Ada yang berbeda di hari Minggu ini.
Pukul enam pagi, Karame sudah meninggalkan tempat tidurnya yang nyaman. Dengan mengenakan pakaian olahraganya yang sewarna susu stroberi, ia melakukan peregangan otot di depan kerai Brownice yang masih tertutup. Pemandangan langka itu tentu saja menarik perhatian tetangga sekitarnya yang sedang beraktivitas pagi. Wanita paruh baya yang menenteng tas plastik penuh sayur mayur, seorang pemuda bersepeda, juga seorang gadis yang berjalan-jalan bersama anjingnya tampak melemparkan tanda tanya di wajah masing-masing.
Karame hanya membalas semua tatapan heran itu dengan senyum. Saking lebar ia tersenyum, kedua matanya hanya menyisakan sepasang garis melengkung. Matanya memang tidak sipit, tetapi pipi tembamnya yang tertekan senyum hingga batas maksimal.
Sungguh, pertemuan singkatnya dengan Reeze kemarin mampu menghapus tumpukan kedongkolannya pada Devon yang terakumulasi selama seminggu di sekolah. Sekarang tidak ada tempat untuk pikiran negatif.
Setelah otot-ototnya terasa lebih rileks, Karame mulai mengayunkan langkah pertamanya. Ia menuju ke arah berlawanan dari jalur yang biasa ia tempuh menuju sekolah. Hari ini ia menuju taman kota. Ingin memanfaatkan fasilitas lahan untuk olahraga bersama manusia-manusia penggiat hidup sehat.
Tidak bisa dipungkiri, kalimat Devon yang menyinggung tentang ukuran pipinya selama bertahun-tahun membuat Karame berpikir bahwa itu kekurangan miliknya. Tetapi kali ini, ia tidak bisa bersikap tidak peduli. Tidak setelah pertemuannya dengan Reeze. Kurang dari satu minggu, ia harus memiliki penampilan yang lebih baik. Salah satunya dengan pipi yang lebih tirus. Jadi, ia bisa lebih percaya diri untuk bertemu Reeze saat cowok itu mengambil kue yang dipesannya.
Melalui ekor mata, tiba-tiba Karame menangkap sosok yang membayangi jalur jogingnya. Untuk sedetik, matanya terbelalak saat mendapati seseorang yang tadi sempat sepintas muncul di pikirannya kini ikut berlari di sampingnya. Tetapi detik berikutnya, ia memilih bersikap masa bodoh dengan mempercepat larinya.
Cowok itu kembali muncul di sampingnya. Kali ini, kepalanya terdongak sambil celingukan seakan sedang mencari sesuatu di hamparan langit biru cerah. “Wah, kayaknya bakal ada badai, nih.”
Karame menutup rapat mulutnya, berusaha tidak terpancing.
“Tumben joging. Mau mengecilkan pipi, ya?” goda Devon dengan nada menyebalkan. “Harusnya jangan lari pakai kaki tapi pakai hidung.”
“Apa, sih? Jangan resek!” Serta-merta Karame mengernyitkan hidung saat membayangkan indra penciumannya itu bergesekkan dengan aspal.
“Enggak mau ditemanin, nih? Takutnya kamu perlu bantuan buat angkat pipimu.”
“Pergi sana!” usir Karame galak.
Devon sama sekali tidak terpengaruh. Cowok itu malah terkekeh senang, seolah-olah sikap Karame adalah salah satu adegan dalam acara lawak. “Oke. Duluan, ya, Pipao!” Ia menambah kecepatan sambil melambaikan tangan tanpa menoleh ke belakang.
Lima belas menit kemudian Karame tiba di taman kota dengan napas terengah. Bulir-bulir keringat menitik di keningnya. Ia memilih untuk beristirahat sejenak di kursi kosong terdekat. Setelah tiga tegukan besar dari botol minum yang dibawanya, ia melanjutkan kegiatan paginya.
Kaki dalam sepatunya menapak dengan tempo teratur di atas kolom berlapis konblok. Jalur yang memang disediakan untuk joging atau sekadar berjalan santai. Sementara itu, wajah Karame tidak henti menampilkan ekspresi takjub pada setiap apa yang ditangkap matanya.
Ruang terbuka hijau itu ternyata tidak hanya disesaki dengan pohon menjulang atau semak-semak bunga. Ada lapangan basket, lapangan sepak bola dalam ukuran lebih kecil, dan lapangan yang dibatasi net panjang. Sebagian menggunakannya untuk bermain voli, sementara yang lainnya asyik mengoper kok dengan raket di tangan masing-masing.
Bunyi gemericik air membelai pendengaran Karame. Ia sudah tiba di kolam air mancur yang menjadi titik pusat taman. Gelas bertangkai yang terbuat dari batu mengalirkan air yang seolah tidak ada habisnya. Beberapa lansia berkeliling dengan bertelanjang kaki sambil berpegangan pada palang yang juga memagari tanaman di sekeliling air mancur. Jalur yang memutari air mancur itu tidak dipasangi konblok melainkan batu-batu yang disusun merapat. Mungkin berjalan di sana terasa seperti sedang dipijat refleksi.
Karame menyesal karena terlambat menikmati fasilitas umum ini. Padahal suasana damai di taman membuat joging terasa menyenangkan.
Senyum di wajah Karame lenyap saat ia tiba-tiba berjongkok di tempat, membuat beberapa orang yang berjoging di belakangnya berkelok secara mendadak. Beruntung, tidak terjadi tabrakan beruntun. Hanya gerutuan sambil lalu dan decakan kesal. Cepat-cepat ia berlagak mengikat ulang tali sepatunya.
Tiga meter di depannya, Devon sedang berdiri sambil menghadap ke arah lapangan basket. Kedua tangannya disimpan ke dalam saku hoodie-nya yang sewarna loyang aluminium. Sebelum cowok itu menyadari kehadirannya, Karame berbalik tergesa dan mulai berlari ke arah berlawanan. Sebisa mungkin tidak tampak mencurigakan.
“Pipao!”
Karame hampir menghentikan langkahnya saat mendengar teriakan itu. Tetapi ia mengukuhkan hati dan terus berlari. Ia bertingkah sewajar mungkin seperti kebanyakan pelaku joging yang bisa ditemui di seluruh taman.
Tanpa terduga, Devon sudah berdiri bersisian dengannya. Ia menepuk bahu Karame dan membuat cewek itu berhenti berlari.
“Kenapa lari?”
Karame menoleh dengan gerakan kaku. “Siapa, ya?” tanyanya dengan gigi terkatup rapat. Jika jurus pura-pura-tidak-mendengar tidak cukup ampuh, mungkin pura-pura-tidak-mengenal bisa mengenyahkan cowok itu dari jarak pandangnya.
Untuk sedetik, Karame bisa melihat kening Devon mengenyit bingung. Tetapi detik berikutnya cowok itu malah tersenyum. Bukan jenis senyum lebar yang menyebalkan, melainkan hanya seulas tipis yang menarik ujung-ujung bibirnya. Seolah-olah ia sedang menahan gelitikan di perutnya.
“Devon!”
Seruan itu membuat Devon menoleh ke arah asalnya tadi. Karame sendiri, alih-alih memanfaatkan itu untuk melarikan diri, malah mengikuti gerakan Devon.
Seketika itu juga, Karame menelan ludah dengan mata melebar. Bagaikan seloyang brownies yang baru matang dari oven, cowok itu berdiri di sana. Dengan kaus hitam polos dan celana basket selutut, cowok itu mencuri perhatiannya seperti kemarin sore.
“Ikut aku,” perintah Devon yang entah mengapa dituruti Karame tanpa bantahan.
Tatapan Karame terkunci pada satu titik. Tiba-tiba brownies dalam imajinasinya terjatuh ke atas genangan lumpur saat ia melihat seorang cewek berambut sebahu dan berkulit pucat bergelayut manja di lengan Reeze.
Terlambat untuk menarik kembali niatnya untuk melarikan diri, Karame dan Devon sudah tiba di depan Reeze dan cewek itu.
“Kenalkan, nih, temanku,” ucap Devon sambil menepuk bahu Karame dengan gaya sok akrab.
Yang pertama mengulurkan tangan dan menyebutkan nama adalah Reeze. Cowok itu menatap Karame seolah ini adalah pertemuan pertama mereka. Entah mengapa, itu membuat ia merasa seolah dikhianati. Tetapi siapa juga yang akan mengingat kasir lemah otak yang baru satu kali ditemui.
Karame menjabat tangan Reeze lalu bergantian dengan cewek di sampingnya.
“Madeleine. Panggil saja Lei,” ucap cewek itu dengan suara selembut mousse.
“Karame. Panggil saja Kara.”
“Pipao.” Devon meralat tanpa diminta sehingga ia menerima hadiah berupa sikutan di tulang rusuknya. Cowok itu merunduk dengan dramatis. Tidak mengindahkan tatapan protes Karame. “Kenapa? Itu lebih baik. Nama aslimu terdengar seperti nama ikan.”
“Menurutku itu nama yang cantik, kok,” sanggah Madeleine sambil tersenyum.
Karame menyambut dukungan itu dengan suka cita. Ia membalas senyuman cewek yang namanya akan tertera di kue yang dipesan Reeze. Bergantian, ia memandangi kakak dan adik yang sama-sama memiliki warna mata cokelat gelap itu. Rasa cemburunya sudah menguap jauh ke langit.
Tiba-tiba seruan dari tengah lapangan basket menginterupsi sesi perkenalan ini.
“Nah, Pipao jaga tas teman-temanku, ya,” perintah Devon sambil menunjuk tumpukan tas di kursi taman di dekat mereka. “Dan temani pacar cantikku mengobrol,” tambahnya sambil melirik genit ke arah Madeleine.
Wajah Madeleine sontak tersipu. Cewek itu berusaha mencubit lengan hoodie Devon yang langsung berlari mencari perlindungan pada teman-temannya di lapangan. Tetapi Madeleine tidak menyerah untuk mengulang serangannya yang terhenti saat Devon menangkapnya dalam dekapan.
“Tolong rahasiakan dari Lei kalau aku memesan kue, ya. Itu untuk kejutan ulang tahunnya,” kata Reeze dengan suara setengah berbisik. Padahal tersisa mereka berdua di sana.
Seperti terhipnotis, Karame mengangguk pada suara yang semanis lelehan cokelat itu. Hatinya sudah mengembang seperti telur yang diaduk mikser saat menyadari ia sedang berbagi rahasia kecil bersama Reeze.
***
“Sudah lama pacaran sama Devon?”
“Lumayan.” Madeleine menganggut-anggutkan kepala. “Sekitar enam bulan.”
“Kok mau?”
Sebenarnya, jika Karame mau menghapus total bagian menyebalkan dari Devon, ada banyak sisi positif dari cowok itu yang membuat banyak cewek bertekuk lutut. Wajahnya tampan dengan sepasang mata tajam dengan binar humor. Tubuhnya menjulang dan atletis, berkat basket yang ditekuninya sejak di kelas tujuh. Ia juga sosok yang ceria dan pandai mengendalikan suasana, walaupun beberapa guru sering dibuat kesal karena celetukan recehnya di tengah-tengah pelajaran.
Sementara itu, cewek yang duduk di samping Karame saat ini tampak terlalu sempurna untuk menampung semua itu. Cewek itu tampak lebih pantas bersanding dengan cowok yang kalem dan protektif. Bukan dengan cowok yang slebor dan lasak macam Devon.
Mungkin memang seperti itu. Cinta selalu datang tanpa bisa diprediksi ramalan bintang.
Madeleine menggidikkan bahu. “Enggak tahu juga kenapa aku mau,” jawabnya sambil menatap ujung kelim rok selututnya. Wajahnya tampak tersipu, banyak kenangan manis yang berputar ulang di benaknya. Ia baru mengangkat wajah saat balas bertanya pada lawan bicaranya. “Kamu sendiri sudah lama kenal Devon?”
“Sebelas tahun satu sekolah.” Karame mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi. “Sampai bosan.”
“Memang dia seperti apa, sih, kalau di sekolah?” Madeleine memiringkan sedikit tubuhnya menghadap Karame. Berharap ada fakta sekecil apa pun tentang Devon yang belum diketahuinya.
“Menyebalkan. Dia sering memulai perdebatan enggak penting.” Karame melemparkan lirikan sinis pada Devon yang sedang mendribel bola menembus pertahanan tim lawan. “Terutama mengolok-olok pipiku.”
Madeleine melantunkan tawa selembut permen kapas saat menyesuaikan sosok Devon dalam bayangannya dengan yang diceritakan Karame. “Banyak yang suka, enggak? Mantannya ada berapa?”
“Kalau yang suka, lumayan banyak.” Karame ingat beberapa cewek yang berusaha mengorek informasi tentang Devon melalui dirinya. Mereka salah mengira bahwa perdebatannya dengan Devon merupakan tanda bahwa keduanya sahabat dekat. “Kalau mantan, aku enggak tahu. Kayaknya kamu pacar pertama, deh.”
Madeleine menatap Karame dengan sangsi. Yang dibalas Karame dengan keteguhan hati. Tidak ada kebohongan yang diucapkannya. Selama ini ia memang tidak pernah mendengar selentingan gosip tentang pacar Devon.
Atau mungkin ia memang kelewat tidak peduli.
“Omong-omong, ini kenapa memar?” tanya Karame saat melihat semburat keunguan di lengan Madeleine yang sedikit tertutup pakaiannya.
“Enggak tahu, nih. Tiba-tiba saja muncul. Pas tidur dicubit setan, kali,” gurau Madeleine, mejadikan mitos yang sering didengarnya sebagai bahan.
Karame tertawa kecil walaupun keningnya mengernyit. “Mungkin enggak sengaja terbentur.”
“Enggak ingat, sih. Mungkin cuma kelelahan saja.”
Tepat saat itulah Karame merasakan sesuatu yang keras menghantam tepat di wajahnya. Pekikan cemas mengantarkannya pada kegelapan total.
***
Wangi lavendel yang lembut mengusik indra penciuman Karame. Ia mencari-cari dari mana asalnya. Aroma itu perlahan-lahan menuntunnya menuju cahaya.
Karame membuka mata. Dengan cepat kembali memejam. Cahaya yang menyambutnya terlalu terang. Perlahan, ia mencoba kembali membuka mata saat ada tirai yang melindunginya.
Tirai itu berangsur menjelma siluet wajah seseorang. Walaupun samar karena membelakangi cahaya, tetapi Karame tahu itu seseorang yang dikenalnya. Suara lembut Madeleine memanggilnya dari samping di detik yang sama ia mengenali wajah itu sebagai Reeze.
“Kara?”
Begitu menggerakkan kepala, Karame baru menyadari posisinya. Ia berbaring di kursi taman berbantalkan salah satu tas yang tadi harus dijaganya. Sambil berpegangan pada sandaran kursi di sisi kanannya, ia berusaha bangkit. Ada sentuhan yang terulur untuk membantunya hingga ke posisi duduk. Yang sangat ia yakini bukan milik Devon karena suara cowok itu justru terdengar jenaka melihat keadaannya seperti ini.
“Baru kali ini aku lihat ada bola ketimpuk bola,” gurau Devon sambil cekikikan yang langsung disambut pelototan Madeleine.
“Pusing, enggak?” tanya Madeleine penuh perhatian. “Tadi mukamu kebentur bola terus mimisan.”
Secara otomatis, Karame menyentuh hidungnya lalu menatap jarinya. Sudah tidak ada cairan apa pun yang keluar dari sana. Tetapi saat melihat gumpalan tisu bernoda merah di genggaman Madeleine, ia baru bisa membayangkan apa yang tadi terjadi.
“Sudah kubilang, dia ini kuat. Pipinya ini berfungsi seperti airbag. Makanya, bola basket tadi langsung memantul lagi.” Devon masih berusaha melanjutkan lawakannya. Kali ini, ia mengulurkan jari untuk menyentuh pipi Karame.
Dengan sigap, Karame menepis tangan Devon sebelum sempat mengenai targetnya. Ia berdecak kesal sambil memelesatkan tatapan setajam ujung-ujung trisula.
“Maaf, ya. Tadi aku yang melempar bola.” Suara Reeze sarat dengan penyesalan. Ia tidak menyangka bola itu meleset ke sudut papan ring dan memantul keras ke arah Karame.
Ekspresi Karame langsung berubah seperti ada topeng bongkar pasang di wajahnya. Sekarang ia sedang memberikan senyum terbaiknya kepada Reeze. Tidak ada sedikit pun jejak kekesalan pada Devon yang tadi hinggap di sana. Ia menggangguk sebagai tanda bahwa ia tidak marah pada ketidaksengajaan Reeze padanya.
“Aku antar pulang, ya?” Reeze menawarkan diri dengan raut khawatir seperti yang ditunjukkan Madeleine.
Lagi-lagi, Karame hanya menjawab dengan anggukan kepala.
***
Reeze menghentikan sedan putih miliknya di depan Brownice yang masih belum beroperasi. Setiap hari Minggu, toko itu memang buka lebih siang dan tutup sebelum matahari terbenam. Karame menghidu dalam-dalam wangi lavendel yang mengisi sekitarnya. Wangi yang sama dengan yang tadi menuntunnya untuk bangun.
“Mau ke rumah sakit dulu, enggak?”
Ini sudah ketiga kalinya Reeze menanyakan hal itu dalam perjalanan singkat mereka. Yang selalu dijawab Karame dengan gelengan kepala.
“Yakin, Kar?” Reeze berharap cewek di sampingnya berubah pikiran. Perasaan bersalah dan khawatir bergulung di dalam hatinya. Apalagi, sejak tadi Karame belum mengucapkan sepatah kata pun. Ia takut terjadi sesuatu dengan kepala Karame.
Karame menekan jauh rasa gugupnya lewat embusan napas panjang. Sejak tadi, lidahnya terasa kelu. Hanya berdua dengan Reeze dalam ruang sempit di hari kedua mereka bertemu, tidak ada dalam rencananya hari ini. “Tenang saja. Seperti kata Devon, aku kuat.” Ia mendukung pernyataannya sambil menepuk kedua pipinya.
Reeze tersenyum tipis dan mengembuskan napas lega. Ia mengulurkan tangannya untuk mengusap puncak kepala Karame. “Kemarin kamu catat nomorku, kan? Nanti kabarin aku, ya.”
Gerakan sederhana yang seolah tanpa arti itu membuat Karame kembali membisu. Hanya menyisakan senyum yang tertahan untuk muncul ke permukaan. Bahkan ketika ia sudah berdiri di depan Brownice dan menyaksikan mobil sedan itu pergi dengan deru halus.
Karame masuk melalui pintu samping. Aroma brownies yang sedang dipanggang langsung menyeruak begitu pintu dibuka. Ia membawa kakinya menuju dapur dan mendapati ayahnya sedang duduk di salah satu kursi. Pria itu merunduk menatap sesuatu di genggamannya.
“Ayah, aku pulang,” ucap Karame sambil memasuki ruangan yang jauh lebih hangat dari ruangan lain di rumahnya.
Terburu-buru, Graham Lawata menyimpan benda kecil yang dipegangnya ke dalam saku. Ia menyambut kedatangan putri semata wayangnya dengan pelukan. “Bagaimana jogingnya?”
“Lumayan capai,” jawab Karame sambil melepas dekapan. Ia memutuskan untuk tidak menceritakan insiden wajahnya terlempar bola. Apalagi kejadian itu melibatkan anak dari musuh ayahnya. Ia tidak mau ayahnya merasa khawatir. “Aku perlu bantu apa, nih?”
“Nanti saja.” Graham menggelengkan kepala. “Sekarang kamu istirahat dulu. Mandi dulu sana. Baumu kecut.”
Karame tergelak saat melihat ekspresi ayahnya yang dibuat seolah merasa jijik. Pria itu mengernyitkan hidung dan menggidikkan bahunya. Bahkan mendorong anaknya untuk menjauh.
Yang Graham tidak tahu, Karame bisa melihat jelas selaput bening berisi kesedihan yang melapisi kedua netranya.
Ditunggu chapter 2 nyaa :D
Comment on chapter I. Nama yang Manis