Cowok Cantik Part 12
Aku sedang memeluknya. Tanpa rasa khawatir, tanpa rasa takut. Entah ini disebut apa. Perasaanku padanya, mengalahkan semua beban yang ada dalam pikiranku. Semua beban yang mencoba memberi batas antara aku dengannya.
Nyaman. Hangat. Berdetak kencang. Berdebar. Dan menyatu. Itulah yang aku rasakan waktu memeluknya dengan erat. Aku menikmati setiap saatnya. Menikmati detak jantungnya yang dirasakan oleh tanganku. Merasakan desiran aliran darahnya yang memanas. Dan mencoba membiarkan dia ikut merasakan apa yang aku rasakan. Begitu hangat dan tak ingin aku akhiri.
Her, kenapa kita bisa begitu dalam? Kenapa cintaku sama kamu bisa begitu dalam? Padahal seharusnya kita berdua gak boleh memiliki perasaan ini. Tapi kenapa aku pengen selalu bisa meluk kamu seperti ini? Pengen selalu di dekat kamu seperti ini. Aku pengen kita berdua selamanya seperti ini. Tanpa campur tangan dunia. Tanpa campur tangan waktu. Tanpa campur tangan akal sehat. Tanpa campur tangan kenyataan. Yang ada hanya kita. Hanya cinta kita.
“I Love you, San.”
“Hah?”
Dia berbisik padaku. Membuatku terkejut. Tapi aku tak mendengarnya dengan jelas. Apa yang dia katakan barusan?
“Kamu bilang apa?” tanyaku kembali.
“Kita udah sampai.”
“Ooh..” ucapku mengangguk. Sejujurnya aku masih belum sadar betul. Sampai aku mulai melihat di sekelilingku.
Kami berada di puncak. Tempat ratusan pasang cinta berdiri bersama untuk menikmati indahnya bintang-gemintang. Tempat yang harus pernah dikunjungi dua sejoli yang memadu cinta. Oh Tuhan, kami benar-benar sudah jatuh cinta.
Dia tersenyum. Dan aku hanya membalasnya. Tak banyak kata yang ingin aku keluarkan saat ini. Hanya ingin bersamanya. Menikmati saat-saat berdua ini sebelum kesadaran membangunkanku.
“Makan, yuk!” katanya masih penuh dengan senyuman.
“Ayo! Kita makan apa?”
“Jagung bakar?”
“Boleh.”
Kami pun memesan jagung bakar dan wedang panas untuk menghangatkan diri. Setelah semua itu kami duduk sebentar untuk menikmati bintang lebih lama. Dan di situ, aku mendapat kejutan yang lain lagi.
“San?”
“Yah?”
“Kamu cantik banget,” katanya tersenyum. Aku senang mendengarnya. Sangat senang. Pertama kali aku begitu senang disebut cantik oleh orang lain. Tapi,,
“Pake kata yang lain napa?” kataku menggodanya.
Dia sedikit terkekeh. “Aku suka lihat kamu malam ini. Manis,” katanya sekali lagi.
Aku hanya bisa tersenyum. Tersipu dengan hati yang berdebar-debar. Hah,, sungguh hari yang menyenangkan.
“Kamu belum balas loh,” katanya melihatku yang asik tersipu.
“Iya, kamu juga.” Dan aku berhasil. Membuatnya semakin sumringah. Tersenyum tanpa henti. Oh Tuhan, inikah cinta?
“Jalan yuk!” ajaknya berdiri.
“Kemana?” tanyaku mengikutinya.
“Udah ikut aja. Di sini terlalu rame,” katanya sambil berjalan.
Yah, seperti katanya, di sini terlalu ramai. Meskipun kami sejujurnya tidak terlalu peduli pada pemikiran orang. Toh, dua orang laki-laki berjalan bersama tidak ada salahnya. Lagipula tidak ada orang yang mau menyibukkan dirinya untuk memperhatikan kami di sini. Mereka semua sibuk dengan pasangan mereka sendiri.
“Kita sampai,” katanya saat kami sampai ke tempat yang ia katakan.
“Kuburan?” aku bertanya padanya. Ya, kuburan. Heri membawaku ke sebuah kuburan yang dekat dengan puncak. Dekat sebuah vila. Tanpa berkata, ia menarik tanganku dan berjalan semakin dalam. Hingga di sana ada sebuah nisan bertuliskan nama seorang wanita dengan kelahiran 1946 dan waktu kematian 2014.
Aku mengamati raut muka Heri. Dia masih setia tersenyum. Tapi ada sedikit goresan rindu di sana. Dia terduduk dan membuatku ikut terduduk. Kulihat, di atas tanah itu ada beberapa bunga segar. Sepertinya baru ada yang meletakkannya di sana.
“Nek, aku datang lagi. Hari ini aku bawa dia. Orang yang aku suka. Kalau nenek di sana bisa melihatnya, tolong ingat wajahnya baik-baik, Nek. Bantu Eri jagain dia.” Heri mengusap-usap nisan itu seperti sedang membelai surai neneknya. Tanpa sadar aku menarik tangannya dan aku mengecupnya hingga Heri mengarahkan pandangannya padaku. Ia menarik tanganku kembali dan mengecupnya erat. Darahku berdesir melihatnya mencium tanganku. Hingga ia mengangkat wajahnya dan menatap mataku.
Cup..
Dalam dan mesra. Kami berciuman di hadapan neneknya. Dalam kekalutan pikiran yang menendang-nendang. Dalam ironi yang kami sembunyikan di dalam dada masing-masing. Dalam penyatuan yang kami harap dapat menguatkan kami. Dalam rasa yang mulai berirama. Aku berbisik dalam hati, “Aku sayang kamu, Her.”