Cowok Cantik part 23
“Heri, kan?”
“Kak Aldi?” tanya Heri menunjuk kak Aldi. Aku tercengang. Aku sangat terkejut mengetahui bahwa sosok dingin yang dikatakan oleh kak Aldi itu sebenarnya adalah kekasihku yang paling hangat sedunia ini. Apa yang terjadi? Bagaimana bisa dia disebut dingin seperti itu?
Sesaat kemudian Heri sadar. Dia melihatku ada di sini sambil memperhatikan mereka. Wajahnya berubah kesal. Dia berpura-pura tak melihatku. Aku, aku sangat ingin menghampirinya. Tapi aku tak berani. Nanti kalau ada keceplosan sedikit aja kakakku bisa curiga.
“Sini, kenalin ini teman satu kampus kakak dan ini adik-adiknya,” kata kak Aldi menunjuk kami. Heri mengulurkan tangannya dan menyebutkan namanya pada kakakku lalu ke Putri dan terkahir padaku. Anehnya dia masih menyebutkan namanya padaku seakan tak pernah mengenalku. Itu membuatku kesal. Aku menggenggam tangannya dengan erat dan tak ingin melapaskannya.
“Lo Sandi, kan?” katanya membuatku semakin kesal. “Lo udah terkenal kok gak perlu nyebut nama lagi,” lanjutnya penuh dengan sindiran. Tangannya yang lain dengan paksa membuka genggaman tanganku padanya. Dan itu rasanya sangat-sangat menyakitkan. Ada apa dengan dia, aku ingin bertanya tentang itu padanya, tapi di sini ada kakakku. Aku tidak berani.
“Udah, yuk! Kita masuk! Filmnya udah mau dimulai nih,” sahut kak Aldi merangkul kami. Kak Fendi dan Putri berjalan di belakang kami. Kami duduk berlima di satu deret. Heri, kak Aldi, kak Fendi, Putri, lalu aku. Aku dan Heri terpisah cukup jauh. Sesekali aku mencoba meliriknya, namun dia begitu fokus pada layar bioskop. Aku mencoba mengiriminya pesan diam-diam, tapi dia tak terlihat membacanya. Wajahnya masih penuh kesal. Tapi kenapa? Apa dia marah pada ku? Kenapa? Bukankah tadi aku sudah mengiriminya pesan penjelasan?
Selama sekitar dua jam aku tidak sedikitpun memperhatikan alur cerita film di depanku. Aku sangat terganggu oleh pikiranku. Bagaimana cara membuatnya tidak kesal lagi. Dan yang lebih penting, kenapa aku juga jadi kesal begini?
Akhirnya film ini pun berakhir. Kami semua berjalan menuju pintu keluar. Saat itu aku mencoba mencari cara untuk dapat berkomunikasi dengan Heri, tapi sayang, kedua kakak kami masih ada di tempat yang sama. Kami tidak bisa menghindar, terlebih karena Heri tidak ingin mengikutiku. Kami pun melanjutkan dengan melihat-lihat sepatu. Di sana kami benar-benar tidak punya peluang untuk sekedar berbisik-bisik hingga kak Fendi menginterupsi.
“Di, temenin gue ke toilet yuk,” ucap kakakku. Dia mengajak kak Aldi menemaninya ke toilet. Entah kenapa kak Aldi mau-mau saja. Padahal pergi ke toilet kan bisa sendiri saja. Tapi bukankah hal ini sangat baik? Aku bisa berbicara dengan Heri setelah mereka pergi. Kedua orang itu pun dengan segera menuju toilet. Aku dengan cepat menghampiri Heri yang mencoba menjauh. Aku menggenggam tangannya dengan erat. Tak peduli dilihat oleh Putri karena putri pernah tahu tentang hubungan kami meski dia tidak mengenal Heri.
“Kamu kenapa sih?” tanyaku memohon. Aku benar-benar bingung dengan tingkahnya.
“Lo ngomongin apa sih?” katanya berpura-pura.
“Her!” panggilku memelas. “Aku salah apa sama kamu? Apa karena tadi pagi? Tadi ada kakakku, aku gak berani ngangkat telpon kamu. Aku juga udah ngirim pesan kan ke kamu. Tapi kalau kamu masih marah aku minta maaf.” Aku berusaha keras membujuknya. Sementara dia nampak berat menerima kata-kataku.
“Maaf buat apa sih?” katanya masih tidak ingin membalas tatapanku.
“Maaf buat kesalahanku. Please, kamu jangan marah lagi, kakakku datang bentar lagi,” ucapku memohon.
“Memang kesalahan Lo apa sih? Lo gak punya salah sama gue,” katanya dengan Lo-Gue yang cukup menyakitkan di telingaku. Tapi aku harus menjawab apa? Kesalahan apa yang sudah aku lakukan?
“Aku gak tahu aku salah apa yang pasti aku minta maaf udah bikin kamu marah.”
“Kalau lo gak tahu apa salah lo, buat apa minta maaf?” tanyanya masih tak mau kalah. Tapi dia benar. Apa gunanya aku minta maaf kalau aku gak tahu aku salah apa?
“Tapi Her,,” kataku terpotong.
“Mbak, ini ada ukuran lebih kecil, gak?” katanya menghindariku.
“Heri!” kataku sedikit kesal. Suaraku meninggi. Beberapa mata di dekat kami sontak langsung menatap kami. Dia berbalik menatapku.
“Lo kenapa sih? Bukannya kita gak saling kenal?” katanya berbalik kesal kepadaku. Aku sangat bingung. Heri gak mungkin sesensitif ini. Dia bukan tipe orang yang bakalan marah dengan segitu gampangnya. Dia juga tahu kalau aku masih belum berani mengakui hubungan kami dan dia selalu memakluminya. Tapi kali ini, apa iya dia semarah itu?
Aku masih diam di tempatku berdiri. Kata-kata Heri yang lain dari biasanya membuatku mematung tak bergerak. Heri, setelah mengatakan itu, langsung pergi dengan cepat. Kak Fendi dan kak Aldi yang baru saja datang dari toilet tidak aku hiraukan. Mereka menanyakan banyak hal dan yang menjawabnya adalah Putri. Putri hanya menjelaskan sedikit, bahwa kami berdua berbicara hal-hal yang dia tidak mengerti lalu tiba-tiba Heri pergi.
Kak Fendi dan kak Aldi menatapku yang terdiam. Aku kesal. Kesal pada diriku sendiri dan kesal pada keadaan ini. Kenapa aku tidak tahu apa yang terjadi pada Heri dan kenapa dia sampai semarah ini padaku. Tak ada yang lain lagi, yang ada dalam pikiranku hanya perintah untuk mengejarnya. Ya, aku mengejarnya. Meninggalkan kakakku yang mungkin akan mulai curiga kepada kami. Biarlah. Aku hanya tak ingin sampai berpisah dengan Heri. Aku tidak mau dia marah padaku lebih lama lagi. Rasanya sesak. Sangat sesak.
Kiri kanan aku mencari Heri di tempat parkir, namun dia sudah tidak ada. Kulihat di pintu keluar, dia ada di sana, sedang memacu motornya dengan kencang. Aku segera berlari keluar dan memanggil Taksi untuk mengejarnya. Sayangnya jalanan begitu ramai. Kami yang menggunakan mobil tak bisa berbuat banyak hingga Heri terlepas dari pengamatanku. Aku melemas. Tapi tak patah arah, aku meminta pak supir untuk menuju ke alamat rumahnya.
Sampai di sana aku tak menemukan siapa-siapa. Rumahnya dikunci. Bel yang aku tekan berkali-kali tak kunjung mendapat jawaban. Jika dia ada di dalam, mungkin dia sedang melihatku. Aku pun berteriak memanggilnya. Meminta maaf dan membujuknya. Aku ingin mengajaknya berbaikan dulu, dan aku akan siap untuk mengatakan tentang hubungan kami pada orang tuaku. Kuharap itu yang dia inginkan meski terdengar tidak mungkin untuk sosoknya yang tak pernah menuntut apapun sebelumnya.