Cowok Cantik Part 18
Hari berlalu dengan lambat. Aku memikirkan banyak hal tentang apa yang telah kami lakukan. Orang tua Dika mencarinya kemana-mana. Namun untungnya mereka tidak mencarinya ke rumah Caca. Tentu saja. Orang tuanya Caca kan juga tidak menerima Dika, jadi bagaimana Dika bisa ada di sana.
“Guys, kayaknya cara kita kemarin salah,” ucapku sedikit merasa bersalah di depan Heri dan Caca. Namun mereka berdua tetap mendukungku. Sebab mereka sendiri tidak tahu cara lain selain ini. Jika para orang tua tak bisa dibujuk dengan halus, maka mereka perlu diberi pengertian. Entah itu dengan cara yang lebih dewasa atau pun dengan cara yang kekanak-kanakan seperti kami ini. Kami hanya memilih apa yang telah digambarkan oleh otak kami. Hingga suatu suara memanggilku dari samping.
“Sandi, Lo dipanggil Kesiswaan,” ucap seseorang padaku. Kami bertiga pun pergi memenuhi panggilan itu. Di sana kami melihat mamanya Dika yang sedang berdiri bersama suaminya. Mendadak aku gematar. Aku takut hal ini akan melebar dan menjadi masalah besar. Tapi Heri menggenggam pundakku dan menenangkanku. Aku meliriknya dan ia membalasku dengan tersenyum. Seakan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku pun memilih percaya.
“Permisi, Pak!” Aku menyahut sopan.
“Sandi, ini ada orangtuanya Dika nanyain Dika. Kamu tahu dia kemana?” ucap Bapak Wakil Kepala Sekolah kepadaku. Aku melirik Heri dan ia menginterupsi. Sementara aku menunduk karena takut melihat wajah orang tua Dika.
“Dika sekarang ada di rumah saya, Pak. Nanti saya akan memintanya untuk pulang. Atau jika dia tidak mau, saya akan membawa orang tua Dika untuk bertemu dengannya di rumah saya.” Jawab Heri dengan tenang. Aku tidak tahu dia akan menjawab seperti itu.
“Caca,, kamu ada waktu sebentar, Nak?” ucap seseorang yang sedari tadi tidak berani aku lihat. Ia ingin berbicara berdua dengan Caca. Aku dan Heri berbicara dengan ayahnya Dika. Sementara pak Wakasek memohon diri untuk mengikuti rapat. Kami pun menjelaskan semuanya kepada bapaknya Dika. Beliau terlihat sangat tenang dan baik hati. Beliau pun menjelaskan kejadiannya kepada kami.
Dulu mamanya Dika pernah menjadi ketua arisan di tempat arisannya. Suatu waktu ketika arisannya sudah mau dibuka, mamanya Dika jatuh sakit. Beliau tidak bisa ikut arisan. Lalu menitipkan uang arisan ke teman dekatnya dan memintanya untuk menggantikannya. Sayangnya, temannya itu kabur membawa uang mereka. Nah, ibu-ibu arisan yang lain jadi kesal sama mamanya Dika. Termasuk mamanya Caca.
Uang yang dikumpulkan masing-masing anggota arisan terbilang cukup besar, yakni 3 juta dan totalnya sampai 30 juta. Saking emosinya, ibu-ibu itu malah menyalahkan mamanya Dika dan yang paling depan di barisan itu adalah mamanya Caca. Beliau sampai menuduh mamanya Dika kerjasama sama temannya itu untuk membawa kabur uang itu. Padahal si yang katanya teman tadi itu baru kenal enam bulan sama mamanya Dika. Dia itu cuma tetangga yang tinggal di kontrakan samping rumahnya Dika. Mamanya Dika juga tidak tahu kalau dia itu penipu. Soalnya perempuan itu juga yang mengajak mamanya Dika bikin arisan.
Nah, meskipun kasus itu berujung damai karena mamanya Dika tak terbukti bersalah, teman-teman satu arisannya rata-rata masih menyimpan dendam pada mamanya Dika. Mamanya Dika yang awalnya merasa bersalah, akhirnya ikutan dendam juga karena tak tahan disudutkan oleh teman-temannya. Terutama oleh mamanya Caca. Akhirnya sampai sekarang mereka masih tak bisa bertemu satu sama lain, apalagi saling bicara.
Setelah selesai bicara, orang tua Dika langsung pulang. Rencananya sepulang sekolah kami akan mengantar Dika untuk pulang ke Rumahnya. Besok kami juga akan ikut pertemuan dua keluarga. Rasanya kami sudah merepotkan banyak orang. Aku berharap Caca dan Dika pada akhirnya akan menikah dan menjalani kehidupan cinta mereka dengan bahagia. Sebab perjuangan mereka cukup besar untuk itu.
Sekarang tinggal aku dan Caca. Heri sudah kembali ke kelasnya. Ku lihat raut wajah Caca agak cemas. Itu sedikit membuatku bingung. Harusnya dia merasa senang dengan perubahan baik yang dilakukan oleh orangtuanya Dika.
“Ca, kamu kenapa?”
“Aku takut, San.” Dia menghadap ku. Wajahnya benar-benar cemas.
“Hanya untuk memperjuangkan keegoisanku, orang tua kami harus bertemu dan membicarakan masa lalu mereka yang tidak enak. Aku sudah menyeret orang tua ku terlalu jauh demi keinginanku untuk bersama dengan Dika. Bagaimana jika setelah ini aku dan Dika tidak berakhir bahagia?” ucapnya menjelaskan beban pikirannya yang tidak jauh beda dengan yang ada di pikiranku.
“Memangnya kamu mau berakhir tidak bahagia dengan Dika?” ucapku menghiburnya.
“Bukan begitu maksudku.”
“Iya, aku tahu. Jika itu yang mengganggumu, coba kamu pikirkan, masalah di antara kedua orang tua kalian apa memang tidak sebaiknya diselesaikan? Ada atau tidaknya hubungan kalian, mereka sudah sewajarnya menghentikan perseteruan mereka. Jadi untuk besok, kita anggap saja itu urusan mereka.” Itu yang aku ucapkan. Tapi aku tahu, melakukannya tidak semudah itu.
“Tapi..”
“Udah, gak ada tapi-tapian. Kita juga harus egois sekali-sekali,” kataku sambil tertawa ringan dan merangkulnya. “Lagipula, kan ada gue besok yang nemanin Lu.” Lanjut ku sedikit memastikan.
“Oh iyah, gimana sama kamu? Apa kamu akan baik-baik aja sama mama kamu?” Aku berhenti. Pertanyaan itu membuatku tersadar. Apa yang aku lakukan besok?
“San?”
“Ah iyah. Itu,, Lu tenang aja, gue akan urus itu abis pulang dari rumah Lu,” ucap ku memberi tampang paling santai yang aku bisa. Beban memang, tapi aku harus bisa menyingkirkan kekhawatiran temanku ini.
Hingga hari berlalu dan kami siap untuk kisah kami sendiri...