Patah hatimu jangan kau ceritakan padaku. Jangan membuat hal yang tertata rapi menjadi berantakan hanya dengan pengalaman burukmu yang akan menjatuhkanku. Aku butuh dukungan, bukan keraguan.
***
20 Juni 2017
“Lika... bangun sayang... hei!”
Samar-samar aku mendengur suara laki-laki membangunkan tidurku. Dengan mata yang berat sekali untuk di buka akhirnya aku melihat langit-langit kamarku yang berwarna hitam, bukan warna yang hitam tetapi lampu kamar yang tidak menyala karena aku yang mematikannya sebelum tidur tadi.
Nyawaku belum sepenuhnya terkumpul dan aku terkesiap saat lampu kamar tiba-tiba menyala dan kamarku sudah di penuhi dengan dekorasi khas untuk orang ulang tahun. Jantungku berpacu hebat saat aku melihat dari arah pintu Mama yang berjalan membawa kue dan lilin angka yang menyala di bagian atasnya.
Seketika tangisnya tumpah dan berhambur memeluk Papa yang ternyata membangunkan ku tadi, di dalam dekapannya aku menangis menuangkan rasa bahagia yang menghangat di dalam dadaku.
“Lika... Li... Lika mau bilang ma–kasih sama Papa,” isakku di dalam dekapan hangat Papa.
Papa mengelus lembut kepalaku, setelah itu dia menjauhkan tubuhnya saat Mama berjalan mendekat ke arahku bersama Kak Rigel dan Kak Handi dengan membawa kue di tangannya.
“Happy birthday, Sayang,” ucap Mama setelahnya mencium pucuk kepalaku.
Setetes cairan bening menetes membasahi pipiku, aku menyadari bahwa aku menangis sekarang. Aku terharu karena memiliki keluarga yang benar-benar menyayangiku dan peduli terhadapku.
Aku, Mama, Papa, Kak Rigel Dan Kak Handi duduk di karpet berbulu yang ada di dekat sofa-bed. Mama meminta Papa until membaca doa lalu setelahnya meniup lilin yang sejak tadi menyala.
“Hari ini usiamu 16 tahun ya, Li. Semoga kamu making dewasa dan jadilah putri kebanggaan Papa, ya,” ucap Papa dengan senyum tipis di wajahnya. Aku membalas dengan anggukan senang.
Malam ini, pukul 00.00 pada tanggal 19 yang berganti menjadi tanggal 20 juni aku kembali mendapatkan kebahagiaan yang selalu ada di setiap tahunnya. Aku bahagia karena masih mempunyai keluarga yang utuh dan benar-benar menyayangiku.
Terimakasih Tuhan, karena sudah memberikanku nikmat yang lebih dari segalanya.
Pukul 00.35 Papa menyuruhku untuk tidur kembali karena besok harus sekolah, aku menurut dan menutup pintu setelah Papa, Mama dan Kak Rigel keluar dari kamar. Kini hanya ada aku dan Kak Handi di sini, entah apa yang akan dia lakukan aku tidak tahu.
“Kakak gak tidur?” tanyaku menghampirinya duduk di sofa-bed.
Kak Handi menggeleng singkat, aku kebingungan saat melihat Kak Handi hanya diam menatap kosong pada tembok pink di kamarku.
“Kak, mikirin apa sih?” desakku. Mataku sudah mulai mengantuk lagi sekarang.
“Mikirin kamu,” jawab Kak Handi yang menatapku dengan tatapan dalamnya.
Aku mengerti, sepertinya pembicaraan kali ini akan sama dengan pembicaraan ku dan Kak Rigel kemarin.
Kak Handi mengalihkan pandang. “Dulu, pas Kakak SMA Kakak adalah maniak nya pacaran Li. Selalu bawa cewek ke rumah karena Papa emang gak pernah marah. Bahkan sampai bolos jam pelajaran sama cewek Kakak dan kami nongkrong di rooftop,” ucap Kak Handi. Aku mengangguk mendengar kan ceritanya.
“Saat itu, masa SMA Kakak benar-benar berwarna dan itu luar biasa. Saat Kakak suka cewek yang selalu perhatian dan selalu ada buat Kakak tapi ternyata sebenarnya dia suka cowok lain dan itu bukan Kakak.” Kak Handi menatapku.
“Kakak ini Li, tahu gimana rasanya punya rasa tapi gak berbalas. Tahu gimana rasanya berkorban tapi gak pernah dilihat. Gimana rasanya Kakak selalu ada tapi gak pernah dianggap,” Kak Handi menjeda kalimatnya, dia mengisyaratkan aku untuk lebih mendekat padanya.
“Dan... Kakak tahu gimana rasanya di beri harapan tetapi akhirnya di patahkan, di matikan, di campakkan.”
Aku masih diam mendengarkan, mungkin sekarang Kak Handi sedang ingin bercerita denganku tentang perjalanan cintanya.
“Rindu itu kasat mata, saat kita melihatnya tertawa bersama orang lain. Definisi rindu menurut Kakak adalah saat dia bahagia dengan yang lain sementara kita masih stuck dengan kenangan yang sudah berlalu saat masih sama dia,” ujar Kak Handi.
“Definisi suka menurut Kakak gimana?” tanyaku setelah lama diam.
Sebelah sudut bibir Kak Handi terangkat dan dia mengambil kue di atas meja lalu memakannya. “Suka itu bahaya, dia bisa menjelma menjadi cinta dan seringkali yang merasakan perasaan itu gak sadar kalo dia sebatas suka, bukan cinta.”
“Maksudnya?”
“Lika, kalo kamu suka orang secara berlebihan dan kurang dari lima bulan, itu tandanya kamu masih dalam batas kagum. Belum masuk ke dalam tahap jatuh cinta.”
Setelah berucap demikian Kak Handi bangkit dan keluar dari kamar. Aku ingin naik ke atas kasur dan langsung tidur urung saat Kak Handi kembali lagi ke kamarku. Aku berdecak sebal.
“Apa lagi Kak?” tanyaku jengah.
“Ada temen kamu di luar,” jawabnya.
Mataku membulat seketika saat Kak Handi mengatakan itu. Siapa temanku yang berani datang ke rumah saat pukul 01.00 seperti ini?
“Beneran? Siapa?” tanyaku penasaran.
Kak Handi berdecak dan aku terkekeh geli, lalu aku dan Kak Handi turun ke bawah aku ke ruang tamu dan Kak Handi ke kamarnya.
Keningku berkerut dalam menandakan kebingungan yang begitu besar saat melihat seorang cowok bersweater duduk di sofa dengan kepala yang menyandar.
“Gilang?” aku mendekat dengan langkah pelan. Gilang membuka matanya dan menegakkan tubuh.
“Ngapain malam-malam ke sini?” Aku memperhatikan penampilan Gilang yang kacau dan matanya yang memerah. Dia kenapa?
“Selamat ulang tahun ya, Lika. Gue sayang lo.” ucapan Gilang membuatku membeku dan kehabisan kata-kata sebelum mengatakan apa-apa.
Gilang kembali menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa, matanya memejam lelah. “Gi... Gilang, lo... lo kenapa?”
Mata Gilang terbuka, jantungku berpacu hebat saat Gilang merubah posisi menjadi berbaring dengan kepala yang berada di atas pahaku. Entah aku mencium bau apa dari tubuh Gilang, yang pasti ini bau yang benar-benar membuatku mual dan aku tak pernah mencium bau seperti ini sebelumnya.
Tangan Gilang terangkat dan meraih tangan kananku menggenggam nya erat dan membawa ke atas dada bidangnya. Di tengah kegugupan dan rasa heranku aku hanya membiarkan apapun yang Gilang lakukan. Mungkin sekarang dia sedang sakit.
“Minta waktu lo semalam ini aja ya, gue mohon,” ucap Gilang dengan suara pelan dan serak.
“Lang...”
“Lika... jangan ke mana-mana, plis temenin gue,” potong nya.
Aku mengangguk meski aku tahu Gilang tak melihatnya, tangan kiriku yang bebas terangkat mengusap lembut rambut hitam acak-acakan milik Gilang yang menutupi dahinya. Aku bersandar di sofa dan tersenyum kemudian menutup mata.
***
Jangan tanyakan apa yang terjadi denganku dan Gilang saat pagi setelah tadi malam. Aku kalap dan telat bangun sehingga membuat Mama yang memang selalu bangun pagi melihat Gilang yang tertidur di pahaku dan tanganku yang berada di atas kepalanya.
Untung Mama cepat membangunkanku sehingga Papa dan Kak Handi tak sempat melihat aku dan Gilang. Aku meminta Mama untuk menyembunyikan ini kepada siapapun.
“Aku mohon ya, Ma,” pintaku saat itu.
Mama hanya mengangguk dengan senyum jahilnya, “Jangan di ulangi lagi ya,” ucapnya. Aku mengangguk.
Aku mengembuskan napas berat, kelas benar-benar sunyi dan kosong melompong pagi ini. Mungkin ini karena aku yang datang terlambat dan Gilang, aku tak tahu entah dia di mana.
Gilang langsung pulang saat Mama membangunkan kami pagi tadi, dia bilang kepalanya benar-benar pusing dan tidak bisa berdiri lama. Mungkin saja Gilang tidak masuk sekolah hari ini.
“Lika,” aku menoleh ke meja belakang tempat duduk milik ku. Retna dengan cengiran lebarnya yang ternyata memanggilku.
“Kenapa, Ret?” tanyaku.
“Lo pulang sama siapa?”
Keningku berkerut tak paham. “Di anter Kak Rigel. Emangnya kenapa?”
“Pas! Lo gue tebengin aja, tenang gue anterin sampai rumah kok,” ucapnya meyakinkan. Aku melirik Tata yang baru saja datang dari arah pintu.
“Tata gimana?” Aku memasang raut tak enak, karena memang seperti itulah kenyataannya.
“Tata juga ikut, kita bertiga. Gue bawa mobil hari ini. Gue sekalian mau ngajak kalian jalan-jalan ke mall, lama gak shopping,” kata Retna jujur.
“Shopping?!” jerit aku dan Tata bersamaan. Sama seperti aku, Tata juga merespon dengan mata yang berbinar menandakan kesenangan yang luar biasa.
Retna mengangguk, “Iya, mau kan?”
“Gue mau!” seru Tata.
Aku juga mau. “Gue juga—”
Ponsel di atas mejaku berbunyi membuat ucapanku tak sempat selesai, itu notifikasi khusus untuk chat dari Gilang.
Arkan Gilang
Sayang
Lika Hirata
Apa Lang?
Arkan Gilang
Lagi apa?
Lika Hirata
Lagi ngobrol sama Tata dan Retna. Kenapa sih?
Ponselku berbunyi dan lagi-lagi itu dari Gilang, namun berupa panggilan masuk.
“Halo,” sapaku terlebih dahulu.
“Ingat kan sama hari ini?” keningku berkerut memahami ucapan Gilang.
Sementara Retna dan Tata menatapku dengan bibir yang bergerak seakan berucap ‘dari siapa?’
“Dari Gilang,” jawabku menjauh ponsel dari telingaku.
“Eng... apa tadi Lang?” tanyaku kembali.
“Kita jadi jalan kan hari ini?”
Aku menggigit bibir bawah, menatap Retna dan Tata. Mereka mengharapkan aku pergi bersama mereka, tetapi aku sudah memiliki janji dengan Gilang sebelumnya.
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog