurusan Purwokerto. Kondisi bis tak terlalu ramai meski penumpang naik turun tak henti-henti. Belum sampai di tempat tujuan, mereka ternyata telah dilanda lapar mata. Warna merah jambu air yang Rian bawa menggoda selera makan mereka. Tak lebih dari sepuluh menit, jambu air itu habis dimakan para garong itu. Lima puluh menit kemudian, merekapun turun di pertigaan Jatijajar. Dari pertigaan, perjalanan dilanjutkan dengan menaiki angkot menuju lokasi Gua di desa Jatijajar. Jalan menuju Jatijajar memang sangat mulus dengan sawah yang membentang dikanan dan kiri. Sementara itu, disudut jauh berdiri perbukitan menjulang tinggi yang menambah keelokan alam. Tak sampai setengah jam, angkot pun berhenti di depan kompleks wisata Gua Jatijajar. Suasana gua terlihat sangat ramai oleh pengunjung. Penjual mendoan dan pedagang kelontong bersaing begitu rupa menawarkan dagangan mereka kepada pengunjung yang membeli tiket pun belum.
Tiket masuk gua itu sangat murah. Mereka berempat cukup membayar sepuluh ribu rupiah saja. Sebelum benar-benar memasuki gua, mereka melewati mulut patung dinosaurus terlebih dahulu. Mereka berempat mengabadikan momen itu dengan tustel yang dibawa oleh Hartono. Tak habis akal mereka meminta tolong kepada ibu-ibu yang lewat untuk memotret momen kedatangan keempat sahabat Geng Kapak itu. Momen yang mengabadikan penaklukan mereka akan Gua Jatijajar. Patung besar hewan purba itu juga mengeluarkan air yang dipercaya sebagai muara dari sendangKantil dan sendang Mawar yang terdapat di dalam gua. Sementara itu di luar gua terdapat sebuah kolam yang kemungkinan sumber airnya berasal dari mata air yang masih alami. Banyak anak kecil yang berenang di situ dan berharap kepada para pengunjung agar melempar koin ke dalam kolam, sehingga mereka bisa mengambilnya di dasar kolam. Sebuah pemandangan yang menantang karena kolam tersebut tak bisa dibilang dangkal. Sebuah perjuangan yang membutuhkan mental karena demi 200 atau 500 perak berani menyelam ke dasar kolam.
Ketika telah benar-benar masuk ke dalam gua, mereka merasakan kekaguman yang luar biasa. Gua kapur itu diterangi lampu yang menyebar sepanjang mulut gua sampai pintu keluar. Cahaya lampu yang memantul ke dinding kapur menciptakan warna-warni indah berkilauan. Terdapat lubang pada langit-langit gua yang berfungsi sebagai jendela alamiah gua. Banyaknya stalagmit dan stalagtit dengan tetesan air yang menimbulkan suara gemericik di dinding-dinding gua, menambah keanggunan Gua Jatijajar. Beberapa stalagmit yang bersatu dengan stalagtit menciptakan pilar atau tiang kapur yang terlihat kukuh dan indah. Keempat sahabat itu masuk lebih ke dalam lagi hingga menjumpai ruangan yang luas dengan kursi melingkar. Hartono mengabadikan setiap sudut gua yang dianggapnya menarik melalui tustelnya. Mereka kemudian memutuskan untuk beristirahat sebentar sambil melihat-lihat seisi ruangan. Damar sangat tertarik dengan diorama yang terpasang dibeberapa sudut gua sepanjang 250 meter itu. Terdapat delapan buah diorama dengan 32 patung manusia gagah dan cantik berwarna putih. Meskipun Gua Jatijajar hanyalah salah satu tempat persinggahan Raden Kamandaka dalam mencari jodoh ke negeri bagian timur, namun diorama yang ada menggambarkan keseluruhan cerita dari legenda Lutung Kasarung. Konon katanya, Raden Kamandaka, Putera Mahkota Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Batutulis pernah bertapa di gua untuk mendapatkan wangsit. Pada zaman dahulu kala Kali Lukulo adalah batas kekuasaan antara dua kerajaan yang berdaulat. Sebelah barat Kali Lukulo adalah wilayah Kadipaten Pasir Luhur, dibawah� taklukan kerajaan Pajajaran. Sedangkan sebelah timur Lukulo adalah wilayah kerajaan Majapahit. Saat bertapa di Gua Jatijajar itulah Raden Kamandaka mendapatkan wangsit berupa pakaian lutung yang kemudian bisa mempersatukannya dengan Dewi Ciptoroso. Di akhir cerita, Raden Kamandaka diangkat menjadi Adipati Pasir Luhur dan menjalani sisa hidup dengan penuh kebahagiaan.
����������� Setelah cukup beristirahat, lantas mereka melanjutkan penelusuran ke bagian dalam gua. Mereka berempat menuruni tangga yang merupakan bagian ekor dari patung dinosaurus yang kepalanya ada di depan gua. Dibawah tangga terdapat sungai bawah tanah yang alirannya cukup deras. Minimnya lampu di bawah gua membuat sendang terasa seram. Menurut legenda setempat, terdapat tujuh sendang di bawah gua. Namun hanya empat saja yang bisa ditemukan. Dari keempat sendang itu, hanya dua sendang saja yang bisa dikunjungi, yaitu Sendang Mawar dan Sendang Kantil. Kedua sendang lain dan mungkin tiga sisanya memang tak bisa dikunjungi oleh pengunjung biasa. Kedua sendang keramat itu adalah Sendang Jombor dan Sendang PuserBumi. Hanya orang-orang tertentu dan di saat tertentu saja kedua sendang itu bisa dikunjungi. Mungkin karena faktor mistis dan juga keamanan yang tak bisa dijamin yang membuat pihak pengelola tak membolehkannya masuk. Hanya Rian dan Hartono yang bergantian membasuh muka dengan air dari kedua sendang. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, mengusap muka dengan air dari Sendang Mawar membuat muka menjadi awet muda. Begitu juga membasuh muka di Sendang Kantil membuat beberapa keinginan menjadi terkabul. Damar dan Hasan melihat-lihat saja. Menurut Hasan, kalau ingin awet muda maka cukup dengan air wudhu saja. Mitos-mitos seperti itu terkadang malah menjadi penggoyah keimanan seseorang. Setelah puas berkeliling gua, mereka memutuskan untuk keluar melalui pintu belakang. Dilihat oleh mereka beberapa muda-mudi memadu kasih disudut-sudut gua menuju pintu keluar.
"Ini yang kuceritakan kemarin, Mar," ucap Rian sambil menepuk pundak Damar.
"Seperti tak ada tempat lain saja," balas Damar sambil tersenyum. Sementara itu Hartono tak lupa mengabadikan momen setengah mesum itu dengan tustelnya.
����������� Siang tak begitu terasa teriknya karena kompleks gua dipenuhi dengan pohon-pohon besar. Terdapat juga taman luas yang biasa digunakan untuk bermain maupun beristirahat selepas lelah menyusuri gua. Keempat sahabat itu memilih tempat yang teduh untuk melepas lelah di pinggiran taman. Mereka membuka perbekalan yang mereka bawa dari rumah. Asyik ngobrol sembari bertukar perbekalan. Damar yang tak membawa nasi, ikut memakan perbekalan Hartono dan Hasan. Rian juga mengeluarkan pisang susu yang ia bawa.
"Aku punya pertanyaan buat kalian. Pisang apa yang rasanya manis?" Rian memberi tebak-tebakan garing kepada sahabat-sahabatnya itu agar acara makan siang itu tak sepi tanpa olok-olok.
Ketiga sahabatnya hanya saling pandang sementara mulut mereka penuh dengan nasi. Sebuah tebak-tebakan yang sebenarnya tak terlalu dipedulikan oleh teman-temannya yang kelaparan.
"Pisang susu,� jawab Hasan.
"Bukan itu. Yang manis tak hanya pisang susu. Kurang tepat, kawan," sanggah Rian.
"Pisang goreng,� jawab Hartono kemudian.
"Masih kurang tepat, kawan. Digoreng, dikukus atau direbus belum tentu manis," sanggah Rian lagi.
Damar menggeleng sebagai tanda kalau menyerah. Lagian mulutnya juga sedang penuh oleh makanan.
"Jadi kalian nyerah nih?" tanya Rian kemudian.
�Ok lah kalau kalian menyerah. Pisang yang manis itu ya pisang mateng,� jawabnya sambil tersenyum puas.
Ketiga sahabatnya itu hanya tersenyum heran dan saling pandang mendengar jawaban aneh kawannya itu. Damar menduga pasti Rian telah lama menyimpan tebak-tebakan itu diotaknya dan sudah tak tahan hendak mengungkapkannya. Tebak-tebakan paling tak lucu yang pernah ia dengar sepanjang hidupnya. Atau jangan-jangan ia terkena racun codot pada jambu biji yang bisa berefek pada perilaku orang. Damar tak heran kenapa sahabat-sahabatnya aneh seperti itu, karena mungkin dirinya juga terlihat aneh oleh orang-orang. Mereka melanjutkan makan sambil berdiskusi apapun terutama tentang kekaguman mereka akan keindahan Gua Jatijajar. Mereka selama ini telah mendengar legenda tentang Raden Kamandaka dengan Dewi Ciptoroso. Namun baru kali ini mereka bisa melihat keindahan gua dan juga diorama cerita Lutung Kasarung itu secara langsung.
"Menurutmu apakah aku harus seperti Raden Kamandaka, bertapa dan mendapatkan pakaian kera agar Pak Sudi, Ayah Mentari merestui hubungan kita, Mar?� tanyanya tiba-tiba pada Damar.
"Bisa iya bisa tidak, Yan,� jawab Damar agak lama.
"Apakah kamu akan menjadi orang lain untuk bisa mendapatkan hati perempuan. Bagaimana dengan hasratmu menjadi tentara. Bagaimana jika Pak Sudi menyuruhmu memilih. Seragammu atau Perempuanmu," Damar menambahkan kemudian.
Rian terdiam beberapa saat.
"Hidup itu tentang memilih Rian. Terkadang kita mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu," Damar mencoba bijak.
Seolah-olah ia adalah seorang yang telah lulus sekolah kebijaksanaan.
"Sepertinya kamu sudah melupakan semuanya, Mar?" Rian balik bertanya.
"Mana mungkin aku lupa, Yan. Sampai sekarang aku juga masih bingung sebenarnya apa yang salah dariku sampai diperlakukan seperti itu. Cuma memang berbicara itu jauh lebih mudah dari bersikap. Bisa saja aku bilang aku sudah melupakannya. Di lain waktu aku masih mengingatnya,� Damar menjawab pelan.
Hasan dan Hartono hanya bengong mendapati percakapan yang ending-nya tak begitu mereka pahami itu. Kalau perihal hubungan Rian dan Mentari sudah banyak orang yang tahu termasuk mereka. Tetapi perkara Damar yang diperlakukan entah oleh siapa dan seperti apa, mereka benar-benar belum mengetahuinya. Sementara itu Rian masih memendam rasa bersalah. Bersalah karena tak bercerita sejujurnya tentang sengkarut hubungan cinta segitiga yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Namun ia berjanji dalam hati untuk menceritakan semuanya nanti. Ya, nanti saat Damar telah sembuh dari luka batinnya.
"Bagaimana kalau kita ke Logending?" Hasan teringat keinginannya yang lalu.
"Boleh. Tapi kita Dzuhuran dulu, kawan,� jawab Damar.
Keempat sahabat Geng Kapak itupun menuju mushola yang terdapat di sekitar gua. Selepas melaksanakan sholat Dzuhur, mereka langsung berangkat menuju pantai Logending menggunakan angkot. Perjalanan menuju lokasi begitu mengasyikkan. Jalannya sempit dan berkelok-kelok. Untungnya tidak begitu ramai sehingga angkot sedikit bisa bermanuver. Sesaat sebelum sampai tujuan, mereka melawati hutan jati yang asri dan indah. Hutan wisata itu sering digunakan sebagai tempat berkemah para pelancong maupun anak sekolah. Setidaknya itulah yang diceritakan oleh sopir angkot yang ramah itu. Tak sampai setengah jam mereka telah sampai di dekat pantai. Kemudian mereka turun dari angkot dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Pantai Logending diapit oleh dua bukit kukuh di bagian selatan. Ombaknya tak sedahsyat pantai Rowo. Terdapat batu karang yang dipercayai sebagai pintu gerbang menuju kerajaan Nyi Roro Kidul. Bentuknya mirip beruang yang sedang meminum air. Dari kejauhan, Damar melihat sepasang muda-mudi asyik bermain dan membuat rumah-rumahan dari pasir berwarna cokelat itu. Pikirannya malah ikut berkelana. Belum sempat ia mengajak Hanum berjalan-jalan ke pantai, namun harapan itu sudah pupus begitu saja. Sebenarnya ia ingin seperti pasangan muda-mudi lainnya yang sama-sama jatuh cinta lalu pergi bersama. Dan pantai adalah tempat yang wajib untuk dikunjungi. Ia kemudian berlari dan berteriak sekencang mungkin. Untuk kesekian kalinya ia menumpahkan segala kecewa dan kegundahannya. Ia berharap Nyi Roro Kidul tak terusik ataupun terharu dengan teriakannya yang begitu keras dan menyayat hati. Sementara itu Hasan, Rian dan Hartono hanya duduk di hamparan pasir dan menertawakan tingkah Damar yang sudah berlebihan itu.
"Ada keguncangan apa yang sekiranya menghinggapi pujangga kita ini, Yan? Apa perlu kita rukyah biar jinnya hilang," tanya Hasan pada Rian.
"Biasalah masalah asmara, kawan,"� Jawab Rian sambil nyengir.
"Seharusnya masalah perempuan solusinya perempuan juga," ucap Hartono terbata-bata.
"Halah mbelgedes, kamu ini kayak pernah punya perempuan aja, Ton," Ejek Hasan pada Tono seketika.
"Eh, jangan kira aku ga pernah bermasalah dengan perempuan ya," sanggah Hartono.
"Iya masalahmu kan hanya karena kamu ga bisa mendapatkan perempuan kan?" Hasan tertawa puas menertawakan Hartono.
"Sudah-sudah. Kalian malah berantem sendiri. Sekarang terpenting adalah bagaimana mencari perempuan cantik agar derita sang pujangga kita ini tak berkelanjutan," usul Rian sadis.
"Di Gunung Tugel banyak, Yan. Bisa beli kanthetan," kata Hartono.
"Apa ga kejauhan, Ton?� tanya Hasan meledek.
"Gundulmu itu,ndes. Mbok kira mau beli gembus pake kanthetan. Kita ini ngobrolin perempuan beneran. Perempuan yang benar-benar bisa menjadi pelipur lara hatinya," ujar Rian lagi.
"Kalau itu kita sepertinya tak perlu berbuat apa-apa kawan. Cinta bukan tentang bertemunya laki-laki dan perempuan. Betapa banyak dari kita yang tiap hari bertemu namun tak terbersit rasa. Cinta itu tentang momen. Tak perlu dibuat-buat,� jawab Hartono bijak.
Sumpah demi Tuhan, tiba-tiba saja Hartono seperti memperoleh wangsit menjadi penasihat spiritual. Seolah-olah ia mendapatkan ilmu ladunni saat itu juga. Kata-katanya indah dan menyejukkan. Ia juga lancar mengucapkannya. Teman-temannya mlongo mendapati perubahan tiba-tiba dari sahabatnya itu.
"Oh iya, ngomong-ngomong mengenai perempuan-perempuan yang tadi kalian usulin itu, aku koq jadi kasihan ya. Demi uang yang tak seberapa, mereka harus berisiko terkena penyakit mengerikan." Rian tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.
"Yah, itu sudah risiko, Yan. Mereka yang berbuat, ya mereka yang menanggung,� jawab Hasan menimpali.
"Masalahnya tak sesederhana itu, kawan. Kalau mereka mau tanpa paksaan itu memang sudah risiko. Yang kasihan kalau mereka dipaksa oleh keluarga atau korban human trafficking," Rian berbicara dengan mimik muka serius.
"Itu sudah kodrati, kawan. Dari zaman nabi Adam sampai kelak kiamat, bakal terus ada,� jawab Hasan lagi.
"Sudahlah, kawan, terpenting kita tak hanya mengutuki mereka," lagi-lagi Hartono ikut nimbrung dengan petuah bijaknya.
"Kadang aku salut kepada suster-suster di Irian Jaya yang mau masuk pelosok-pelosok daerah memberikan penyuluhan akan bahaya penyakit AIDS. Atau suster yang rajin berkunjung dari satu lokalisasi ke lokalisasi lain memberi pencerahan. Oh ya, San, maukah kamu nanti selepas dari pondok berdakwah dari satu lokalisasi ke lokalisasi, dari satu penjara ke penjara yang lain. Ketempat yang menurut banyak orang menjijikkan?� tanya Rian panjang pada Hasan.
"Insya Allah, kawan. Tapi janganlah jauh di Irian. Kasihan nanti ibuku di rumah sendirian. Biar itu menjadi tugas pendakwah yang tinggal di sana,� jawabnya kemudian.
"Kalau seperti itu, semua orang pasti mau. Berada terus di samping orang yang kita sayangi," Damar menyambar tiba-tiba dan secara ajaib sudah ada diantara ketiga sahabatnya yang asyik berbincang itu.
"Masalahnya, terkadang kita harus berkorban untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Termasuk harus jauh dari orang yang kita sayangi," tambahnya penuh bijak.
"Kayaknya kamu sudah benar-benar menjadi kalong yang dulu lagi,� Rian menimpali.
"Sekali lagi kawan, berbicara memang jauh lebih mudah dari berbuat. Itu makanya didunia ini banyak manusia yang lebih banyak berbicara dibanding bekerja," Damar menimpali lagi sambil nyengir.
Ketiga sahabatnya pun ikut tertawa bersama. Mereka kemudian berlari-lari menuju bibir pantai dan melepaskan baju untuk kemudian menantang ombak laut selatan. Melupakan semua beban masa depan. Melupakan semua kepedihan masa lalu.
����������� Ashar menjelang. Mau tak mau mereka harus segera pulang. Bis antar kabupaten tak beroperasi 24 jam. Dilihat oleh mereka di sudut jauh, berdiri kukuh sebuah masjid. Mereka menyempatkan diri untuk menunaikan sholat Ashar. Bersujud memohon kebaikan bagi kebaikan semua. Setelah selesai sholat, mereka lantas pulang dengan mengambil rute sama dengan saat berangkat tadi pagi. Tak banyak yang dibicarakan sepanjang perjalanan pulang. Rasa lelah lebih bisa diatasi dengan cara menikmati teduhnya suasana pedesaan disepanjang jalan. Damar sibuk dengan pikirannya sendiri. Begitu juga dengan Rian dan Hasan. Bagi mereka, mungkin ini bisa menjadi saat-saat terakhir mereka bisa bebas mengunjungi tempat-tempat terdekat dari rumah. Entah setahun lagi. Mereka mempunyai hasrat dan tekad yang hendak mereka wujudkan. Dan itu tidak di daerah mereka sekarang. Jauh merantau ke kota atau bahkan provinsi seberang, pulau seberang atau bahkan negara lain. Bisa ke Jakarta, Surabaya, Jombang, Lampung, Jambi, Kupang, Ternate, Australia, Jepang, Korea Selatan, Belanda atau bahkan Amerika Serikat. Bisakah mereka berkumpul lagi seperti keriangan yang tercipta selama hampir tiga tahun itu. Sementara itu, Hartono bertekad untuk tetap tinggal dan membangun desa. Ia ingin membaktikan seluruh hidupnya bagi kemajuan pendidikan. Selepas kuliah PGSD, kalaupun lulus nantinya, tak apa baginya kalau harus menjadi guru bakti. Toh masih ada warisan sawah dari bapak untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.�����
����������� Saat adzan Maghrib berkumandang, keempat sahabat itu baru saja sampai di rumah Rian. Mamak tak mengizinkan mereka untuk langsung pulang. Mamak memasak mie rebus dicampur telur dan sayuran untuk Rian dan teman-temannya. Seusai sholat Maghrib, Rian mengajak ketiga sahabatnya menyantap masakan buatan mamak. Nikmat sekali rasanya. Setelah lelah dan lapar seharian, menyantap mie rebus dengan nasi, ibarat menemukan oase di tengah gurun pasir. Namun itu tidak berarti Damar, Hasan dan Hartono tidak makan lagi nanti saat mereka sampai rumah. Mengayuh sepeda setengah sampai satu jam meski selepas Maghrib, tetap saja menghabiskan kalori dari makan mie rebus dan nasi. Setelah selesai makan malam, satu persatu sahabat Rian pulang. Damar pulang paling akhir. Dibawakannya oleh mamak pisang kepok untuk Damar sekeluarga. Damar tak lupa mengucapkan terima kasih.
����������� Dikayuhnya sepeda jengki warna hijau tua itu pelan-pelan. Diinjaknya panel dinamo hingga lampu depan sepeda menyala. Semakin kencang semakin terang. Damar membayangkan perjalanannya nanti. Ada dua kuburan yang harus ia lewati. Kuburan pertama adalah yang ada diseberang sekolahnya. Sedangkan kuburan kedua adalah dipersimpangan menuju area persawahan yang terletak sebelum desanya. Merinding juga pikirnya. Setelah setengah jam mengayuh sepeda, akhirnya sampai juga ia di bulakan sawah terakhir menuju desanya. Dua kuburan berhasil dilewati dengan selamat. Saat melewati bulakan itu ia tak pernah merasa takut. Sepanjang jalan sawah dan tanggul kali adalah tempat yang tak pernah bias ia lupakan. Pikirannya kembali lagi ke masa-masa yang lalu yang tak terlalu lampau. Saat-saat menjelang panen buah semangka, melon atau cabai, kebun akan dipenuhi gubuk-gubuk sederhana dari bambu dan bleketepe. Seminggu dua minggu sebelum panen raya para lelaki baik muda maupun tua akan berjaga di tiap-tiap petak kebun mereka. Berjaga-jaga agar tak ada maling atau rampok yang hendak berbuat durjana. Sepanjang malam, muda dan tua bergiliran tidur dan berjaga. Sebagai tanda kesigapan, maka para penjaga kebun itu akan memainkan senter mereka sehingga tercipta perang cahaya yang cantik di atas perkebunan. Saat malam semakin larut dan perut keroncongan, maka para penjaga kebun itu akan membakar singkong yang tumbuh di tegalan. Atau memakan perbekalan yang mereka bawa dari rumah, seperti lanting, untir-untir atau makanan sisa kenduri atau hajatan lain di desa. Damar pun teringat akan kejadian setahun yang lalu. Pak Purnomo menyesalkan rankingnya yang terjun bebas dari juara kelas menjadi hanya peringkat empat saat caturwulan kedua. Mamak yang mengambil rapor pun tertawa kecil mendengar penuturan Pak Purnomo. Pak Purnomo khawatir penurunan prestasi Damar oleh karena urusan muda-mudi.
"Lah gimana ga turun, Pak, mau ujian tiap malam tidurnya di kebun. Nungguin semangka biar ga dimaling orang,� jawab mamak saat itu dengan lugunya.
Pak Purnomo hanya geleng-geleng kepala. Setelah peristiwa itu, Damar tak dibolehkan lagi baik oleh bapak ataupun mamak berjaga dan tidur di kebun. Namun sesekali Damar merindukan momen-momen seperti itu. Jika besok hari libur, maka dia akan nekat ikut tidur di kebun menunggui tanaman. Saat berjaga seperti itu, Pak Paiman, Damar, Benowo dan teman-teman yang lain selalu menabur garam di sekeliling gubug agar tak didekati ular. Rutinitas yang selalu ia lakukan sejak SMP hingga kelas dua SMA.
����������� Saat memasuki desa, Adzan Isya telah lewat. Suasana mulai sepi. Tak ada keramaian berarti. Hanya beberapa pemuda desa yang duduk-duduk di brug sambil menghisap rokok dan ketawa-ketiwi membicarakan perihal yang tidak penting. Damar membunyikan bel sepedanya untuk berbasa-basi. Sesampai di rumah langsung ia masukkan sepeda jengkinya. Bapak dan mamak sedang menikmati makan malam. Nurul sedang asyik menonton sinetron Jin Cantik di televisi. Damar lupa tak membelikan adiknya itu oleh-oleh. Biasanya setelah bepergian jauh, ia selalu membawa pernak-pernik sebagai oleh-oleh untuk adik terkasihnya itu. Sementara itu, pisang dari Rian telah ia berikan kepada mamak sekaligus menyampaikan salamnya. Di sudut terdalam hatinya tersimpan penyesalan mendalam karena terlalu lama larut dalam kesedihan. Sungguh banyak sekali orang yang mencintainya saat ini. Tak layak kesedihan dari orang yang baru saja ia kenal mengubah kebahagiaan-kebahagiaan hidup yang diciptakan oleh orang-orang terdekat. Lantas ia mengambil wudhu untuk menunaikan sholat Isya. Diatas sajadahnya, ia berdoa agar kebaikan senantiasa mengiringi hidup orang-orang yang ia cintai. Mengangkat segala kesedihan yang menghampiri mereka. Menghapus air mata yang kadung tertumpah. Lama ia berdoa hingga ia terlelap dalam tidur. Tidur yang lelap karena lelah. Dalam tidurnya ia bermimpi bertemu bapak dan mamak. Memakai baju serba putih. Melambaikan tangan kearahnya sambil berkata,
"Sini nak, sini, sama Bapak, sama Mamak!" Seketika Damar terbangun.
Rumah telah gelap. Hanya lampu di ruang tengah yang tetap menyala. Segera ia bangun lalu menuju meja makan. Ia ambil air dari kendi untuk mengusir dahaganya. Mimpi tentang bapak dan mamak membuatnya haus dan lapar. Kemudian ia menengok lemari makan. Kali-kali ada tersisa makanan untuk mengganjal perutnya. Dua potong tempe goreng yang telah dingin teronggok di sana. Dilahapnya tempe itu hingga habis. Laparnya malah makin menjadi-jadi. Ia merasa aneh. Apakah mimpinya itu bermakna. Ia juga tak paham.
�
Ironi
�
����������� Bumi pertiwi menangis. Bumi pertiwi terkoyak-koyak. Belum sembuh satu luka, luka lain datang lagi. Bangsa ini tak lelah juga oleh masalah. Tak bosan oleh konflik. Tak jera oleh jerat kesedihan. Melihat berita di TV membuat hati ikut menangis. Itulah yang membuat Damar kadang tak begitu suka beberapa berita. Pada prinsipnya setiap manusia memerlukan berita untuk tahu nasib saudara-saudaranya. Namun jika hanya berita duka yang didapat apalah gunanya ada berita. Konflik etnis di Sampit sudah pada puncaknya. Karena ulah satu dua durjana, ratusan bahkan ribuan nyawa manusia menghilang tak berguna. Ratusan ribu manusia juga kehilangan tempat berteduh dari panas dan hujan. Bangsa ini benar-benar telah sakit. Sakit yang menyebabkan sulit keluar kata maaf dari mulut. Bangsa ini tak ramah lagi. Tak menyambut dengan pelukan saat saudaranya datang. Bangsa ini telah kehilangan unggah-ungguh. Tak bersikap sopan di rumah saudaranya. Bertindak semena-mena tanpa mempedulikan perasaan saudaranya. Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban. Barak-barak militer dan kantor-kantor pemerintahan menjadi tempat pengungsian. Kapal-kapal pengangkut membawa sebagian pengungsi menuju Surabaya. Namun belum sepenuhnya para pengungsi di evakuasi dari Sampit karena kurangnya kapal pengangkut. Suasana kota belum sepenuhnya kondusif. Pemerintah sendiri terlihat gamang. Ingin menerapkan darurat sipil di sana atau melakukan rekonsiliasi antar etnis. Damar sungguh tak membayangkan penderitaan yang sedang saudara sebangsanya hadapi itu. Ia hanya bisa melihat di TV. Dan ia sadar pemberitaan di TV hanyalah sekadar puncak gunung es. Gunung esnya sendiri tak akan bisa diungkapkan lewat kata-kata. Ia berdoa kepada Tuhan agar semuanya segera normal kembali. Jauh di lubuk hati terdalamnya ia mengucap syukur karena bisa hidup berdampingan dengan damai dengan siapapun di desanya. Ia merasa beruntung karena tak perlu menjadi galak untuk sekadarmendapat rasa hormat. Sementara di banyak belahan bumi lain, banyak yang harus menjadi singa agar tak diinjak-injak.
����������� Lama juga sudah ia mengayuh sepedanya menuju sekolah. Dilihatnya dari jauh jembatan Sidogede menantang dengan gagah. Tak akan sampai lima menit ia akan sampai sekolah. Belum begitu ramai di sekolah, karena memang ia berangkat terlalu pagi. Berita tentang kerusuhan Sampit di TV yang sempat mengganggu pikirannya tadi menyebabkan ia ingin segera beranjak dari rumah. Namun bukan berarti kehidupan di sekolah juga lepas dari kehebohan. Apalagi kalau bukan karena berita manggungnya band idola remaja Sheila on 7 di alun-alun Purworejo. Meski suka dengan lagu-lagunya, Damar tak berhasrat untuk menontonnya. Ia teringat akan Hanum. Bayangannya meliar membayangkan bisa mengajaknya menonton konser bersama-sama. Namun buru-buru ia tepis bayangan itu. Ia telah bertekad untuk melupakan sepenuhnya. Lagian pikirannya harus fokus pada Ebtanas kali ini. Meski ia adalah murid yang tak begitu banyak bergaul, bukan berarti ia tak pernah menonton konser. Beberapa bulan lalu ia bersama kawan-kawan desanya menonton konser penyanyi dangdut pendatang baru, Alam, yang populer dengan single andalannya Sabu-Sabu. Konsernya berlangsung malam hari, di tengah-tengah gelaran pasar malam. Menggunakan mobil bak terbuka, Damar dan teman-teman desanya beramai-ramai mendatangi konser itu di alun-alun Kutoarjo. Alam tampil terakhir setelah penampilan beberapa pedangdut lokal yang tampil tak senonoh. Bahkan ada beberapa penyanyi pria yang memukul-memukulkan mic-nya ke area kelamin penyanyi perempuan saat bergoyang kayang. Suasana bertambah riuh dengan teriakan yang menginginkan agar gerakan itu diulang.
"Lagi, lagi, lagi," para penonton kompak berteriak. Damar tersenyum kecil sambil berkeliling mencari kacang rebus atau gembus. Tentu menonton konser dangdut di malam hari belum lengkap jika tanpa teh hangat, kacang rebus dan gembus hangat yang habis digoreng.
����������� Sekolah di caturwulan ketiga telah berjalan dua minggu. Murid kelas satu dan dua masih belum sepenuhnya fokus ke pelajaran. Sedangkan murid kelas tiga harus tancap gas menyiapkan ujian yang kurang dari tiga bulan lagi. Di sekolah, ramai ajakan untuk ikut meramaikan konser yang belum tentu tiap bulan mereka saksikan. Di saat sibuk-sibuknya manggung di kota-kota besar, band Jogja yang mempunyai jutaan penggemar remaja itu masih sempat manggung di kota kabupaten. Meski era milenium telah menjelang, musik pop-rock alternatif masih tetap digemari. Band-band�jutaan kopi� seperti Dewa, PADI, dan Jamrud telah membuktikannya. Menjadi puja-puji para remaja. Mengiringi kisah hidup mereka hingga nanti menua bersama bumi.
Sementara itu, Danu telah menggenggam dua tiket konser yang ia dapatkan dari temannya yang bersekolah di Purworejo. Meski tak begitu suka musik pop, ia tetap ingin mengajak Hanum. Toh waktunya Sabtu sore hari. Tak mengganggu jam sekolah dan tak harus pergi malam. Lagian gadis remaja mana yang tak menyukai lagu-lagu Sheila on 7. Ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Hanum yang sempat tak baik itu. Melupakan masalah sepenuhnya. Danu memang sangat mencintai Hanum. Jadi dia ingin memaafkan dan menerima Hanum kembali. Meskipun telah disakiti dengan begitu rupa. Meski telah dikhianati dengan kejam. Itulah mengapa terkadang cinta adalah tentang memaafkan. Hanum sendiri merasa gembira sekali mendapati dirinya diajak menonton konser salah satu band favoritnya. Ia tak sabar menunggu akhir pekan. Ia merasa beruntung sekali mendapatkan perhatian lebih dari kekasihnya, Danu. Masih tersisa rasa bersalah karena pernah menyakiti perasaannya. Apalagi setelah tahu bagaimana Danu memperlakukannya selama ini. Hartati yang melihat sahabatnya berbunga-bunga hanya bisa iri. Tak ada yang mengajaknya melihat konser.
"Nanti aku ceritain aja ya, Ta," ucapnya meledek sahabatnya itu.
Tati hanya bisa meringis. Tak mungkin juga mengajak Tati ikut serta karena Danu hanya membeli dua tiket. Selain karena hanya akan mengganggu keasyikan mereka berdua juga.
����������� Sabtu pagi di hari konser, Danu tak menggunakan sepeda ke sekolah. Ia membawa motor GL Pro warna merah milik ayahnya. Dihampirinya Hanum di rumah sambil meminta izin kepada Om Pras karena hendak mengajak anak gadisnya menonton konser di alun-alun. Om Pras membolehkan dengan syarat sebelum Maghrib harus sudah sampai di rumah. Danu menyetujui persyaratan yang diajukan. Tepat pukul tujuh pagi mereka berangkat dari rumah. Hanum duduk menyamping memakai helm warna hijau kepunyaan ayah. Sebentar saja sepasang kekasih itu telah sampai sekolah. Motor di parkiran hanya sedikit saja karena sebagian besar siswa menggunakan sepeda atau angkutan umum. Suasana sekolah sedikit ramai. Beberapa pasangan yang sudah menggenggam tiket berencana menonton konser sehabis pelajaran usai. Waktu pelajaran sekolah menjadi sangat lama bagi beberapa siswa yang akan menonton. Namun waktu tetap saja berlalu. Pelajaran di hari Sabtu pun usai. Seusai pelajaran berakhir, Danu dan Hanum langsung menuju tempat parkir. Jam dua dijadwalkan konser mulai dengan beberapa band lokal sebagai penampil pertama. Mereka tampak kompak berdua. Mereka telah berganti baju bebas yang dibawa dari rumah. Tak baik tentunya menonton konser dengan baju sekolah. Kecuali itu adalah acara pensi. Sementara itu sepasang mata tanpa sadar memergoki mereka berdua di parkiran. Mereka tak menyadarinya. Setelah semuanya siap, sejoli itu segera meninggalkan sekolah. Danu mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Sebetulnya ia tak begitu peduli dengan konsernya. Ia hanya ingin membahagiakan kekasihnya itu. Bagi remaja yang sedang dimabuk kasmaran, jalan berdua adalah salah satu perwujudan rasa cinta. Menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan dan juga menunjukkan eksistensi pada dunia tentang arti hubungan cinta itu. Memamerkan perwujudan cinta yang baru saja mereka peroleh. Sampai di sana, konser telah dibuka dengan penampilan band lokal kabupaten. Setelah tampil dengan tiga lagu pembuka, mereka pun undur diri. Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Akhdiat Duta Modjo naik ke atas panggung lalu menyapa semua penggemarnya. Silih berganti lagu-lagu hits dibawakan, dibuka dengan Dan, dilanjutkan dengan Kita, JAP, Perhatikan Rani, Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki, Sahabat Sejati, Sephia, Tunjuk Satu Bintang dan diakhiri dengan Sebuah Kisah Klasik. Penonton begitu riuh. Sepertinya seluruh penonton hafal dengan lagu Sheila on 7. Duta mengajak penonton untuk menyanyi bersama membawakan lagu Dan saat pembuka dan juga Sebuah Kisak Klasik sebagai penutup. Diakhir konser, Duta mengajak para penonton untuk mengingat momen konser ini dan menjadikannya sebuah kisah klasik yang bakal dikenang oleh mereka di masa depan. Sementara itu, Danu dan Hanum menonton di bagian belakang. Danu tak ingin kekasihnya berdesak-desakan dengan penonton lain. Mereka ikut menyanyi sembari sesekali saling pandang. Sepenuhnya menikmati momen kebersamaan itu. Saat konser benar-benar selesai, mereka tak langsung beranjak pulang. Danu tak ingin berdesak-desakan dengan penonton lain saat keluar dari arena konser. Mereka bersenda gurau sambil menunggu penonton sepi.
"Mulai saat ini Hanum punya alasan yang logis untuk menyukai lagu Dan, Mas," tiba-tiba saja Hanum berbicara seperti itu kepada Danu kekasihnya.
"Memang kenapa Hanum?" Danu bertanya penuh penasaran.
"Karena Dan itu kamu, Mas. Dan lagu itu mewakili permintaan maafku, Mas," papar Hanum.
"Tanpa lagu itu, Mas sudah memaafkanmu. Cinta itu tak melulu tentang deg-deg ser. Tak melulu tentang jalan bareng. Tak selalu tentang kesempurnaan pasangan kita. Tapi tentang memaafkan kesalahan-kesalahannya juga. Mengubah keburukan-keburukannya. Dan semua risiko yang harus dihadapi dari kebersamaan," Danu menjelaskan dengan bijak.
"Memang Mas Danu gak pernah deg-deg ser ke Hanum?" tanya Hanum kemudian.
"Awalnya mungkin iya. Tapi kan Mas sudah lama mengenalmu. Dari kebersamaan itulah cinta itu tumbuh. Bukan dari pertemuan yang deg deg ser,� jawab Danu lagi sembari tersenyum mendengarkan keluguan kekasihnya itu.
"Oh iya, Mas. Kamu tahu ga kalau Duta itu keturunannya Kyai Mojo? Guru spiritualnya Pangeran Diponegoro," tanya Hanum antusias namun terdengar aneh. Aneh karena tiba-tiba saja membahas silsilah atau asal asul manusia di akhir konser. Sesuatu yang gak nyambung.
"Ga tahu. Mas kan bukan juara kelas seperti kamu yang tahu banyak hal karena suka baca semua buku dan majalah," jelas Danu mencari pembelaan atas ketidaktahuannya.
Danu juga merasa bahagia sekali melihat kekasihnya begitu bahagia menikmati momen itu.
"Yo wis sekarang kita pulang saja," ajaknya kemudian.
"Tapi Hanum laper, Mas," Hanum memegangi perutnya.
"Gimana kalau kita ke Pasar Baledono. Nyari geblek atau mie ayam," ajaknya.
"Geblek itu apa, Mas?" tanya Hanum bingung.
Hanum memang jarang pergi hingga kadang tak tahu makanan khas suatu kota.
"Ditempat kita namanya gembus. Cuma kalau geblek dari singkong sedangkan gembus dari tepung aci," Danu terkekeh melihat ketidaktahuan kekasihnya itu.
Ternyata tidak semua pengetahuan itu tercantum di buku pelajaran atau majalah. Kali ini ia merasa lebih unggul di lain sisi dibanding kekasihnya yang juara kelas itu. Lebih tahu bahwa geblek itu adalah gembus. Keunggulan yang sebenarnya sama sekali tak bermanfaat.
"Yo wis beli gembus, eh geblek lalu dimakan sama mie ayam," pinta Hanum manja.
"Kamu itu laper atau brokohta, Hanum," Danu lagi-lagi tertawa mendengar penuturannya.
Kemudian mereka beranjak dari tempat itu. Suasana sudah sepi. Yang tertinggal hanya sampah berserakan. Yang dibawa hanya kenangan yang tersimpan rapi di hati para penonton yang telah datang. Danu menikmati kebersamaannya kali ini. Ia ingin lebih sering mengajak kekasihnya itu menghabiskan hari bersama-sama. Ada kekhawatiran jikalau perempuan yang sangat dicintainya itu berpaling kepada lelaki lain. Mencintai perempuan cantik memang butuh energi yang berlebih. Tapi begitulah hukum alam. Tentang berkorban untuk semua yang didapat.
�
***
�
����������� Sementara itu, dibelahan dunia lain sebuah insiden kecil terjadi. Damar yang mendapati Hanum dan Danu di parkiran dengan sepeda motor sontak berbalik arah. Ia tak enak hati. Segera ia balik melewati ruang laboratorium dan duduk termangu di situ. Damar tahu kalau mereka hendak menonton konser di alun-alun kabupaten. Sungguh ia tak menginginkan momen seperti itu atau bahkan sampai bertegur sapa meski di lubuk hati terdalamnya masih tersisa penasaran. Apa iya gadis cantik berwajah sebening kaca itu bisa seketika melupakannya dan tahu-tahu sudah berkekasih. Apakah benar bahwa semakin cantik perempuan semakin ia pandai berbohong. Tak ada yang bisa memberinya penjelasan. Ia menyimpan penasaran meski setengah hatinya telah ikhlas. Setelah lima menit menunggu ia kemudian kembali lagi ke parkiran. Diambilnya sepeda jengki warna hijau tua kebanggaannya dan dikayuhnya menuju rumah. Pikirannya masih berkabut. Sepanjang perjalanan pikirannya bertambah kalut. Dua puluh menit kemudian ia sampai dibulakan sawah. Sejenak ia berhenti di tegalan yang ditumbuhi pohon sengon dan juga beberapa pohon pisang yang bergerombol. Sepeda ia letakkan saja dipinggir tegalan. Terduduk ia di situ memandang bentang sawah yang mulai ditanami berbagai tanaman palawija. Sebentar saja persawahan itu akan berubah fungsi menjadi perkebunan. Begitulah masyarakat desanya menyebutnya. Saat musim penghujan dan ditanami padi, maka lahan itu akan disebut sebagai lahan persawahan. Namun saat musim kering dan ditanami palawija, maka akan disebut sebagai perkebunan. Lantas ia gunakan tasnya sebagai alas untuk merebahkan badan di semak-semak dan rerumputan. Dilihatnya langit cerah dengan sedikit awan. Ternyata langit itu sangat luas dan tak terbatas. Ia pejamkan matanya guna lebih menikmati suara persawahan yang menderu. Telinganya menangkap suara angin menghantam dedaunan kering pohon pisang. Kresek-kresek, menciptakan badai kecil yang indah didengar. Sementara itu dari jalanan sawah, tepat di atas ia berbaring, ia dengarkan dengan saksama beberapa putaran roda yang bergesekan dengan tanah dan rumput. Bunyi nyit-nyit menandakan sepeda dengan beban terlalu berat. Tak begitu sering. Hanya beberapa kali saja. Andaikan ada orang yang melihatnya tentu ia akan dianggap sebagai orang aneh. Tiduran di bawah tegalan dengan berseragam sekolah lengkap. Bagaimana pula jika ada ular lewat di depannya coba. Namun Damar selalu bisa menikmati momen seperti itu. Saat semua penduduk bumi tak bisa menjawab kegelisahannya, saat itulah hatinya berbicara pada alam. Pada bentangan sawah, suara angin, daun-daun kering, rerumputan dan juga jalanan berlumpur. Damar menarik napas dalam-dalam. Setelah beberapa saat, ia bangkit dan membuka matanya kembali. Ujian kurang dua bulan lagi. Mengapa juga ia masih resah. Segera ia bangkit dan mengayuh sepedanya lagi. Kencang sekali hingga melewati bulakan sawah. Kali ini ia telah sampai di tanggul kali Lesung. Berarti sebentar lagi sampai di rumah. Namun kelelahan hatinya membuat fisiknya ikut lelah. Tanpa sadar sepedanya goyang dan meluncur dengan tragis ke dalam sungai. Begitu juga dengan tubuhnya yang ikut berguling-guling. Damar terjatuh bersama sepedanya ke dalam sungai. Ia terduduk di depan aliran sungai yang tak deres. Pinggangnya kecethit. Mungkin karena terguling barusan di tepian tanggul yang tak rata. Sementara itu diseberang tanggul, Lek Maryono yang sedang angon kambing secara refleks menyeberangi sungai dan mendatanginya yang terduduk dipinggir sungai.
"Kamu ga apa-apa, Mar?� tanyanya kemudian.
"Gapapa, Lek. Pinggangku aja yang sakit,� jawabnya sambil nyengir.
Lek Maryono mengangkat sepeda yang terjebur dan meletakkannya di pinggir tanggul. Lantas ia memapah Damar dan mendudukkannya di pinggir tanggul.
"Kamu ngelamun to, koq bisa-bisanya sampai jatuh?� tanya Lek Maryono lagi.
Damar hanya tersenyum kecut sambil menahan sakit. Ia tak habis pikir karena selama hampir tiga tahun mengayuh sepeda melewati tanggul itu, baru kali ini tergelincir ke sungai. Kedengarannya sangat konyol. Setelah cukup beristirahat dan meluruskan pinggang, kemudian ia kembali mengendarai sepedanya yang untungnya masih bisa dinaiki. Hanya beberapa catnya saja tergores karena bergesekan dengan tanah. Ia kendarai sepeda itu pelan-pelan sambil menahan sakit. Tak lupa ia ucapkan terima kasih kepada Lek Maryono karena telah membantunya naik ke atas tanggul.
"Ati-ati yo, Le!" Lek Maryono menyuruhnya hati-hati karena ia tahu Damar belum sepenuhnya pulih dari sakit dipinggangnya.
Akhirnya Damar sampai rumah. Mamak yang sedang membelah blungkangdi samping rumah terkejut melihat anak lelakinya pulang dengan berjalan pelan sambil memegangi pinggang.
"Kamu kenapa, Nak?" tanya Mamak sembari meletakkan bendo pemotong blungkangdi atas tanah.
"Jatuh ditanggul kali, Mak?� Jawab Damar.
Segera ia papah anak kesayangannya itu menuju kamar.
"Ya sudah kamu istirahat saja. Nanti malem biar diurut Mbah Lukman," Mamak berbicara dengan muka yang mengguratkan rasa cemas.
Segera saja mamak mengambil kethu penutup kepala dan pergi menuju rumah Mbah Lukman. Mamak berharap Mbah Lukman ada di rumah dan bersedia mengurut Damar agar sakitnya tak menjalar ke mana-mana. Sementara itu, Damar malah tersenyum sendiri mengingat kejadian konyol yang barusan menimpanya. Ia tertawa mendapati kegetiran hidupnya. Memang hidup itu menunggu giliran saja. Hari ini sakit, besok sehat. Hari ini berjumpa, esok berpisah. Hari ini bahagia esok kecewa. Tak ada kesedihan yang abadi, sebagaimana juga kebahagiaan yang tak kekal. Tiba-tiba saja suren menderanya. Ia ingat kalau belum makan siang. Pelan ia berjalan menuju dapur. Ia makan dengan lahap seolah-olah hari ini adalah terakhir ia bisa makan.
�
�
Misteri Dua Dekade�
�
����������� "Selamat ya, Mentari. Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Surabaya," Rian menyelamati kekasih tak jelasnya itu.
"Bukan IKIP, Rian, tapi Unesa. Universitas Negeri Surabaya. Sekarang sudah tidak ada IKIP lagi,� sanggah Mentari sambil menerima jabat tangan lelaki hitam manis berperawakan gagah itu.
"Bagiku sama saja. Pendidikan, kan?" kata Rian.
"Ya ga seperti itulah. Kalau IKIP hanya pendidikan. Sedangkan Universitas Negeri bakal membuka jurusan lain selain kependidikan," Mentari tetap ngotot.
"Apalah itu artinya kita bakal jauh. Kamu di Surabaya aku tak pasti ada dimana,� Rian berbicara sambil mengangkat alisnya.
Pembicaraan mereka terhenti beberapa masa. Rian berdiri sesaat lalu mencabut rumput teki yang ada di depannya. Dimainkannya rumput itu sebelum diberikannya pada Mentari. Tak ada bunga, rumput pun jadi, pikirnya. Lantas ia kembali duduk.
"Kamu sendiri gimana. Masih tetap dengan rencana semula, kan?" tanya Mentari sembari tersenyum karena menerima pemberian yang tak biasa itu.
"Aku masih bimbang. Di Magelang atau Surabaya. Waktuku tak lama lagi. Semua sudah kusiapkan. Termasuk surat keterangan sebagai peserta Ebtanas. Aku ingin menjadi Marinir atau Kopassus,� jawabnya mantap.
Rian awalnya memang berhasrat mendaftar sebagai taruna Angkatan Darat (AD). Namun setelah berkonsultasi dengan beberapa gurunya kebanyakan mereka menganjurkannya untuk mendaftar di Akademi Angkatan Laut (AAL) saja. Laut kita yang luas lebih membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas untuk menjelajahi lautan. Namun ia tak begitu yakin dengan alasan-alasan itu. Susahnya menembus Akademi Angkatan Darat (AAD) mungkin menjadi alasan yang lebih logis yang bisa diterima akal sehat.
"Apa kamu harus ke Surabaya jika mendaftar di AAL?" Tari bertanya lagi.
"Jika memang begitu, aku harus siap. Tapi infonya untuk pemberkasan awal cukup di Mako Lanal Cilacap,� jawab Rian.
"Jika ternyata takdirmu di Surabaya, itu mungkin cara Tuhan membiarkan kita memperjuangkan pilihan kita," Mentari berbicara penuh harap.
"Sampai sekarang aku masih tak tahu mengapa Ayahmu tak menyukaiku. Setiap orang pasti punya alasan logis atas sikapnya. Jika karena tak ingin putrinya menjalin hubungan dengan pria tak serius, setelah aku diterima sebagai taruna aku akan ke rumahmu, Mentari. Aku akan berbicara ke Ayahmu sebagai sesama lelaki," tambahnya.
Selama ini Rian bukannya tak pernah mengunjungi Mentari di rumahnya. Setiap lebaran ia pasti datang meski Pak Sudi tak pernah mengajaknya berbicara. Pak Sudi hanya menyalaminya saja lalu pergi. Sementara murid-murid lainnya yang datang selalu disambut dengan hangat oleh Pak Sudi. Pak Sudi selalu menanyakan kabar mereka dan keluarga.
"Semoga saja cuma karena itu. Oh iya, Rian, menurut penuturan ibu, dulu Ayah pernah bekerja sebagai guru wiyata bakti di SD di desamu sebelum diangkat menjadi PNS Dikbud dan akhirnya sekarang menjadi kepala TU di SMA kita sekarang ini," papar Mentari.
"Lantas apa hubungannya ketidaksukaan Ayahmu padaku dengan cerita Ayahmu yang pernah mengajar SD di desaku?" tanya Rian.
"Aku juga tak tahu. Tiba-tiba saja pikiran seperti itu muncul di benakku.� Jawabnya sembari menggeleng.
"Aku tak mau berspekulasi. Terpenting sekarang kita fokus dengan cita-cita kita masing-masing. Satu kakimu sudah menginjak kampus, Tari. Sementara aku belum apa-apa," Rian menimpali.
"Oh ya, bagaimana dengan Iqbal, mantan ketua Rohis kita. Kayaknya dia menaruh perhatian padamu? Ayahmu juga sangat perhatian padanya," tanya Rian menggoda.
"Setiap orang berhak mencintai siapapun. Tapi membalas cintanya adalah perkara lain. Keberadaanku di sini sudah menjawab semuanya. Oh ya, bagaimana dengan, siapa itu teman sekelasmu? Yang montok dan putih. Sepertinya dia peduli padamu. Kamu kan suka yang putih-putih," Tari balas bertanya dengan sadis.
Rian tergelak. Tak berhenti ia tertawa melihat kekasihnya bertanya balik dengan nada ketus.
"Kamu cemburu ya? Lelaki tampan seperti aku memang banyak yang naksir. Oh ya, kambing di rumahku juga putih-putih loh. Kamu cemburu juga?" ledek Rian.
"Kawini saja kambing-kambingmu yang putih itu." Tari meninju lengan kiri kekasihnya itu karena kesal.
����������� Asyik sejoli itu bercengkerama sehingga tanpa sadar seseorang memperhatikan mereka dengan muka kesal. Mereka juga tak menyadari ada tembok bening dalam ukuran besar membentang menghalangi hubungan mereka. Dan sepertinya kaki tembok mulai menghitam. Mungkin mereka akan sadar saat keseluruhan tembok bening itu berubah warna menjadi pekat kehitaman.
�
Larut
�
����������� Jarum jam di dinding menunjukkan pukul sembilan lewat. Dibawahnya tertempel rapi kliping-kliping artikel majalah lokal yang kebanyakan adalah tulisan-tulisannya yang dimuat dalam lima tahun terakhir. Beberapa piagam penghargaan juga tertempel di tembok bercat biru itu, baik dari lomba cerdas cermat maupun kompetisi menyanyi. Hanum menutup buku paket pelajaran sejarah yang belum selesai ia baca. Pelajaran sejarah di caturwulan terakhir menyinggung pergerakan nasionalisme beberapa negara di Asia dan Afrika. Pergerakan itulah yang melatarbelakangi perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah melawan para imperialis. Kemenangan Jepang sebagai negara modern di Asia atas Uni Soviet juga memantik semangat juang negara-negara jajahan yang tertindas. Didukung pula dengan semakin bertambahnya kaum terpelajar Asia yang menimba ilmu di sekolah-sekolah Eropa. Mereka mendengungkan semangat merebut kembali kejayaan seperti yang pernah direngkuh bangsa Asia di masa lalu. Bagaikan gelombang, pergerakan ini menghantam India, Mesir, Turki, Filipina, China dan juga Indonesia.
����������� Hanum lantas merebahkan tubuhnya diranjang. Ia telah sholat Isya dari tadi. Lampu tak ia matikan. Ia hanya belum mengantuk. Disetelnya radio dan dipilihnya beberapa siaran yang memutar lagu-lagu nostalgia. Ia malah melamun. Memikirkan kejadian beberapa waktu lalu. Kejadian yang membuat hari-harinya penuh warna. Juga kejadian yang membuatnya merasa menjadi wanita kejam. Tapi ia tak punya pilihan lagi. Seperti memakan buah simalakama saja. Harus ada yang basah oleh hujan. Dan lelaki itu adalah Damar. Basah oleh badai kehidupan. Hanum bahagia saat mengingatnya. Dan juga getir saat menyuruhnya pergi. Salah satu momen yang tak bisa dilupakannya adalah ketika Damar mengajaknya bermain games Matematika menggunakan kalkulator di warung bakso Pak Kumis. Damar meminta Hanum berhitung menggunakan kalkulator dengan menambah dan mengalikan beberapa angka termasuk bulan dan tanggal lahir. Tanggal lahir dikalikan 5. Kemudian ditambahkan dengan angka 6, dikalikan 4, ditambah angka 9, dikalikan dengan 5 dan ditambah angka bulan kelahiran. Didapatilah angka 2176. Damar menarik kembali kalkulatornya dan entah apa lagi yang ia lakukan, ia tidak tahu menahu. Lelaki itu memasukkan kalkulator ke dalam tasnya kembali. Hanum merasa aneh pada saat itu. Damar menyuruhnya untuk melupakan saja permainan barusan. Setelah beberapa bulan berlalu dan ulang tahun keenambelasnya lewat, baru ia sadar kalau lelaki itu saat itu sedang menebak hari dan bulan kelahirannya. Dan itu tepat sekali. Sayangnya tidak dengan tahunnya. Hanum juga tak bisa melupakan saat Damar membaca garis tangannya saat sedang di dalam bis dalam perjalanan ke kabupaten. Awalnya ia tak menyangka lelaki yang terlihat pendiam itu bisa dengan pede-nya membaca garis tangan seseorang. Menurutnya telapak tangan kanan setiap manusia bertuliskan angka 18 dalam huruf arab. Sedangkan tangan kiri bertuliskan angka 81. Jika dijumlahkan maka menjadi angka 99. Rahmat Tuhan yang diturunkan ke bumi, hanya satu buah untuk seluruh penghuninya. Sementara itu 99 rahmat yang lain akan diterima oleh umatnya kelak yang masuk ke surga. Damar berujar bahwa satu rahmat itu termasuk cinta orang tua kepada anak, suami kepada istri dan juga sepasang kekasih. Hanum tersenyum mengingat saat itu. Pada awalnya ia benar-benar berpikir bahwa Damar adalah lelaki yang benar-benar bisa membaca garis tangan. Namun nyatanya itu hanya keisengannya semata. Hanum juga tak bisa melupakan saat-saat Damar dengan menggebu-gebu bercerita lalu menyayangkan mengapa kisah-kisah percintaan manusia di dunia harus dibuat dengan akhir yang tragis. Mengapa Romeo Juliet harus berkalang tanah. Siti Nurbaya tak bisa bersatu dengan Samsul Bahri. Jack tak hidup menamani Rose hingga tua. Layla dan Majnun yang sama-sama mati. Sampek meninggal mendahului Engtay. Pun Zainuddin dan Hayati. Jenny juga tak lama menemani Oliver. Menurutnya konyol saja saat orang bisa sakit dan kemudian meninggal karena cinta. Begitu pun saat memprotes lagu yang diputar diacara kawinan. Di momen membahagiakan itu, ada saja orang yang dengan kejam menyanyikan lagu cinta bertema putus asa. Bukannya lagu-lagu bahagia penghibur pengantin. Mereka pikir, setiap pengantin berbahagia dengan hari agungnya itu. Bagaimana kalau pernikahannya itu hari naasnya, karena kawin dengan begundal penyiksa perempuan. Bayangkan andaikan ada tamu yang menyanyi lagu sedih dalam pernikahan Bunga dengan Kang Karjo. Apa tak membuat tambah sedih hati Bunga. Atau wanita yang dinikahi adalah wanita tak baik pemuas hasrat banyak lelaki semacam Rani. Apa tak menambah geram Kelana. Ekspresi Damar menunjukkan ketidaksetujuannya membuat Hanum tersenyum geli.
����������� Malam semakin larut. Hanum masih belum bisa memejamkan matanya. Ia lalu keluar kamar untuk menonton TV. Lampu ruang tamu dan ruang tengah telah dimatikan. Begitupun dengan TV. Segera ia hidupkan kembali lampu tengah dan juga TV. Hanya beberapa film box office yang tak begitu menarik perhatiannya. Malas rasanya menonton TV dengan acara seperti itu-itu saja. Namun belum sempat ia mematikan TV dan kembali ke dalam kamar, ibu tiba-tiba keluar kamar dan ikut duduk di sampingnya. Hanum tak menyangka kalau ibunya masih terjaga. Mau tak mau akhirnya mereka pun mengobrol sembari menghabiskan malam.
�Sebenarnya Ibu tahu kalau kamu memendam masalah, Nak.� ungkap ibu pada anak terkasihnya itu.
�Ceritalah sama Ibu. Jika kamu tak ingin Ayah tahu, Ibu akan merahasiakannya.� tambahnya.
Mendengar pernyataan seperti itu, akhirnya pertahanan terakhir Hanum lepas juga. Ia sudah terlalu lama memendam resah itu sendirian. Ia akhirnya menceritakan semua yang terjadi pada Ibunya. Ia meminta Ibu untuk merahasiakan semuanya pada siapapun termasuk kepada Ayah. Ibu dengan sabar mendengar cerita anak perempuannya itu. Hanum pun menceritakan setiap detailnya. Setelah mendapati cerita yang utuh, akhirnya Ibu pun angkat bicara. Ibu menarik napas dalam-dalam sebelum benar-benar berbicara.
�Dulu, Ayahmu bukanlah lelaki yang Ibu cintai. Ibu mencintai lelaki lain sebelum Ayahmu mengutarakan perasaannya. Namun Ayahmu lah yang sabar mendekati Ibu. Seiring waktu, Ibu malah cinta mati sama Ayahmu.� ucap Ibu perlahan.
�Saat Ibu menerima Ayahmu, saat itu pula Ibu sudah tidak lagi memikirkan lelaki yang Ibu cintai,� tambahnya.
�Jadi Hanum memang benar-benar salah ya, Bu?� ujar Hanum dengan raut muka penyesalan.
�Semakin ke sini ukuran kedewasaan orang, baik itu perempuan ataupun lelaki, memang menjadi semakin lama, Nak. Itulah mengapa sebenarnya Ibu belum sepenuhnya percaya saat kamu memutuskan untuk berpacaran.� jawab Ibu tanpa ragu.
�Jadi Hanum harus bagaimana, Bu?� tanya Hanum lagi.
Ya kamu harus meminta maaf. Ceritakan semuanya. Lantas siapa itu Danu, pacarmu, juga harus bisa membuktikan tidak hanya sama kamu, tapi juga sama Ibu juga Ayah, kalau hubungan kalian memang benar-benar hubungan yang positif. Kalau tidak, mending kalian sudahi saja. Fokuslah pada sekolahmu.� jawab Ibu lagi dengan tegas.
Hanum tak lagi menjawab. Ia malah menundukkan wajahnya. Ia memang benar-benar merasa bersalah. Pantas saja jika rasa itu menghantui hari-harinya. Damar lelaki luar biasa itu yang tak tahu apa-apa tiba-tiba saja terusir dari hidupnya. Tanpa kata maaf pula. Tanpa penjelasan, dimintanya untuk pergi sejauh-jauhnya. Dan lelaki itu memang benar-benar pergi tanpa protes sedikitpun. Saat mendapatinya, Damar telah kembali seperti sebelum saat mereka saling kenal. Beberapa kali ia melihatnya di parkiran, perpustakaan dan juga kantin. Tak pernah ada senyum lepas yang biasa ia lihat seperti saat dulu mereka pernah akrab bersama. Masih betah juga duduk sendirian di pojok perpustakaan tanpa mempedulikan siapapun. Tak acuh saat di parkiran meski banyak orang lalu lalang. Kadang ia merasa telah merenggut kebahagiaan Damar dari dirinya. Ia merasa telah menyakiti perasaan lelaki itu. Itu mungkin juga berarti menyakiti dirinya sendiri.
Segera ia memohon pamit untuk masuk kamar kembali. Begitupun dengan Ibu yang tak lupa memeluk sembari mengacak-acak rambut anak perempuannya terlebih dahulu. Hanum tak menyangka jika ia bisa begitu jujur tentang perasaannya kepada Ibu. Namun, bimbang kembali menderanya. Haruskah ia meminta maaf sebagaimana perkataan Ibu barusan. Benarkah ia telah bisa melupakan rasa cintanya pada lelaki bermata cokelat itu. Bagaimana juga jika mereka nanti bertemu lantas ia tak bisa berkata sepatah katapun. Bagaimana kalau ternyata ia memang masih sangat mencintai lelaki itu. Bagaimana juga dengan Danu jika ia tahu ia menemui Damar. Meski itu hanya untuk meminta maaf. Ah, ia malah semakin resah.
�
�
Bimbel
�
����������� Damar tak lelah membolak-balik brosur penawaran bimbingan belajar (Bimbel) masuk perguruan tinggi kedinasan yang entah darimana asalnya itu, berharap ada tulisan kecil yang bisa dibaca "diskon", meski dengan *syarat dan ketentuan berlaku. Namun sampai waktu istirahat selesai tak juga ditemuinya. Biayanya tetap 750 ribu rupiah. Tak bisa dicicil. Dan tempatnya di Jogja. Tentu tak sedikit biaya yang harus ia keluarkan nanti. Sekolah tinggal dua minggu lagi. Bimbel juga tinggal sebulan lagi pendaftarannya. Darimana ia dapatkan uang sebanyak itu dalam waktu yang tak lama. Sementara hari-harinya habis untuk belajar dan membantu bapak di kebun. Meskipun sudah belajar maksimal dan buktinya bisa menjadi salah satu siswa terbaik di sekolah kecamatan di daerahnya, Damar tetap tak begitu percaya diri bisa lulus sekolah kedinasan. Saingannya sangat banyak, terutama dari sekolah-sekolah di kota atau kabupaten. Damar berpikir mungkin dengan ikut bimbel sebulan sampai dua bulan dan fokus belajar di Jogja, ia bisa bersaing dengan teman-temanya dari kota. Rupanya pikiran Damar �bak gayung bersambut. Tiba-tiba saja di jam istirahat ada yang mengedarkan brosur yang menawarkan bimbel masuk sekolah kedinasan dengan jaminan uang kembali jika saja tidak diterima. Tentu dengan syarat dan ketentuan berlaku. Namun biayanya yang sampai 750 ribu mematahkan semangatnya.
�����������Sepanjang perjalanan pulang, Damar mengayuh sepedanya dengan pelan. Dia berpikir keras kira-kira apa yang bisa dilakukannya agar ia bisa mengikuti bimbel itu. Ia teringat pohon tomat di kebun Bapak yang selama ini mereka rawat bersama. Pohon tomat di kebun memang sudah siap panen. Paling tidak dua minggu lagi mulai bisa nyeboki. Hatinya berbinar. Semangatnya berkobar lagi. Damar berpikir untuk bilang ke bapak agar bisa ikut bimbel dari hasil kebun tomat Bapak. Sementara Bapak bisa pinjam dulu dari kantong ajaibnya. Damar mempercepat laju sepedanya. Pikirannya sudah bulat. Ia akan bilang ke bapak supaya diizinkan bimbel di Jogja dengan harapan besar bisa lulus tes masuk sekolah kedinasan.
����������� Damar meletakkan sepedanya di teras rumah. Awan yang bergelayut di langit membuat ia khawatir jika sepedanya ditaruh di bawah pohon mangga seperti biasanya. Jika terkena hujan, selain susah mencucinya juga membuat sepeda cepat berkarat. Sepeda jengkinya itu juga satu-satunya teman menjelajah Damar. Sepeda yang sudah ia anggap sebagai kekasihnya sendiri. Rumah rupanya telah kosong. Bapak dan mamak sudah berangkat ke kebun. Ia lantas mengambil kunci rumah yang terselip di antara kusen-kusen jendela tempat biasa bapak meletakkannya. Ia buka dengan pelan, lalu ia tutup kembali pintu itu. Ia letakkan tas sekolah di dalam kamar lantas berganti baju. Rupanya mamak telah menyiapkan makan siang favoritnya. Bobor lembayung, ikan asin dan juga sambal terasi. Damar langsung menyantapnya dengan lahap. Baginya makan siang adalah makan terenak karena selama ini ia tidak pernah sarapan dengan menu yang lengkap. Biasanya menu sarapan yang menemaninya hanya seadanya, sekadar ubi rebus, gethukkethek, temleng atau pisang goreng sehingga membuat siang Damar terasa lapar dan itu berarti nikmat akan berlipat. Apalagi jika makan siang dengan� bobor kesukaannya. Sembari makan, tak lupa ia saksikan kuis kesayangannya yang tayang di Indosiar. Kuis Digital LG Prima memang menambah wawasan para pelajar sekaligus menjanjikan hadiah yang menggiurkan. Ia sering berandai-andai jika saja rumahnya di Jakarta, ia bakalan ikut kuis tersebut. Biasanya setelah kenyang sehabis makan siang, ia langsung menyusul bapak dan mamak ke kebun. Namun awan menebal hingga ia mengurungkan niatnya. "Bapak dan Mamak pasti sebentar lagi pulang,� batinnya.
����������� Dan ternyata memang benar adanya. Hujan turun cukup deras. Bapak dan mamak pulang dari kebun dengan basah kuyup. Rupanya cuaca sudah tidak menentu lagi. Kadang di bulan yang seharusnya panas terik terjadi hujan beberapa kali. Beberapa kali� menguntungkan memang. Jika hari itu turun hujan,bapak tidak perlu menyiram pohon tomat di kebun. Namun sesuatu yang tidak biasanya kadang mengundang bahaya. Suasana dingin oleh hujan dimanfaatkan oleh Damar untuk mengulang latihan soal-soal yang sekiranya keluar dalam ujian seleksi perguruan tinggi nanti. Baginya ketika tidak bisa membantu bapak di kebun, itu berarti ia harus mengisi waktu dengan terus belajar. Damar mempunyai tekad yang kuat agar bisa mengangkat kehidupan keluarganya. Orang tuanya yang tak tuntas sekolahnya harus hidup bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kebun atau sawah mereka yang cuma beberapa petak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Meski lebih beruntung dari kebanyakan orang di desanya, hasil sawah mereka tetap tak bisa digunakan untuk berlibur atau mendaftar haji misalnya. Oleh karena itu, Damar bertekad sekuat tenaga agar bisa mengubah nasib melalui pendidikannya. Ia bertekad untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi kedinasan. Tekad itu lebih karena sekolah kedinasan itu tidak perlu bayar. Sementara untuk biaya hidup sehari-hari, ia berencana untuk memberikan les privat kepada anak-anak sekolah. Sungguh indah memang cita-citanya. Meski sebenarnya bukan itu cita-cita masa kecilnya. Dalam lubuk hati terdalamnya, keinginannya tetaplah menjadi seorang dokter. Tapi ia berkaca diri. Di Republik yang hampir semuanya diperjual-belikan ini, tentu tak ada tempat bagi seorang anak buruh tani berseragam dokter, kalaupun tidak pintar sekali atau jenius.
����������� Di luarhujan tak mau berhenti meski juga tak begitu lebat. Suasana Ashar menjadigelap seperti Maghrib. Hujan sempat reda sebentar, namun kembali turun meski tak begitu deras. Lembayung senja pun tercipta di ufuk barat. Lembayung senja mengguratkan keindahan yang tak biasa. Dulu saat ia kecil tentu ia takkan berani keluar saat lembayung itu muncul. Warna kuningnya menggambarkan amarah Bathara Kala pada sang surya. Dan sang Bathara Kala pun membutuhkan korban untuk melampiaskan amarahnya. Makanya pada saat itu anak-anak kecil dilarang keluar rumah. Jika mereka memaksakan diri maka mereka akan kelampor. Diculik oleh Bathara Kala dan dijadikan bahan persembahan untuk dimakan. Sebuah mitos yang mengiringi masa kecilnya bersama teman-temannya. Dan memang, faktanya saat ia kecil dulu banyak anak kecil yang hilang saat Maghrib tiba dan baru ditemukan pada malam hari dalam keadaan linglung. Dulu ia amat mempercayai itu. Setelah tumbuh dewasa, usut punya usut, ia jadi tahu bahwa ketiadaan listrik di desanya ternyata menjadi penyebab banyaknya anak kecil tersesat di waktu Maghrib. Ketika Maghrib menenggelamkan lembayung, hujan kembali turun dengan deras. Dan ketika hujan tak henti-henti tentu sudah bisa ditebak. Listrik pun ikut mati. Tak ada yang bisa dilakukan setelah Maghrib dengan listrik yang tak menyala. Damar beranjak dari kamarnya. Ia sudah mantap hendak berbicara dengan Bapak. Rupanya bapak sudah tidak di rumah. Sedari adzan Magrib tadi, bapak pergi ke masjid untuk berjamaah sholat Maghrib. Ditunggunya sampai Isya. Bapak tak kunjung pulang. Mungkin karena hujan yang tak kunjung reda membuat bapak memutuskan pulang setelah sholat Isya saja.�Lelah Damar menunggu dalam gelap. Ditambah aktivitas yang padat dan menguras tenaga siang tadi, akhirnya membuat ia terlelap. Mamak sempat membangunkannya supaya sholat Isya. Karena saking ngantuknya, sehabis sholat ia tidur lagi. Sementara di luar hujan juga tidak kunjung reda. Malah semakin deras. Semakin malam semakin menjadi-jadi. Dan penduduk desa pun semakin nyenyak tidurnya. Begitu juga Damar yang sudah lupa dengan keinginannya bicara dengan bapak. Tepat pukul setengah lima, suara adzan Subuh berkumandang lirih di sela-sela suara rintik hujan yang mulai reda. Damar yang biasanya terbangun, menjadi malas untuk bangun. Begitu juga dengan bapak dan mamak. Semuanya kesiangan. Namun, ketukan keras berkali-kali di pintu depan rumah membangunkan mereka semua. Bapak tergopoh-gopoh mendekati pintu setelah mendengar teriakan yang menyebut-nyebut namanya.
"Kang Paiman, bangun, Kang! Bangun!� Mamak dan Damar ikut di belakangnya.
"Ada apa to Paklik?� Bapak balik bertanya.
"Oalah Kang, habis semua pokoknya, tomate Njenengan habis,� sahut Paklik Komar.
Bapak, mamak dan Damar pun terduduk. Paklik Komar menjelaskan bahwa hujan deras semalam yang tak henti-henti membuat tanggul kali yang melewati kebun warga desa jebol. Semua kebun sayuran terendam. Termasuk kebun tomat milik bapak.
����������� Bapak termangu mendengarnya. Begitu juga dengan mamak. Apalagi Damar. Lantas bagaimana dengan rencana Damar? Bapak pun menghela napas sembari bangun dari kursi sambil berucap.
"Wis, Mak, Mar, yang penting sholat Subuh dulu!"
�
Ujian Hari Kedua
�
����������� Teriknya mentari tak menyurutkan semangat Damar mengayuh sepedanya menuju rumah. Tak cepat tapi juga tak pelan. Ia cukup berhati-hati karena tak ingin kejadian dua bulan lalu terulang kembali. Terperosok ke kali karena terlalu kencang mengayuh sepeda. Ia tak mau menyia-nyiakan sedikitpun waktunya selain untuk belajar. Besok adalah hari terakhir ujian. Kebetulan juga, Bahasa Inggris dan Ekonomi Akuntansi adalah dua mata pelajaran favoritnya. Ia bertekad untuk bisa menaklukkannya. Menuntaskan semua target yang telah ia susun dari awal. Tak muluk-muluk memang cita-citanya. Ia hanya berharap bisa mendapatkan rata-rata nilai Ebtanas di atas tujuh. Akan tetapi, rata-rata di atas tujuh bagi siswa dari sekolah kecamatan itu sangatlah sulit. Belum tentu setiap satu angkatan ada siswa yang nilai rata-ratanya di atas tujuh. Tapi bagaimanapun, itu harus didapatkan olehnya karena sekolah kedinasan yang Damar idamkan mempersyaratkan itu. Sekali lagi, nilai rata-rata Ebtanas di atas tujuh. Sebenarnya Damar cukup merasa yakin dengan hasil Ebtanasnya. Dua hari pertama ujian sepertinya ia bisa lalui dengan baik. PPKn, Bahasa Indonesia, Sosiologi dan Tata Negara berhasil ia taklukkan. Iya, karena Damar memang rajin membaca buku pelajaran maupun berlatih soal-soal. Apalagi setelah tumpukan kekecewaan yang ia dapati akhir-akhir ini. Ia tak hanya berhasrat membuktikan pada diri sendiri, namun juga kepada seluruh dunia bahwa hatinya yang tercabik tak membuat ia jatuh. Namun itu semua tidak ada artinya jika ia gagal di sisa ujian esok. Setengah jam kemudian Damar telah sampai di rumah. Ia sandarkan sepeda jengkinya di bawah pohon mangga agar tak kepanasan. Bergegas ia masuk rumah. Ia mengganti baju dan beranjak ke sumur untuk mengambil wudhu. Biasanya ia sholat Dzuhur di sekolah. Hanya saja karena hari ini adalah ujian, maka pulang menjadi lebih awal. Damar pun sholat Dzuhur di rumah saja. Dan hari-hari ujian seperti saat ini,itu berartihari libur ke kebun baginya. Bapak dan mamak memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya padanyauntuk belajar. Apalagi ini adalah ujian terakhirnya di sekolah. Seusai sholat, Damar tak langsung makan siang. Ia belum merasa lapar. Ia hanya ingin kembali membuka buku dan mengulang-ulang materi yang akan diujikan besok. Ternyata lelah tubuhnya tak dapat membohongi. Damar pun tertidur pulas sekali. Padahal tadi pagi ia hanya sarapan dengan talas rebus dan segelas teh hangat. Dan ini bukan yang pertama kalinya. Dalam dua minggu terakhir, setidaknya sudah enam kali ia telat makan siang. Ia sangat sibuk belajar hingga banyak melupakan hal-hal yang sebenarnya sangat penting.
����������� Tepat pukul setengah tiga sore ia terbangun. Rasa lapar menderanya. Langsung ia menuju meja makan. Bapak dan mamak telah lama berangkat ke kebun. Mamak memasak ikan asin dan bening bayam. Tak dijumpainya sambal terasi seperti biasanya. Baginya dan banyak orang-orang di desa, hambar rasanya makan tanpa sambal. Rupanya sambal telah habis. Damar pun membuka lemari tempat biasanya mamak menyimpan makanan. Tergeletak sambal terasi kemarin sore yang lupa mamak singkirkan. Damar pun mengeluarkannya. "Tak apalah. Baru juga kemarin,� gumannya. Dengan lahapnya Damar menghabiskan bening bayam dengan sisa sambal terasi kemarin sore.
����������� Selepas makan siang Damar langsung membereskan semua perkakas rumah yang berantakan. Meski dibebaskan dari segala pekerjaan rumah dan kebun, tak enak rasanya melihat rumah berantakan. Namun, belum juga selesai ia mencuci piring di sumur belakang rasa sakit dan melilit di perutnya tiba-tiba datang. Tak pelak ia harus segera menyelesaikan cucian piringnya. Ia pun bergegas ke kamar tidur untuk merebahkan diri. Rasa sakit itu datang dan pergi. Semakin lama semakin sakit. Tak tahan rasanya menahan sakit diperutnya yang kian menjadi-jadi. Seluruh tubuhnya basah oleh keringat karena menahan sakit. Rasa sakit diperutnya pun berpindah ke bagian bawah perut sebelah kanan. Berkali-kali ia muntah. Tak ada seorang pun di rumah. Nurul yang biasanya asik di depan TV sedang bermain ke rumah temannya. Damar hanya bisa menahan sakit sembari berharap bapak segera pulang. Pikiran buruk menghantuinya. Bagaimana jika ia tiba-tiba mati. Bagaimana jika sakitnya itu tak bisa disembuhkan. Ia berdoa kepada Tuhan agar ia tak sekarat sebelum selesai ujian. Akhirnya bapak pulang setengah jam kemudian. Bapak mendapati firasat buruk saat di kebun. Terdorong oleh rasa gelisah, bapak memutuskan untuk pulang lebih cepat. Ternyata benar adanya. Sesampainya di rumah, bapak langsung bergegas mandi dan sholat Ashar. Tak tega rasanya melihat Damar tergeletak di kamar tidur menahan rasa sakit yang tak tertahankan. Dengan mengendarai motor Astrea, dibawanya Damar ke Unit Gawat Darurat (UGD) Puskesmas di Pituruh. Mamak bersama Nurul menunggu di rumah sambil harap-harap cemas.
����������� Namanya dr. Lusi, terkenal ramah dan juga cantik. Ia adalah dokter jaga yang merawat Damar. Setelah merasa cukup mengecek semua keluhan Damar dan memberikan penanganan yang diperlukan ia pun memanggil Pak Paiman. Pak Paiman yang tadinya mondar-mandir tak karuan pun segera duduk di kursi yang terletak tepat di depan meja praktik dr. Lusi.�Tanpa berbasa-basi dr. Lusi pun langsung berbicara ke intinya.
"Damar terkena usus buntu, Pak. Sudah lumayan parah. Jadi harus segera dioperasi," ungkapnya.
"Sudah tidak bisa nunggu lama, Pak. Takut ususnya pecah," tambahnya.
Pak Paiman menghela napas panjang. Tak bisa ia bayangkan berapa biaya yang harus ia keluarkan untuk operasinya. Tapi ada yang lebih ia khawatirkan dibanding biaya operasi, yaitu tentang hari terakhir Ebtanas Damar.
"Bisa saya bicara sebentar dengan anak saya?� Pak Paiman memohon kepada dr. Lusi agar bisa berbicara dengan anak sulungnya itu.
dr. Lusi pun mempersilahkan. Damar masih terbaring di ranjang ruangan UGD didampingi perawat. Pak Paiman menghampiri anak kesayangannya itu dan mengajak bicara.
"Kamu kena usus buntu, Nak. Kebiasaamu telat makan dan seneng pedes ternyata ada efeknya juga," ujar Pak Paiman pada sulungnya.
"Ternyata ususmu tak sekuat usus Bapakmu," tambahnya sambil tersenyum.
"Lantas apa kata dokter, Pak?� tanya Damar kemudian kepada bapak yang amat disayanginya itu.
"Ya kamu harus cepet-cepet dioperasi. Diangkat usus buntumu,� ujar�Bapak.
"Bapak kepikirian ujian Ebtanasmu besok, Nak," tambahnya lagi.
"Kalau bisa ditunda sampai besok sore, Pak. Biar kita pulang hari ini, besok ikut ujian. Setelah ujian kita ke sini lagi,� usul Damar.
"Bapak akan coba bicara dengan Bu dokter ya,� jawabnya.
����������� dr. Lusi memaklumi alasan Pak Paiman yang menginginkan anaknya agar rawat jalan dulu. Tentu harus dengan syarat-syarat tertentu. Damar tak boleh telat minum obat. Ia juga harus benar-benar beristirahat. Damar hanya boleh ke sekolah untuk mengikuti Ebtanas dua mata pelajaran. Itupun harus diantar oleh bapak. Tanpa sepeda jengki kesayangannya. Sehabis itu ia harus dirawat di puskesmas untuk persiapan operasi pengangkatan usus buntu. Menjalani puasa agar tak muntah saat operasi. Bapak melamun menerawang jauh. Memikirkan biaya yang harus dikeluarkan untuk operasi Damar. Apalagi kebun tomatnya telah habis terendam banjir beberapa minggu kemarin. Dia bukan pegawai negeri yang punya asuransi atau jaminan kesehatan. Ia hanya buruh tani lulusan SD. Haruskah ia mengambil uang dari kantong ajaibnya?
�����������Damar menerawang jauh. Memikirkan nasib nilai akhir Ebtanasnya. Akankah rata-ratanya sampai tujuh. Agar ia bisa ikut seleksi masuk sekolah kedinasan. Agar bisa membuktikan kehebatannya pada dunia. Mengangkat derajat kehidupan orang tuanya yang hidup pas-pasan. Namun, belum-belum bertubi-tubi cobaan datang mendapatinya. Ah, entahlah.
�
�
Hari Terakhir Ujian
�
����������� Terkumpul dua ratus lembar lebih biodata siswa kelas tiga yang hendak merayakan kelulusan. Sebagai sekretaris OSIS, ini adalah tugas terakhirnya di kepengurusan. Mempersiapkan acara pelepasan siswa kelas tiga. Dan ia diberi tugas untuk menyusun buku angkatan, bersama beberapa rekan pengurus OSIS lainnya. Hanum membaca satu persatu biodata siswa tersebut dan membubuhinya nomor urut sesuai absen sekolah. Ia berhenti pada sosok yang sempat mengisi hari-harinya waktu lalu. Terpampang foto 4x6 berlatar biru menyunggingkan senyum. Bahkan fotonya pun membangkitkan rasa bersalah yang mendalam. Ia benar-benar berhenti lama pada foto itu. Foto wajah lelaki tulus dan tanpa dosa. Sembilan September tanggal kelahirannya. Setahun lebih tua darinya. Hanum baru menyadari bahwa mereka berdua ternyata sama-sama belum genap enam tahun saat masuk SD. Dan tanggal itu adalah tanggal dimana ia melihat lelaki itu melihatnya tak berkedip. Tanggal saat ia menerima cinta Danu. Sungguh kebetulan yang tak biasa. Sebagaimana biasa ia jumpai dalam album kenangan sekolah, maka ia baca kesan dan pesan yang lelaki itu tuliskan.
Pesan : Apapapun keadaannya, tetaplah pada cita-citamu. Raihlah cita-citamu dengan penuh semangat. Tanpa kesungguhan, cita-cita hanya akan menjadi angan-angan.
Pesan yang mengingatkannya pada pembicaraannya dengan lelaki itu. Suatu kali lelaki itu pernah berujar bahwa manusia tak layak untuk berangan-angan. Manusia hanya mempunyai dua hal untuk dilakukan. Mensyukuri apa yang ia punyai dan bersungguh atas cita-cita yang hendak dicapai. Cita-cita adalah tentang apa yang terdekat yang bisa diraih dari setiap usaha manusia. Seorang yang telah lulus SD jangan pernah dulu berharap untuk bisa kuliah di Universitas Indonesia (UI). Itu hanya mimpi kosong. Ia harus bermimpi dulu untuk bisa masuk SMP dan menjadi juara sekolah. Setelah itu baru berpikir bagaimana bisa masuk ke SMA Favorit. Setelah menorehkan prestasi di SMA barulah bercita-cita untuk bisa menembus PMDK atau UMPTN menembus UI. Begitu mungkin analogi sederhananya. Lelaki itu mengulang-ulangnya beberapa kali ucapannya bahwa cita-cita dan usaha itu beriringan. Angan-angan hanya dimiliki orang-orang bodoh. Tak pernah sebelumnya ia jumpai lelaki yang menggebu-gebu seperti itu. Lelaki yang penuh optimisme di satu sisi dan sinisme di sisi lain.
Kesan : Terima kasih untuk sekolah dan teman-teman. Setidaknya aku pernah berbahagia dengan kalian dan juga pernah sedih dan kecewa karena kalian.
Deg..hati Hanum berdesir. Sesaat ia terdiam. Ia rebahkan tubuhnya di sandaran kursi di ruang OSIS. Benarkah sedih dan kecewa itu. Benarkah ia sangat berharga bagi lelaki itu sehingga membuatnya kecewa. Untuk kesekian kalinya ia merasakan rasa bersalah yang mendalam. Setelah menarik napas dalam-dalam ia lanjutkan lagi pekerjaannya itu.
"Nanti kamu yang bawa ke percetakan ya, Dit. Jelaskan semua desainnya baik untuk cover, halaman depan, profil kelas, profil guru, pembatas antar kelas, kata sambutan, pokoknya semuanya?" Hanum berbicara sambil merapikan semua berkas yang sudah lengkap itu.
"Siap, mbak Hanna,� jawab Dito mantap sambil mengacungkan jempolnya. "Lah emangnya Mbak Hanna mau ke mana? Langsung pulang toh?� tanya Dito kemudian.
Hanum diam tak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis. Ia memang ingin memberi kejutan pada Danu, kekasihnya. Meski hari ujian dan murid kelas satu dan dua libur bersekolah, pengurus OSIS tetap wajib masuk untuk merapatkan acara perpisahan sekolah dan juga mempersiapkan semua tetek bengeknya. Meski rapat telah selesai, ia sendiri menunggu hingga Danu benar-benar menyelesaikan ujian terakhirnya. Ia lihat hanya beberapa siswa ajaib yang telah selesai dengan ujiannya. Dari kejauhan tanpa sengaja ia lihat lelaki yang barusan saja mengusik ketenangan jiwanya itu berjalan pelan dan hati-hati sekali. Ia kaget bukan main. Badannya kurus. Mukanya juga pucat. Rambutnya kusut tak beraturan. Lelaki itu melewati ruang OSIS tanpa menoleh sedikitpun. Pandangannya lurus ke depan. Hanum sedih melihatnya. Apa gerangan yang terjadi. Sementara itu lelaki jangkung separuh baya menghampirinya. Memapahnya pelan membantu ia menaiki motor bututnya. Dengan pelan juga lelaki paruh bayu itu membawanya menjauh dari sekolah. Menghilang ditelan jalanan.
����������� Yang ditunggu Hanum akhirnya datang juga. Sedikit mengagetkan, ia tiba-tiba muncul di belakang Danu yang berjalan pelan menuju depan sekolah.
"Kamu di sini, Hanum. Bukannya libur?� tanyanya kegirangan.
"Kita duduk di sana aja, Mas,� jawab Hanum sambil menunjuk ke arah taman kecil dekat dengan air mancur yang tak begitu deras.
"Tadi Hanum rapat buat perpisahan sekolah besok, Mas,� jawab Hanum kemudian.
"Jadi seperti apa nanti konsep acaranya?" tanya Danu lagi.
"Seperti tahun-tahun sebelumnya, Mas. Ada penampilan band sekolah. Ada pembacaan puisi. Ada pertunjukan teater singkat. Ada pengumuman lulusan terbaik,� jawab Hanum.
"Bagaimana, Mas, ujianmu?" Hanum balik bertanya.
"Semuanya lancar. Tinggal persiapan UMPTN,� jawabnya datar.
Bagi Danu, mencintai Hanum,juara sekolah berkali-kali itu, seperti menanggung beban berat. Ia terkadang merasa minder karena tak begitu pandai dalam pelajaran sekolah. Namum cinta membuatnya menjadi lebih ringan. Hanum juga tak pernah menyinggung itu karena mencintai bukan tentang segala macam atribut keduniawian. Dibalik prestasi Danu yang biasa saja terselip ketulusan hati yang luar biasa.
"Oh ya, Mas, kubawakan kue marta spesial buat kamu. Biasanya Mas yang bawain Hanum makanan. Kali ini gantian Hanum yang bawa,� tiba-tiba saja Hanum mengeluarkan kotak berisi makanan dari tasnya.
"Kita minum es campur di depan, yuk. Seret kalau makan ga ada minumannya."
Danu kemudian mengajak kekasihnya itu ke depan sekolah tempat penjual es campur awur mangkal. Mereka memesan dua gelas es campur dalam porsi besar. Sejenak Hanum merasakan de javu. Dulu secara tidak sengaja saat jam istirahat ia pernah bertemu Damar di situ. Saat itu ia sedikit merasa agak aneh karena sebelumnya ia tak pernah melihat Damar membeli es campur awur di tempat itu. Mereka sempat berbincang beberapa saat. Saat itu ia melihat lelaki itu begitu gugup. Ia juga agak gugup saat itu. Hanum tersadar kembali. Ia merasa tak enak hati memikirkan lelaki lain saat sedang bersama kekasihnya. Danu sendiri merasa sangat lega karena telah menyelesaikan ujiannya. Di lain sisi ia bersedih karena bakalan tak bisa berjumpa dengan Hanum setiap harinya.
�
�
����������� Rian keluar dari kelas dengan senyum lebar. Ia yakin bisa menaklukkan semua materi yang diujikan dari awal pekan. Setidaknya ia yakin bakalan lulus. Perkara menjadi lulusan terbaik tak begitu merisaukannya. Lulus dan rata-ratanya memenuhi persyaratan masuk Akademi Angkatan Laut sudah cukup menggembirakan perasaannya. Ya, memang benar ia telah memutuskan untuk mendaftar di AAL. Dibagian terdalam kalbunya, ada secercah harapan untuk tetap bisa dekat dengan Mentari. Cinta terkadang memang memberikan energi luar biasa bagi perjalanan hidup manusia. Ia sendiri tak langsung pulang. Ia duduk di bawah teras kelas. Berharap Hartono, Hasan ataupun Damar lewat. Ia hendak mengajak ketiga sahabatnya itu untuk terakhir kalinya berfoto di studio foto �Hasyim" dengan seragam sekolah lengkap. Namun beberapa saat ia menunggu, tak kunjung ia lihat sahabatnya itu. Apakah mereka begitu serius hingga harus menghabiskan waktu ujian guna menjawab semua soal. Baginya waktu ujian terlalu lama. Dan waktu lama itu membuat orang yang tak yakin dengan jawabannya menjadi bimbang. Sementara dikehidupan nyata kelak, persoalan hidup terlampau banyak yang harus segera diselesaikan. Ia mendesah. Ia hendak beranjak dari duduknya. Namun panggilan lirih dari balik punggungnya mengurungkan niatnya.
"Nunggu siapa, Yan?" tanya sang gadis.
"Nunggu kawan-kawan. Tapi kayaknya mereka serius sekali dengan ujiannya. Hingga belum keluar-keluar juga dari tadi,� jawabnya sambil tersenyum.
Perempuan itu adalah Diah. Badannya kecil namun montok. Kulitnya pun putih mulus. Perangainya menampakkan sisi keibuan yang dominan. Begitupun cara bicaranya. Lembut dan pelan hingga kadang membuat Rian mengantuk. Namun keberaniannya menunjukkan perhatiannya kepada lelaki yang disukainya seperti sebuah anomali. Hampir semua teman sekelas tahu apa yang sudah dilakukannya. Sebenarnya Rian menyukai sikap Diah yang terbuka seperti itu. Baginya, menarik mempunyai teman lawan jenis yang tak canggung. Namun urusan hati memang berbeda, karena memang kadang tidak selalu berbanding lurus dengan akal sehat. Siapa coba yang tidak menyukai perempuan mungil dengan paras cukup menawan dan lembut bicaranya, namun tidak banyak menyimpan rahasia. Beberapa saat kemudian mereka membicarakan perihal ujian yang barusan mereka selesaikan. Tentang betapa pesimistisnya Diah dalam menyelesaikan soal-soal ujian. Tentang soal-soal ujian yang tak sama dengan yang dipelajari di sekolah. Rian sih tak mempedulikannya, karena baginya sesuatu yang sudah lewat bukanlah untuk dibicarakan karena memang sudah tak ada gunanya juga. Sekolah tak bakal diulang lagi. Ujian pun tak akan diulangi lagi juga. Ia menjawab seperlunya agar tak terlihat kalau ia tak terlalu antusias dengan pembicaraan itu. Sementara itu satu persatu peserta ujian meninggalkan ruangan. Ada yang langsung pulang. Ada juga yang enggan melewatkan masa-masa terakhir di sekolah. Mengambil tempat-tempat terbaik di tiap sudut sekolah untuk membicarakan banyak hal. Namun tetap saja tak dijumpainya Damar, sahabatnya. Matanya tak berkonsentrasi pada gadis di depannya itu. Duduknya pun tak tenang. Sebentar bergeser ke kanan sebentar ke kiri.
"Waktu kitauntuk bertemu sudah tak lama lagi, Yan, " tetiba saja Diah memandang wajah Rian dengan serius.
"Lantas kenapa?" tanya Rian kemudian.
"Aku kira kamu tahu perasaanku, Yan. Aku sayang sama kamu. Mungkinkah kita menjadi sepasang kekasih?" tanya Diah tanpa malu.
Rian kaget seketika. Empatinya menyeruak. Ia menarik napas agak lama. Ia berdeham beberapa kali. Rian bingung harus menjawab apa karena pikirannya sudah penuh dengan masalah-masalahnya sendiri. Tapi bagaimanapun juga ia harus jujur. Jujur bahwa ia masih tak bisa berpaling dari Mentari. Beberapa saat kemudian Rian akhirnya menjawab pertanyaan sulit itu dengan pelan-pelan.
"Terima kasih kamu sudah mau jujur. Aku menghargai semua itu. Tapi ini bukan waktu yang tepat. Kamu tahu kan posisiku?" jawabnya.
Kali ini raga dan jiwanya sudah sepenuhnya berada di samping gadis mungil itu.
"Aku mau nunggu kamu, Yan," Diah kembali berbicara dengan sangat memelas.
Untuk beberapa saat mereka terdiam dan tertunduk.
"Maafkan aku, Diah. Aku tak tahu nasib ke depanku seperti apa. Kelak saat kamu kuliah atau kerja, kamu akan mendapati banyak lelaki yang jauh lebih baik dariku. Sekarang ini nasibku sendiri aja aku tak tahu. Kita tetap akan menjadi teman koq. Sekali lagi maafkan aku ya".
Rian lantas menatap wajah Diah yang terlihat sangat bersedih. Ia terpaksa harus berbicara yang sebenarnya. Ia tak ingin menggantung nasib perempuan. Apalagi menjadikannya bumper cinta. Mentari sudah cukup mengisi hari-harinya dengan harapan dan juga masalah yang harus dihadapi. Meyakinkan Pak Sudi saja sudah pekerjaan berat, apalagi harus berbagi hati. Belum lagi persiapannya menghadapi ujian masuk AAL. Ada tujuh tahapan tes yang harus ia hadapi. Tes Administrasi telah ia lalui meski hasil Ebtanas yang belum keluar belum ia susulkan. Belum nanti harus melewati tes kesehatan, tes mental ideologi, tes kemampuan akademik, tes psikologi, tes kesamaptaan jasmani dan pantukhir. Betapa banyak energi yang harus ia siapkan. Ia harus fokus. Fokus pada tujuan utama jika memang ingin berhasil menggapai apa yang dicita-citakan. Untuk beberapa saat Rian berusaha menghibur Diah. Membuatnya merasa nyaman dan seolah-olah tak terjadi apa-apa.
"Aku sebenernya tahu, Yan, kalau ada perempuan lain di hatimu. Kamu tak perlu pake alasan itu untuk menghiburku. Aku memang bukan siapa-siapa dibandingkan Mentari. Semoga kalian bahagia selamanya. Awalnya aku masih berharap hatimu bisa tahu seberapa besar rasa cintaku padamu. Tapi ya sudahlah," ungkap Diah kemudian.
Diah yang memendam kecewa segera beranjak dari samping Rian. Rian pun ikut berdiri.
"Maafin aku ya. Bagiku kamu adalah sahabat yang baik buatku," ucapnya sembari menyalami wanita itu.
Gadis mungil itu pun pergi dengan kecewanya. Pergi tanpa membawa hasil apapun. Gadis itu benar-benar heran dengan Rian. Begitu kukuh dengan Mentari meski ayahnya tak begitu menyukainya. Gadis itu merasa tak ada lagi harapan. Tak ada lagi waktu untuk menumbuhkan cinta Rian padanya. Rian sendiri memang tak mau membagi hati. Wajahnya saja yang gelap dan garang. Hatinya sangat lembut hingga tak mau menyakiti perempuan yang mencintainya lalu memberinya harapan-harapan kosong. Hidupnya sendiri sudah menyedihkan tanpa sosok bapak disisinya. Ia tahu rasanya dikecewakan oleh harapan. Hidupnya dikelilingi oleh orang-orang yang hidup dengan harapan kosong. Ia masih terduduk di situ memikirkan peristiwa barusan. Sambil menunggu kawan-kawannya lewat di depannya.
����������� Setelah lama menunggu, Rian tak jua menjumpai Damar. Ia lantas beranjak ke kelas Hartono. Ia jumpai sahabatnya itu baru saja menyelesaikan ujiannya. Ia mengajaknya mendatangi Hasan. Hasan juga sedang asyik berbincang dengan teman sekelasnya. Rian mengajak mereka berdua mendatangi kelas Damar. Hasan dan Hartono mengiyakan saja. Kelas 3 IPS 3 sudah sepi karena sebagian besar sudah pulang. Rian mengintip ke ruang ujian. Tak di jumpainya Damar. Tertinggal tiga siswa yang belum menyelesaikan ujian terakhir. Dilihat oleh mereka Budi teman sebangku Rian sedang lekat memandangi soal. Meski badannya besar namun kapasitas otak dari teman sebangku Damar itu memang terbatas. Ia selalu saja belakangan menyelesaikan ujian meski nilainya tak begitu bagus. Setelah Budi selesai dengan lembar ujiannya, ketiga anggota Geng Kapak itu pun mendatanginya lalu menanyakan keberadaan Damar. Budi berujar bahwa Damar datang pagi-pagi dalam keadaan sakit. Ia buru-buru menyelesaikan ujian dan langsung keluar setelah selesai mengerjakannya. Edan juga. Tak ada sejam ia sudah keluar ruangan ujarnya. Rian membatin. Kenapa lagi dengan manusia kelelawar yang satu itu. Bertubi-tubi kemalangan menghampirinya. Sakit apalagi dia. Karena perempuan lagi kah? Ah sudahlah.
�
Mafhum
�
����������� Di Senin pagi, di akhir bulan Mei itu tak begitu banyak aktivitas di sekolah. Beberapa siswa kelas tiga masuk sekolah hanya agar tak ketinggalan berita. Berita tentang kapan tepatnya perpisahan sekolah, pengambilan ijazah atau informasi mengenai beberapa persyaratan memasuki PTN, PTK atau PTS. Beberapa kampus swasta di Jogja juga masih tetap belum menyerah memberikan try-out gratis dengan iming-iming potongan uang kuliah masuk universitas mereka jika peserta tak lolos UMPTN. Beberapa siswa yang hendak melanjutkan kuliah mengambil Bimbel masuk PTN maupun sekolah kedinasan, baik di daerah ataupun di Jogja. Beberapa yang berhasrat menjadi Bintara Polri atau TNI telah mempersiapkan segala sesuatunya, baik fisik, mental maupun akademis. Sejauh ini hanya Rian murid di sekolah yang nekat mendaftar menjadi calon taruna. Baginya sekali mencebur, harus basah sekalian. Selain Rian, beberapa juara kelas lainnya mempunyai cita-cita yang beragam. Beberapa siswa/i juga telah lulus PMDK di Unes, UNY,Unesa, IPB, Unsoed, atau UNS sebagaimana juga Mentari. Tentu itu bagi mereka yang beruntung bisa melanjutkan kuliah. Sekolah di kecamatan meskipun negeri tentu tak bisa dibandingkan dengan di kota atau di kabupaten. Sekolah negeri di kota/kabupaten, 75-90% lulusannya bisa melanjutkan kuliah. Sementara di sekolah Rian, hanya 30-40% siswa saja yang beruntung bisa berkuliah. Dari jumlah itu 70%-nya berkuliah di PTN karena memang orang tua mereka hanya mampu menguliahkan anak-anak mereka di situ. Sisa dari siswa yang tak bisa melanjutkan kuliah akan menambah daftar pencari kerja baru tanpa keterampilan. Tak sepenuhnya bisa disalahkan karena alasan beberapa orang tua yang menyekolahkan anaknya di SMA adalah karena biayanya murah. Tak perlu mengeluarkan biaya praktik ini itu yang lazim ada di STM atau SMEA. Anomali memang. Pemerintah gencar menganjurkan para lulusan SMP untuk melanjutkan ke STM atau SMEA namun kenyataannya sekolah di kedua tempat itu biayanya jauh lebih mahal dibanding bersekolah di SMA. Konyol memang rasanya.
����������� Rian telah membuat janji dengan Hasan dan Hartono menjenguk Damar di rumahnya. Tepat pukul delapan pagi mereka pergi bersepeda ke rumah Damar. Suasana masih sejuk dan matahari belum terlalu tinggi. Setelah menempuh perjalanan selama setengah jam, mereka akhirnya sampai juga di rumah Damar. Damar sendirian saja di rumah. Bapak dan mamak telah pergi ke kebun. Pun dengan Nurul yang juga bersekolah. Damar membukakan pintu untuk ketiga sahabatnya itu. Namun ketiga sahabatnya itu tak ingin masuk rumah dahulu. Mereka ingin berbincang di teras sembari melihat lalu lalang orang desa dengan kesibukannya masing-masing.
"Kamu sakit apalagi lah,dap?" Tanya Rian pada karibnya itu.
"Untung kalian dateng hari ini. Minggu sore aku baru pulang dari rumah sakit. Operasi usus buntu,� jawabnya.
"Itu artinya kamu harus benar-benar istirahat," Hartono menimpali.
Hartono akhir-akhir ini semakin bertambah pintar saja. Bicaranya pun sudah mulai lancar. Itu mungkin karena berkah dari cita-citanya yang sangat mulia. Tuhan langsung memberikan hikmah dan kebijaksanaan padanya.
"Aku memang berencana tak ke sekolah lagi kecuali untuk acara perpisahan dan pengambilan ijazah esok. Mungkin ini cara Tuhan agar aku bisa fokus belajar mempersiapkan diri ikut USM. Tapi aku agak khawatir kawan. Dengan ujian hari ketiga yang seadanya itu, apa bisa aku mendapatkan rata-rata nilai di atas tujuh. Itu kan syarat awalnya," ungkap Damar sedikit putus harapan.
"Tak usah khawatir kawan. Sepertinya kalau melihat prestasimu selama ini, insya Allah bisa," Hartono menyemangati.
"Kayaknya akhir minggu depan sudah perpisahan sekolah. Sehari dua hari sebelumnya datanglah ke sekolah! Banyak yang bakalan kangen sama kamu. Aku juga yakin kamu bakal jadi juara sekolah. Beda denganku. Di jurusan IPA banyak saingannya," ledek Rian pada sahabatnya itu.
Damar hanya membatin. Tak bakal ada yang peduli dengannya di sekolah selain sahabat-sahabatnya itu. Hanum mungkin sudah benar-benar melupakannya. Ah, dunia sepertinya tak adil. Sementara itu, Rian menyimpan kegelisahannya sendiri. Rian beranggapan mungkin ini saat yang tepat bagi Damar untuk mengetahui semuanya. Cuma ia tak enak hati bercerita ketika Hasan dan Hartono ada di situ. Mereka berdua tak utuh mengetahui dari awal. Lagian Damar juga meminta ia merahasiakan detail kekacauan itu. Tiba-tiba saja Rian menemukan ide mengajak teman gengnya itu untuk lutisan. Pohon mangga dan jambu air di depan rumah sedang buah meski tak banyak. Damar juga ingat ada seikat bengkuang di dapur.
"Tapi aku ga bisa ikut ya. Aku temani kalian saja," ujarnya.
Damar memang dalam masa pemulihan sehingga tak bisa makan sembarangan.
"Kalian berdua manjat pohon mangga dan jambuwer. Aku tak bikin sambal di dapur," atur Rian seperlunya.
Ia memang ingin mengkondisikan seperti itu agar ia bisa leluasa bercerita. Hasan dan Hartono hanya mengiyakan saja. Damar menemani Rian di dapur sambil menunjukkan letak semua bumbu dapur yang harus diulek untuk lutisan.
"Aku pengin ngomong serius sama kamu, Mar. Kamu jangan tersinggung. Kupikir ini udah waktunya buatmu untuk tahu. Saatnya untuk tak berharap lagi," tiba-tiba saja Rian berujar tanpa awalan dan akhiran.
Ia sudah tak tahan menyimpan rahasia itu sendirian.�
"Ngomong aja, Yan." seru Damar.
"Kuharap kamu paham posisiku. Aku teman sebangku Danu. Itu alasan mengapa aku baru bisa bicara sekarang," Rian berhenti bicara sebentar.
����������� "Lantas?� tanya Damar penasaran.
"Danu dan Hanum sudah pacaran sebelum kalian jalan atau bahkan mungkin kenalan. Beberapa kali Danu cerita tentang keanehan-keanehan yang ada pada Hanum. Saat kamu cerita tentang perasaanmu kepada Hanum aku bingung minta ampun. Disatu sisi aku tak tega memupus harapanmu yang dimabuk asmara. Disisi lain aku juga tahu akhirnya kamu bakal kecewa. Bagi Danu, kamu adalah lelaki yang merusak hubungan mereka. Dan bagiku sendiri, semua ini salah Hanum. Sumpah demi Tuhan, Mar, jika bisa memilih lebih baik aku tak tahu kisah cinta kalian yang mbundet itu," Rian mengakhiri penjelasannya.
"Kenapa kamu ga cerita dari awal?� Suara Damar meninggi.
"Oke kalau kamu mau nyalahin aku silahkan. Tapi aku tahu saat semuanya sudah terlampau dalam. Aku melihatmu berbeda saat itu. Penampilanmu berubah tambah klimis. Kamu sering cengar-cengir sendiri. Ga tega aku, Mar, merusak kesenanganmu saat itu," tambahnya tak kalah tinggi.
Damar terduduk di� kursi dapur yang panjang. Ia menghela napas panjang. Ia tak habis pikir. Ia malah bersikap seperti kejadian itu baru saja terjadi kemarin sore. Sebegitukah perlakuan Hanum pikirnya. Mengkhianati kekasihnya hanya karena dirinya. Ia putar kembali memori saat ia pertama kali memainkan peran itu. Ia yang memulai semuanya. Namun ia bukan yang mengakhirinya tanpa penjelasan. Dan sekarang menjadi terang benderang. Kehadirannya yang tak tepat telah menorehkan luka pada hubungan orang lain.
"Kayaknya Tuhan ngasih ending yang tepat untuk kisahku, Yan." gumam Damar kemudian. Mengembalikan setengah keikhlasannya kembali.
"Sudahlah, kawan. Tinggalkan semua luka itu di sini sekarang juga. Campakkanlah rasa bersalahmu di sini. Dengan sakitmu, kamu bisa konsen belajar. Kita adalah sekumpulan anak kampung tanpa fasilitas. Taklukanlah Jakarta. Berjuanglah untuk USM-mu. Jangan sampai kalah dengan siswa-siswa dari kabupaten. Aku juga tak akan menyerah dengan kondisiku saat ini, kawan," ucapnya menyemangati sahabatnya itu.
Memanglah benar semua yang dikatakan Rian. Masa lalu hanyalah sampah yang harus dibuang di tempat sampah. Sedangkan masa depan ibarat kertas putih yang bisa kita corat-coret dengan gambar apa saja. Sayangnya hidup tak sesederhana itu. Rian lupa dengan detailnya. Dimanapun juga, tempat sampah tak pernah jauh dari tempat kita tinggal.
"Nanti kalau DANEM-mu mencukupi untuk daftar USM, kita akan anter kamu ke Jogja." Rian berjanji pada sahabatnya itu.
"Iya, kita tadi sudah ngobrol bertiga kalau kita bakal nganterin kamu ke Jogja. Kita ga bakal tega melihat orang yang baru sembuh dari sakit glarangan, di Jogja sendirian," sahut Hartono yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang mereka.
"Iya, sekalian jalan-jalan," Hasan menambahkan. Keempat sahabat itu pun melanjutkan kebersamaan mereka kembali dengan berbicara banyak hal. Tentang mimpi-mimpi mereka ke depannya. Tentang cerita-cerita konyol di masa lalu. Hingga matahari benar-benar tepat di atas kepala. Sementara itu dilubuk hati terdalam Damar, rasa sesalnya bercampur dengan getir yang sangat. Mampukah wajahnya berhadapan dengan Danu. Bisakah ia memaafkan Hanum. Maaf tentang apa? Toh dia sendiri yang menebar perangkap itu. Dan Hanum memang benar-benar terperangkap. Ah, ia bingung. Cinta memang tak masuk akal. Dan tak sesederhana jawaban ujian dengan pilihan benar dan salah. Ah sudahlah
�
Hangatnya Sang Surya
�
����������� Bulan baru menjelang. Damar sudah cukup sehat untuk datang ke sekolah. Namun ia tak sepenuhnya bersepeda. Sepeda ia titipkan di penitipan pinggir jalan raya di seberang kuburan. Ia menyetop bus Cebong Jaya Jurusan Wonosobo-Prembun yang penuh sesak penumpang. Terkadang saat dirinya malas bersepeda, maka naik bis menjadi alternatif biar sekalian beristirahat. Ia berdiri di belakang pintu bis yang terlipat. Hembusan angin pagi hari terasa sejuk sekali. Beberapa saat diselingi hangatnya sinar mentari pagi yang menembus di sela-sela pepohonan. Menyilaukan sang sopir memang. Ia pejamkan matanya agar sepenuhnya bisa merasakan kesejukan yang telah lama tak ia rasakan. Rambutnya menjadi kusut tersapu angin. Tak lupa ia pindahkan tas punggungnya ke depan badannya dan juga dompet dari saku belakang ke dalam tas. Ia memang harus waspada karena pencopet akan semakin leluasa beraksi di kendaraan yang penuh penumpang. Bis pun berhenti dibeberapa sekolah swasta. Pemberhentian terakhir sebelum terminal adalah sekolah Damar. SMAN 1 Prembun. Ia turun dengan pelan-pelan. Ini hari pertama ia masuk sekolah setelah ujian berakhir. Di sekolah, siswa kelas satu dan dua, semuanya telah masuk kelas. Siswa kelas tiga hanya beberapa yang masuk sekolah. Ia merasakan sesuatu yang berbeda. Tak ada lagi beban berat yang ia rasakan. Ia juga sedih karena tak lama lagi akan meninggalkan sekolah yang telah menumbuhkembangkan dirinya selama tiga tahun terakhir ini. Ia masuk ke kelas dengan pelan. Di papan tulis tertulis pengumuman dengan kapur putih merek Sarjana. Perpisahan esok hari Sabtu. Danem dan STTB bisa diambil paling cepat seminggu setelahnya. Setelahnya ia duduk, hingga kemudian teman-teman mengerubutinya. Menanyakan bagaimana keadaannya. Damar terharu karena ternyata teman-temannya sangat perhatian padanya.
"Pak Anton dari kemarin menanyakanmu, Mar?� Budi mengabarkan.
Memang benar adanya. Pak Anton, walikelas 3 IPS 3 mencarinya sejak dua hari terakhir. Damar memang masih belum mengumpulkan semua foto dan berkas-berkas pendukung untuk penyerahan ijazah. Tapi mengapa harus Pak Anton yang mencarinya. Bukannya Pak Sudi sebagai kepala TU yang berkepentingan.
�"Sudah sana kamu ke ruangan Pak Anton. Semoga saja Pak Anton tak ada jadwal mengajar," Budi menyarankan.
Damar segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan pelan menuju ruang guru. Sepanjang lorong sekolah tak ada keramaian sedikitpun. Hanya satu dua siswa kelas tiga yang bergerombol di sembarang tempat. Sedangkan ruang kelas dua tertutup rapat oleh karena sedang ada jam pelajaran. Perasaan aneh kembali menghinggapinya. Sedih bercampur gembira. Tak lama lagi ia tak akan lagi menginjakkan kaki di sekolah yang telah memberinya banyak kenangan. Di pintu ruang guru yang terbuka separuh, ia lihat Pak Anton sedang sibuk dengan kertas-kertas yang entah apa itu. Beberapa guru yang tak ada jadwal belajar juga sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ia ketuk pintu itu dengan perlahan. Pak Anton mempersilahkannya masuk dan memintanya duduk di kursi yang berada tepat di depan meja.
�"Bagaimana keadaanmu, Mar. Sehat?" tanyanya.
"Alhamdulillah, Pak,� jawab Damar singkat.
"Benar katanya kamu operasi usus buntu?" tanya Pak Anton lagi.
"Benar, Pak,� jawab Damar lagi.
"Begini, besok adalah perpisahan sekolah. Jangan sampai tidak datang. Begitu juga dengan orang tuamu," pintanya.
"Iya, Pak,� lagi-lagi Damar mengiyakan saja.
Sejurus kemudian Pak Anton menyalami anak murid terpintarnya itu.
"Selamat ya," ucapannya.
Damar menerima uluran tangan sebagai ucapan selamat itu. Namun ia penasaran selamat atas apa.
"Selamat apa, Pak?" tanya Damar penasaran.
"Kamu termasuk tiga besar sekolah. Nanti tampil di panggung. Makanya kamu harus datang. Begitu juga dengan orangtuamu. Kamu layak karena telah membahagiakan orang tuamu,� jawab pak Anton kemudian.
Damar memang gembira mendengarnya. Tapi bukan itu yang ia cari selama ini. Meski tak juara kelas tak menjadi apa. Apa juga artinya tampil dipanggung jika itu tak bisa membawanya meraih apa yang ia cita-citakan. Lantas ia bertanya lagi kepada wali kelasnya itu.
"Kalau boleh tahu apakah rata-rata nilai Ebtanas saya di atas tujuh Pak?�
Pak Anton tertawa mendengarnya. Awalnya ia tak tahu apa yang ada dalam benak anak muridnya itu. Statusnya sebagai juara sekolah tak cukup membuatnya senang. Namun kemudian ia paham maksud anak didiknya itu. Pak Anton mengangguk sambil tersenyum.
"Benar, Pak?" tanya Damar lagi tak yakin.
"Iya. Bahkan sangat bagus. Kamu bisa ikut seleksi di manapun tempat yang kamu inginkan," Pak Anton meyakinkan murid kesayangannya itu.
Damar pun segera meminta izin untuk undur diri. Matanya berbinar. Wajahnya kembali cerah. Begitupun senyumnya yang telah kembali. Setelah keluar dari pintu ruang guru dengan sekuat tenaga ia mengepalkan tangan kanan dan menariknya ke bawah kemudian berteriak dengan keras,
"Yes. Yes."
Langit baginya berubah seketika menjadi cerah. Lorong sepanjang ruang kelas dan ruang belajar menjadi sangat lebar. Sepertinya setiap orang yang berpapasan dengannya juga menyunggingkan senyum. Padahal hampir tidak ada manusia yang berpapasan dengannya. Angin pun berhembus sepoi-sepoi. Pohon-pohon memiringkan batangnya memberikan penghormatan. Daun-daun pepohonan sekolah juga gugur tiba-tiba dengan pelan. Sejenak ia lupakan kesedihannya. Setidaknya ia telah menggenggam tiket bertarung. Tinggal berlatih sekuat tenaga dan juga menjaga fisik agar tak lagi jatuh sakit. Ia kembali ke kelas. Semua teman kelasnya heran dan menanyakan apa yang telah terjadi. Ia hanya tersenyum saja dan lalu bilang dengan gokilnya,
"Liat saja esok."
Kemudian Damar meminta perhatian semua teman-temannya dan meminta mereka untuk duduk di kursi masing-masing. Sebagai ketua kelas yang sebentar lagi meletakkan jabatan, ia ingin berdiri di depan kelas menyampaikan pidato penyerahan kekuasaan. Atau pidato pengakuan dosa lebih tepatnya. Ia ingin berbicara dan meminta maaf atas kesalahan-kesalahannya selama ini.
" Assalamu'alaikum wr. wb.
����������� Selamat pagi teman-teman semua. Meskipun teman-teman kita tak hadir semuanya pada hari ini, saya akan menyampaikan ini untuk terakhir kalinya. Saya menjadi ketua kelas karena kalian memilih saya, meski sebenarnya saya bukanlah yang terbaik diantara kalian. Kalau pada kenyataannya dulu saya adalah juara kelas, itu adalah dua hal berbeda. Kepemimpinan bukanlah hal akademis karena tak pernah dinilai di sekolah ini. Namun semuanya sudah telanjur dan saya harus memikul tanggungjawab itu. Jika selama menjadi ketua kelas saya sering mengambil kapur sendiri, menghapus papan tulis sendiri, menjemput guru pelajaran sendiri, itu karena kadang saya segan untuk menyuruh teman-teman. Bukan karena kalian yang memang pemalas, bengal, tak bisa diatur atau bermental preman. Jika selama menjadi ketua kelas, kalian merasa saya tak begitu banyak berbicara itu karena saya memang tak tahu apa yang harus saya sampaikan. Saya meminta maaf untuk kekurangan dan kesalahan saya selama ini. Saya juga sudah melupakan semua perkataan dan sikap yang menyakitkan hati saya di sini. Saya menguburnya di sekolah ini. Setelah hari ini saya juga bukan ketua kelas kalian lagi. Terakhir, seminggu setelah perpisahan sekolah, saat pengambilan ijazah, saya ingin kita berkumpul lagi untuk terakhir kalinya. Saya tak ingin persaudaraan kita berakhir hanya sampai di sini. Terima kasih.
Wassalamu'alaikum wr.wb."
�
Damar mengakhiri pidatonya. Hari itu memang bukan perpisahan. Namun pidato Damar mampu mengubah suasana menjadi haru. Mereka berpelukan. Mencoba memaafkan kesalahan satu sama lain.
�
�
����������� Matahari telah jatuh keperaduannya. Gelap menjelang. Suasana malam pun semakin sunyi. Hanum berbaring di ranjang. Dipandanginya jam tangan warna perak dalam kotak terbuka yang tergeletak di atas meja belajar. Ia resah. Ia gelisah. Ia merasa bersalah. Telah ia siapkan pulpen juga kertas putih beberapa lembar. Ia ingin meminta maaf. Ia tak ingin orang yang sempat dicintainya, dan mungkin juga masih dicintainya, pergi dengan luka dan penasaran. Ia ingin jujur. Bukan tentang cinta. Tapi tentang pilihannya untuk berpisah. Pilihannya untuk menyuruhnya pergi. Telah ia siapkan juga kertas pembungkus warna biru. Warna yang menggambarkan kebenaran juga perdamaian. Ia ingin jujur dan juga berdamai dengan masalalunya itu. Jam di dinding kamar telah menunjukkan pukul sepuluh lewat. Sudah tak ada waktu lagi. Besok adalah perpisahan sekolah. Mungkin itu bakal menjadi pertemuan terakhir mereka. Mau tak mau akhirnya ia duduk juga di kursi. Menulis sebuah surat. Iya, surat tentang permintaan maaf. Benarkah tentang meminta maaf? Ah entahlah.
�
�
Marissa
�
����������� Hanum bangun kesiangan. Untungnya hari ini adalah hari bebas, meskipun tak bebas untuk semua. Pengurus OSIS, Pramuka, PMR, Rohis, paduan suara sekolah, band sekolah, kelompok KIR, pecinta alam, media sekolah, teater sekolah dan semua peserta Ekskul yang terlibat dalam acara pelepasan siswa kelas tiga wajib datang. Hanum harus datang. Sebagai sekretaris OSIS, ia bertugas sebagai pembawa baki saat pengumuman juara sekolah, baik untuk jurusan IPA maupun IPS. Namun bukan itu yang membuatnya bimbang. Keinginannya untuk meminta maaf secara langsung kepada Damar untuk yang pertama dan terakhir kalinya akan bakal sulit terwujud. Ada Danu di acara perpisahan nanti. Dan Danu mengajaknya merayakan kelulusan sehabis acara di sekolah. Bagaimana ia akan mencuri-curi waktu. Tentu Damar juga bakal sibuk dengan teman-temannya. Untuk itu ia telah persiapkan surat dan sebuah hadiah perpisahan untuk Damar. Ia tak buru-buru ke sekolah karena acara perpisahan sendiri baru dimulai pukul sembilan pagi. Panitia acara pelepasan siswa kelas tiga sendiri diwajibkan berkumpul pukul delapan pagi. Masih ada waktu untuk sarapan dan mempersiapkan segala sesuatunya. Tepat pukul setengah delapan Hanum diantar oleh Ayah ke sekolah. Ia tak menggunakan sepeda karena nanti akan pulang bareng Danu.
����������� Sesampai di sekolah, rapat terakhir telah dimulai. Sementara itu beberapa wali murid mulai berdatangan. Hanum tak begitu sibuk, jadi ia jugabertugas di bagian registrasi. Menerima para orang tua dan mempersilahkan mereka duduk. Pukul sembilan pagi, hampir semua orang tua murid telah memasuki ruang aula. Dilihatnya juga lelaki paruh baya berperawakan kurus tinggi yang kemarin mengantar Damar. Baru tahu ia kalau itu adalah ayah Damar. Lelaki paruh baya berwajah gelap akibat terpanggang matahari itu tersenyum padanya. Tatapannya sama. Matanya juga cokelat kemudaan. Hanum yakin kalau hari ini termasuk hari yang membanggakannya. Hanum mempersilahkannya memasuki aula. Begitupun tamu-tamu yang lain. Ayah Danu, kekasihnya juga datang. Mereka telah saling kenal karena Danu pernah memperkenalkannya waktu Hanum diajak ke rumah oleh Danu. Tak begitu lama setelah itu acarapun dimulai. Hanum benar-benar tak punya kesempatan untuk berbicara dengan Damar karena memang Damar terlihat sangat sibuk. Ada Danu juga di situ. Ia bingung. Ia ingin menitipkannya saja. Tapi pada siapa. Ia pun teringat akan Marissa, teman kelas satu dulu yang sekarang bertugas sebagai tenaga kesehatan dari PMR. Bukankah mereka dulu katanya satu tim paduan suara sekolah, pikirnya. Hanum khawatir jika menitipkan bukan kepada orang yang tak tepat bisa-bisa suratnya tak sampai. Tapi ia mempercayai Marissa, temannya yang juga teman satu tim Damar sebagai paduan suara sekolah dulu. Acara perpisahan berlalu begitu saja karena Hanum memang tak begitu memperhatikan. Ia sungguh tak mengikuti acara itu dengan khusuk meski menurut teman-temannya acara berlangsung sangat meriah. Giliran tiba tugasnya sekarang. Pembawa baki hadiah. Juara kelas IPA diumumkan terlebih dulu. Mentari keluar sebagai juara umum dengan nilai rata-rata 7,2. Agus, mantan ketua OSIS sebagai juara kedua dan Rian sebagai juara terakhir. Saat juara sekolah jurusan IPS diumumkan, Hanum merasakan sesuatu yang sangat mendalam. Antara mau dengan tak mau. Antara senang dan juga sedih. Ia enggan untuk naik ke panggung, Namun di sisi lain ia ingin menyelamati lelaki itu. Seperti dugaannya, Damar tak terkalahkan sebagai juara sekolah dari jurusan IPS dengan rata-rata nilai hampir delapan. Disusul oleh Mardian dan Indah. Ketika membawa baki hadiah, saat itulah mata mereka beradu pandang setelah sekian lama tak berjumpa. Sebentar saja, Hanum tak berani menatap lebih dalam lagi. Hanya ucapan lirih yang sanggup keluar dari mulut mungilnya.
"Selamat ya," ucapnya pelan.
Tak bisa ia lihat ekspresi Damar saat itu. Ia menunduk terus karena tak tahan dengan tatapan lelaki itu. Tatapan yang menghujam relung jiwanya. Setelah semuanya selesai, buru-buru ia mencari Marissa. Marissa sedang duduk santai di ruang UKS bersama kawan-kawan PMR-nya. Hanum mengutarakan keinginannya. Marissa mengabulkan permintaan Hanum. Sebuah bingkisan kecil ia keluarkan dari tas. Hanum membungkusnya dengan rapi sekali dan membungkusnya lagi dengan plastik putih.
����������� Menjelang siang, acara formal selesai. Hanum tak bisa langsung pulang. Ia harus ikut membereskan tempat dan juga rapat sebentar. Danu menghampirinya.
"Aku mau foto-foto dulu. Nanti aku temui kamu di ruang OSIS," ujarnya lalu berjalan cepat meninggalkannya.
Hanum mengangguk sambil tersenyum. Seusai acara perpisahan sekolah, memang para lulusan sibuk mengabadikan momen-momen terakhir mereka. Mereka mencari tempat yang pas untuk mengambil gambar dengan tustel mereka. Beberapa siswa juga membawa Pilox untuk disemprotkan di seragam sekolah. Ada juga yang menggunakan spidol permanen untuk menuliskan pesan-pesan terakhir sebelum mereka benar-benar berpisah. Hanum menyapu pandang ke setiap sudut sekolah. Tak juga ia temui lelaki itu. Lelaki yang hendak ia mintai maaf. Lelaki yang membuat hidupnya tak nyaman. Tak ia jumpai juga Marissa. Semoga saja Marissa menyampaikan pesannya, pikirnya. Hanum buru-buru membereskan semua berkas absensi dan lantas pergi menuju ruang OSIS. Ia akan rapat sebentar. Ia juga menunggu Danu di sana. Menunggu untuk pergi merayakan kelulusan Danu, kekasihnya. Sungguh sebuah momen yang sebenarnya tak terlalu diharapkannya. Sungguh perayaan yang sebenarnya tak terlalu membahagiakannya.
�
Gadis Pembawa Baki
�
����������� Saat diumumkan sebagai juara sekolah, Damar gembira luar biasa. Rata-rata nilainya juga tertinggi disekolah yaitu 7.84. Sungguh tak pernah ia menduga sebelumnya. Padahal ia harus menahan rasa sakit luar biasa saat mengerjakan ujian hari terakhir. Ia berandai-andai jika saja ia sehat-sehat saja waktu itu tentu rata-rata nilainya bakal lewat dari angka delapan. Ia pernah mendengar cerita lucu tentang anak kecil yang malah menangis saat diberi uang 500 perak. Usut punya usut, tangisan itu disebabkan oleh karena jika saja uang 500 perak yang sebelumnya ia pegang tidak hilang tentu sekarang uangnya bakal menjadi 1000 perak. Namun ia buru-buru menyadarinya. Takdir Tuhan tidak selamanya mengikuti rumus Matematika. Jika ia tak dikecewakan, jika ia tak sakit, belum tentu ia bakal berdiri di podium. Semua yang terjadi sudah dalam skenario terbaik Tuhan. Ia menoleh ketempat bapak duduk. Bapak tersenyum dan menganggukkan kepala sebagai tanda bangga. Bapak juga mengacungkan jempolnya sebagai tanda tugas telah dilaksanakan dengan sempurna. Namun ada yang mengganjalnya. Apalagi kalau bukan gadis pembawa baki. Gadis pintar, cantik dan juga sekretaris OSIS itu membawa baki hadiah bagi para juara sekolah. Itu artinya mereka akan berada dalam satu panggung. Ia mencoba menepis rasa itu. Ia tak ingin harinya dirusak oleh kehadiran gadis itu. Lagian ia juga sudah setengah ikhlas. Saat di atas panggung, ia menatap tajam gadis itu. Wajahnya masih tetap saja bening. Namun sebentar saja mata mereka beradu pandang. Kemudian gadis itu menunduk. Tak berani menatap wajahnya. Masih ada desir itu tersisa. Apalagi saat sang gadis mengucapkan selamat kepadanya. Ingin rasanya memeluknya. Membaui harum tubuhnya. Berlama-lama menghabiskan hari di sampingnya. Berbagi bahagia dengannya selama-lamanya. Damar pun turun dari panggung. Matanya tak lepas dari gadis itu. Apakah ia jatuh cinta lagi. Ia merasa konyol. Mungkin ini hari terakhirnya melihatnya di sekolah. Ia memang masih mencintainya. Mencintai kekasih orang. Dunia memang tak adil. Bukan tentang prestasi di sekolah. Tapi tentang perasaan cintanya.
����������� Seusai perpisahan sekolah, Damar langsung pulang karena memang ia tak membawa sepeda ontel kesayangannya. Ia datang bersama bapak naik motor. Ia berpamitan kepada teman-temannya untuk pulang duluan. Kelas 3 IPS 3 tak meneruskan acara perpisahan dengan berfoto-foto karena mereka telah berjanji untuk bertemu seminggu lagi dan melakukan foto-foto nanti. Damar bergegas di belakangbapak. Belum sampai ia di depan sekolah, seorang gadis tergopoh-gopoh memanggilnya.
"Mas Damar..Mas Damar,� teriak sang gadis.
Damar menoleh seketika. Dilihatnya gadis yang ia kenal sebagai teman satu tim paduan suara sekolah itu berlari kearahnya.
"Ada apa, Marissa, sampai tergopoh-gopoh seperti itu?� tanya Damar heran.
"Ini titipan buat Mas Damar," Gadis itu berbicara sambil menyerahkan sebuah bingkisan kecil di dalam plastik.
"Terima kasih ya," balasnya.
Damar tak sempat bertanya karena bapak sudah menunggu di motor. Marissa pun pergi dan kembali lagi keruang UKS.
"Apalagi ini,� gumamnya sambil memasukkan bingkisan itu ke dalam tas buluknya.
����������� Bapak mengajak Damar mampir ke warung Sate Kusni di pasar Prembun. Sudah menjadi kebiasaan jika Damar mendapatkan peringkat bagus di sekolah maka menu utama makan siangnya adalah sate kambing bumbu kecap dengan taburan kacang halus. Bapak amat bangga dengan prestasi anak lelakinya itu. Damar pun demikian. Ia tak lagi memusingkan bimbel di Jogja. Waktunya sepenuhnya untuk belajar soal-soal secara mandiri. Namun ia tak lagi berani telat makan. Makan sambal pun cuma sedikit saja. Ia tak ingin gagal di hari penentuan nanti. Damar masih menyimpan penasaran atas bingkisan yang ia terima. Namun membukanya di depanBapak bukanlah hal yang bijak. Ia akan membukanya nanti setelah pulang ke rumah. Sesampai di rumah mamak telah menunggu. Mamak telah menyiapkan masakan istimewa untuknya. Damar memang telah membocorkan informasi Pak Anton kepada mamak. Dengan mamak, selama ini Damar bercerita semuanya tanpa menyimpan rahasia. Tentang sekolah, cita-cita juga perasaan terdalamnya, karena memang bagi laki-laki, ibu adalah cinta pertama mereka. Setelah cukup lama bercengkerama, Damar meminta izin kepada mamak untuk beristirahat di kamar. Tubuhnya belum sepenuhnya fit. Karenanya ia harus makan teratur dan cukup istirahat di sela-sela belajarnya. Pekerjaan sawah atau kebun tak lagi ia kerjakan. Bapak telah melarangnya. Kata bapak, Damar telah cukup belajar dan cukup tahu bagaimana perjuangan seorang buruh tani. Jika kelak nasibnya lebih baik, bapak berharap agar Damar tak lupa bahwa setiap suap nasi yang ia makan adalah hasil jerih payah para buruh tani. Damar merebahkan tubuhnya di dipan. Ia teringat bingkisan tadi siang. Hadiah dari sekolah malah tak begitu menarik perhatiannya. Ia juga ingat kalau belum sholat Dzuhur. Diambilnya segera air wudhu dan segera ia tunaikan sholat. Sholatnya tak khusuk karena teringat akan bingkisan tadi. Ia kembali lagi ke kamar dan tak tahan hendak membuka bingkisan yang entah dari siapa itu. Ternyata sebuah jam tangan. Sudah lama ia menginginkannya. Namun ia penasaran siapa gerangan yang telah mengiriminya. Terselip surat terlipat di box tempat jam tangan tadi. Dibukanya dengan pelan dan dibacanya sambil berbaring diranjang.
Assalamu'alaikum wr. wb
����������� Mas Damar sudah mulai membaik, kan? Hanum juga dalam keadaan sehat dan senantiasa mencoba mensyukuri semua nikmat Allah SWT. Mungkin ini surat pertama dan terakhir dari Hanum buat Mas Damar. Awalnya Hanum sempat berpikir untuk menemui, Mas, dan mengatakannya langsung, namun sepertinya Tuhan tak mengizinkannya. Kabar mengenai sakit Mas yang menyebabkan Mas tak bisa hadir disekolah menguatkan itu semua. Begitu juga kesibukan-kesibukan Mas menghadapi ujian seleksi masuk perguruan tinggi, membuat Hanum tak enak hati mengganggu, Mas. Hanum berharap selembar surat ini bisa mewakili semuanya. Selamat atas kelulusannya, ya. Meski saat menulis surat ini, Hanum belum tahu hasilnya, tapi Hanum yakin Mas Damar adalah juaranya. :-)
����������� Oh ya, hadiah ini adalah hadiah ulang tahun yang sengaja Hanum siapkan, meskipun terlalu dini. Hanum tahu ulang tahun Mas masih tiga bulan lagi. Namun Hanum tak yakin bisa bertemu Mas lagi setelah ini. Sebuah jam tangan yang pernah Mas harap-harapkan untuk dimiliki. Hadiah ini adalah tanda terima kasih Hanum, karena dulu Mas Damar telah mengingat hari ulang tahun Hanum. Waktu itu adalah hari yang sangat membahagiakan bagi Hanum. Terima kasih untuk hari itu, Mas. Awalnya Hanum kaget karena Mas tahu hari lahir Hanum meski Hanum tak pernah menceritakan perihal hari lahir itu ke Mas. Semuanya benar, Mas. Permainan matematika itu bisatepat menebak hari dan bulan lahir Hanum. Namun tidak dengan tahunnya. Hanum tak setua yang Mas pikirkan. Kita sama-sama belum genap berumur enam tahun saat masuk SD. Sweet seventeen masih setengah tahun lagi :-).
����������� Melalui surat ini pula, Hanum meminta maaf kepada Mas. Meminta maaf dengan setulus-tulusnya. Meski kita pernah menjalani hubungan yang tak semestinya dan Mas harus pergi dari Hanum, sangat disayangkan jika hubungan itu tak berakhir dengan baik. Hanum berharap, Mas telah bisa menjadikan Hanum sebagai sahabat dari masa lalu. Hanum telah memperlakukan Mas dengan tidak baik. Hanum tak jujur pada Mas. Sekali lagi, Hanum merasa perlu atau bahkan wajib memohon maaf. Tentang perasaan kita masing-masing, biarlah itu ditelan oleh� jarak dan waktu. Biarlah seperti ranting yang patah saat ada badai. Terbawa oleh angin, menjauh lalu terbawa arus sungai. Hanum yakin kelak lelaki baik seperti Mas bakal mendapatkan wanita sempurna yang akan sepenuhnya bisa membahagiakan hari-hari Mas. Bukan seperti Hanum yang hanya bisa menyakiti hati Mas. Kejarlah cita-cita Mas sejauh mungkin. Meski dulu Mas pernah gagal dalam lomba penulisan tentang Korea, namun Hanum yakin kelak Mas bakal bisa pergi ke Korea. Hanum juga yakin Mas bakal bisa mengunjungi Gedung Opera Sydney di Australia seperti yang Mas cita-citakan. Menonton opera bersama wanita yang menjadi pendamping hidup Mas untuk selamanya. Menyeberangi Jembatan Sydney Harbour saat sore hari dan melihat gedung opera dari kejauhan. Atau yang terdekat, Hanum yakin Mas bakal lolos seleksi masuk PTK. Kuliah agar bisa mengubah nasib keluarga. Memberangkatkan Bapak dan Ibu berhaji. Mas punya kemampuan untuk mewujudkannya. Mas Damar harus semangat.
����������� Setelah ini, Hanum berharap agar tak ada lagi rasa sakit yang tersisa. Tak ada penasaran yang tersimpan di sudut hati. Tak ada sesal yangtak sempat terucap. Semua menjadi pelajaran buat Hanum, mungkin buat Mas juga. Tentang lelaki itu, memang benar Mas, kalau ia datang lebih dulu. Sebelum Tuhan mempertemukan kita. Pada awalnya Hanum� menyesalkan mengapa kita harus dipertemukan jika akhirnya seperti itu. Namun seiring waktu Hanum sadar. Inilah cara Tuhan menguji. Bukan dengan jarak dan waktu, tapi dengan kecenderungan hati. Meski pada awalnya gagal, namun Tuhan masih memberi kesempatan.
����������� Terakhir kalinya, semoga Mas sukses dengan cita-cita Mas. Mas tak perlu risau dengan surat ini. Mas tak perlu membalas surat ini karena Hanum tak yakin bisa mengabaikannya jika Mas membalas surat ini. Memang kita ditakdirkan untuk tidak bersama. Namun Hanum ingin jika kita dalam kapal yang berbeda bukan lantas kita harus saling menembakkan meriam. Mas tetap happy ya! Hanum senang saat melihat mas tersenyum atau bahkan tertawa lebar seperti dulu.
Wassalamu'alaikum wr.wb.
Hanum Prasetio
�
����������� Damar menarik napas dalam-dalam. Apa arti semua ini? Selama ini dia ternyata cukup egois dan cengeng. Tak hanya dirinya yang terluka. Tak hanya dirinya yang bersedih. Lewat suratnya, perempuan itu menceritakan kesedihannya. Andaikan gadis itu di depannya tentu ia ingin memeluknya. Andaikan lelaki yang datang lebih dulu itu tak ada, tentu ia sudah menghapus setiap air mata yang tumpah dari perempuan itu. Menemani sisa-sisa hidupnya. Menjalani kehidupan yang bahagia tanpa aral rintangan. Ia genggam jam tangan pemberian Hanum. Ia berjanji pada jam itu dan akan menjadikannya sebagai saksi atas usaha-usahanya meraih mimpi-mimpinya. Ia tak ingin mengecewakan harapan wanita itu. Damar beranjak dari tempat tidur. Ia bertambah bimbang. Membalas suratnya hanya akan memperpanjang masalah. Toh Hanum tak ingin ia membalas surat itu. Namun tak memberitahunya membuat wanita itu tak tahu bagaimana perasaannya. Segera ia raih radio yang tergeletak di meja belajar lalu menghidupkannya. Sebuah lagu mengalun sendu dari Frekuensi 92.5 GSP FM Kutoarjo. Sebuah nomor manis dari Fitri Handayani berjudul Mengapa Aku Jatuh Cinta. Ia bukannya tenang malah menjadi semakin kalut.
����������� Maghrib menjelang. Suara Wo Joyo terdengar merdu dan nyaring seperti biasanya. Suara itu membangkitkan ingatannya akan masa lalu. Suara adzan itu mungkin tak akan didengarnya lagi. Sholawatan dan puji-pujian belum tentu juga bakal ia dengar nanti. Saat ia mengunjungi masjid-masjid di perkotaan jarang sekali terdengar suara sholawatan atau puji-pujian sehabis adzan dikumandangkan. Kalau anak pondok akan menyebutnya sebagai syi'ir.� Ia hafal 20 sifat wajib Allah juga lewat puji-pujian yang ia dengar dari kecil. Begitu juga dengan Rukun Iman dan Rukun Islam. Ia paham betapa pedihnya siksa kubur dari syi'ir yang ia kerap dengar setelah adzan Isya dikumandangkan. Ia juga hafal di luar kepala syair tombo ati karangan Sunan Bonang karena memang sering dilantunkan oleh Wo Joyo menjelang sholat Maghrib. Hanya syi'ir di subuh hari yang jarang ia dengar. Untuk bangun di waktu subuh memang dibutuhkan ketangguhan iman yang luar biasa. Itulah mengapa kekagumannya pada Wo Joyo sangat berasalan karena ada atau tidak ada jamaah, Wo Joyo akan tetap setia melantunkan syi'ir atau pujian agar masyarakat desa sudi bangun untuk menunaikan sholat Subuh secara berjamaah. Segera saja Damar� mengambil sarung dan berjamaah Maghrib di masjid. Awalnya dengan berjamaah di masjid, ia berharap bisa menetralisir rasa gelisahnya. Dengan bacaan wirid yang panjang ia bisa melupakan semua masalah keduniawian. Namun kenyataannya tetap saja. Hutang tetap harus ditunaikan. Pekerjaan duniawi harus dituntaskan. Nafkah tetap harus dicari dengan cara membanting tulang. Damar pun pulang ke rumah dengan buru-buru. Segera ia turunkan kembali sepeda motor yang sudah kadung ditaruh di teras. Dengan kecepatan sedang ia menuju terminal kecamatan. Sesampai di sana ia lihat jam tangan baru yang terlingkar di lengannya. Masih pukul tujuh lebih sedikit. Sementara itu, langit di atas terminal tak berbintang sama sekali. Hanya rembulan yang terlihat seolah-oleh tersenyum sinis padanya. Damar membalas kesinisan itu dengan senyuman mengejek. Acara baru mulai pukul setengah delapan. Ia berharap saat itu Hanum sedang belajar sembari mendengarkan acara Romansa oh Romansa di Radio In FM. Sebuah harapan tanpa logika. Tapi setidaknya ia telah berbuat sesuatu. Segera ia memasuki satu-satunya wartel yang ada di terminal. Ia tekan nomor telepon tujuan di bilik wartel paling pinggir. Ditunggunya beberapa saat.
In FM : "In FM selamat malam?"
Damar : "Selamat malam."
In FM : "Ada yang bisa saya bantu?"
Damar : "Acara Romansa oh Romansa kan baru mulai setengah jam lagi. Bisa kan nanti saya diberi kesempatan pertama untuk berbicara. Ada yang ingin saya sampaikan Mbak."
In FM : "Bisa, Mas. Mas ada radio di situ kan? Saat jeda lagu dan iklan nanti Mas telepon lagi. Oh iya namanya siapa?"
Damar : "Ada, Mbak. Pras, Mbak. Prasetio." Damar menjawab agak ragu sambil menoleh ke meja kasir dan melihat ada radio tergeletak di sana dengan siaran yang terdengar lirih.
����������� Damar memohon mbak-mbak penjaga wartel untuk menyetel channel Indrakila FM. Damar menceritakan dengan jujur alasannya meminta tolong karena memang manusia cenderung simpati dengan cerita sedih. Ia juga membesar-besarkan ceritanya agar orang semakin simpati. Mbak-mbak penjaga wartel juga menutup bilik paling pinggir agar nanti pada waktunya Damar bisa menggunakannya langsung.
����������� Waktu yang dinantinyapun tiba. Setelah acara dibuka oleh penyiar yang mengaku bernama Devi dan lagu pembuka diputar, Damar pun lantas menelepon kembali.
In FM : "Romansa oh Romansa selamat malam. Mbak Devi di sini. Dengan siapa ini?'
Damar : Ini Pras, Mbak. Yang tadi telepon."
In FM : "Tahan sebentar ya, Mas. Nanti saat� kita bilang siap kita lanjutkan."
Damar menunggu sebentar. Lagu pembuka pun selesai.
In FM : "Selamat malam, Kebumen. Selamat malam muda-mudi semua. Masih bersama saya, Devi Putri dalam acara Romansa oh Romansa. Malam minggu seperti ini tentu memberikan kebahagiaan bagi banyak orang termasuk muda mudi semua. Dan di linetelepon kami telah tersambung dengan penelepon pertama kita yang akan bercerita tentang kisah romansanya. Semoga bukan cerita yang sedih ya muda mudi. Ok penelepon kita bernama Pras. Nama lengkapnya Prasetio. Langsung kita sambungkan ya. Halo selamat malam."
Damar : "Selamat malam. Assalamu'alaikum."
In FM : Wa'alaikumsalam. Mas Pras dari mana?"
Damar : "Dari Purworejo, Mbak. Tepatnya di sebuah desa dipinggir kali Lesung. Sungai yang memisahkan antara Kebumen dengan Purworejo."
In FM : "Ok. Apakah gerangan yang menyebabkan Mas Pras menelepon kami malam-malam. Bukannya malam minggu seharusnya wakuncar. Waktu kunjung pacar?"
Damar :"Kebetulan saya seorang single, Mbak Devi. Jadi malam minggu seperti ini tak banyak yang bisa saya lakukan. Paling kumpul bareng teman atau nonton TV di rumah. Lagian saya juga baru lulus SMA. Oh ya, saya akan bercerita tentang kejadian hari ini. Tadi siang adalah acara perpisahan di sekolah. Saya dulu memang punya memori di sekolah tersebut. Namun itu terjadi sudah agak cukup lama. Saya sudah melupakannya. Namun tadi siang seusai pulang dari acara perpisahan, saya menerima hadiah dari perempuan yang pernah mengisi hari-hari saya dahulu, meski itu cuma sebentar. Hadiah dititipkan lewat teman saya. Perempuan yang sebenarnya adalah kekasih orang. Namun waktu itu saya dibutakan oleh cinta sehingga tak mengetahuinya."
In FM : �Tunggu sebentar. Jadi dulu anda berselingkuh, Mas Pras?"
Damar : "Hehe..Orang yang tak tahu akan menganggapnya seperti itu. Sebelum saya tahu yang sebenarnya, saya telah disuruhnya pergi. Pada awalnya saya bingung karena saya merasa belum pernah mengucapkan kata cinta sepatah katapun. Dia sudah menyuruh saya pergi dari hidupnya. Kemudian seiring waktu berjalan, saya jadi paham bahwa saya telah datang di waktu yang tak tepat. Dia menyuruh saya pergi karena kekasihnya memergoki kami saat jalan berdua."
In FM : "Ok, Mas Pras�kalau boleh tahu siapa nama gadis itu dan tinggal dimana dia saat ini?"
Damar : "Namanya Hanna. Dia tinggal di Kebumen. Di sebuah desa di selatan rel kereta api. Kami teman sekolah. Dia adik kelas saya."
In FM :"Kalian kan sudah berpisah. Lantas apa yang masih mengganjal di hatimu, Mas Pras.Silahkan disampaikandi sini."
Damar : "Ya itu tadi, Mbak. Tadi siang saat kelulusan sekolah dia mengirimi surat permintaan maaf dan memberi saya sebuah hadiah. Meminta maaf karena telah menyuruh saya pergi. Ia menginginkan saya untuk tidak membalas suratnya. Sementara saya sendiri tidak tahu penyebab ia menyuruh saya pergi. Dan bagi saya itu wajar. Justru saya memang yang harus pergi. Karena saya telah mengganggu hubungan mereka. Cuma terbersit rasa bersalah jika saya tak memberi tahu kalau saya tidak apa-apa. Saya baik-baik saja. Jadi melalui acara ini saya ingin mengucapkan terima kasih karena pernah membuat hari-hari saya indah. Mungkin sebelumnya separuh hati saya telah ikhlas. Namun untuk kali ini sepenuh hati saya telah mengikhlaskan. Kita mungkin sudah tidak bertemu lagi setelah ini. Yang sebentar itu ternyata sangat berharga buat saya."
In FM : "Jadi anda ingin mengucapkan kata perpisahan juga?"
Damar : "Mungkin bisa dibilang begitu. Kamu baik-baik ya dengan kekasihmu yang begitu baik menerimamu. Sekali lagi saya di sini baik-baik saja. Kamu menyuruh saya pergi, saya akan pergi. Kamu menginginkan saya tak membalas suratmu, saya tak akan membalas suratmu. Tapi bagi saya, tak ada maaf bagimu. Karena kamu tak pernah bersalah dengan perasaanmu itu. Mengenai sahabat dari masalalu, aku sudah menganggapmu sebagai sahabat sejak dulu. Tak peduli itu dari masa lalu atau masa sekarang. Mulai saat ini tak ada lagi yang tak jelas. Semua sudah terang benderang. Kamu bahagialah dengan kehidupanmu saat ini. Tak perlu mengkhawatirkanku. Aku juga akan terus melangkah ke depan. Itu aja, Mbak Devi."
In FM : "Ok. Demikian curahan hati Mas Pras untuk wanita yang bernama Hanna. Semoga Hanna di selatan rel kereta api mendengarkan juga. Memang benar apa yang dikatakan Mas Pras. Semua yang sudah terjadi tak perlu disesali. Hidup harus terus berjalan. Ok, satu nomor cantik dari Hedi Yunus berjudul Suratku akan membawa kita sejenak beristirahat dari ruang Romansa oh Romansa. Jangan tinggalkan ruang dengar anda. Siapkah telepon anda bagi muda-mudi yang ingin mencurahkan kisah Romansa berikutnya. Check This Out."
����������� Damar lantas terduduk di sofa panjang. Sebentar saja lalu ia merebahkan tubuhnya di sofa itu. Tanpa sadar air mineral gelasan sudah ada di meja depannya. Mbak penjaga wartel ternyata ikut mendengarkan ceritanya. Empatinya yang mendalam membuatnya merasa kasihan padanya. Ia mengucap terima kasih yang dalam. Ia melanjutkan lamunannya. Setidaknya ia telah lega. Ia telah benar-benar melepaskan semua beban di hati. Mulai saat ini hanya akan ada cita-citanya saja. Perempuan? Itu urusan nanti.
�
Roma
�
����������� Penantian yang cukup lama. Delapan belas tahun bukan waktu yang sebentar untuk menuntaskan dahaga Romanisti di seluruh penjuru dunia. Sebagai tim ibukota yang tak akrab dengan gelar, prestasi tahun ini benar-benar luar biasa. Tridentemaut mereka yang dipelopori Il Principle Francesco Totti benar-benar menjadi momok menakutkan bagi tim lawan. Setidaknya itu yang dirasakan tim sekelas Parma di Giornata terakhir penentuan gelar juara. Mereka digelontori tiga gol dari tiga penyerang maut Roma dan hanya bisa sekali membalas. Damar sebagai Romanisti, di tiga tahun terakhir ini merasakan kegembiraan yang luar biasa juga. Kecintaannya pada Roma berawal dari kekagumannya pada skill sang Pangeran Francesco Totti. Ketika teman-teman sekelasnya lebih mengidolakan I Rossoneri, I Nerrazuri, Gialloblu, La Viola atau Biancocelesti, dia bersama segelintir teman yang lain mantap menyebut dirinya sebagai Romanisti tim serigala ibukota. Semua bermula waktu kelas satu SMA saat mereka secara rutin berlangganan tabloid Bola dengan cara iuran menyisihkan uang jajan. Tabloid Bola terbit sepekan dua kali tiap hari Selasa dan Jumat. Hari Selasa menyajikan hasil pertandingan dari liga-liga top Eropa sedangkan hari Jumat menampilkan preview dan prediksi pertandingan liga-liga Eropa dan juga hasil Liga Champions serta Piala UEFA yang digelar tengah pekan. Dari statistik banyaknya gol, umpan, man of the match, dan juga banyaknya pemain dilanggar dalam sebuah permainan, membuat ia jatuh hati pada Totti. Baginya, pemain yang paling banyak dilanggar tentunya adalah pemain yang paling banyak bekerja keras. Bermula dari Totti dan berakhir pada Roma. Sebagaimana seorang fans lain yang mengidolakan superstar, begitu pula Damar menganggap Totti dan Roma sebagai role model. Mengidolakan pemain bintang dari klub juara, itu sudah biasa. Mengidolakan pemain pekerja keras dan juga klub yang tak akrab juara namun bisa menjadi juara, tentu amat luar biasa. Meski tim sekelas Roma tak pernah bisa berbuat lebih di kancah eropa, namun itu tak membuat Damar berkecil hati. Ia mempunyai tim lain yang dijagokannya bakal berbuat banyak dimasa depan. Tim itu adalah Barcelona. Meski masih kalah mentereng dengan Los Galacticos, Ia yakin Azulgranabakal berbuat banyak di tahun-tahun ke depan.
����������� Terinspirasi dengan kesuksesan AS Roma di negeri pizza, membuat semangat Damar semakin terlecut. Demikian juga dengan kesuksesan Rian yang juga telah lolos pemberkasan administrasi, tes jasmani, tes psikologi, tes kesamaptaan dan mental ideologi. Kesibukan Rian yang tiada henti sehabis ujian ternyata tak sia-sia. Sampai-sampai mereka sudah tidak sempat bersua lagi. Lelaki gagah itu tak kenal lelah menaklukkan tahap demi tahap ujian taruna AAL. Entah dengan pertimbangan apa ia akhirnya memilih laut. Damar belum menanyakan alasan atas pilihan sahabatnya itu. Benarkah karena ingin menyusul Mentari. Sesimpel itukah alasannya? Semangatnya yang membara tanpa kenal lelah itu ikut melecut Damar untuk bisa melakukan hal serupa. Damar ingin melangkah lebih jauh. Mewujudkan cita-citanya masuk Program Diploma Keuangan. Esok pagi adalah hari pendaftaran pertama Ujian Saringan Masuk Program Diploma Keuangan. Pendaftaran dilakukan pada Senin hingga Jumat selama dua minggu ke depan. Tempat terdekat baginya untuk mendaftar adalah di Balai Diklat Keuangan Jogja di daerah Kalasan, Sleman, Jogja. Damar telah menyiapkan semuanya. Tak terlalu banyak memang. Cuma fotokopi STTB dan Danem yang dilegalisir dan juga bukti setor yang divalidasi oleh bank. Persyaratan tambahan akan diminta jika peserta telah dinyatakan lulus tes penerimaan. Damar berencana menyetorkan uang pendaftarannya esok di bank pemerintah yang terletak di kabupaten. Rabu ia bersama Geng Kapaknya baru akan pergi ke Jogja. Rencana terakhir perjalanan mereka memang ke Jogja. Sesuai dengan yang ada pada angan-angan mereka dahulu. Namun, perjalanan kali ini terasa istimewa karena sekaligus mengantar kepergiannya. Damar berharap agar pengorbanan sahabat-sahabat karibnya itu tak berakhir menjadi kekecewaan.
����������� Hari yang dinantinya tiba. Mereka berkumpul di pertigaan Prembun. Tak ada yang terlambat karena mereka memang sangat bersemangat dengan perjalanan ini. Meski tak seperti yang diharapkan karena sakitnya Damar, mereka tetap merasa bahwa ini adalah momen yang belum tentu bakal bisa mereka ulangi ke depannya. Tak perlu lama menunggu bis karena jalur selatan memang ramai oleh bus-bus antar kota. Dengan menggunakan bis Efisiensi jurusan Purwokerto-Jogja, dibutuhkan waktu dua jam lebih saja untuk sampai di terminal Umbulharjo, Jogja. Itu pertama kalinya Damar menginjakkan kakinya di sana. Ke Jogja sih sudah pernah, tapi itu dulu sekali waktu liburan keluarga mengunjungi Monjali, Keraton, Prambanan dan dilanjutkan ke Borobudur. Sudah lama sekali saat ia masih duduk di kelas enam SD. Setelah dua kali naik kopata, akhirnya mereka sampai juga di jalan kecil menuju balai Diklat, tempat melakukan pendaftaran. Jalan itu tepat di seberang Kampus Universitas Kristen Immanuel (UKRIM), Sleman. Mereka harus berjalan kurang lebih 100 meter menuju lokasi Diklat. Dari luar gedung Diklat, mereka melihat para pendaftar lain yang mengantre. Kebanyakan berasal dari sekolah-sekolah Kabupaten di Jawa Tengah dan Jogja. Damar agak minder juga saat melihat calon-calon pesaingnya itu. Bisakah ia yang anak ndeso lulusan SMA kecamatan antah berantah dibatas kabupaten bersaing dengan lulusan SMA dari kota atau kabupaten yang kesehariannya hanya belajar di sekolah dan juga mengikuti bimbel di lembaga pendidikan. Tak seperti dirinya yang waktunya dikebun lebih banyak dari waktu belajar di rumah. Yang sering kelelahan saat belajar dan tahu-tahu tertidur hingga subuh datang. Bisakah ia bersaing dengan puluhan ribu pendaftar yang nilai Danem-nya itu bagus-bagus. Setelah ikut mengantre cukup lama, akhirnya ia sampai juga di meja pemberkasan. Ternyata tak hanya berkas yang diperiksa namun juga postur tubuh dan juga riwayat kesehatan. Terlebih untuk pendaftar yang memilih spesialisasi Bea-Cukai. Mata pendaftar juga tak boleh minus atau plus. Para pendaftar yang memilih spesialisasi Bea-Cukai juga sudah diwanti-wanti bahwa nantinya jika mereka nanti lulus tes akademik masih ada serangkaian tes-tes lain yang harus bisa mereka taklukkan. Beberapa saat setelah pemberkasan dan dinyatakan lulus administrasi, Damar keluar dari tempat pendaftaran lalu menemui sahabat-sahabatnya yang sabar menunggu di luar. Sebuah Bukti Peserta Ujian (BPU) telah ia dapatkan. Tertera di situ tempat ia harus mengikuti ujian.
�STIE Kerjasama, bukannya itu dekat terminal. Alhamdulillah tak terlalu jauh,� gumamnya.
Cukup membantunya yang harus menempuh tiga jam perjalanan menuju tempat ujian. Namun nantinya ia berencana untuk menginap. Entah di masjid atau mungkin di terminal. Pada jam empat subuh tentu belum ada bis antar kota yang lewat di pertigaan Prembun. Waktu ujian juga masih sebulan lagi sehingga ia merasa tubuhnya sudah akan kembali fit nanti.
"Bagaimana kalau kita makan bakso dulu, kawan-kawan," ajak Hasan kepada teman-temannya.
Semua temannya mengiyakan saja karena memang siang yang terik membuat perut para pemuda ndeso itu menjadi gampang lapar. Setelah berjalan beberapa ratus meter, akhirnya mereka menjumpai sebuah kafe khas jogja yang menyediakan menu bakso. Mereka berempat duduk di luar sambil melihat-lihat jalan.
"Kali ini aku yang bayar," imbuhnya.
"Emangnya ada apa, San. Lagi ulang tahu tah kamu?� tanya Hartono.
"Ok, mungkin hari ini adalah terakhir kita bertemu. Besok Kamis aku berangkat ke Jombang. Aku mau mondok dan kuliah di sana. Awalnya aku ragu. Tapi Paklik menguatkanku. Sangat disayangkan jika seorang pemuda harus ngguthek di rumah, bukannya merantau mencari pengalaman. Biar Paklik yang jagain Ibu," paparnya.
"Akhirnya kita tak bisa menghindar dari perpisahan ya, kawan. Minggu depan kamu, Ton, daftar UMPTN. Kamu juga, Yan, besok Jumat tes kesehatan tahap II di Cilacap. Lalu Pantukhir. Kalau lolos lagi, tinggal Panpus di Surabaya. Kapan kita bisa ketemu lagi ya," ucap Damar dengan raut muka sedih.
"Tak usah khawatir,dap. Sekarang kan sudah ada HP. Sebentar lagi kita bisa beli HP. Atau internet. Aku lihat di Jogja ini banyak Warnet. Ga seperti di tempat kita yang adanya cuma beberapa di kabupaten. Itupun rame dan ngantri. Kita bisa chatting nanti. Bisa pake MIRC atau Yahoomail. Oh iya bagaimana kalau kita tak langsung pulang. Kita bikin e-mailbuat kita masing-masing. Nanti kita bisa saling kirim surat lewat e-mail," tetiba Rian terpikir ide seperti itu.
"Kamu koq update banget, Yan?� tanya Damar kemudian.
"Kemarin aku sudah buat e-mailsama Mentari. Kita sudah janjian. Oh ya, kalian nanti pake plasa.com aja ya e-mail-nya. Itu produk Telkom. Asli Indonesia. Lagian kalau sama-sama gitu e-mail-nya bakal cepet nyampenya,� tambahnya.
"Koq bisa gitu, Yan?� tanya Hartono penasaran.
"Kan providernya satu.� jawab Rian lagi.
"Provider itu apa?" tanya Hartono lagi bingung.
"Penyedia layanan. Kamu itu ndeso ya jangan ndeso banget, kawan," kata Rian sambil tertawa.
Mereka tertawa bersama melihat kendesoan mereka. Sebenarnya Rian sendiri juga tak begitu paham atas apa yang ia sampaikan. Ia hanya pernah mendengar orang pernah berujar seperti itu. Pertemuan mereka itu bakal mereka kenang di sisa usia mereka. Untuk pertama kalinya mengantarkan Damar yang belum sehat sepenuhnya, sekalian melihat-lihat pemandangan kota Jogja.
����������� Setelah matahari tak terik lagi mereka memutuskan untuk pulang ke rumah. Tak mungkin juga mereka glarangan di Jogja, sementara Hasan besok sudah harus berangkat ke Jombang dan Damar juga belum pulih sepenuhnya dari operasinya. Mereka menyempatkan dulu makan pecel di terminal Umbulharjo. Mereka tertarik dengan pecel kecombrang yang dijajakan di situ. Rian merasa aneh saja karena biasanya pecel kecombrang cuma ada di Banyumas. Pecel kecombrang memang salah satu makanan favoritnya. Pertama kali ia makan di tempat bapak dulu saat ia berkunjung ke rumahnya. Rasanya agak sengir-sengirgitu. Setelah bertanya kepada mbokde penjualnya, baru ia paham mengapa pecel kecombrang dijual di terminal Umbulharjo. Mbokde penjual pecel ternyata dulunya asalnya dari Banyumas. Ia ingin berjualan makanan yang tak dijual di Jogja. Jadilah ia berjualan pecel kecombrang. Setelah kenyang, mereka segera menaiki bis antar kota apa saja asal jurusannya Purwokerto atau Cilacap. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya mereka menaiki bis Efisiensi lagi. Sepanjang perjalanan, di bis tak ada kesedihan yang terlihat. Yang ada hanya kebahagiaan yang terpancar dari wajah insan-insan lugu namun bertekad kuat sekuat kapak itu. Mungkin sebulan, dua bulan atau tiga bulan lagi mereka takkan lagi berdekatan rumah. Tak akan bisa saling berkunjung dan bergunjing. Tak bisa saling mencemooh satu sama lain. Mereka benar-benar menikmati momen kebersamaan itu. Damar melihat jauh keluar menembus kaca bis. Melihat hamparan sawah, perkebunan tebu dan juga beberapa tanaman palawija. Melihat pemukiman penduduk yang padat, warung-warung,� juga gedung pemerintah. Semoga tak gagal, batinnya. Iya, mereka akan pergi ketempat yang baru. Dengan tantangan baru dan juga harapan yang membumbung tinggi. Sepertinya impian mereka bakal direstui Tuhan. Karena kerja keras dan doa. Karena perjuangan yang tak kenal lelah. Karena rasa sakit yang datang bertubi-tubi. Semoga saja.
�
�
Hari Penghakiman
�
����������� Bangsa Indonesia memasuki babak baru dalam hal bernegara. Dengan mata telanjang, seluruh bangsa di dunia bisa melihat kemenangan demokrasi di Indonesia. Untuk pertama kalinya seorang wanita terpilih menjadi Presiden RI kelima melalui cara-cara yang katanya bisa dibilang demokratis. Mengalahkan demokrasi di negara adikuasa yang bahkan tak pernah merelakan itu semua terjadi. Tak ada lagi sentimen agama yang mengatakan tidak bolehnya seorang wanita memimpin sebuah negara. Angin begitu mudah berbalik arah. Dulu tidak, sekarang boleh. Bahkan pihak-pihak yang dulu berkata tidak, sekarang berdiri di belakang menjadi penjaga. Begitulah dinamika politik. Lagi-lagi yang menjadi panglima tetaplah kekuasaan, bukannya hukum yang berlaku. Bendera perang pun telah diturunkan. Yang kalah telah menyingkir untuk menyusun kekuatan kembali. Mengembalikan kebugaran yang tercabik-cabik selama perang. Yang menang berpesta. Menikmati gurihnya kue kekuasaan. Lini masa juga sedikit berkurang gemanya. Bahkan meninggalkan persidangan yang masih jauh dari api selesainya. Namun setidaknya di masa damai, rakyat lebih punya banyak pilihan. Bekerja seperti biasa tanpa banyak gangguan. Di masa damai semua pihak akan benar-benar bekerja, bukan menjegal satu sama lain.
����������� Damar juga sedang menunggu takdirnya. Sedari pagi ia telah berdandan rapi. Hari ini adalah hari pengumuman hasil seleksi USM STAN. Ia berharap bisa menikmati masa damai ini dengan kerja. Ia sangat ingin menang. Perjuangannya yang panjang dan tak kenal lelah harus terbayarkan. Hari-harinya yang penuh dengan keprihatinan harus berbuah balasan. Begitupun doa-doa orang terdekatnya. Sujud bapak yang tak henti-henti ditunaikan di penghujung malam. Atau pun sedekah mamak kepada anak-anak yatim yang sering ia berikan. Sendirian saja ia ke Jogja karena ia memang tak mau merasa malu jika gagal. Ia belum mendapat kabar nasib sahabat-sahabatnya. Jika memang ia termasuk yang beruntung hari ini, ia akan memberi kejutan yang menyenangkan untuk sahabat-sahabatnya itu. Sepanjang perjalanan, ia merasa bimbang. Bagaimana kalau ia bukan termasuk yang menang hari ini. Apakah hidupnya akan berakhir. Akankah semua yang telah ia lakukan akan sia-sia saja. Berakhir seperti Benowo. Pikirannya melayang. Teringat ia akan percakapannya dengan mbah kakung seminggu lalu. Mbah membesarkan hatinya andai ia kalah hari ini. Ada seseorang yang berhutang budi pada mbah kung saat dulu ia masih muda. Lelaki yang dulu berhutang budi itu menjanjikan balas jasa memberangkatkan Damar ke luar negeri. Dengan potongan biaya yang cukup lumayan,katanya. Lelaki itu telah sukses dengan perusahaan pengerah jasa TKI-nya. Banyak TKI atau TKW telah diberangkatkan ke Malaysia, Arab Saudi, Brunei, Hongkong atau Taiwan. Namun rumor yang beredar mengatakan bahwa banyak dari mereka yang diberangkatkan dengan ilegal. Jika semua itu benar adanya, apa tidak bertentangan dengan hati nuraninya. Bekerja dari hasil menipu orang lain. Damar juga teringat akan tawaran bulek Mirna beberapa waktu lalu. Ada perusahaan sendok di daerah Kali Angke, menerima beberapa karyawan untuk mengisi beberapa posisi yang lowong. Namun ia malas menindaklanjutinya. Ia tak begitu suka dengan perangai bulek Mirna. Tak ingin ia menggantungkan nasibnya pada perempuan bermulut sadis. Bagaimana kalau jasa itu selalu diungkit seumur hidupnya. Ia malah tersenyum sendiri mengingatnya. Tawaran Benowo juga menarik saat lebaran lalu. Ia akan menyambut dengan tangan terbuka jika Damar sudah buntu akal dan harus ikut mencari kerja di Jakarta. Menurutnya berjualan tas atau dompet keliling Jakarta bisa laku lima sampai sepuluh biji seharinya. Dengan keuntungan minimal lima ribu per satu tas, cukuplah untuk menyambung hidup di kota untuk beberapa waktu sambil berkeliling mencari kerja. Damar lebih percaya dengan pilihan terakhir. Kalaupun sampai bisa lulus USM,� ia pun akan mau saja ikut berjualan tas dan dompet untuk bertahan hidup. Tentu berjualan dengan berkeliling kompleks tak ubahnya seperti pekerjaannya selama ini di sawah atau kebun. Mulai dari macul, ndaut, bikin ler-leran, nyabet, matun, ngemes, ngobat atau menyiram tanaman. Semua dilakukan di tempat berlumpur dan terpapar matahari. Takkan ada bedanya. Itu kalau kemampuannya memberi les kepada anak sekolah tak berguna di Jakarta.
����������� Ia menghela napas panjang. Rupanya lamunannya telah membawanya jauh hingga tanpa sadar dia telah di dalam bis sedari berjam-jam tadi. Sebentar lagi ia akan sampai di terminal Umbulharjo. Itu artinya ia harus menaiki kopata dua kali lagi menuju tempat pengumuman. Cuaca Jogja sangat cerah. Jam pun sudah menunjukkan pukul sepuluh siang hari. Matahari mulai menyengat. Damar menyempatkan membeli es teh yang dijual oleh pedagang keliling di terminal. Resah dan penasaran ia rasakan sepanjang sisa perjalanan. Nasibnya akan dipertaruhkan sebentar lagi. Setelah turun dari kopata, ia lantas bergegas menuju lokasi pengumuman. Jalan kecil menuju Balai Diklat Keuangan sangat ramai oleh lalu lalang manusia. Banyak muka murung berseliweran. Bisa sembilan banding satu, perkiraannya. Akankah ia bernasib serupa. Semakin cepat saja ia langkahkan kakinya. Beberapa orang menjajakan fotokopi hasil seleksi USM. Namun Damar hanya ingin melihat yang tertempel di gedung. Apa gunanya membeli fotokopian dengan modal tiga ribu yang dijual sepuluh ribu itu jika ia tak lulus. Ia akan buntung dua kali tentunya. Lantas ia berdesak-desakan dengan pendaftar lain di tembok tempat pengumuman ditempelkan. Ada berpuluh-puluh lembar yang ditempelkan di tembok. Namun tak ada satupun titik yang tak sesak oleh manusia. Segera ia ikut masuk dalam kerumunan. Namanya tak ada dilembar pertama. Ternyata urutannya berdasarkan nomor pada Bukti Peserta Ujian. Ia bukan termasuk pendaftar yang datang awal-awal. Padahal yang tertera hanya peserta yang lulus dari regional Jogjakarta. Dengan sabar ia meneliti satu per satu lembar pengumuman itu. Delapan lembar pertama tak ada namanya di situ. Beralih ia ke lembar kesembilan. Ia masih tak yakin. Benarkah namanya tertera di situ. Damar Arif Prasetio, Anggaran, Lokasi Pendidikan Jakarta. Ia masih tak yakin. Ia lihat kembali dengan saksama. Ternyata benar itu namanya. Ia cocokkan lagi nomor BPU yang ia punya dengan yang tertera di kertas pengumuman. Lantas ia menjauh dari situ. Dihampirinya bapak-bapak penjual fotokopian hasil USM. Ia bayar tanpa menawar sedikitpun. Dua puluh ribu rupiah tunai. Ia buka kembali lembar demi lembar. Dan ternyata memang benar ada namanya. Nomro BPU-nya juga cocok. Ia gembira bukan kepalang. Satu tugasnya telah tuntas. Ia juga tak perlu lagi merendahkan dirinya di depan bulek Mirna.
"Bapak, Mamak aku lulus. Aku ke Jakarta, Pak, Mak," gumamnya lirih.
Matanya memerah. Ia menangis. Menangis karena begitu bahagia. Segera ia buka lembar terakhir fotokopian hasil USM tersebut. Tak banyak lagi waktunya. Hanya tiga minggu waktu yang ia punya untuk mempersiapkan semuanya. Surat Keterangan Kelakuan Baik, Surat dari dokter yang menyatakan sehat dan juga tidak ketergantungan terhadap narkoba, kartu kuning dan juga beberapa persyaratan tambahan lainnya. Tak ada lagi keinginan Damar sekarang selain pulang dan memberi tahu mamak dan bapak. Dan ia yakin tak ada seminggu lagi bakal ada kenduri di rumahnya sebagai wujud rasa syukur. Ia bergumam kembali.
"Mak, Pak, Anakmu ini ternyata bisa."
Damar pulang dengan langkah tegap. Tak ia pedulikan lagi keramaian di sepanjang jalan itu. Ia merasa seperti intan berkilauan diantara bebatuan. Seperti Joko Kendil, meskipun buruk rupa, namun dengan gagah berani melamar Putri Raja. Oh, indahnya hidup Damar saat ini.
�
Menang Besar
�
����������� Usahanya hampir menuju akhir. Ia telah menyingkirkan 200 pendaftar lebih dalam tes pantukhir daerah. Sungguh di luar dugaan ia bisa melangkah sejauh itu. Mengalahkan beratus-ratus pemuda lain yang tentunya berhasrat sama dengannya. Bersama 15 calon taruna yang lain, ia harus segera pergi ke Surabaya. Melalui pantukhir pusat. Tes terakhir sebelum benar-benar menjadi seorang taruna. Lelaki gelap berbadan kukuh itu bisa juga mengeluarkan air mata. Air mata penuh kebahagiaan. Ia ingin segera pulang memeluk mamak. Ia ingin memberitahu bapak. Bercerita kalau sebentar lagi akan ke Surabaya. Bersimpuh dikakinya memohon restu agar cita-citanya menyeberangi lautan, yang tinggal selangkah lagi menjadi kenyataan. Ia juga teringat akan Mentari. Ia akan datang dan memintanya untuk menunggu. Ia ingin berbicara dengan Pak Sudi. Memohon restu dan kerelaannya. Aah..sungguh melelahkan.
����������� Rian menuju Surabaya menggunakan kereta dari Jogja. Ia berangkat bersama lima belas calon kadet yang lain. Mereka pun berusaha lebih akrab satu dengan yang lainnya. Sepakat untuk saling menghafal nama, asal, dan juga nomor sepatu. Mereka yakin itu bakal berguna nantinya. Pagi hari, kereta telah sampai di Surabaya. Segera saja mereka menuju Kesatrian. Ia menemukan banyak rekan baru, kehidupan baru dan juga semangat baru di tempat barunya itu. Kurang lebih sebulan ia akan diuji untuk yang terakhir kalinya. Semua tes akan diulang lagi. Ia harus menyiapkan energi sebanyak-banyaknya. Rian bertemu Catar-Catar dari seluruh penjuru Indonesia. Ia bertemu budaya dan kebiasaan yang mungkin belum pernah ia jumpai sebelumnya. Ia juga tinggal dibarak-barak tentara dengan kedisiplinan yang luar biasa. Kekompakan, kekeluargaan dan juga daya juangnya diuji. Rian masih tetap dengan daya juang dan semangat yang tak luntur. Daya juang dan semangat yang terbentuk oleh kepahitan hidupnya.
Setelah melalui hari-hari yang panjang dan sangat melelahkan, akhirnya pantukhir pusat pun memasuki babak akhir. Ratusan Catar dari seluruh pelosok negeri dikumpulkan di sebuah aula besar dengan bertelanjang dada. Para Catar berbaris rapi dan sigap. Badan Rian yang tegap dan gelap terlihat mencolok diantara Catar lainnya. Hasil larinya tiap pagi dengan sepatu murah yang membuat kakinya lecet, bermain voli tiap sore dengan bertelanjang kaki dan juga bermain sepakbola seminggu dua kali membuat posturnya terlihat sempurna. Pertanyaan paling mendasar yang ditanyakan adalah lebih pada kesiapan para calon taruna untuk bertugas di manapun diseluruh pelosok Indonesia. Menjaga keutuhan NKRI dari makar-makar yang dilakukan oleh elemen-elemen bangsa maupun bangsa asing. Dengan lancar Rian berhasil menjawabnya. Ia jawab persis seperti cerita-cerita yang pernah ia dengar dari leluhurnya. Kakeknya dulu adalah bagian dari sekelompok kecil tentara yang ikut bergerilya bersama Jenderal Soedirman melawan agresi Belanda. Selama berbulan-bulan memasuki kampung-kampung dan hutan dari Jogja hingga Kediri. Terus menerus melancarkan serangan hingga membuat keder tentara Belanda. Dari cerita kakeknya itu, ia jadi paham bahwa persatuan Indonesia itu ditebus dengan harga yang teramat mahal sehingga sangat disayangkan jika harus hancur karena ulah beberapa elemen bangsa yang memaksakan ideologi dan pendapatnya. Ia jadi paham bahwa Indonesia adalah rumah besar bagi berbagai ras, suku bangsa, agama, dan golongan. Semua bebas hidup dengan damai, asalkan tetap menghormati perjanjian luhur para pendiri bangsa yang menginginkan Indonesia menjadi bangsa yang adil dan makmur. Setelahnya alat uji seperti pengukur tensi, tempat full up dan lain-lainnya juga dipersiapkan untuk menguji kembali apa yang tertulis di agenda dengan fakta kesehatan atau fisik para taruna. Seharian penuh tes pantukhir berlangsung. Tes pantukhir adalah seperti ujian kelulusan bagi anak sekolah. Ia menentukan lulus tidaknya seorang calon taruna menjadi taruna.
����������� Dan pengumuman Catar yang berhak mengikuti pendidikan pun akhirnya tiba. Para Catar itu dikumpulkan kembali dalam sebuah ruangan besar. Nama dan nomor urut peserta pantukhir yang lolos disebutkan satu persatu. Ada nomor urut dan nama Rian yang disebut oleh panitia. Agus Rianto salah satu perwakilan dari Lanal Cilacap. Ia berhak mengikuti pendidikan integratif di Resimen Chandradimuka Akademi TNI AL. Mengikuti pendidikan dasar kemiliteran, pendidikan jiwa kemiliteran dan pendidikan dasar kematraan bersama para taruna Akmil dan AAU. Seketika juga tubuhnya yang tadinya berat kini tiba-tiba menjadi ringan seperti kapas. Jauh melayang meninggalkan daratan. Terbang di atas ombak lautan nan luas. Ia melihat daratan begitu kecil. Tak ada kebahagiaan yang melebihi kebahagiaannya saat ini. Rasa lelahnya selama empat bulan, lenyap seketika. Terbayarkan oleh panggilan yang menggemakan namanya. Berganti dengan energi luar biasa. Tak ingin ia tidur ataupun makan. Ingin segera ia terbang menuju rumah dengan sayapnya. Ingin ia terbang berputar-putar di atas desanya untuk mengabarkan perihal keberhasilannya. Agar semua orang tahu dan menaruh hormat pada keluarganya. Hingga ia lelah terbang dan memutuskan untuk turun ke bumi. Bersimpuh dikaki mamak lantas berkata.
"Aku bisa, Mak. Aku bisa menaklukkan laut."
�
Pesiar
�
����������� Hanya tiga minggu. Iya, cuma tiga minggu baginya untuk menuntaskan semua masalah pribadinya sebelum berangkat ketempat pendidikan. Sementara itu Mentari telah berkuliah di Surabaya. Rian mengiriminya sebuah e-mail namun tak kunjung dibalasnya. E-mail yang dikirimkannya pun cukup singkat.
"Aku telah lulus. Tiga minggu ke depan aku di Kebumen, sebelum benar-benar berangkat. Aku belum tahu tempat tinggalmu di Surabaya. Usahakan kamu pulang. Aku mau berbicara dengan Ayahmu. Balas cepat."
Rian tak bisa menunggu di Surabaya atau mencari-cari tempat tinggal Mentari dulu, karena ia harus segera pulang dan memberitahukan perihal kelulusannya pada mamak.
����������� Rian mengunjungi bapak di rumahnya. Bapak telah kembali sehat dan beraktivitas sebagaimana biasanya. Satu hal yang membuat kegembiraannya bertambah adalah karena perihal usaha bapak untuk berhenti merokok. Bapak berujar bahwa beliau ingin melihat anaknya kelak diwisuda menjadi taruna. Bapak ingin berumur panjang agar bisa melihat anak-anaknya sukses. Bapak ingin memastikan anaknya tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu. Begitu bahagianya Rian mendapati kenyataan seperti itu. Tak perlu lagi ia capek-capek menasihati bapak agar berhenti merokok. Melihat usahanya yang sangat gigih ternyata membuat bapak malu sendiri. Rian juga mengunjungi Damar di rumahnya. Tak dijumpainya sahabatnya itu. Ia hanya bertemu Pak Paiman. Dengan muka berseri-seri beliau menceritakan perihal kelulusan Damar hingga bisa berkuliah di Jakarta. Pak Paiman bercerita pula bahwa sebelum ke Jakarta, Damar telah berkunjung ke rumahnya namun tak menjumpai siapa-siapa, baik Rian maupun mamak. Rumah reyot itu terkunci rapat. Pak Paiman juga menyampaikan salam dari anaknya yang telah dua minggu di Jakarta. Rian memang sadar bahwa hari-harinya akhir-akhir ini sangat sibuk dengan tes macam-macam dan juga persiapan yang macam-macam juga. Rian juga merasakan kebahagiaan yang berlipat saat mengetahui sahabat terdekatnya itu memperoleh apa yang ia cita-citakan. Ia tak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi jika yang terjadi adalah sebaliknya. Perlakuan Hanum padanya yang tak adil cukup membuat Damar terpukul. Namun sekarang ia merasa lega mengetahui nasib baik menaungi sahabatnya itu. Rian lantas mengunjungi Hartono di rumahnya. Seperti mendapati keajaiban yang berulang saat ia mendapati cerita dari orang tua sahabatnya itu bahwasanya Hartono lulus UMPTN Pendidikan Matematika Universitas Negeri Semarang. Hartono telah berada di Semarang untuk mempersiapkan kuliahnya. Lelaki yang pada awalnya gagap itu bakal bisa mewujudkan cita-citanya menjadi guru. Mendidik anak-anak di desanya hingga pandai berhitung. Rian juga tiap hari rutin mengecek e-mail-nya lewat warnet di kecamatan. Ia berharap Mentari membalas secepatnya, agar ia bisa ke rumahnya. Namun seminggu ditunggunya, tak kunjung juga ia mendapati balasan. Andai ia tahu alamat dan juga nomor telepon kos tempat Mentari tinggal, tentutidak bakal seperti ini.
Tinggal seminggu lagi Rian di rumah. Jika Mentari tak kunjung membalas e-mail-nya, ia berencana untuk menemui Pak Sudi sendirian. Namun dewi fortuna masih menaunginya. Hari Rabu di minggu terakhir, Mentari membalas e-mail-nya. Jawabannya pun sangat singkat.
"Awal kuliahku sibuk sekali. Jumat aku pulang ke Purworejo. Datanglah hari Sabtu. Semoga kamu belum berangkat."
Rian senang bukan kepalang. Telah ia siapkan kata-kata terbaik untuk menghadap Pak Sudi, ayah Mentari. Ia ingin berbicara empat mata dengan Pak Sudi. Tentu dengan statusnya sekarang sebagai seorang kadet. Menjelaskan niat baiknya dalam mencintai Mentari.
����������� Hari Sabtu, tepat sehari sebelum keberangkatan Rian ke tempat pendidikan, bumi penuh dengan guyuran hujan sedari pagi. Matahari bersembunyi malu-malu kucing. Sebentar saja ia menampakkan diri untuk kemudian bersembunyi lagi di balik awan tebal. Hujan dan gerimis bergantian. Menjelang sore baru hujan mulai reda. Tak ada lagi waktu baginya selain hari ini. Namun sepertinya hari Sabtu ini sangat tidak bersahabat. Sore hari setelah selesai sholat Ashar, ia beranikan diri menuju rumah Pak Sudi. Tak begitu lama dengan mengendarai motor yang ia pinjam dari Paman, sebentar saja ia telah sampai di rumah kekasihnya itu. Mentari yang memang sudah menunggu sedari pagi sangat gembira melihat kekasihnya itu datang. Ia sudah cemas karena takut Rian tak menepati janjinya. Segera ia bukakan pintu rumah.
"Hai kadet, aku sudah nunggu kamu dari tadi," sapanya sembari tersenyum manis.
Rian pun membalas senyum itu. Senyum dari sejoli yang merasa telah menaklukkan dunia bersama-sama. Senyum yang menyiratkan kemenangan keduanya dalam menghadapi takdir. Sementara itu, Pak Sudi yang mengintip dari ruang tengah, kaget bukan kepalang melihat kedatangan Rian. Mentari, anaknya tak pernah menceritakan perihal kedatangan Rian kepadanya. Ia juga sudah menganggap anaknya tak berhubungan lagi dengan lelaki dari keluarga kusut itu. Mentari mempersilahkan Rian untuk duduk di teras depan. Ia masuk sejenak, menyiapkan segelas teh hangat dan kembali lagi ke teras menemani Rian. Cukup lama mereka memperbincangkan berbagai hal. Tentang pengalaman pertama Mentari mengenali kota Surabaya dan juga pengalaman Rian yang amat melelahkan melewati tahap demi tahap penerimaan taruna AAL di Cilacap maupun Surabaya. Sejoli itupun bertukar informasi tentang tempat tinggal mereka. Mereka berjanji akan sering bertemu di Surabaya meski itu mungkin agak susah bagi Rian. Ia akan tinggal di Kesatrian. Tak bisa sembarangan keluar dari tempat akademi jika bukan saat pesiar. Setelah puas bercakap, Rian meminta Mentari agar bisa berbicara dengan Pak Sudi. Mentari pun masuk ke dalam rumah. Ia memanggil ayah lantas menguping dari ruang tengah. Sementara langit menjadi gelap kembali. Maghrib juga tinggal hitungan menit lagi. Pertanda hujan akan turun kembali. Pak Sudi pun akhirnya keluar menemui Rian.
"Bagaimana, Nak Rian. Sehat kan?" sapa Pak Sudi berbasa-basi. Ia sepertinya menahan luapan emosinya.
"Baik, Pak.� jawab Rian mantap.
"Tadi kata Tari, Nak Rian mau berbicara serius dengan Bapak?" tanya Pak Sudi kemudian.
"Iya, Pak. Semoga Bapak berkenan.� jawab Rian.
"Ya sudah. Apa yang hendak Saudara sampaikan?" tanya Pak Sudi formal.
Rian tergagap tiba-tiba. Hatinya tak enak. Mengapa di rumah pun beliau berbicara formal seperti ini. Namun kemudian keluar juga kata-kata yang sudah ia persiapkan sedari lama itu.
"Saya mencintai Mentari, putri Bapak. Mentari juga mencintai saya. Kami berharap Bapak bisa merestui hubungan kami. Saya serius, Pak.� Rian berbicara seyakin mungkin agar tak dianggap lelaki yang main-main olehnya.
Mentari mendengarkan di balik jendela. Pak Sudi menghela napas panjang. Untuk beberapa saat mereka terdiam. Sejurus kemudian Pak Sudi pun angkat bicara.
"Begini, Nak Rian. Sebenarnya Bapak tak ingin membicarakan ini. Namun mau tak mau karena Nak Rian nekat ke sini ya Bapak harus ngomong. Sebaiknya mulai sekarang Nak Rian meninggalkan Mentari, putri saya. Itu jika Nak Rian benar-benar mencintainya."
Untuk kedua kalinya mulut Rian terkunci. Ia tak paham maksud perkataannya. Setelah menarik napas dalam-dalam ia coba lanjutkan bicaranya.
"Mengapa harus seperti itu Pak. Apa saya tak pantas untuk anak Bapak? Saya telah berusaha membuktikan sekuat tenaga sejak SMA kepada Bapak bahwa saya tak main-main. Cinta kami berdua bukan cinta semenjana. Apalagi yang harus kami buktikan, Pak?" tanya Rian dengan penasaran.
"Kamu anak Pak Mukri, kan? Bagaimana menurutmu jika ada seorang lelaki meninggalkan anak dan istrinya untuk hidup dengan wanita dari masalalunya? Meninggalkannya keleleran. Bagaimana jika ada seorang Bapak menghina lelaki sepertimu yang mengemis cinta anak gadisnya, padahal lelaki itu tak seberuntung kamu yang gagah dengan seragammu itu. Bagaimana bisa saya membiarkan anak perempuan saya hidup dalam lingkaran benang kusut seperti itu," Pak Sudi berbicara berapi-api.
Rian tak mengerti sepenuhnya apa yang Pak Sudi bicarakan. Pak Mukri memang benar adalah bapaknya. Tapi wanita dari masalalu itu siapa? Hidupnya memang keleleran. Terus siapa yang mengemis cinta itu? Hidupnya juga seperti benang kusut. Apa artinya pula menjerumuskan Mentari ke dalam kehidupan seperti benang kusut? Ia bingung bukan kepalang. Yang ia pahami cuma satu. Pak Sudi sangat membencinya meski ia masih belum bisa menyimpulkan alasannya. Hatinya sedih sekali. Sebelum ia bisa berbicara kembali, Pak Sudi sudah terlebih dahulu berdiri dan mengacungkan telunjuknya lalu mengakhiri pembicaraan.
"Ingat ya, Nak. Selama saya masih hidup, jangan pernah berpikir menikahi anak saya. Kamu itu tak pantes buat anak saya. Sekarang, Nak Rian pulang dan jangan pernah ke sini lagi".
Pak Sudi pun masuk kembali ke dalam rumah. Rian masih terpaku di kursi. Ia masih tak bisa berbicara apapun. Tak menyangka ia mendapat perlakuan sekasar itu. Ternyata kebencian Pak Sudi selama ini memang benar-benar nyata. Sementara itu di balik pintu, Mentari tak kalah kaget mengetahui Ayahnya bersikap sekasar itu pada kekasihnya. Beberapa saat kemudian Rian pun memutuskan pulang dengan membawa sejuta penasaran. Menerobos hujan, tak peduli seberapapun derasnya. Ia akan bertanya pada mamak atas apa yang telah terjadi. Namun sebenarnya hatinya telah remuk karena perlakuan itu. Rasa sakit di hatinya melebihi rasa lelah berbulan-bulan mengikuti seleksi masuk AAL. Terkadang memang penolakan dari orang-orang terdekat lebih sakit rasanya daripada digebuk dengan batang bambu. Ah sudahlah.
�
�
Hembusan Angin Pagi Hari
�
����������� Ia duduk di kursi panjang yang terletak di teras depan rumah. Memandangi lalu lalang para jemaat yang hendak beribadah minggu. Para jemaat itu datang dari beberapa desa sebelah. Atau bahkan mungkin dari kecamatan atau kabupaten sebelah. Namun kadang mata tak selalu serumpun dengan hati dan pikiran. Mengingat memori masa silam adalah hal yang paling sering dilakukan oleh manusia. Dan memang itu yang sedang gadis berwajah kaca itu pikirkan. Hari ini adalah genap setahun Hanum menyapanya. Ia ingat saat itu ia berlari-lari kecil agar tak terlalu basah oleh gerimis. Lelaki yang terpaku melihatnya itu ia sapa dengan lembut. Awalnya ia merasa aneh dengan sikap lelaki itu. Lelaki yang lekat menatapnya. Namun setahun setelah peristiwa itu kerinduannya tetap tak hilang. Sekarang ia telah naik ke kelas 3 IPA 1. Sekarang ia telah sibuk dengan persiapan ujian kelulusan. Sebentar lagi umurnya juga akan genap tujuh belas tahun. Tak akan ada kejutan lagi dari lelaki itu. Takkan ada ajakan untuk pergi ke kabupaten menaiki bis Tigaperempat. Takkan ada yang mengajaknya mencari buku atau bermain Dingdong, sesuatu yang ia yakini bahwa lelaki itu sebenarnya hanya pamer dan tidak mahir memainkannya. Takkan ada lagi yang mengajaknya makan bakso dan bermain tebak-tebakan. Takkan ada yang akan mengajaknya mengobrol di kala hujan ataupun gerimis. Tak ada juga yang akan setia mendengarkan ceritanya tanpa menyela. Tak akan ada pula yang melempar candaan garing yang mengada-ada. Tak ada juga yang akan berbicara berapi-api untuk kemudian diam lagi. Sungguh tak ada yang istimewa dari lelaki itu. Hatinya saja yang tak bisa berbohong bahwa lelaki itu adalah cerminan dirinya. Bahwa ia bisa tak berkutik saat di depannya. Sementara itu, Danu tetaplah menjadi kekasihnya. Ia sekarang telah kuliah di Jogja. Di sebuah kampus Muhammadiyah karena ia tak lulus UMPTN. Memang sebulan dua kali kekasihnya itu mengunjunginya di rumah. Meski terkadang mereka pergi berdua menghabiskan malam minggu, bayang-bayang lelaki bermata cokelat itu tetap tak mau hilang. Raganya memang sepenuhnya bersama Danu, namun tidak dengan hatinya. Dulu saat ia masih bisa melihatnya, meski ia telah mengusirnya dari kehidupannya ia tak terlampau bersedih. Ia masih bisa mencuri-curi pandang melihatnya. Namun sekarang, saat ia telah benar-benar pergi, justru ia merasakan rindu yang teramat dalam. Ia benar-benar mengayuh kerinduan itu sendirian. Ia merasa benar-benar ada yang tak tuntas dari perjumpaan mereka. Tak mau terlalu larut dalam lamunan, gadis itu pun lantas masuk ke ruang keluarga lalu memencet tombol remote guna mencari siaran TV yang bisa mengalihkan kegelisahannya. Banyak siaran TV untuk anak-anak di hari libur seperti ini. Menonton kartun tentu menjadi hal yang menarik yang bisa dilakukan. Atau setidaknya mengalihkan kegelisahannya barang sejenak.
***
�
����������� Hanum melamun membayangkan kejadian tiga bulan lalu. Semua karena mimpi yang membangunkannya di pagi buta. Mimpi bertemu lelaki bermata cokelat itu dan berbincang mesra dengannya. Tiga bulan yang lalu di malam hari, tak seperti biasanya ia malas keluar kamar. Belajar pun ia tak berhasrat. Mengobrol dengan Hanafi yang baru pulang dari Jogja juga ia segan. Ia hanya tiduran di kamar sambil memeluk guling. Ia juga merasa teramat lelah setelah seharian menjadi panitia acara perpisahan sekaligus menemani Danu jalan, untuk merayakan kelulusannya. Tak biasanya ia mendengarkan acara Romansa oh Romansa di Radio Indrakila FM. Saat penelepon pertama berkisah tentang romansanya, seketika ia merasa tak asing dengan suara itu. Suara itu seperti berasal dari lelaki yang pernah hadir di kehidupannya. Benar saja. Itu adalah suara Damar. Lelaki itu memperkenalkan diri sebagai Prasetio. Hanum mendengar kisahnya dengan saksama. Ia sadar kisah itu tentang dirinya, Hanna. Begitu memang penuturannya. Di akhir cerita, Hanum tak mampu lagi membendung air matanya. Ia menangis tertahan diantara gulingnya. Ia sedih saat tahu bahwa Damar tak apa-apa saat ia mencampakkannya. Ia tak bisa dibohongi oleh suara itu. Ia tahu Damar berbohong saat berbicara seperti itu. Ia merasa mengenal Damar seutuhnya. Ia tahu, Damar sangat mencintainya. Malam itu ia menghabiskan malam dengan tangis yang panjang. Ia merasa menyesal karena tak berani mengungkapkan perasaannya. Ia merasa sangat bimbang dengan dirinya sendiri. Ia pun berandai-andai perihal waktu yang mungkin bisa diulang kembali. Ia ingin bicara baik-baik pada Danu bahwasanya ia telah jatuh cinta dengan lelaki lain. Ia akan jujur pada Damar kalau ia juga sangat mencintainya. Namun sekarang sudah tak ada gunanya lagi. Benar-benar telah terlambat.
�
***
�
����������� Tanggal di bulan September telah beranjak menuju dua digit. Sementara itu awan hitam semakin erat menggelayut di langit jauh. Pertanda hujan akan mengakrabi aktivitasnya. Ya, bulan ini memang telah memasuki musim penghujan. Hanum jadi jarang bersepeda ke sekolah. Lagian sudah tidak ada lagi yang akan menemaninya, tidak seperti dua tahun terakhir ini. Ayah pasti akan mengantarnya jika cuaca sudah tak bersahabat sedari pagi. Sekarang ia juga harus bersungguh-sungguh belajar mengejar cita-citanya. Menjadi dokter sebagaimana cita-citanya di masa kecil. Membuktikan kepada orang-orang terkasihnya kalau ia mampu. Pun dengan hari ini. Ia diantar oleh Ayah dengan sepeda motor. Kali ini Ayah membawa sepeda motor dengan agak cepat karena takut akan �kalah� oleh hujan. Angin kencang berhembus sepanjang perjalanan sehingga membuat Hanum sedikit menggigil. Helm kecil yang menjepit jilbabnya tetap tak bisa menahan kibaran jilbabnya. Siapapun yang melihatnya hari ini, ia akan terlihat sangat cantik. Ia memang selalu cantik sampai kapanpun. Hanya hatinya tak lagi sebahagia dulu. Ia menyimpan kerinduan. Ia memendam gelisah yang tak ia tunjukkan. Meski tetap terlihat dari ekspresi wajahnya yang mengguratkan kesedihan. Sesampai di sekolah, hujan memang benar-benar turun. Mau tak mau Pak Pras harus berteduh juga di warung depan sekolah. Hanum mencium tangan ayahnya itu sebelum berlari-lari kecil menuju kelasnya. Ia tak ingin terlalu basah oleh hujan. Berlari seperti setahun lalu, saat matanya beradu pandang dengan tatapan aneh. Jam pertama adalah pelajaran Matematika oleh Pak Purnomo. Segera ia membuka buku tulis, buku paket dan peralatan berhitung. Setelah di caturwulan akhir kelas dua kemarin ia belajar turunan, di awal kelas tiga ini ia belajar integral atau antiturunan. Hanum senang dengan pelajaran matematika. Namun tak hanya cukup dengan rasa senang, ia memang harus memahami semua pelajaran eksak agar nanti lulus UMPTN. Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bahasa Indonesia dan juga Bahasa Inggris. Menembus kedokteran memang bukan perkara mudah karena memang passing grade-nya selalu teratas. Sementara itu,hujan di luar bukannya berhenti malah bertambah deras. Pak Pras pun tertahan di warung hingga pukul sembilan pagi. Ia bercengkerama dengan pemilik warung kelontong yang menyediakan beberapa kebutuhan pokok dan juga kebutuhan sekolah. Ia memesan secangkir kopi hitam untuk menghangatkan badan. Setelah hujan mulai reda, segera Pak Pras pulang ke rumah. Mantel yang ia pakai tak cukup untuk menahan gerimis yang tak seberapa itu. Sesampai di rumah, dijumpainya ibu sedang berdiri di depan TV. Tak biasanya ibu begitu antusias dengan berita di TV. Tak pelak ayah pun langsung bertanya.
"Ada berita apa toh, Bu, koq kayaknya heboh banget sampe berdiri segala?�
"Itu loh, Pak, ada teroris nabrakin pesawat ke gedung kembar di Amerika,� jawab ibu seketika.
Dilanda penasaran yang akut,ayah pun ikut berdiri di depan TV melihat siaran langsung berita serangan teroris di Amerika Serikat. Benar saja. Hampir semua TV swasta menayangkan serangan yang katanya dilakukan oleh kelompok Al Qaida dari Afghanistan itu yang notabene dipersepsikan sebagai kelompok muslim. Pak Pras tak habis pikir. Ketegangan politik di dalam negeri sudah mulai reda namun dunia internasional malah mulai diusik oleh pertikaian. Tapi demi apa? Menurut analisisnya tak mungkin ini cuma sekadar serangan sabotase biasa. Apakah Amerika memang telah benar-benar kehilangan sumber daya alam sehingga harus mencari kambing hitam yang bisa dipersalahkan. Apakah Amerika memang perlu ladang minyak baru di negara yang penuh dengan ladang minyak itu. Itu sih masih sebatas persepsinya saja. Pak Pras semakin geram. Akankah ini awal peperangan baru di muka bumi. Semoga saja tidak.
��������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������� *
@yurriansan makasih mbak. mungkin karena tokohnya benar-benar ada :-)
Comment on chapter Sinopsis