Senin pagi yang padat membuat suasana kota Jakarta terlihat semakin keruh saja di mata Zee. Zee yang sedang dikejar waktu saat ini merasa bahwa keramaian kota yang menjadi salah satu ciri khas kota Jakarta hanya membuatnya menjadi sial saja.
"Ayo, maju dong, cepet!!!" gerutu Zee dari kursi belakang, "Pak, klaksonin lagi, dong! Biar mobil di depan cepet jalannya!" Kali ini, gerutuan Zee beralih kepada supir taksi yang sedang menyetir mobil yang ditumpanginya.
Belum cukup melampiaskan kepanikannya kepada supir taksi tersebut, Zee pun berujar lagi, "Duh, ada apaan sih di depan? Kenapa pada lambat banget sih jalannya?!"
Zee yang semakin panik kemudian melihat jam tangannya yang dengan jelas menunjukkan bahwa waktu yang ia punya semakin menipis, membuatnya tak henti-hentinya mengomentari keadaan jalanan yang dilaluinya itu.
"Yang sabar, mbak. Jakarta kan memang begitu. Ada atau nggak ada apa-apa, ya... macet terus. Kalo nggak macet, bukan Jakarta namanya." Sang pengemudi taksi pun berusaha menghibur Zee yang sedari tadi tak hentinya menggerutu. Namun karena Zee sedang dalam mood yang sangat tidak baik, akhirnya gurauan supir taksi tersebut dianggap angin lalu saja oleh sang penumpang.
"Ya udah, sekarang yang penting bapak cepetan aja deh nyetirnya, kereta saya empat puluh lima menit lagi berangkat, nih!" Zee pun mulai pasrah dengan jalanan semrawut yang dilaluinya, sementara sang supir yang mendengar ucapan Zee pun terkejut.
"Walah, empat puluh lima menit lagi?! Kenapa nggak bilang dari tadi, mbak?! Saya kan bisa pakai jurus nyetir andalan saya biar kita bisa sampai lebih cepat ke stasiun!" Kemudian, supir taksi tersebut menginjak pedal gas dalam-dalam dan melajukan taksi yang dikendarainya dengan ganas dan manuver yang lincah, lalu berbelok melalui jalan pintas yang tidak pernah Zee ketahui sebelumnya, sementara Zee hanya bisa menghela napas sambil berharap agar ia bisa sampai ke stasiun secepatnya, bukannya nyasar ke rumah sakit atau justru malah diculik oleh supir taksi ini.
Zee, ini bukanlah saat yang tepat untuk berburuk sangka, lebih baik sekarang perbanyak memanjatkan doa saja.
Semua ini memang bukan sepenuhnya kesalahan si supir taksi, sebenarnya. Namun, tetap saja bukan berarti supir taksi tersebut lantas adalah pihak yang benar. Memang, salah satu faktor yang membuat Zee telat adalah karena dirinya sendiri--pada saat akan meninggalkan tempat tinggal lamanya, ia masih saja mengumpulkan barang-barang yang harus ia bawa pergi. Akibatnya, ia harus membuat supir taksi yang dipesannya menunggu.
Namun setelah ia keluar dari tempat tinggalnya, ia malah tidak menemukan taksi pesanannya itu, padahal supir taksi tersebut sudah memberitahukannya beberapa menit yang lalu bahwa supir taksi tersebut sudah menunggunya.
Ia masih ingat percakapan antara ia dan supir taksi ini satu jam yang lalu melalui telepon ketika ia dan supir itu berdebat tentang lokasi tunggu yang dijanjikan sebelumnya--yang mengantarkannya pada gerbang mood buruknya hari ini dan pada kesialan pertamanya di hari ini.
"Pak, saya kan tadi pesannya bapak tunggu saya di dekat minimarket itu, kok saya tunggu sampai sekarang taksinya belum ada, ya? Katanya tadi udah sampai?" Zee yang sudah berdiri di dekat minimarket yang dimaksud berusaha bersabar mendengar penjelasan sang supir sekaligus menunggu kedatangan taksi yang dipesannya itu.
"Lho, saya juga lagi nunggu mbak di minimarket yang mbak bilang itu tapi kok nggak ada mbak, ya?" Ketika tahu bahwa mereka sama-sama sedang menunggu, Zee pun menjadi semakin bingung.
"Memangnya bapak nunggu dimana?" tanya Zee sambil melihat ke kiri dan kanan, mencari keberadaan taksi tersebut.
"Ya... di minimarket yang tadi mbak bilang itu..." Merasa benar, supir itu menjawab pertanyaan Zee dengan yakin.
Karena tak kunjung menemukan batang hidung si supir taksi, akhirnya Zee pun berniat untuk berjalan ke arah lain, mencari transportasi lainnya yang dapat mengantarkannya ke stasiun secepatnya, karena jika ia terus-menerus berdebat dengan sang supir tanpa adanya sebuah titik terang, ia akan ketinggalan keretanya.
"Eh mbak, tunggu! Saya ngeliat mbak!" Mendengar seruan itu, Zee pun seketika menghentikan langkahnya. Ia kembali menoleh ke kiri dan kanan, tetapi tidak ada siapa-siapa.
Lihat dari mana, coba? Orang ini mau mempermainkanku dengan menakut-nakutiku, gitu?
"Di belakang mbak!" Spontan, Zee langsung menoleh ke belakang dan melihat pria paruh baya melambai kepadanya dari kejauhan, dan ia melihat pria itu berdiri di dekat sebuah minimarket yang memiliki nama yang sama dengan minimarket tempatnya berdiri.
Ternyata memang benar supir itu menunggu di depan minimarket dengan nama yang mirip seperti yang ia pesankan sebelumnya, tetapi lokasi minimarket tersebut berbeda--dan Zee baru menyadari jika ada dua minimarket yang memiliki nama yang mirip dengan lokasi yang cukup berdekatan. Mencoba mengumpulkan kesabarannya yang masih tersisa di dalam ruang emosinya, Zee pun menghampiri taksi tersebut.
"Mbak, sudah sampai. Katanya buru-buru? Kok masih melamun disini?" Supir tersebut berusaha menyadarkan Zee dengan melambaikan tangannya di depan wajah Zee, menuntut kesadaran Zee untuk segera kembali.
"Oh iya, pak." Segera, Zee mengeluarkan uangnya untuk membayar sang supir, kemudian ia langsung berlari masuk menuju ke dalam stasiun.
Setelah berada di dalam, Zee pun langsung mencari peron di mana keretanya menunggunya--dan beruntung, ternyata keretanya belum datang, tetapi mungkin sebentar lagi. Zee pun berjalan menyusuri peron dimana orang-orang menunggu kedatangan kereta yang sama dengan yang akan ditumpanginya juga, matanya memindai satu per satu orang yang duduk di kursi tunggu peron tersebut, kemudian Zee agak terkejut ketika ia melihat salah satu di antara mereka. Kurang yakin apakah sosok tersebut adalah sosok yang dikenalnya atau tidak, Zee pun memilih untuk berlalu dari sosok tersebut, lalu memutuskan untuk menduduki kursi yang berada tak jauh dari sosok tersebut.
Masih dengan rasa penasaran yang cukup besar, Zee segera membuka ponselnya kemudian membuka grup perantau asal Jakarta tempatnya bergabung, lalu ia membuka salah satu display picture anggota grup tersebut yang pernah chat dengannya sebelum keberangkatannya hari ini.
Dari cirinya sih memang benar dia orangnya. Tapi setelah aku tahu kalau memang dia orangnya, apa yang harus aku lakukan?