Cowok Cantik Part 14
Aku Sandi. Cowok cantik yang tidak suka dipanggil cantik. Setelah beberapa masalah terjadi karena aku tidak terima dianggap penyuka sejenis, aku pun jatuh cinta pada seorang laki-laki yang juga menyukaiku. Kini aku sudah benar-benar menjadi penyuka sejenis. Sayangnya, cinta yang baru mekar itu mungkin akan patah kembangnya. Karena di sana ada mamaku yang sudah berdiri dengan satu pertanyaan yang amat-sangat sulit.
“San, Heri itu siapa?”
Aku terdiam. Hanya bisa diam. Aku tak tahu harus jawab apa. Aku takut kalau mamaku sudah tahu, tapi aku malah menjawabnya dengan kebohongan, itu akan membuatnya sangat kecewa. Tapi jika dia belum tahu dan aku menjawab pertanyaannya dengan jujur, aku akan ketahuan.
“San?”
“Iya, Mah?” jawabku pura-pura bingung.
“Heri itu siapa?”
“Heri itu temennya abang, Mah,” ucap seseorang yang bukan aku.
“Ooh.. Ini tadi mama mau nyimpen sarapan kamu di sini, terus hapemu bunyi. Mama lihat, udah mati aja. Udah gih, kamu ganti baju dulu. Abis itu sarapan. Mama mau keluar.” Aku mengangguk. Lega rasanya. Sedikit senyum aku sembunyikan darinya.
Setelah mamaku keluar, seseorang yang tadi membantuku, menatapku sejenak dan ikut pergi.
“Nanti Putri mau ngomong sama Abang,” katanya dan berlalu.
Aku kembali tersentak. Kenapa ekspresinya serius begitu? Apa dia sudah tahu?
Aku pun lanjut memakai pakaianku. Menatap diriku di depan cermin. Apa aku sudah cukup tampan? Hah,,, senang sekali rasanya ingin bertemu pacar. Pacar yang manis. Sekilas teringat sentuhan bibirnya di bibirku. Aku jadi teringat pada seseorang yang juga pernah merasakan bibirku. Rama.
Tok Tok Tok,,
Seseorang mengetuk pintu. Itu mungkin Putri.
“Masuk!”
Cklk.. Ya, itu Putri. Aku menunggunya dengan wajah tenang dan sedikit senyuman ringan. Dia awalnya menunduk. Kemudian mengangkat wajahnya. Sedikit masam dan lesu.
“Maaf, Bang! Tadi Putri masuk kamar Abang. Putri lihat ada pesan. Abang mungkin lupa ngunci hape Abang. Dan Putri juga udah lancang misscall kak Heri. Putri baca semua pesannya dan gak percaya. Makanya Putri mau mastiin. Tapi Putri denger ada suara orang di luar. Terus hape abang Putri kunci. Putri keluar dan mama masuk,” terangnya gugup. Dia pasti merasa bersalah dan takut.
Sejenak aku tidak tahu harus berkata apa, tapi melihat ekspresinya yang begitu murung, aku jadi tidak tega dan mulai menenangkannya.
“Gak apa-apa kok, Put. Tadi kamu kan juga udah bantuin kakak. Sekarang, kasih tahu kakak, gimana pola hapenya.” Dan dia tersenyum. Dia mengambil ponselku dan menekan-nekannya. Aku sendiri tidak menyentuh ponsel itu setelah mamaku tadi menanyakan tentang Heri. Ternyata begitu jalan ceritanya. Aku hanya mengamati Putri sambil berpikir yang tidak penting.
“Oh iya, jangan sampe ketahuan mama yah,” kataku sebelum kami berpisah. Putri kembali ke kegiatannya menyiapkan bahan kerja kelompok bersama teman-temannya dan aku pergi menjemput Heri untuk bertemu Rama.
Brmm...
Dia tersenyum. Dia memakai jaket denim dengan dalaman hijau dan jeans berbahan denim juga, manis kelihatannya. Sementara aku memakai kaos putih dengan luaran semi jeans dengan warna biru cerah bercampur putih. Celana semi jeans berwarna putih. Biar lebih adem dan segar kelihatannya. Karena hari ini cuaca terasa sangat panas.
“Kita ke mana?” tanyanya saat sampai padaku.
Aku sedikit mengambil napas dengan berharap dia tidak akan marah aku ajak bertemu Rama.
“Ketemu Rama,” kataku menunggu-nunggu ekspresi wajahnya.
Wajahnya sedikit berubah, tapi dia tetap tersenyum. Kami pun melanjutkan perjalanan kami. Kali ini aku yang membawa motor dan dia duduk di belakangku. Jadi begini yah rasanya dipeluk dari belakang saat seperti ini. Rasanya sangat menyenangkan. Dan aku mengambil kesimpulan bahwa aku akan selalu memeluknya jika aku duduk di belakangnya.
Tok Tok Tok..
Aku mengetuk pintu kamar inap Rama. Ternyata dia masih ada di sana. Bersama mama dan papanya. Kami pun masuk dan menyalami kedua orang tua Rama. Sayangnya ada yang aneh dengan papanya Rama. Beliau suka sekali melirik ke arahku dan Heri. Entahlah, mungkin dia curiga pada kami. Tapi bagaimana itu mungkin? Ah, yang pasti beliau itu tampan dan menurun ke Rama.
Kami pun membantu membawakan barang Rama ke mobilnya. Setelah itu kami bersama-sama ke rumahnya Rama. Rama sekeluarga menggunakan mobil, aku dan Heri menggunakan motor.
Setelah sampai di sana, kami sejenak mengobrol-ngobrol sambil makan-makan. Ya, sedikit bersenang-senang atas kepulangan Rama dari rumah sakit. Sampai akhirnya orang tua Rama lagi-lagi dipanggil oleh pekerjaan mereka yang super padat. Mereka menitipkan Rama kepada kami dan berpesan untuk membuat anaknya bahagia. Sejenak, itu menyentuhku. Tapi sebaliknya, itu juga menggangguku. Karena kedatanganku kemari pada hari ini kurang lebih akan membuatnya terluka jua pada akhirnya.
“Ram, gue mau ngasih tahu lo sesuatu,” kataku mencoba lembut.
“Apa? Ngomong aja,” ucapnya enteng. Sambil tersenyum, dia menatap tepat di mataku. Dan aku melirik sedikit ke arah Heri yang ada di sampng kananku. Sementara Rama ada di depanku, dihalangi oleh meja. Heri yang tidak tahu apa-apa merasa terkejut saat aku mulai menarik tangannya dalam genggamanku.
“Gue sama Heri udah pacaran.”
Dan deg deg deg.. Bening kristal Rama membulat.