Read More >>"> PUBER (Bab 3) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - PUBER
MENU
About Us  

”Ayolah . . . Nah, nah, nah ?”

Tia mendengus.

”Sudah jam 1 nih, kita juga ada kerjaan di rumah, nanti di marahi mamaku, gimana ?” Rachel panik, tapi tetap gak enak kepadaku.

”Ya udah deh, ayo pulang . . .” Akhirnya aku berhenti memohon hal yang sama dari kemarin, untuk hari ini.

”Hahhh . . . akhirnya pulang jugaaaa !” Lenguh Icha lega.

Aku, Rachel, Ria, Tia, dan Icha berjalan perlahan menuju depan sekolah. Sesekali aku menoleh ke bangunan lantai tiga. Pintu kelas yang ku lirik tak juga terbuka. Noval pasti masih di dalam.

”Ya ampun, Put . . . kamu tuh di rumah bisa ketemu, apalagi setiap malam sabtu dan minggu punya waktu spesial buat lihat sampe puas !” Tutur Ria melihat tingkahku.

Aku hanya tersenyum meringis.

”Haduh, berilah Noval space time ! kamu gak mungkin mantengin terus, dia juga punya kehidupan lain yang harus dijalani !”

Aku terpana mendengar kata – kata Tia yang menusuk hatiku.

”Weiiish, santai, mukamu kayak monters kalau gitu.” Bujuk Rachel menatap wajahku yang terlihat tidak senang.

”Iya, belum jadi apa – apa saja aku udah protektif gini.” Ujarku.

”Nggak, kamu itu gak protektif, soalnya kamu bukan siapa – siapanya Noval, dan kamu juga gak banyak bicara sama dia,” Kata Icha,”Tapi, kamu itu terlalu mikirin orang yang belum tentu mikirin kamu, apalagi mikirinnya berlebihan !” Lanjutnya.

”Hahaha . . . jadinya kayak psikopat, gimana kalo sampe Noval jadian sama orang lain ?” Goda Tia membuatku tambah down.

”Apaan ! ngajak ngomong aja kayak mau ujian lisan biologi, ditanya apa, jawabnya apa ? Aku’tuh kelihatan bodoh banget dah kalo di depan dia !” Bela-ku tidak mau di ledek.

”Hmm ~ kalo sama pujaan hati kayak cacing kepanasan tapi gak ngomong apa – apa, giliran sama orang lain,  tega – tegaan !” Gerutu Icha.

Aku hanya terkekeh.

Warung lalapan di depan mata, waktunya berpisah dengan Rachel dan Ria. Rumah mereka berdua berdekatan dan tidak jauh dari sekolah, sedang aku dan Icha harus berjalan hingga tiba di halte, seperti biasa. Kemudian aku dan Icha akan berpisah karena ia akan naik angkot yang berbeda.

”Pamit ya . . .” Ucap Rachel dan Ria bersamaan.

”Okay, byee . . .”

Shall we go ?”

Hi do do eh, pakai bahasa Manado’lah !” Tia memutar bola matanya mendengarku bercakap menggunakan bahasa inggris.

Hi do do eh = Ya elah, Meh.

“Biasaa, lagi belajar bahasa Inggris. Ceritanya ‘kan si Noval suka pelajaran itu !” Jelas Icha mengetahui alasanku.

”Hehehe . . .” Aku hanya tertawa.

Perjalanan pulang kali ini membuatku tidak bersemangat. Aku juga heran, kenapa bisa ? aku yang bertemu dengannya begitu intens merasa tidak puas juga. Padahal, melihat wajahnya sudah, mendengar suaranya juga, apalagi ?

Malam minggu ini, aku harus mempersiapkannya semua. Hal yang ingin dipelajari, diomongin bahkan perlunya bahan candaan untuk mencairkan suasana. Harus kupersiapkan. Ya, malam ini.

 

***

 

”Hari ini belajar apa Kak ?”

Aku mengangkat buku Fisika sambil tersenyum, ”Kita belajar ini saja ?”

”Oke Kak.” Sahut Noval menyetujui.

Rutinitas, belajar diruang tamu tanpa diganggu oleh siapapun dan tidak ada suara berisik dari ruang lain. Ruang tamu di rumah cukup jauh dari ruang keluarga untuk bersantai sehingga jika ada tawa dari Bapak atau Ibundaku yang sedang menonton, tidak akan terdengar keras. Hanya sayup – sayup saja.

Aku memandang Noval yang serius mengerjakan soal – soal Fisika miliknya. Dia sedang mengerjakan soal – soal bab terakhir dari semester 1. Sebentar lagi dia akan ujian untuk menuju semester 2 dan kami berdua akan setara.

”Nanti kelasmu bakal di rombak ya ?” Tanyaku memulai percakapan.

”Iya Kak.” Jawabnya singkat.

”Hmm . . . terus nanti bisa masuk ke kelas unggulan atau bilingual ya ?” Tanyaku lagi.

”Bisa ke kelas reguler juga kok Kak, tergantung nilai.” Jawabnya menaikkan kedua alisnya, tapi tetap saja sambil memandang buku pelajarannya itu.

Tapi, mendengarnya aku sangat antusias, ”Waah, berarti kita bisa sekelas dong yah ?” Tanyaku meyakinkan, ”Kalau sekelas bisa seru banget !”

”Hahaha . . . iya kali Kak, kita bisa ngerjain PR sama – sama.”

”Hmm . . . Eh, kok kamu bisa suka bahasa inggris ? ’kan guru kita sama tuh, Mam Christine, dia sering cerita kalau kamu tuh hebat bahasa Inggris.”

”Hmm, Iya Kak . . . aku sering main game yang isinya bahasa inggris semua, makanya suka, hehehe . . .”

Aku terdiam sejenak.

”Iya, Mam cerita katanya kamu aktif banget di kelas. Eh, gak deh, aku pikir semua di kelasmu itu pasti luar biasa !”  Aku meninggikan suaraku karena kesenangan bercerita.

”Ah biasa aja Kak. Aku pikir sama aja kayak kelas Kak Indri.” Kata Noval.

Tertegun. Aku tertegun, karena itu pertama kalinya dia menyebut namaku.

”Hmm, eh, sekarang aku sudah bisa bahasa inggris loh ! walaupun masih sekedar dari lagu hehehe . . .”

Hening.

Noval tidak merespon apapun.

Aku masih memandangnya tanpa ragu. Beberapa saat aku langsung menyerah dan mulai mengerjakan tugasku.

Terkesan sombong.

Perasaan ini keluar, bumbu kebencian mulai tercium karena dia mengabaikanku. Sebal.

”Hmm, iya kak ?”

”Ah, tidak . . .” Jawabku tersenyum tipis.

Aku tau dia memang tak ingin meresponku, lalu merasa tidak enak. Hal itu terlihat jelas dari sikapnya, karena diamnya cukup lama dan aku tau dia mendengarkanku tadi.

Kuputuskan untuk kembali mengerjakan soal – soal Fisika. Lembaran demi lembaran ku buka hingga akhirnya tugas yang berjumlah 10 soal telah selesai.

***

Mungkin aku terlalu cerewet . . .

Duduk diatas ranjang sambil memeluk bantal. Mulutku masih manyun sejak selesainya belajar bersama Noval. Kepikiran, Noval bisa saja serius terhadap tugasnya. Tapi sebelumnya dia selalu menjawab, bahkan hanya untuk pertanyaan yang tidak penting sekalipun. Kali ini dia terlihat benar – benar jutek dan bersikap sedikit menyebalkan.

Aku bahkan tidak tahu esok ingin menunjukkan wajah seperti apa saat belajar bersama kembali. Perasaan sebal juga bersalah. Terlalu mengganggunya disaat dia sedang menghadapi masalah atau memang sengaja tidak ingin meresponku ?

Pintu kamar terbuka.

”Putri . . .”

”Kenapa Is ?” Tanyaku pada Isna yang tiba – tiba masuk kedalam kamar.

Ia menyodorkan lembaran kertas kosong dan pencil warna,”Gambarin aku orang dong !”

”Tugas sekolah ?” Tanyaku lagi.

”Iya, Putri kenapa ?”

”Kenapa apanya ?”

”Ngomong tapi matanya melamun.” Gerutunya menatapku demikian.

Menghela nafas dan segera mengembalikan energiku, ”Hahh . . . Mana, sini aku gambarin !” Aku tak menjawabnya.

Menggambar postur atau karakter seseorang adalah kemampuanku. Tidak sebagus pelukis handal atau pembuat komik dengan karakter – karakternya yang lucu. Tapi, sekarang ini aku bisa membayangkan apa yang ingin ku gambar, masih banyak perlu belajar tentunya.

Ku gambar tugas Isna sesuai dengan pesanan yang diminta. Sementara aku menggambar, Isna juga ikut menuangkan imajinasinya melalui kertas lain. Dia mengambil pensil warna hitam lalu mulai menggambar. Aku berhenti sesaat untuk melihat apa yang digambarnya. Ternyata pemandangan, gambar yang selalu kubuat saat seumurnya. Entah kenapa, matahari, gunung, jalan, sawah, pohon, rumah dan ada seorang anak lelaki menjadi suatu gambar yang melegendaris hingga sekarang. Padahal, untuk menggambar semua itu lumayan sulit. Aku tertawa kecil lalu melanjutkan gambarku kembali.

Tak lama selang satu jam, tugas Isna telah selesai.

”Nih, gambar orang’kan ?” Tanyaku kembali memastikan.

Adikku Isna, menghentikan kegiatannya lalu melihat kertas yang sudah ku isi dengan gambaran pesanannya.

”Nah, iya Put udah, oke makasih ya, mau bobo, udah ngantuk !” Pamitnya lalu bergegas merapihkan peralatannya.

Aku ikut membantu. Setelah selesai, Isna keluar dari kamar melambaikan tangannya. Biasanya dia tidur bersama orang tuaku, berbeda denganku yang sudah harus tidur dikamar sendiri.

Tanpa sadar, jam weker dimeja sudah menunjukkan pukul 11 malam, waktunya istirahat.

Aku merapihkan tempat tidurku lalu segera mematikan lampu dan berbaring. Pikiranku kembali pada Noval. Kalau di ingat, kapan pertama kali aku suka padanya ? aku tidak tau pasti.

Sesadar mungkin sekarang aku sudah di ambang cinta yang masih membara. Mengerti juga, bahwa tubuh ini masih SMP, masih harus belajar untuk paham akan apa yang ku alami.

Tanpa sadar pikiranku melayang. Aku tertidur.

***

”Kelompok lima, Rachel, Regina, Putri, Patra, Sandy !” Guru Biologi, si kakek – kakek mesum itu sedang membagikan kelompok untuk praktek nanti di ujian semester dua.

Sesuai urutan absen, aku berada di kelompok lima bersama mereka. Tidak ada yang kutakutkan kecuali Regina dan Patra, karena mereka adalah komplotan jahat. Aku berharap bisa menjadi anggota kelompok yang baik dan semoga mereka berbaik hati pada kami yang anak biasa.

”Putri !”

”Iya M’ner ?” Sontakku mendengar suara yang wajib ku jawab itu.

”Kamu jadi ketua kelompok !”

”Ap—pa . . .” Gagapku menahan suaraku yang hampir keluar.

”Kelompok terakhir . . .” Aku sudah tidak memperhatikan lagi apa yang M’ner ucapkan.

”Semangat yah ketua kelompok, pastikan kita semua mengerjakan tugasnya !” Rachel menepuk pundakku dengan sedikit keras.

Aku mengusap bagian yang terasa sakit, ”Duh, aku gak bisa setegas itu sama Regina dan Patra, gimana yah ?” Pikirku bingung.

”Seperti biasa aja, tapi habis itu lihat reaksi mereka, gimana ?” Saran Rachel seraya menaikkan kedua alisnya.

Aku mengangguk meringis kerepotan.

Setelah pembagian kelompok, kami langsung saja diberikan clue untuk persiapan ujian nanti. Pertama, setiap kelompok harus membawa satu tanaman hias ke sekolah saat ujian. Hal ini tentunya wajib bagi setiap sekolah, seluruh murid akan menjadi relawan untuk memperindah tempat pendidikan ini. Kedua, kami harus mencari kodok hijau untuk dijadikan bahan praktek saat ujian semester tiba. Setiap kelompok akan diberikan kertas untuk mengisi apa struktur tubuh yang ada pada kodok.

Ujian akan dimulai dua minggu lagi dan kami sudah diberikan tugas jauh hari agar dapat menyelesaikannya pada guru tiga hari sebelum dimulai.

Selama seminggu yang tersisa, sekolah memberikan tugas untuk menyelesaikan soal – soal pada setiap bab. Beruntung, aku telah menyelesaikan hampir semua bab karena bimbinngan dan saran dari Noval.

Seperti biasa, pastinya kerjaan ini sangat merepotkan jika di kerjakan pada waktu terakhir. Akhirnya, aku harus berkorban membagi jawaban pada teman – teman di kelas. Di hari terakhir, beberapa teman yang malas akan berlomba menulis cepat karena pada jam pulang sekolah di hari jumat, buku – buku yang berisikan soal dan jawaban akan di kumpulkan.

Melelahkan, aku lupa akan tugas olahraga sehingga aku terpaksa duduk bersama beberapa teman sekelas untuk menyelesaikannya.

”Hei, Putri . . .”

Aku menegadah, hadir Regina berada disampingku,”Kenapa Gin ?”

”Aku sama Patra udah pindah di kelompok 3 ya, nanti si Hamiz sama Ella yang gantikan.” Kata Regina mengonfirmasi.

”Oh ya udah, Oke !” Jawabku sambil tersenyum.

Regina kembali ketempat duduknya lalu bercerita dengan teman – teman komplotannya sambil mengerjakan tugas.

Aku tersenyum, bukan karena takut dan sedih mereka pindah. Justru aku senang dan bisa lebih mudah mengatur anggota kelompokku.

***

”Jadi, kita semua bakal nyari kodok di sekitar rumah masing – masing. Untuk tanaman hias, minggu depan sebelum dikumpulkan kita beli setelah pulang sekolah, gimana, ada yang keberatan gak ?” Aku menumpahkan ideku kepada semua anggota kelompok lima.

Kelas begitu hening, tidak ada orang selain aku dan seluruh anggota kelompok. Setelah menyelesaikan pekerjaan yang hampir mematahkan tangan para murid, kami sekelompok bersepakat untuk kumpul di kelas saat pulang sekolah.

”Mahal gak tanaman hiasnya ?” Tanya Ella, gadis berambut pirang peranakan Belanda-Manado.

”Mahal, kayaknya bisa sekitar 80 ribuan sampe ratusan sih.” Jawab Sandy.

”Iya sekitaran itu sih harganya.” Hamiz meyakinkan sekali lagi.

Aku mengigit bibir, untuk harga seperti itu mungkin bagiku tidak masalah selama tugas bisa cepat selesai. Tapi untuk teman – teman lainnya tidak. Aku harus memikirkan cara yang lebih hemat dan bagus.

”Gimana kalau kita sampaikan pada orang tua dulu ? kebetulan dirumahku ada beberapa pot yang kosong, nanti aku kabari lagi sih, boleh di pakai apa nggak !” Saran Rachel.

”Ah, iya, aku juga punya pot dirumah yang mungkin gak ke pakai !” Sahut Sandy mengingat – ingat.

”Ya udah, kalau tanaman mudah- mudahan di kebun belakang rumahku juga bisa diambil.” Kata Elly juga ikut mengingat apa yang ada dirumahnya.

”Oke, Lakukan aja semampu kita buat nyari yang bisa di kumpulkan, nanti sms aku aja kalo dapat, Oke !” Jelasku terakhir sebelum mengakhiri pertemuan.

”Sip !” Jawab mereka serempak.

Finally, kami bisa pulang. Pembagian yang sederhana itu selesai.

Di jalan pulang Rachel menggenggam tanganku sambil di ayunkan seperti anak SD. Langkah kami berdua terasa berat sehingga kami terlihat sangat malas.

”Tumben.”

”Tumben apa ?” Lirikku pada Rachel.

”Ya tumben gak ngomong soal Noval.”  Tukas Rachel mengetahui rutinitasku soal Noval.

“Eh, iya yah ? mungkin karena seminggu ini kita sibuk.” Aku mengerutkan dahiku kurang yakin.

”Hmm, syukurlah . . . mungkin saja kamu bisa lupa sama orang itu.” Tanggap Rachel.

”Lupa ? dia tiap hari naik mobil yang sama denganku, belajar tiap malam sabtu dan minggu, se-menyebalkannya sekalipun aku toh tidak berpaling darinya. Seharusnya dia pergi dari kota ini supaya aku lupa !” Protesku.

”Kamu udah empat bulan suka sama dia, tapi gak ada kemajuan. Kamu mau ngapain lagi ?” Pertanyaan Rachel mengasah otak kecilku.

”Nggak tau, saat ini aku cuma bisa lompat – lompat gak jelas setelah bertemu dengannya di sekolah, tersenyum dan bahagia jika dia menyapaku, menerima saranku bahkan tertawa karenaku. Selain itu, aku gak tau.”

”Apa kamu gak mau dia jadi pacarmu ?”

”Hah ?” Buntu, aku berpikir keras akan hal ini.

Aku gak pernah berpikir bahwa sebenarnya hati ini menginginkan dia lebih dekat dariku. Ya, aku ingin dia tahu kalau rasa suka ini ada untuknya, tersenyum meskipun kadang menyebalkan dengan sikap cueknya dan bahagia ketika ia tertawa entah karena apa.

”Aku gak tau dia suka atau tidak, Dia cuek banget, kayaknya masih polos banget !” Kataku bingung ketika memikirkan tentang dirinya.

”Masa kamu mau gini – gini aja ? gak puas ketemu, itu karena kamu belum tau apapun tentang dia.”

”Iya, tapi aku takut mau bertanya, aku takut . . .”

”Kan cuma nanya apa yang disukai dan tidak disukainya Put . . . atau nawarin apa kek atau ngasih sesuatu gitu !” Desak Rachel.

”Aku takut.” Menggidikkan kedua bahuku ngeri.

”Takut apa ?” Suara Rachel mulai meninggi.

Menggaruk leherku yang tidak gatal, ”Aku takut dia menolak.”

”Ya elah, Put . . . makanya, kamu tuh butuh tau dia suka atau nggak !” Rachel menekan suaranya seakan – akan itu adalah sebuah tulisan yang harus digaris bawahi.

Benar, aku harus tau gimana perasaannya padaku. Apakah dia memperhatikanku atau tidak ? dia bisa tertarik dengan semua yang kulakukan atau justru malah membencinya. Aku, tidak tau akan hal itu.

Sepulang dari sekolah aku membersihkan diriku kemudian mengambil istirahat hingga sore-pun tiba. Aku terbangun pada pukul 4 sore, secepatnya aku ke toilet untuk mencuci muka, lalu kembali ke kamar tidur kemudian menyisir rambutku yang kusut. Ku biarkan terurai karena cukup sakit jika aku harus mengikatnya dalam waktu yang lama. Aku mengenakan kaos hijau muda dan celana pendek selutut, tidak perlu mengganti pakaian karena setelah ini aku akan mandi. Setelah mencari kodok.

Aku melangkahkan kakiku pertama kali menuju kebun di belakang rumah. Sebongkah cahaya matahari berukuran pintu belakang rumah masuk menyinari ruang makan dan dapur. Tepat di depan pintu aku meneduhkan kedua mata dengan tanganku dari sinar matahari. Rasanya sama seperti pagi hari yang biasa ku temui di depan rumah. Tapi, pagi hari lebih sejuk dan menyegarkan dibandingkan sore hari yang cenderung dingin dan bau polusi akibat kendaraan yang telah lalu lalang seharian.

Aku menuruni tangga menuju kebun. Yah, rumahku sedikit di tinggikan pondasinya hingga perlu 5 tangga untuk mencapai kebun di belakang.

”Mau ngapain ke belakang ?” Ibunda yang sedang sibuk di dapur melihatku yang sudah turun tangga menuju kebun.

”Nyari kodok Bunda,” Sahutku seraya berjalan perlahan sambil menunduk mencari keberadaan kodok.

”Buat apa ? di pasar banyak kok kalo mau di makan.” Tanya Ibunda sekaligus menawarkan.

”Hiii, nggak’lah Bun, buat ujian semester !” Pekikku geli.

”Ya ampun, kamu ini. nyarinya ya di sekitar rumahnya Noval’lah, banyak kalo disana !”

”Beneran ada Bun, disana ?!” Adrenalinku naik hingga membuatku melotot terkejut.

Apalagi ketika menyebut nama orang yang kusukai.

”Iya’lah, coba kamu kepekarangan rumahnya aja, itu udah bunyi kodok, disitu mah gak ada !” Kata Ibundaku lagi, ”Tapi nyarinya agak gelapan aja biar keluar semua kodoknya, bawa senter biar tau kodok yang mana mau ditangkap.” Lanjutnya.

”Oke Bundaaaa !!” Aku segera masuk ke dalam rumah dan mencari senter.

Duduk lesehan di teras depan rumah dengan kaki yang ku selonjorkan. Hari ini Noval ada jadwal olahraga hingga petang tiba. Biasanya dia pulang sekitar jam tujuh malam karena selalu menyempatkan diri untuk berenang. Kegiatan olahraga kami sama, lari kemudian renang bebas setelahnya. Tapi jadwal kita berbeda, aku, selasa sedangkan dia di hari kamis. Tempatnya di gor. Lebih dekat daripada ke sekolah.

Tak lama menunggu, matahari sudah mulai bersembunyi. Tetap saja, ketahuan karena masih ada cahaya tersisa yang mengikutinya dan terlihat olehku. Ku genggam senter dengan semangat dan segera menuju ke pekarangan rumah Noval.

”Assalamualaikum !”

”Wa’alaikumussalam ! Siapa . . . Eh, Putri, kenapa nih ?” Tanpa diberitahu aku sudah tau yang ada di depanku ini adalah Ibunya Noval.

Wajahnya sangat terlihat familiar orang jawa. Tapi, mungkin ada keturunan orang China-nya karena matanya yang sipit meskipun berkulit sawo matang sama sepertiku. Pantas saja Noval juga mewarisi mata sipit seperti orang China pada umumnya.

”Ah, mau minta izin nyari kodok di sekitar rumahnya Tante, bolehkah ? buat ujian semester, hehehe . . .” Pintaku pada Ibunya Noval.

”Oh iya silahkaaan ! Iya, iya itu si Noval malah ikan ujian prakteknya !” Ibunya Noval melap tangannya dengan kain yang di pegang.

Perihal yang sama dilakukan oleh semua Ibu di sore hari, memasak dan menyiapkan segala hal untuk malam hari.

”Ohh gitu . . . Iya nih, disuruhnya kodok hehehe . . .” Aku tersenyum seraya fokus memasang telinga untuk mencari hewan dua pernafasan itu.

”Ya udah, saya masuk dulu ya . . .” Pamit Ibunya Noval lalu masuk ke dalam rumahnya.

”Iya Tante . . .” Balasku seraya menunduk.

Samping rumah Noval terdapat kolam yang penuh bunga teratai. Pikirku cukup jika hanya mencari di sekitar kolam.

Krooook ! Kroook !

Ah ! itu dia. Mahkluk kecil itu sudah mulai mengeluarkan suaranya !

Aku menyalakan senterku. Hari semakin gelap dan tidak ada sinar yang cukup untuk menyinari kolam tersebut. Bahkan rumah Noval yang letaknya lumayan dekat dari lokasi kolam, belum cukup lampunya untuk tempat tinggal mahkluk yang ku dengar sedari tadi.

Ku arahkan senter di berbagai tempat yang kira – kira terdapat kodok hijau. Namun, semakin memasuki kegelapan malam, suara kodok dan jangkrik yang menggema di telinga bertambah, hingga itu, belum kutemukan juga hewan kecil hijau berharga nilai ujian. Kebanyakan yang terlihat hanya kodok – kodok besar dengan badan mereka yang bertotol – totol menjijikan. Mengeluarkan suara yang cukup besar sambil mengembung-kempiskan mulut mereka. Terbayang seperti bapak – bapak yang tidur pulas dengan perut besar dan ditemani lagu tidur ciptaannya sendiri, ngorok.

Mulai kehilangan harapan, aku berdiri tegak meluruskan badanku lalu menghela nafas. Memberikan semangat sedikit lagi untuk mencarinya. Ku ayunkan senterku kembali. Kuputuskan untuk mengelilingi kolam dan mencarinya di setiap sudut.

Berhenti.

Tepat di pohon bougenville dekat ujung kolam, aku melihat si hijau kecil mengkilap bersama matanya yang bersinar memandangi senter yang ku acungkan padanya. ku picingkan mata sejenak bersama senyum jahat di bibirku. Segera kumatikan senter dan ku sangkutkan ke celanaku, sebelum itu ku ingat baik – baik lokasi hewan itu berada. Ah, syukurlah, saat mematikan senter cahaya dari rumah Noval sedikit membantuku  hingga aku dapat melihat sosok kodok yang ku cari.

Perlahan namun pasti. Bersiap bersama tangan pada posisi yang pas, berjalan mendekati pohon dan . .

HAAPP !!

Dapat !

Aku menggigit bibirku sambil tersenyum, yes, dapat satu !

”Kak Putri ?”

Aku menoleh, ”No-noval. . .” Menyebut namanya tanpa sadar.

Ia mengenakan celana jins biru panjang sebetis dan kaos berkerah polos warna putih. Beberapa ujung rambutnya meneteskan air, pertanda dia habis pulang dari berenang. Wajahnya terlihat gelap sebagian karena cahaya yang terbatas. Tapi, aku tetap terpesona apapun yang ia kenakan dan kalaupun orang mungkin akan terkaget karena melihatnya dalam kegelapan, aku justru akan terkejut lalu menatapnya untuk dikenang.

”Ah, hai . . .” Sekali lagi aku hanya menyapanya tanpa bisa berkata apapun.

”Iya, Kak ngapain ?” Tanyanya penarasan.

”Mmm, Ini... nyari ko—”

”Waaa !!”

Noval mundur secepat mungkin. Tapi terlambat. Kodok itu berada diatas kepalanya sekarang.

”Waa, waa, waaaa !!” Lelaki itu mengusap – ngusap rambutnya dengan cepat.

Aku menganga bergerak mengamati dimana kodok itu berada.

”Kenapa ini, kenapa ?”

Sontak pintu rumah Noval terbuka dan membuat Ayah, Ibu dan kedua adik Noval keluar dari rumah.

”Itu ! Kodok ! Dimana ?!” Noval berteriak mencari – cari di seluruh tubuhnya.

Sampai melepaskan tas ransel yang dikenakannya. Dia melompat – lompat sepertiku ketika ada serangga yang hinggap di tubuhku. Dia memutar tubuhnya mencari sosok hijau mungil itu, berharap sudah tidak hinggap ditubuhnya.

Mataku berbinar, ”Ini !!” aku menangkap kodok itu, tepat di baju bagian dadanya.

”Diam . . .” Perintahku sebelum akhirnya aku menarik cepat kedua tanganku dengan posisi menutup.

”Hahh . . . Hahh . . .” Terdengar suara Noval terengah – engah lega saat aku menangkap kodok yang hinggap di bajunya.

”Hahahah !!!”

Aku dan Noval baru sadar. Keluarga kecil Noval yang keluar dari rumah karena kehebohan dirinya itu tertawa terbahak – bahak sedari melihat tingkah Noval.

”Hiss . . .” Noval meringis kecil.

Dia memandang ke bawah seraya mendengus sambil menyunggingkan senyumnya.

”Maaf ya Val . . . Mm, Tante, Om aku balik dulu ya !” Pamitku segera.

”Iya, Putri !”

Aku meninggalkan mereka secepatnya. Tangan tertutup menggenggam kodok kecil yang panik itu. Sesampainya didepan rumah aku membuka pintu menggunakan sikut lalu menutupnya kembali dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi.

”Kamu lama banget Put, sudah Isya nih !” Sergah Ibunda begitu tau aku baru saja masuk ke dalam rumah.

”Aku lagi nggak sholat Bun !” Jawabku.

Aku memasukan kodok itu ke dalam ciduk yang sudah terisi air dan mengawasinya agar tidak melompat.

”Sudah dapat kodoknya ?” Tanya Bunda masuk ke kamar mandi.

”Baru satu, Bun.” Gumamku sambil memikirkan cara untuk menyimpan kodok ini agak tetap hidup.

”Bunda ada akuarium kecil yang tertutup di bawah meja makan, cepat gih ambil, nanti Bunda awasi kodoknya.” Kata Bunda.

Aku mengangguk lalu segera mencari akuarium yang dikatakan Bunda. Saat aku mengambilnya, aku teringat reaksi Noval ketika kodok itu melompat kearahnya.

”Hmmp !!” Aku memekik menahan tawaku.

Sungguh itu benar – benar tak terduga.

Ku bawa akuarium itu lalu mengisinya dengan air dan beberapa penutup botol plastik yang ku dapatkan di dapur. Ku biarkan penutup botol itu mengapung menggantikan teratai yang biasa menjadi tempat persinggahannya. Kembali ke kamar mandi, ku isi kodok tersebut dan langsung menutup akses keluar akuarium itu kecuali lubang udara yang memang terbuka.

”Kenapa senyum – senyum ? seneng banget dapat kodok, bukannya harus dua ya ?” Tanya Ibunda melihat tingkahku.

”yang kedua besok aja Bun, aku capek, mau istirahat.” Lirihku lalu berjalan meletakkan akurium di meja dalam kamar.

Memandang akuarium berisi kodok hijau dengan matanya yang bersinar. Dia berusaha mencari jalan keluar tapi tidak bisa. Oh ya, mungkin ini jam makan malamnya, tapi aku tak berani memegang serangga. Makanan untuk kodok ini. Sebaiknya ku beritahu Ibunda agar beliau yang memberikan makan pada kodok malang ini.

Ah, memikirkan kodok  . . . aku teringat kembali saat menangkap kodok itu di bajunya. Kulihat kedua telapak tanganku lalu tersenyum bahagia, ”Dia gendut, hihihi . . .” Desisku terkekeh jahil.

”Ah, makan ah ! Bunda !” Pekikku memegang perutku yang sudah bersuara lapar.

***

Ujian dimulai.

Seminggu berjuang akhirnya aku bisa menyelesaikan ujian semester dengan baik dan selama itu pula aku pastikan tidak memperhatikan siapapun, apapun kecuali buku dan mencemaskan hasil ujian.

Belajar bersama Noval-pun ditunda selama persiapan, saat ujian hingga minggu setelahnya. Tentunya kami berdua butuh istirahat dan refresing untuk menyegarkan otak. Tidak hanya kami, tapi seluruh siswa yang sedang di hadang ujian.

Ujian dimulai cukup satu minggu dengan jadwal per hari 2 mata pelajaran. Setiap satu mata pelajaran 2 jam lamanya kecuali untuk praktek sekitar 1,5 jam agar bisa bergiliran mengingat persediaan bangku yang sedikit. Sisanya olahraga yang lebih panjang saat sore hari jam 3 di gor.

Pertama kalinya, aku bisa bertemu Noval disaat olahraga. Dia berkerumun bersama teman – teman akselerasinya di lapangan, tidak jauh dari tribun penonton. Mengenakan baju olaraga yang terlihat kebesaran di tubuhnya. Dia semakin terlihat gendut.

Tapi, sekali lagi, seluruh cowo di Manado ini yang putih, tinggi, ganteng terkalahkan karena aura Noval yang maskulin bagiku !

Mungkin teman – temanku akan muntah mendengar curahan hatiku ini.

Aku menatapnya diam – diam dari tribun lapangan bola sambil duduk memangku dagu dengan kedua tanganku.

”Anak akselerasi itu sombong yah ?”

Aku menoleh ke arah sumber suara.

Tia, di sampingku menggerutu sambil memperhatikan ke arah yang sama dengan apa yang ku perhatikan.

”Apa ? Lihat’lah, mereka itu badannya kecil dan wajahnya masih anak – anak. Tapi, aura pintar dan sombongnya itu kelihatan ! tiap hari selalu kumpulnya sekelas mulu !” Celotehnya memprotes tatapanku pada Tia.

Aku menyunggingkan bibirku, menyetujui apa yang dibicarakannya.

Iya, anak akselerasi memang seperti itu !

Padahal masih ada kelas bilingual, unggulan dan reguler yang seangkatan dengan mereka. Tetapi hanya ketiga kelas itu yang Saling berbaur satu sama lain. Kelas akselerasi adalah kelas istimewa karena sistem 2 tahun, makanya, perombakan kelas mereka hanya terjadi di kelas tiga. Gak seperti kami yang setiap tahun di rombak ditambah lagi lokasi kelas mereka yang tersendiri.

Hari ini ujian lari 100 meter, lompat jauh dan setelah itu renang bebas. Ujian di pimpin oleh 10 orang guru. Pertama adalah kelas bilingual, setiap murid maju sebanyak 6 orang menurut absen dan segera ambil posisi untuk lari 100 meter. Urutan absen dikelompokan terpisah antara laki – laki dan perempuan karena beda jauh kekuatan keduanya saat berlari. Selanjutnya, 6 orang itu langsung pergi ke pos lompat jauh dan melaksanakan ujian tersebut.

”Rachel, giliranmu tuh ?!” Pekikku memandang ke arah start lari 100 meter.

”Haduh, ganteng banget’kan ya dia ?!” Puji Rachel terlihat memelas.

”Iya, ganteng. Syukur banget aku gak suka sama dia.” Sahutku.

Rachel menyukai Reygik, ketua osis yang baru. Dia berkulit putih, tinggi, hidung mancung, matanya bulat, rambutnya hitam lurus, terlihat ringan ketika di tiup angin dan mengenakan kacamata. Nilainya selalu hebat di semua mata pelajaran, selain itu olahraga basket juga lincah. The perfect boy.

Tidak hanya Rachel, hampir semua siswi bisa menyukainya. Aku mengakui ke istimewaannya. Tapi, menyadari aku menyukai orang yang jauh terbalik dari apa yang dilihat mayoritas wanita di sekolah. Ibarat di pelajaran kimia aku tuh senyawa yang menyimpang.

Aku menatap Noval kembali.

Inilah aku, menyukai seseorang tanpa adanya fisik bahkan sebelum Noval menunjukkan kebaikannya padaku.

”Lari tercepat !” Seru Tia menonton Reygik.

Ketua osis berhasil mendapatkan runtutan pertama dalam lari 100 meter. Hebat banget ! begitulah komentar para wanita, terkecuali aku.

”Tuh, Gimana Noval, udah lari dia ?” Celetuk Tia menggodaku.

”Puff, Noval lari kayak mana nantinya ?” Rachel terkekeh membayangkan.

Tanpa dibayangkan pun aku sudah tau kalau Noval bakal biasa – biasa saja dalam olahraga yang menghasilkan keringat, kecuali renang. Dia mungkin bisa juara. Anak gamer sepertinya hanya akan berlari didalam dunia maya.

”Iya, dia udah lari lebih dulu. Lari dari aku.” Sahutku melucu.

Tia dan Rachel memekik tertawa.

***

Sembari menunggu lamanya satu jam, akhirnya giliran kelasku tiba. Aku, Rachel, Tia dan Lia baru saja kembali dari kantin di luar gor. Menunggu sambil menyantap makanan adalah hal yang paling ternikmat.

”Eh, tadi nonton si Noval gak ?” Icha menghampiri kami.

”Ngos – ngosan gitu, nih minum dulu !” Tawariku menyerahkan sisa setengah dari isi botol minuman pada Icha, ”Nggak, lagi males, laper, kenapa ?” Jawabku sekaligus bertanya balik.

Icha meneguk sebanyak mungkin minuman yang kuberikan lalu mengangkat tangannya. Ia menyuruhku menunggu. Icha melap mulutnya dengan baju bagian lengan lalu menarik nafas dalam – dalam.

”Barusan giliranku lari sama lompat, cepat gih, kelas kalian udah mau mulai, apalagi Lia, urutan pertamakan ?!” Kata Icha mengingat Lia berada di urutan absen awal.

”Ohh !” Lia memekik lalu berlari ke arah tempat ujian.

”Si Noval, ituh . . . dia dapat urutan kedua !” Ujar Icha membola.

Aku berjalan menuju lapangan tempat ujian, di ekori oleh Rachel, Tia dan Icha, ”Pasti karena cuma dia yang tinggi ?” Tukasku.

Icha menggeleng, ”Nggak, dia lari lumayan kencang.” Ulang Icha meyakinkanku.

Sesampainya di lapangan aku mencari – cari keberadaan Noval. Dia sedang duduk bersama beberapa temannya. Dia tertawa dan bercanda.

SET !

Aku langsung memalingkan wajahku ketika dia menoleh ke arah lapangan. Tempat kami akan berlari.

”Hampir yah ?” Celetuk Rachel melihat tingkat bodohku.

”Bangeeet !” Pekikku.

”Eh, kok Icha belakangan sih larinya dari kelas akselerasi ?” Tanya Tia bingung karena Icha anak bilingual.

Aku dan Rachel mengangkat bahu.

”Coba tanya dia.” Kata Rachel.

Tia celingak – celinguk mencari sosok Icha.

Aku juga ikut mencari.

”Ngilang dia . . .” Rachel menyipitkan mata untuk mencari lebih jauh.

”Putri !” Regina berteriak.

Aku menoleh segera dan terkejut karena sudah dipanggil oleh guru sedari tadi.

”Putri, sudah hampir bapak coret namamu nih !” Sahut Pak Guru Olahraga berkepala botak yang silau terkena cahaya matahari sore.

Aku segera lalu mengambil posisi di lintasan untuk lari 100 meter.

Posisiku ketiga dari enam siswi yang akan ikut ujian. Berikutnya disebelahku ada Rachel dan beberapa teman sekelas sesuai urutan absen khusus perempuan. Rachel terkekeh sebelum akhirnya memanggilku. Dia ingin membisikkan sesuatu.

Mendekatkan telingaku padanya.

”Tadi dia ngeliatin loh pas nama kamu di teriakin Regina.” Bisik Rachel.

”Beneran ?” Tanyaku terkejut ingin segera memandang Noval tapi kutahan sebisa mungkin.

”Iya, dari namamu dipanggil sampe kamu ngambil posisi sekarang !” Seru Rachel sekaligus menggodaku.

”Ih, udahlah nanti aku gak bisa lari !”

”Bukan urusanku, hehehe . . .” Rachel merasa menang telah membuatku kalah dari awal.

Aku lemas dan jantungku berdegup kencang karena ada yang sedang melihatku. Itulah pikiran yang menguasaiku saat ini. Berkat Rachel, aku jadi menganggap bahwa Noval benar – benar memperhatikanku saat ini.

Arrghh . . .

”Posisi siap !” Pak guru botak itu memerintahkan kami untuk bersiap.

Aku gak boleh lengah ! pelajaran boleh nol tapi, setidaknya aku bisa hebat di bidang olahraga !

Aku bernafas sebaik mungkin mempersiapkan diriku.

Priit !!

Tanpa memandang apapun kecuali di lintasan yang akan ku lewati, aku lari sekencang mungkin yang kubisa. Hanya beberapa detik kami semua bisa mencapai garis finish. Aku membuang nafas lega dan menghentikan langkahku begitu juga teman – teman yang lain.

”Eh yuk, hampiri Pak guru biar tau berapa detik.” Ajak Nasya, salah satu teman sekelasku.

Aku mengangguk dan mengajak Rachel juga dengan mataku.

Kami berbaris berurutan siap mendengarkan hasil dari Pak guru.

”Sesuai urutan barisan aja, 1 = 13 detik, 2 = 12.4 detik, 3 = 12.9, 4 = 12 detik,  5 = 12.9, 6 = 13.5 !” Ujar Pak guru menyebutkan hasil dari kecepatan kami berlari.

”Ciee, Rachel urutan pertama !” Pujiku menyikut Rachel.

”Lah, kamu urutan ke tiga,” Sahutnya memujiku juga, ”Berkat doronganku ’kan ?” Godanya langsung.

Mataku membola, ”Dih, Iya ya . . .” Kuakui dengan malas seraya memutar bola mataku.

Selanjutnya adalah lompat jauh.

Aku menggandeng tangan Rachel dan menyusuri lapangan bola yang penuh dengan rerumputan. Tepat diujung lapangan, ada space yang tersedia pasir cukup luas untuk lompat jauh.

”Dia ngelihatin gak ?” Tanyaku sembari menatap ke bawah sambil berjalan.

”Gak tau, aku udah gak merhatiin.” Kata Rachel hampir melirik ke arah belakang. Ke arah tribun yang sudah mulai jauh.

”Hmm . . .”

Mataku teralih pada tiga orang sedang berjalan ke arahku. Begitu juga dengan Rachel. Kami hanya melihat sekilas lalu saling melewati tanpa menyapa atau tersenyum. Berpura – pura kedua sisi itu sibuk dengan urusannya masing – masing padahal saling memikirkan satu sama lain.

”Kamu gak mau pulang bareng mereka lagi ?” Tanya Rachel begitu sudah terasa jauh dari jarak mereka bertiga.

Aku menoleh lalu menggeleng, ”Aku gak mau kehilangan kamu lagi.” Ucapku sok romatis.

Hi de de eh,” Desisnya geli.

”Gak cuma kamu, yang lain juga. Ya, Tia, Icha, Ria, Lia dan Yola.” Tambahku tidak ingin pilih kasih.

”Meskipun sekarang mereka mengumbar – umbar tentang kamu berbohong waktu itu, kamu gak mau benerin aja omongan mereka ?” Tanya Rachel.

Seperti sengatan lebah, aku teringat akan sifat yang tamak dan sombong itu. Aku yang melakukannya.

”Tentang punya pacar 100 ?” Aku tertawa sinis.

Rachel tertawa kecil, ”Hahaha . . . Iya.”

”Siapa suruh mereka percaya, biarin aja.” Dengus aku tidak perduli.

Berbohong.

Salah satu tindakan yang menurutku bodoh. Demi mempopulerkan diri, menjual cerita dusta yang berakhir kerugian begitu besar. Kejadian itu tidak’lah lama. Bersyukur aku langsung menghindar.

 Seminggu yang lalu . . .

Pertengkaran adalah hal yang wajar dalam setiap pertemanan. Cemburu, tidak adil, pilih kasih dan masih banyak lagi. Saat ini, ketika semua orang ingin mendapatkan suatu pujian dan pengakuan, mereka akan berkorban. Aku, memilih untuk berbohong.

”Apa !? Kamu punya pacar orang Jepang ?”

”Hehehe . . .”

Ternyata, berbohong karena ingin populer itu berat. Iya, menciptakan kebohongan yang tak pernah dirasakan sebenarnya itu seperti menceritakan sebuah mimpi.

”Terus, kalian saling menghubunginya gimana ?” Tanya Lucy.

”Yah, setiap enam bulan sekali’lah ketemunya. Soalnya’kan dia harus sekolah di Jepang. Orang tua juga udah saling kenal makanya tidak takut kalau teleponan.” Jelasku menciptakan serangkaian cerita khayalan.

Beberapa teman kelas berkumpul mendengarkan cerita mimpiku. Kemewahan cerita yang disenangi oleh Lucy, Queen, dan Anidya. Lalu ada Tia dan Lia ikut mendengarkan dan masih bisa untuk di bohongi. Tapi tidak untuk Rachel yang hanya menatap bosan mendengar kebohonganku.

Jika istirahat aku duduk bersama teman – teman dekatku di kantin sambil membicarakan film ftv yang di tonton setiap sore hari atau kartun dengan episode yang cukup panjang untuk dijadikan bahan cerita, sekarang aku memilih untuk bergosip tidak jelas di kelas.

”Uwiiiii . . . serunya dijodohin dari kecil !” Seru Anindya menutup mulut dengan kedua tangannya.

”Terus katanya kamu punya pacar juga di Jayapura, gimana tuh ?” Tanya Queen.

Sepertinya, kebohongan yang telah kuceritakan sebelum cerita ini telah didengar olehnya.

”Oh itu, pas ke sini sih udah putus, dua – duanya kok udah di putusin.” Jelasku memikirkan apalagi yang harus kuciptakan.

”Pacarmu di Jayapura ada dua ?! Gila, gimana tuh jalan – jalannya ? gak ketahuan ?” Queen takjub seraya menggigit kecil kuku jari jempolnya.

Aku terkekeh kecil, ”Ya, diatur’lah supaya gak ketahuan.” Celotehku sambil tersenyum sinis, ”Lagian udah putus juga.” Tambahku ingin mengakhiri kebohongan ini.

”Wahh... aku mau’lah punya pacar banyak. Pasti dibeliin macam – macam !” Cetus Lucy setelah mendengar cerita bohongku.

”Ohh . . . Iya, mereka tuh mau beliin apapun yang aku minta. Tapi, yah tau’lah namanya juga masih SMP kelas satu, cinta – cinta monyetlah ! paling beliin bakso.” Ah . . . Aku tidak bisa menahannya, semakin banyak kebohongan yang kuciptakan.

”Duh, cinta’tuh gak ada yang monyet !” Celetuk Tia mengayunkan tangannya, “Tapi, cintanya kita itu masih egois !”

”Hah, kata siapa ?” Tanyaku sinis.

”Kata sepupuku, dia kakak yang kuliahnya di psikiater.” Kata Tia.

”Kenapa egois ?” Tanyaku merasa tidak terima.

”Iya, kita tuh egois, maunya cinta itu tuh sesuai dengan apa yang kita mau !” Katanya lagi, ”Tapi gak tau ya, soalnya dia jelasin lagi kalo egois itu banyak faktornya.” Tambahnya.

Teman – teman mulai mendengarkan Tia. Terpaksa aku juga harus mengakhiri kesenanganku sementara. Merasa bahwa cerita Tia lebih menyenangkan dariku, bahkan aku menjadi bad mood karena mereka tidak memperhatikanku lagi. Dengki dan iri muncul dari dalam hati. Tanpa sadar, aku makin menjadi.

Awalnya, kebohongan ini hanya sebatas pada ceritaku saja. Tapi tidak ketika Lucy, Queen dan Anindya sudah mengerubuniku. Munculah kegiatan yang sangat disukai setan, gosip. Gosip apapun menjalar dipikiran kami berempat, bukan kebaikan orang, tapi keburukannya juga. Akhirnya aku menjadi akrab dengan mereka. Selalu pulang bersama seminggu terakhir sebelum ujian.

Pertemuanku dengan Rachel, Tia, Ria, Lia, Yola dan Icha mulai berkurang, karena setiap hari aku langsung ditarik oleh Lucy cs.

Ada untungnya juga, aku toh bisa belajar ber-make up dan belanja barang – barang branded yang tidak ku ketahui. Bisa nonton di bioskop untuk pertama kalinya dan karaokean sepuasnya.

Suatu hari saat sekolah pulang cepat aku sangat ingin menonton di bioskop untuk kedua kalinya. Sontak saja aku mengajak mereka bertiga ketika pulang sekolah.

”Duh, Nonton ?” Lenguh Lucy ditengah perjalanan kami menuju halte.

”Iya, nonton yuk ?” Tanyaku semangat, ” Hari ini ada film bagus loh !” Rayuku.

”Tapi uangku habis buat istirahat tadi . . . Gimana ?” Anindya juga mengeluh.

”Tunggu . . .” Aku mengambil dompet di dalam tasku lalu memeriksa isinya.

Aku tersenyum, ”Ayo deh, ku traktir kalian semua !” Kali ini rayuanku akan berhasil.

”Hmm, boleh deh !”

”Ah kalau gitu aku gak perlu cemas’lah !”

Mereka menghela nafas lega.

Hari – hari selanjutnya, giliranku yang menghela nafas. Lama - lama aku merasa dimanfaatkan. Jalan – jalan, nonton, main, seluruhnya aku yang bayar. Tidak hanya satu orang, tapi ketiganya !

Tapi, aku tidak bisa menolak. Aku takut, takut kalau mereka akan menjauhiku. Padahal saat itu aku sudah jarang untuk berbarengan dengan Rachel Cs.

Sampai pada harinya, aku merasa tidak benar dan mereka membicarakan suatu hal yang tidak kusukai.

”Menurut kamu Rachel itu kurus banget gak sih ? Ngomongnya juga gak sopan !”

Deg !

”Kok kalian bilang gitu ?”

”Eh, Sorry yah Put, aku sih tau kamu temen baiknya dia, tapi’kan kamu udah deket sama kita.” Terka Anindya, ”Iya’kan ?”

”Gini’deh, kamu pasti punya uneg – uneg yang sama kayak kita’kan tentang teman – temanmu itu, makanya sekarang kamu lebih suka dekat bareng kita ?” Desakan Lucy hampir buatku tak bisa berkutik.

”Semua teman sama aja, Aku dekat sama Rachel mau dia buruk atau baik.” Usahakan bijak meski jawabanku itu akan menghasilkan akhir yang menakutkan.

”Ohh . . .” Lucy terlihat kaku, ia menunjukkan wajah sinisnya.

Aku tau mereka semua tidak akan menerima apa yang kukatakan.

Saat itu jam pelajaran fisika sisa 1 jam lagi dan kami sekelas telah melewatinya tanpa beliau mengajar. Jam kosong.

Duduk bersama Lucy dan di depanku ada Queen juga Anindya. Kami bercerita panjang lebar soal aksesoris yang terbaru di mall hingga akhirnya kembali lagi dan lagi menggosipkan orang. Tapi, kali ini yang di gosipkan adalah Rachel.

Rachel sahabatku yang sejak awal selalu memperhatikan dan menemani kemana-pun aku pergi. Memikirkan Rachel dan memandangnya sedang duduk di pojok kelas paling ujung belakang. Tempat biasanya aku dan dia duduk bersama sekarang di gantikan oleh Tia. Aku merindukannya, masa – masa aku selalu bercanda dan dia selalu memberikan apa yang kusukai. Ahh, aku pun belum membalas apapun akan kebaikan yang dimilikinya.

Padahal hanya 5 hari bersama ketiga wanita ini. Tetapi, memang tidak ada yang bisa membuatku betah selain Rachel, Tia, Lia, Ria, Yola dan Icha. Mereka jauh lebih baik.

”Eh, nanti jadi mau makan di kfc ?” Queen menyela dan membahas hal yang menguntungkan baginya.

”Iya, jadikan Put ? aku udah nyiapin perut nih !” Anindya memegang perutnya.

”Eh, emang kita pernah janjian mau makan disana ?” Tanyaku sambil mengingat – ingat.

”Ya elah, ’kan udah rutinitas !” Cetus Queen mengayunkan tangannya.

Aku hanya menarik nafas. Inginku menolak mereka secara tegas. 

”Gimana Put, atau mau makan ditempat lain ?” Tanya Lucy seraya memainkan jari tanganku.

”Mm, maaf ya . . . aku ada janji sama kelompok lima buat ngumpulin tugas.”

”Yaaahhh . . . gak bisa dibatalin kah ? besok – besok’lah.”

”Ah, sorry gak bisa, hari ini’kan terakhir.” Elakku sebisa mungkin.

Syukurlah, hari ini aku harus rembukan lagi untuk tugas kodok dan tanaman yang harus dikumpulkan sebelum ujian di mulai minggu depan. Selesainya usahaku dan teman – teman mencari tugas yang diperintahkan, akhirnya kami, kelompok lima mengumpulkan tugas di hari terakhir sebelum masuk ke akhir pekan.

Setidaknya aku memiliki alibi untuk menghindari mereka yang membuatku muak dengan sikap bodohku terhadap mereka.

”Ck . . .” Decak Anindya lalu tersenyum kecil lalu membalikkan badannya.

Gadis itu kesal.

 Degup jantungku terasa berdetak pelan namun keras. Aku takut. Perasaan ini muncul, takut bahwa aku akan dijauhi oleh mereka. Tapi, aku tidak ingin menuruti kemauan mereka terus – menerus. Sama saja seperti orang bodoh.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Shinta
5726      1700     2     
Fantasy
Shinta pergi kota untuk hidup bersama manusia lainnya. ia mencoba mengenyam bangku sekolah, berbicara dengan manusia lain. sampai ikut merasakan perasaan orang lain.
Kala Saka Menyapa
10617      2564     4     
Romance
Dan biarlah kenangan terulang memberi ruang untuk dikenang. Sekali pun pahit. Kara memang pemilik masalah yang sungguh terlalu drama. Muda beranak begitulah tetangganya bilang. Belum lagi ayahnya yang selalu menekan, kakaknya yang berwasiat pernikahan, sampai Samella si gadis kecil yang kadang merepotkan. Kara butuh kebebasan, ingin melepas semua dramanya. Tapi semesta mempertemukannya lag...
Tetesan Air langit di Gunung Palung
404      275     0     
Short Story
Semoga kelak yang tertimpa reruntuhan hujan rindu adalah dia, biarlah segores saja dia rasakan, beginilah aku sejujurnya yang merasakan ketika hujan membasahi
Gray Paper
511      281     2     
Short Story
Cinta pertama, cinta manis yang tak terlupakan. Tapi apa yang akan kamu lakukan jika cinta itu berlabuh pada orang yang tidak seharusnya? Akankah cinta itu kau simpan hingga ke liang lahat?
Putaran Waktu
660      446     6     
Horror
Saga adalah ketua panitia "MAKRAB", sedangkan Uniq merupakan mahasiswa baru di Universitas Ganesha. Saat jam menunjuk angka 23.59 malam, secara tiba-tiba keduanya melintasi ruang dan waktu ke tahun 2023. Peristiwa ini terjadi saat mereka mengadakan acara makrab di sebuah penginapan. Tempat itu bernama "Rumah Putih" yang ternyata sebuah rumah untuk anak-anak "spesial". Keanehan terjadi saat Saga b...
Mapel di Musim Gugur
419      295     0     
Short Story
Tidak ada yang berbeda dari musim gugur tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya, kecuali senyuman terindah. Sebuah senyuman yang tidak mampu lagi kuraih.
Alzaki
1585      703     0     
Romance
Erza Alzaki, pemuda tampan yang harus menerima kenyataan karena telah kejadian yang terduga. Di mana keluarganya yang hari itu dirinya menghadiri acara ulang tahun di kampus. Keluarganya meninggal dan di hari itu pula dirinya diusir oleh tantenya sendiri karena hak sebenarnya ia punya diambil secara paksa dan harus menanggung beban hidup seorang diri. Memutuskan untuk minggat. Di balik itu semua,...
Please stay in my tomorrows.
350      249     2     
Short Story
Apabila saya membeberkan semua tentang saya sebagai cerita pengantar tidur, apakah kamu masih ada di sini keesokan paginya?
ZAHIRSYAH
5667      1718     5     
Romance
Pesawat yang membawa Zahirsyah dan Sandrina terbang ke Australia jatuh di tengah laut. Walau kemudia mereka berdua selamat dan berhasil naik kedaratan, namun rintangan demi rintangan yang mereka harus hadapi untuk bisa pulang ke Jakarta tidaklah mudah.
The War Galaxy
11746      2378     4     
Fan Fiction
Kisah sebuah Planet yang dikuasai oleh kerajaan Mozarky dengan penguasa yang bernama Czar Hedeon Karoleky. Penguasa kerajaan ini sungguh kejam, bahkan ia akan merencanakan untuk menguasai seluruh Galaxy tak terkecuali Bumi. Hanya para keturunan raja Lev dan klan Ksatrialah yang mampu menghentikannya, dari 12 Ksatria 3 diantaranya berkhianat dan 9 Ksatria telah mati bersama raja Lev. Siapakah y...