I know your heart is paying attention to my heart
Setelah kejadian tadi pagi di kantin, Rena memutuskan untuk tidak masuk kelas dulu dan memilih duduk di taman sekolah sendirian tanpa ada seorang pun yang menemani. Karena dengan cara itu, Rena bisa mengendalikan perasaannya kembali seperti semula.
Namun, di tengah-tengah renungannya, Rena menundukkan kepalanya dan tanpa sengaja mengeluarkan air mata yang mengalir deras di pipinya. Kejadian yang datang bertubi-tubi itu telah membuat hati Rena menjadi kacau dan sakit. Selama menempuh ilmu di sekolah, Rena belum pernah mengalami peristiwa memalukan ini sebelumnya. Jadi wajar apabila hatinya sangat sakit dan penuh dengan luka. Ditambah lagi dengan kejadian tadi pagi bersama Anta, dia melihat Afkar yang sedang dipeluk seorang cewek.
“Udah, nggak usah nangis. Nangis itu nggak akan menyelesaikan masalah yang lo hadapi sekarang,” ucap seseorang di belakang Rena.
Seketika Rena menoleh ke sumber suara. Afkar. Dia datang dari belakang Rena dengan memakai seragam olahraga. Kemudian, Afkar menghampiri Rena dan duduk di sebelahnya.
“Lo tuh gadis cantik Ren, jadi nggak usah hapus kecantikan lo itu dengan tangisan yang nggak ada gunanya,” ucap Afkar sambil mengusap air mata Rena. Rena terlihat gugup saat itu
“Lo ngapain sih disini?” ketus Rena.
“Emangnya nggak boleh gue kesini?” tanya Afkar.
Rena hanya diam, menundukkan wajahnya dan berusaha untuk tidak menangis di depan Afkar.
“Ngomong-ngomong lo nggak pengen belajar di kelas? Kan sayang kalo lo tinggalin,” ucap Afkar. “Lo masih kepikiran sama kejadian tadi ya?” katanya lagi.
Mata Rena seketika terbuka lebar, ternyata Afkar tahu kejadian itu.
“Lo tahu kejadian tadi?” tanya Rena bingung.
“Iya gue tahu. Kan tadi gue ada disana, dan gue lihat lo duduk di atas tinta yang berceceran. Tapi gue belum yakin kalo itu lo.” jelas Afkar.
Rena hanya diam dan tidak menanggapi penjelasan Afkar.
“Gue tahu perasaan lo pasti kacau hari ini, dan gue juga tahu lo nggak cuma dipermaluin aja tadi, tapi lo juga dituduh yang enggak-enggak sama Tiya, iya kan?” tanyanya lagi.
Rena menjawabnya hanya dengan anggukan kepala.
“Soal itu lo gausah khawatir Ren, gue tahu lo anak baik-baik. Gue percaya kok, kalo lo nggak mungkin ciuman sama si Ferdi. Si Tiya emang suka nyebar kebohongan buat cari sensasi doang,” ucap Afkar menenangkan.
“Kok kayaknya lo tahu semua kejadian tadi? Dan lo tahu banget sifat Tiya? Jangan-jangan lo bersekongkol sama Tiya ya?” tanya Rena curiga
“Ya nggak lah. Kurang kerjaan. Lagian gue tahu semuanya, karena Anta yang jelasin ke gue,” jelas Afkar
“Emang Anta itu siapa lo?” tanya Rena.
“Cuma temen satu organisasi doang, nggak lebih.” sigap Afkar.
“Ooh,” sahut Rena.
Dan Afkar hanya melihatnya dengan tersenyum.
Ah sial! Afkar senyum dan Rena tidak melihatnya saat itu. Afkar kemudian menatapnya lama, dan Rena mengetahui bahwa Afkar sedang menatapnya. Seketika dia memalingkan wajahnya ke arah lain dan mencoba untuk tidak salah tingkah di depan Afkar. Ekspresi Afkar yang tadinya senyum-senyum terus, berubah menjadi curiga.
“Itu kenapa pipi lo sampe bengkak kayak gitu? Efek jatuh tadi?” tanya Afkar begitu dia melihat ada bekas benturan di pipi Rena.
Dengan menyentuh pipinya, “Eh, bukan. Mungkin karena ditampar Tiya tadi. Tapi nggak apa-apa kok udah agak mendingan.” Ucap Rena.
“Ditampar sama Tiya?! Wah gila tuh anak, seenaknya aja sama orang. Bentar-bentar,” kaget Afkar.
Kemudian, dia mengambil air dingin yang dia beli tadi saat istirahat dan menuangkannya ke sapu tangan miliknya yang masih bersih
“Sini, biar gue kompres!!” perintah Afkar.
Kemudian, Afkar menyelipkan helaian rambut Rena yang terurai ke depan ke arah belakang dan mengusapkan sapu tangan yang sudah dituangkan air dingin ke wajah Rena yang bengkak dengan pelan. Seketika, Rena meringis kesakitan begitu Afkar menempelkan sapu tangannya ke pipi Rena yang bengkak.
“Aduh! pelan-pelan dong,” ringis Rena.
“Tuh kan, katanya udah mendingan, buktinya dikompres sebentar aja udah meringis,” ucap Afkar yang masih fokus mengusapkan air dingin ke pipi Rena
Rena hanya diam, dan menatap Afkar yang sangat telaten mengobati luka bengkak di pipinya. Rena terus menatap Afkar tanpa berkedip dan tanpa dia sadari, dia tersenyum simpul di depan Afkar. Seketika itu juga, Afkar sadar bahwa Rena sedang menatapnya. Seketika Afkar menangkap tatapan Rena, dan tersenyum manis di depan Rena.
Nahh iya kan? Dia senyum!! Parah!! Harusnya gue nggak senyum ke dia tadi, batin Rena.
“Lo kenapa senyum-senyum gitu? Kaget kalo gue ganteng ya?” goda Afkar.
“Dih, kepedean banget sih lo,” ketus Rena.
“Udah kelar nih. Gimana? Baru agak mendingan kan? Kalo tuh bengkak nggak lo obatin sekarang, bisa tambah besar nanti.” jelas Afkar.
Rena tersenyum menahan tawa, dan seketika itu juga ekspresi Afkar berubah.
Senyum itu!! Persis kayak pasangan dansa gue. Tapi... masa iya cewek yang gue ajak dansa itu Rena? Kalo emang bener iya, berarti selama pesta itu, gue dansa dan nanya soal yang nggak penting ke Rena? Ah sial!! Batin Afkar.
Dengan wajah bingung saat Afkar menatapnya dengan serius, Rena menepuk lengan Afkar.
“Lo kenapa lihatin gue kayak gitu? Ada luka bengkak lagi?” tanya Rena curiga.
“Eh, enggak, nggak ada kok. Cuma yang di pipi kiri doang,” jawab Afkar dengan tersenyum paksa.
Setelah itu, mereka diam dan suasana menjadi hening. Kemudian...
“Ren?” panggil Afkar.
“Iya?” jawab Rena menoleh ke arah Afkar.
“Gue boleh tanya sesuatu nggak sama lo?” tanya Afkar.
“Tanya apaan?” Rena mulai waspada.
Afkar menarik napas dan menghembuskannya pelan. “Lo udah punya pacar?”
“Belom. Kenapa?” jawab Rena berusaha mengendalikan nada suaranya agar terdengar tetap tenang.
Afkar tersenyum,”Nggak apa-apa,” jawabnya sambil menatap langit. “Lo punya mantan nggak sebelumnya?” tanya Afkar lagi menengok ke arah Rena.
“Nggak punya,” jawab Rena datar.
“Enggak punya? Serius? Berarti lo belum pernah sekalipun jatuh cinta sama seseorang?” tanya Afkar kaget.
“Dulu gue pernah jatuh cinta, tapi ujung-ujungnya pasti sakit. Tapi meskipun gue pernah jatuh cinta, gue nggak pernah pacaran. Dan meskipun gue punya rasa suka sama seseorang selama apapun, gue hanya memendam rasa itu,” jelas Rena.
Lah, kenapa gue jadi ngomong blak-blakan gini ke Afkar? Waduh, kalau gue tarik omongan gue, Afkar curiga nggak ya? batin Rena dengan mata terbelalak.
“Menurut gue, lo harus ungkapin perasaan lo sekarang, kalo misalnya lo udah suka sama seseorang,” saran Afkar tiba-tiba.
Ya kali!! batin Rena
“Kok gitu. Kenapa?”tanya Rena bingung.
“Karena lo itu cewek yang care sama semua orang, Ren. Lo nggak pandang cewek atau cowok. Gue tahu semua tingkah lo karena gue sering lihat lo bercanda bareng sama cowok.”
“ Dan perasaan lo itu bisa aja berubah suatu saat, kalo misalnya lo nggak ada tujuan yang jelas dengan perasaan lo, akhirnya akan lebih sakit dari yang sebelumnya lo rasain,” ucap Afkar mendadak bijak.
Kata-kata lo emang bener, Kar. Perasaan gue nggak baik kalo dipendam terlalu lama. Tapi... gimana cara gue buat ungkapin perasaan gue ke lo? Kan harusnya cowok yang ungkapin dulu, bukan cewek, batin Rena.
“Kadang cewek juga harus menunggu, Kar. Dan nggak semudah yang lo kira buat cewek untuk ungkapin perasaannya,” jawab Rena
Sambil tersenyum,”Gue tahu, cewek nggak mungkin ungkapin perasaan mereka ke cowok. Dan harusnya cowok yang lebih dulu.”
Rena tersenyum ke arah Afkar, dan mereka saling tatap.
“Lo mau makan nggak? Udah siang nih, gue traktir yuk,” ajak Afkar mengalihkan pembicaraan.
Rena hanya menganggukkan kepala. Kemudian, Afkar menggandeng tangan Rena, dan mereka berjalan menuju kantin.
Kenapa hari ini gue merasa bahwa Afkar akan terus bersama gue? Meskipun dia nggak tahu kalo gue suka sama dia, tapi kenapa gue merasa kalo dia tahu? batin Rena.
***
rena dan afkar menjadi renafkar, hehe... nice hit. keep writing. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter Kata Pengantar