Rumah mewah di batas selatan sebuah desa itu terlihat sepi. Meski sudah lama ditinggal pemiliknya, rumah itu tetap terawat rapi dengan lingkungan yang bersih. Tetapi, suara-suara gaduh terdengar dari dalam. Ada pertarungan di rumah mewah ini.
Seorang pemuda terpukul mundur ke dinding setelah di hantam lawannya. Ia memegang dadanya yang sakit yang ternyata ada bekas luka bakar di dadanya itu.
"Tunggu dulu, aku bisa menjelaskannya, Retia!" sudah jelas, pemuda itu kelelahan bertarung. Napasnya sudah tak bisa ia kendalikan lagi.
"Tidak ada penjelasan bagi seorang penghianat, Gio!" seorang gadis yang lebih muda darinya keluar dari kepulan asap dan debu. “Kau sama saja dengan mereka! Penghianat! Penipu! Aku benci… aku benci kalian semuaaa….” tiba-tiba api muncul dari kepalan tangan kanannya.
Kemarahan gadis itu membuat pukulannya ke Gio semakin kuat hingga Gio menembus dinding dan tersungkur ke lantai. "Inilah akibatnya karena diam-diam menghianatiku"
"Dan semua orang-orang sepertimu..., akan aku habisi" mata merahnya yang memandang ke bawah terlihat begitu kejam.
Gadis itu, Retia, kembali mengeluarkan api. Kali ini, dia hendak membunuhnya.
"Tunggu!" seseorang datang. "Jangan membunuhnya! Ini bukan hal yang diinginkan saudarimu"
Kata-kata itu yang sangat sederhana tetapi membuat efek hebat kepadanya. Tersentak, dia menghentikan apinya.
"Tch" Retia menutup kepalanya dengan hoodie yang terpasang di jaketnya. Lalu pergi tanpa sepatah kata lagi.
* * *
Di sebuah padang rumput yang luas. Terdapat sebuah danau kecil dengan satu pohon besar di salah satu sisinya. Di bawah teduhnya bayangan pohon, Retia bersandar sambil menatap langit. Kali ini dia tidak menutup kepalanya sehingga rambutnya yang unik dapat dilihat dengan jelas. Rambutnya memiliki 2 warna: putih dan merah yang ia panjangkan sampai melebihi sedikit bahunya. Putih adalah warna dominan, sedangkan merah hanya ada di sepanjang rambut depan dan di ujung-ujungnya saja.
"Fyuuh..." dia menghembuskan napas lega lalu tersenyum. "Jika disini, aku bisa tenang. Awan-awan putih di langit, mengingatkanku padamu, Shiva"
Kenangan masa lalu terbayang di pikirannya.
"Hei, Retia, kenapa kau menutup kepalamu? Rambut merahmu tidak bisa kulihat dengan jelas" seorang gadis kecil berambut putih berkata padanya. Ternyata dulu rambut Retia berwarna merah semua.
"Aku tidak suka rambut ini. Orang-orang memandangku dengan takut karena memiliki rambut berwarna merah"
"Memangnya kenapa? Rambutku juga memiliki warna yang berbeda dari semua orang. Kita ini istimewa, jadi mereka merasa iri dengan kita" gerutu Shiva dengan pipi yang digembungkan. “Lagipula, dengan wajah cantik yang dipadukan dengan rambut yang indah pula, mana ada orang yang tidak iri padamu”
"Kurasa bukan begitu. Kau seharusnya sudah tahu, Shiva, rambut putih itu anugerah, tapi rambut merah…” dia menelan ludah, “…perlambang malapetaka” kata Retia dengan lirih.
Di saat Retia sedang menunduk sedih, dua tangan menggapai bahunya dengan genggaman kuat. “Itu tidak mungkin” Shiva bergeleng. “Merah itu sangat indah dan aku sangat menyukainya”
Retia melihat wajah saudari kembarnya. Wajah mereka mirip, kecuali warna mata dan rambut.
Shuvi melanjutkan perkataannya, "Dan percayalah! Suatu hari nanti, tidak hanya aku yang menyukainya. Semua orang pasti mengagumimu" senyuman terpatri di wajahnya. “Dan kau adalah saudari yang paling kusayangi di dunia”
Mendengar pernyataan itu dan melihat senyuman di wajah saudarinya, ia merasa sangat tenang dan tersenyum juga. Ia merasa beruntung memiliki keluarga yang sangat menyayanginya.
"Hnn" angguknya. “Terima kasih, Shiva”
"Dan... meskipun kita kembar, aku ini tetap yang lahir lebih dulu. Jadi sebagai kakak, aku akan selalu melindungi adikku" lanjut Shiva.
"Iya-iya, kakakku yang cantik. Tapi sebagai keluarga, aku juga akan melindungimu. Tidak akan kubiarkan kau tersakiti"
Shiva senang mendengarnya. "Baiklah. Kau memang saudariku yang paling hebat"
Keduanya tertawa dengan bahagia.
Kenangan itu berakhir dalam pikirannya.
"Shiva, andai kau masih disini. Aku..." air mata mengalir dengan deras. "Aku menyesal... seharusnya aku melindungimu" suaranya tersendak. Dia lalu memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya di dalam dekapan itu.
Meski wajahnya tak terlihat, tapi tampak jelas kalau dia sedang menangis.
"Aku bodoh. Maaf…."
* * *
Di depan gerbang desa, ada seseorang yang mendatangi penjaga. Orang itu terlihat masih muda. Ia memakai jaket biru panjang yang melebihi pinggangnya dan tanpa mengancingnya. Hoodie di jaketnya pun terllihat hanya tambahan saja.
"Permisi, dimana aku bisa mendaftar sebagai warga di desa ini?" tanya orang itu.
Penjaga itu yang tadinya waspada kepadanya, mendadak berubah sikap setelah orang itu menyebutkan ingin menjadi warga desa "Oh, pendatang baru yang mau menetap ya?" tanya si penjaga.
Orang asing itu mengangguk.
"Kau hanya perlu pergi ke rumah Tuan Herodis. Itu disana" penjaga itu menunjuk ke arah padang rumput yang cukup luas. Hanya ada satu rumah atau lebih tepatnya sebuah mansion yang ada di padang itu.
"Ah, terima kasih" dia melangkah pergi.
"Tunggu dulu, siapa namamu? Setidaknya aku perlu tahu nama penduduk baru di desa ini" ucap si penjaga yang menghentikan orang asing tersebut. "Oh ya, sebelumnya, namaku Baro Mitry”
Pemuda asing itu menoleh. Matanya yang berwarna emas memandang dengan ramah, tapi juga misterius.
"Salam kenal, Tuan Baro, aku Lemmy Nashville"