Cowok Cantik part 24
Aku masih di depan rumahnya Heri. Di sini tidak ada orang yang menyahut. Aku tidak tahu di dalam sana ada orang atau tidak, yang pasti selama sekitar satu jam aku berada di sini, tidak ada tanda-tanda keberadaan orang di dalam rumah itu. Jika dia tidak ada di sini, lalu di mana? Aku berpikir keras dan teringat puncak. Segera saja aku mencari taksi.
Sekitar tiga puluh menit taksi membawaku sampai ke puncak. Aku berlari kesana kemari untuk mencari Heri, namun sosoknya tidak pernah ada. Aku pun kembali menuju vila miliknya dan tidak ada siapapun di sana. Sangat sepi. Aku mencoba menekan bel dan memanggil-manggilnya, tapi sama seperti di rumahnya, tidak ada yang menyahut. Tidak ada tanda-tanda keberadaan orang di dalamnya.
Aku mencoba turun sedikit ke kuburan neneknya, kuharap dia sedang di sana meskipun aku tidak yakin dia akan ada di sana. Aku berjalan cepat dan aku melihat siluet tubuh manusia sedang duduk di sana. Seorang pria dengan jaket hitam sedang membersihkan kuburan neneknya Heri. “Itu pasti dia,” ucap batinku berharap. Aku semakin mempercepat langkahku dan semakin aku dekat dengan orang itu semakin lemas langkahku. Siluetnya berbeda, Heri tidak terlihat seperti itu jika dilihat dari belakang. Tapi aku mencoba memastikan.
“Her,,” itu yang aku katakan dan yang aku panggil berbalik ke arahku. Dia bukan Heri. Dia Aldi, kakak sepupunya tadi.
“Sandi? Kamu kok di sini?” tanyanya heran. Aku tak sempat berpikir panjang yang aku mau hanya Heri.
“Heri dimana kak?” tanyaku memelas seakan kak Aldi memiliki apa yang aku minta. Kulihat kak Aldi agak bingung dengan tingkahku. Aku jadi semakin lemas. Ingin rasanya aku menangis sekarang juga. Aku ingin berkata jujur pada kak Aldi, tapi hatiku masih malu. Aku takut dia memandang aneh pada kami.
Beberapa saat kemudian aku merasakan pundakku disentuh oleh kak Aldi. Dia tersenyum teduh menenangkanku.
“Maaf yah, kakak juga gak tahu dia dimana. Sejak kamu ngejar dia, kakak juga udah coba nelpon dia, tapi handphonenya gak aktif. Kakak tahu kamu khawatir sama dia, tapi kamu harus percaya, justru dia yang sedang khawatir sama kamu,” katanya menenangkanku. Tapi aku sedikit bingung dengan kata-kata terakhirnya.
“Maksud kakak gimana? Kenapa dia harus khawatir sama aku?” tanyaku mencoba mencari penjelasan di balik kata-katanya. Dia tersenyum lalu merangkulku sambil berjalan.
“Kakak udah kenal sama Heri dari dia kecil. Dia itu anaknya mandiri. Jika dia mencoba menjauh dari orang-orang yang dia sayang, itu berarti dia sedang ingin mengurus masalahnya sendiri. Bagi orang lain, itu mungkin cara yang aneh, tapi dia melakukan itu demi orang itu juga. Dia khawatir orang lain akan khawatir padanya,” katanya menjelaskan maksud dari kata-katanya yang sebelumnya.
“Tapi ini kan gak bagus kak. Dia harusnya juga berbagi kesusahannya sama aku. Dia juga gak harusnya pura-pura marah seperti ini. Aku justru jadi makin khawatir sama dia,” kataku mengeluh.
“Memangnya kalau dia menghilang tanpa kabar kamu akan berhenti khawatir? Kalau dia ngasih tahu kamu masalah yang dia hadapi kamu bakalan berhenti khawatir?” tanya kak Aldi membuat aku berpikir lagi.
Jika Heri pergi tanpa alasan, aku pasti akan sangat bingung dan khawatir. Jika dia memberitahu masalahnya padaku, sama saja. Aku juga akan tetap khawatir.
“Tapi sebenarnya kakak udah pernah minta dia untuk merubah itu sih. Dia udah janji juga sama kakak, dia akan mencoba untuk membagi masalahnya lebih dulu sebelum dia memutuskan untuk menyelesaikan masalahnya. Tapi kalau kenyataannya dia sulit mengubah itu yaah, kakak juga gak bisa maksain kan,” jelasnya lagi mencoba menenangkanku. Aku sadar, kalau dipikir-pikir lagi aku sudah sangat tenang sekarang. Kak Aldi ternyata tidak jauh beda dengan Heri. Mereka sama-sama punya jiwa pemimpin. Mampu menenangkan hati orang lain dengan kejujuran mereka.
“Oh ya, kak. Tentang masalah itu, kakak tahu gak apa masalah yang sedang Heri alamin?” aku berusaha lebih. Kali saja aku bisa membantu Heri.
“Kakak juga gak tahu, San. Yang kakak tahu cuma, orang tuanya akhir-akhir ini sering minta dia ke Singapura. Mungkin mereka khawatir karena nenek udah gak ada. Selama ini kan yang udah ngerawat dia dan yang udah dia rawat itu neneknya. Jadi setelah neneknya gak ada, orang tuanya takut kalau Heri gak terurus.” Aku melemah. Aku takut dia akan ke Singapura dan meninggalkanku sendirian di sini.
Pikiranku melayang-layang. Apa dia sengaja pura-pura marah padaku agar aku jadi ikutan marah? Agar aku kesal dan membencinya lalu dia bisa pergi ke Singapura tanpa membuat aku merasa kehilangan? Bego banget kalau dia pikir itu bekerja segampang itu. Kalau dia benar-benar ngelakuin itu, rasa sakitku justru akan semakin berlipat. Apa benar dia seperti itu?
“San? Ayo masuk! Jangan mikir yang aneh-aneh,” panggil kak Aldi di depan mobilnya. Dia mengatakannya seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan. Omong-omong, aku bahkan tak sadar di sini ada mobil sebelumnya. Bodoh sekali.
I’m gonna love you,
Like I’m gonna loose you..
I’m gonna hold you,
Like I’m saying goodbye...
Lagu itu mengalun begitu asyik. Tapi isinya sedikit menakutkan. Menakutkan jika yang terjadi malah sebaliknya.
“Anyway, San. Kalian berdua,,,” kak Aldi tidak melanjutkan kata-katanya. Aku bingung apa maksudnya. Jangan bilang dia ingin tahu kami pacaran atau tidak. Duh, apa yang harus aku jawab. Aku ingin mengelak, tapi sampai kapan? Aku ingin mengaku, tapi,, apa tidak apa-apa? Ah, toh kak Aldi juga sudah banyak menceritakan tentang Heri, biarlah dia tahu.
“Iya kak. Kami sudah pacaran,” jawabku sambil berharap bahwa itulah yang kak Aldi tanyakan. Dia nampak kaget juga, dia sempat batuk-batuk. Tapi dia cepat-cepat mengembalikan keadaan.
“Sorry, sorry. Kakak kebawa suasana,” katanya menenangkanku. Aku sendiri agak khawatir, jadi aku menanyakannya lagi untuk memastikan.
“Gak apa-apa kan, Kak?”
“Gak kok. Gak apa-apa. Toh yang punya hati kalian,” katanya tenang. Aku mengangguk senang. Lega sekali mendengar pendapat yang bijak seperti kak Aldi ini. Aku pun mencoba mencari topik lain yang bisa aku gunakan untuk berbicara dengannya. Apa yah? Aha..
“Kak Aldi kenal sama kak Fendi sejak kapan?”
“Sejak SD,” katanya membuat aku teringat pada cerita kak Fendi.
“Oh, jadi kakak teman SD-nya kak Fendi yang udah bantuin kak Fendi itu?” tanyaku memastikan. Dia mengangguk ringan tanda rendah hati. Aku hanya bisa tersenyum, mulai kagum pada sosoknya.
“Anyway, kakak kamu belum cerita yah?” tanyanya membuat aku penasaran.
“Cerita tentang apa kak?”
“Tentang kami,” katanya menekankan. Aku bingung. Cerita tentang apalagi yah?
“Apa sih kak. Aku kok gak tahu. Kakak aja yang cerita, kalau aku udah tahu ntar aku kasih tahu,” kataku mengusulkan.
“Ah, gak usahlah, biar Fendi aja yang ngasih tahu,” katanya mudah. Aku jadi harus menahan rasa penasaranku. Cerita apa yang dia maksud?