Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cowok Cantik
MENU
About Us  

Cowok Cantik Part 8

"Den Rama? Den Ramanya masih di rumah sakit, Den." Brug! Seperti ditinju tepat di uluh hati. Rasanya sangat menyakitkan.

"Rama di rumah sakit? Sejak kapan, Bi?" susah payah aku menanyakan itu. Wajahku tertekuk menahan rasa sakit di dadaku. Lututku juga hampir ambruk, tapi aku berusaha kuat dengan menggenggam erat tangan Heri. Aku tak tahu apa yang sekarang sedang dia pikirkan. Tapi aku butuh dia, butuh kekuatannya.

"Sudah dua hari, Den. Mag kronisnya kambuh. Soalnya pas pulang dari sekolah hari rabu, den Rama ngurung diri di kamar. Besoknya bibi lihat den Rama pulang sekolah jam 8 pagi. Terus ngurung diri lagi. Den Rama gak makan apa-apa selama dua hari, Den. Malamnya mama sama papanya maksa masuk kamar sampe didobrak. Eh, taunya Den Rama udah pingsan."

Hampir, hampir saja aku jatuh pingsan. Tangan Heri dengan cepat menopang punggungku dan membantuku berdiri. Kepalaku berat. Pusing seketika melandaku. Hancur semua, semua ini karenaku. Aku yang menyebabkan Rama masuk ke rumah sakit. Aku tak sempat melihat bagaimana ekspresi bibi yang ada di depan kami ini. Pun, hanya sedikit aku melihat wajah Heri yang tampak sangat cemas memandangku. Kudengar bibi bertanya khawatir pada keadaanku. Dan sepertinya Heri menjawab bahwa aku baik-baik saja.

"Dia tidak apa-apa, Bi. Terima kasih sudah memberi tahu kami. Saya akan membawanya menemui Rama. Kalau begitu. Kami pamit dulu." Heri memberi hormat pada pembantu Rama. Ia mengangkatku, menuntunku kembali ke motor besarnya. Aku hanya sempat melirik merendahkan diri pada pembantunya Rama. Tak berenergi untuk menyapa lebih.

"Tenang, San! Rama pasti udah baik-baik aja kok. Gue ada di sini," lanjutnya menarik tanganku dengan sebelah tangannya. Ia menggenggamnya kuat seakan mengalirkan kekuatannya untukku. Sementara aku masih sulit mengendalikan diriku. Ada rasa syok yang amat mengguncang batinku. Pikiranku melanglang menyakiti diriku sendiri.

"Ini semua karena gue, Her. Karena gue.." Aku bergumam dan mulai menerang di telinga Heri.

"Lo jangan mikir kayak gitu, San! Jangan! Sekarang dia udah di rumah sakit. Dia pasti bakal baik-baik aja. Lo gak usah mikir yang macem-macem! Please!!" Heri memelas memintaku tenang. Aku tak menjawab. Meskipun Heri benar, tapi rasa terkejut ini masih sulit aku kalahkan.

Setelah tiba di tempat Heri memarkir motornya, ia menggenggam kedua tanganku dan masih memintaku untuk tenang. Aku mengangguk lemas pada akhirnya. Aku menuruti kemauannya agar menjadi lebih tenang. Lagipula, tak ada baiknya aku ikut ambruk sekarang. Yang perlu aku lakukan adalah bertemu Rama dan meminta maaf padanya. Heri mengusap lembut pucuk rambutku dan naik menyiapkan motornya. Ia menungguku naik dan memintaku berpegangan yang erat.

"Kami mencari pasien atas nama Rama Herlambang, dimana yah, Sus?"

"Pasien atas nama Rama Herlambang ada di kamar 207. Naik lift ini, terus belok kanan," terang seorang resepsionis menunjuk sebuah lift yang terletak beberapa meter di samping kanannya.

Tanpa berbicara lagi Heri langsung menarikku kesana. Sejak dari rumah Rama, Heri hampir tak pernah melepaskan tangannya dari tanganku. Dia hanya melepasku saat harus memegang kedua setir motornya saja. Bahkan di sela laju motornya, ia masih sempat mencari-cari tanganku. Dan aku, aku membiarkannya saja, karena aku merasa membutuhkannya.

Sekarang kami sudah di depan kamar 207. Kamar yang menampung Rama saat ini. Perlahan tapi pasti Heri mulai melepaskan tanganku. Aku menatap matanya seakan mengadu bahwa aku tak berani. Aku belum siap melihat Rama sekarang. Aku benar-benar tak berani. Mau tak mau Heri kembali bersuara. Ia mulai berbisik kepadaku, dengan suara yang amat pelan.

"San, dengarin gue! Rama di sana membutuhkan lo. Dia gak pernah benci sama lo. Lo tahu itu, kan?" katanya menguatkanku. Kini ia kembali menggenggam kuat lenganku. Sambil mengatur nafas, aku mengangguk pelan. Mengiyakan bisikannya.

"Sekarang lo masuk, jujur sama diri lo sendiri, jujur sama dia, katakan apa yang mau lo katakan! Jangan memendam apapun sama dia. Tapi berusahalah untuk mengatakannya dengan tenang. Oke? Lu siap?" aku hanya bisa menarik nafasku dalam-dalam. Sampai akhirnya,

Tok Tok Tok.. Heri mengetuk pintu kamar itu dan mendorong ku masuk sendirian. Awalnya aku malu, tapi aku berhasil menguasai diri.

Di sana ada Rama dan mamanya. Aku lihat Rama sangat terkejut melihat aku di sini. Sementara mamanya menatap aneh melihat tingkahku. Beliau mengamatiku dari bawah sampai ke atas.

"Siang, Tante! Saya Sandi, teman PMR-nya Rama di sekolah," ucapku memperkenalkan diri dengan gaya yang kubuat sebiasa mungkin meski masih sedikit terbata-bata. Aku tak mau mamanya curiga tentang hubungan kami. Dan kurasa memang begitu hasilnya, kuharap.

"Oh, temannya Rama! Kok sendirian?" sambut beliau menjabat tanganku sambil melesakkan satu pertanyaan yang sangat sulit untuk aku jawab.

"A,, Anu Tante, itu.. Uhm.."

"Ma,” Rama menyahut mengalihkan perhatian mamanya.

“Rama mau ngobrol berdua sama Sandi bentar, boleh? Mama juga belum makan siang, kan? Makan dulu aja, mah! Ntar mama sakit lagi. Ntar kalau Sandi udah mau pergi, Rama sms mama, yah?" pinta Rama membujuk mamanya.

Baru kali ini aku dengar cara ngomong Rama sama orang tuanya. Ternyata dia sayang banget sama mamanya. Begitu pula sebaliknya. Mereka kelihatan akur dan harmonis, tidak seperti aku sekarang dengan mamaku.

"Yaudah sayang, mama pergi yah. Kalau ada apa-apa, langsung telpon mama! Oke?"

"Siap, Mah!" sahut Rama lega. Satu ciuman di keningnya tanda kasih sayang tulus dari mamanya aku saksikan dengan takjub. Iri rasanya melihat itu dengan begitu dekat.

Sekarang mamanya Rama sudah pergi. Tapi aku masih diam. Lidahku kelu. Aku tidak tahu harus mengatakan apa terlebih dulu. Aku menunduk menatap lengan Rama yang tersambungkan selang infus. Tidak berani memandang wajahnya, apalagi menatap matanya. Perlahan aku beranikan diri memegang tangannya. Awalnya hanya mencoba menyentuh. Akhirnya aku malah mencekramnya dengan erat.

"Maaf, San!"

"Shh.!" tangan ku menghentikan kata-katanya. Telunjukku ada di sana. Menempel dengan bibir pucatnya. Lama. Seakan aku mulai memberinya kesempatan untuk merasakan kecupan telunjukku.

"Kenapa lo gak ngangkat telpon gue? Kenapa lo malah sakit-sakitan di belakang gue? Kenapa lo setega itu ninggalin gue dengan semua hasil kerjaan lo yang gak waras itu? Kenapa lo gak ngasih gue kesempatan buat ngomong sama lo? Kenapa lo setega itu bikin gue ngerasa bersalah? Kenapa lo mengutuk diri lo sendiri cuma buat gue? Kenapa lo menyiksa diri lo sendiri? Kenapa lo selalu nyakitin gue? Kenapa?" Aku mulai nangis. Entah darimana datangnya semua kata-kata dan air mata itu. Aku tak tahu. Aku hanya tahu, aku sudah mengatakannya. Dan Rama terkejut mendengarnya.

"Maaf, San,,"

"Shh,, diem!" ucapku sekali lagi mengandalkan telunjukku.

"Kenapa lo selalu minta maaf ke gue? Seharusnya gue yang minta maaf sama lo. Gue udah bikin lo jadi seperti in.." Cup..

Sandi terdiam. Ya, aku terdiam. Rama mencium bibirku di tengah kata-kataku.

"Gak ada maaf lagi. Oke?"

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Salju di Kampung Bulan
2149      984     2     
Inspirational
Itu namanya salju, Oja, ia putih dan suci. Sebagaimana kau ini Itu cerita lama, aku bahkan sudah lupa usiaku kala itu. Seperti Salju. Putih dan suci. Cih, aku mual. Mengingatnya membuatku tertawa. Usia beliaku yang berangan menjadi seperti salju. Tidak, walau seperti apapun aku berusaha. aku tidak akan bisa. ***
déessertarian
6225      1918     4     
Romance
(SEDANG DIREVISI) Tidak semua kue itu rasanya manis. Ada beberapa yang memiliki rasa masam. Sama seperti kehidupan remaja. Tidak selamanya menjadi masa paling indah seperti yang disenandungkan banyak orang. Di mana masalah terbesar hanya berkisar antara ujian matematika atau jerawat besar yang muncul di dahi. Sama seperti kebanyakan orang dewasa, remaja juga mengalami dilema. Ada galau di ant...
Last Game (Permainan Terakhir)
489      334     2     
Fan Fiction
Last Game (Permainan Terakhir)
NI-NA-NO
1505      700     1     
Romance
Semua orang pasti punya cinta pertama yang susah dilupakan. Pun Gunawan Wibisono alias Nano, yang merasakan kerumitan hati pada Nina yang susah dia lupakan di akhir masa sekolah dasar. Akankah cinta pertama itu ikut tumbuh dewasa? Bisakah Nano menghentikan perasaan yang rumit itu?
As You Wish
410      291     1     
Romance
Bukan kisah yang bagus untuk dikisahkan, tapi mungkin akan ada sedikit pelajaran yang bisa diambil. Kisah indah tentang cacatnya perasaan yang biasa kita sebut dengan istilah Cinta. Berawal dari pertemuan setelah 5 tahun berpisah, 4 insan yang mengasihi satu sama lain terlibat dalam cinta kotak. Mereka dipertemukan di SMK Havens dalam lomba drama teater bertajuk Romeo dan Juliet Reborn. Karena...
Attention Whore
255      211     0     
Romance
Kelas dua belas SMA, Arumi Kinanti duduk sebangku dengan Dirgan Askara. Arumi selalu menyulitkan Dirgan ketika sedang ada latihan, ulangan, PR, bahkan ujian. Wajar Arumi tidak mengerti pelajaran, nyatanya memperhatikan wajah tampan di sampingnya jauh lebih menyenangkan.
3600 Detik
3059      1114     2     
Romance
Namanya Tari, yang menghabiskan waktu satu jam untuk mengenang masa lalu bersama seseorang itu. Membuat janji untuk tak melupakan semua kenangan manis diantara mereka. Meskipun kini, jalan yang mereka ambil tlah berbeda.
Metamorfosis
3252      1192     3     
Romance
kehidupan Lala, remaja usia belasan monoton bagaikan air mengalir. Meskipun nampak membosankan Lala justru menikmatinya, perlahan berproses menjadi remaja ceria tanpa masalah berarti. Namun, kemunculan murid baru, cowok beken dengan segudang prestasi mengusik kehidupan damai Lala, menciptakan arus nan deras di sungai yang tenang. Kejadian-kejadian tak terduga menggoyahkan kehidupan Lala dan k...
Flying Without Wings
1040      553     1     
Inspirational
Pengalaman hidup yang membuatku tersadar bahwa hidup bukanlah hanya sekedar kata berjuang. Hidup bukan hanya sekedar perjuangan seperti kata orang-orang pada umumnya. Itu jelas bukan hanya sekedar perjuangan.
Ruang, Waktu Dan Cinta
5441      1787     0     
Romance
Piya Laluna, Gadis yang riang itu berubah kala ia ditinggal ayahnya untuk selama-lamanya. Ia kehilangan semangat, bahkan ia juga jarang aktif dalam komunitas sosialnya. Selang beberapa waktu, ia bertemu dengan sosok laki-laki yang ia temui di beberapa tempat , seperti toku buku, halte, toko kue, dan kedai kopi. Dan di ruang waktu itulah yang memunculkan rasa cinta diantara keduanya. Piya yang sed...