Kamu menerbangkanku begitu tinggi, tolong jangan jatuhkan aku apapun keadaannya. Semoga rasa ini berakhir dengan pertanggung jawaban, tidak berakhir hanya dengan rasa yang ditinggalkan.
***
Aku hanya diam saja saat Gilang melakukan hal tadi, sekarang malah dia yang memakai topi punyaku yang sudah pasti salah dan bakal kena hukuman nanti. Kasian Gilang, kenapa juga dia melakukan hal aneh seperti ini.
“Gilang..., nanti lo di hukum. Sini balikin! Gue aja yang pakai,” pintaku menengadahkan tangan di depan wajah Gilang. Cowok itu hanya mengerjap beberapa kali lalu menyugar rambutnya.
Kedua tanganku terkepal bersiap memukul bahu Gilang karena gemas aku berbicara tetapi tidak di tanggapi. “Nyebelin banget sih, lo!”
“Suka?”
“Hah?!” Mungkin responku saja yang berlebihan setelah mendengar ucapannya barusan, buktinya Gilang hanya biasa-biasa saja.
“Suka gue?”
Sebelah alisku terangkat menatapnya heran, Gilang berbalik dan kembali menghadap ke depan saat namanya di panggil oleh OSIS. Ponsel di dalam saku kemeja ku bergetar, aku lalu membuka chat yang masuk di sana.
Tata
Panas woi!
Aku mengangkat kepala dan menoleh ke arah kanan di mana pada barisan Banjar ke dua di sebelahku Tata berdiri sambil menutupi wajahnya dengan telapak tangan.
Lika Hirata
Sama-sama kepanasan, Ta
Tata
Gue doain mampus tuh ketua OSIS nanti!
Lika Hirata
Kok rese sih? ????
Tata
Suka-suka lah!
Aku beralih pada chat lain yang masuk setelah aku membalas pesan Tata. Dari Kak Felix.
Kak Felix
Adem, Li?
Lika Hirata
Kakak ngaco, jelas-jelas panas begini dibilangnya adem.
Kak Felix
Ya ademlah yang skrg udh punya pacar
Lika Hirata
Hah? Siapa pacarku?
Kak Felix
Bentar lagi giliran lo maju. Kenalin diri yang baik ya, gak usah grogi????
Aku tersenyum setelah membaca chat terakhir dari Kak Felix, dia ketua OSIS SMA Tunas Harapan. Aku sudah lama mengenalnya dan kebetulan Kak Felix tinggal satu komplek dengan tempat tinggalku. Dia sering main ke rumah untuk bermain dengan Kak Rigel. Maklumlah cowok, pasti ada aja bahasan nya kalo ketemu. Tapi yang paling sering sih masalah game.
Sama dengan Kak Rigel, Kak Felix juga penggila Mobile Legend. Ah, ya, dia juga pecinta permainan hago.
Aku menyimpan ponsel di saku kemejaku saat namaku di panggil dan di suruh maju ke depan, aku sempat heran saat melihat Gilang berdiri pada barisan paling depan dan tidak kembali pada barisan nya semula saat bersamaku.
Kak Felix yang berdiri di sudut lapangan tersenyum manis ke arahku, aku membalasnya dengan senyuman dan melambaikan tangan. Setelah itu aku berdiri menghadap ke barisan, mulai memperkenalkan diri.
“Kenapa nama pacarnya di kosongi?” tanya Kak Seli, wakil nya Kak Felix, ketus OSIS.
Kak Seli ini katanya termasuk siswi teladan dan salah satu cewek cantik most wanted sekolah. Memang sih, dia cantik. Kulitnya putih bersih, matanya sipit, hidungnya mancung dan runcing. Dan rambutnya yang sepinggang berwarna hitam pekat. Kak Seli memang cantik. Dan dia orang yang baik.
Aku berdeham canggung, tidak seharusnya canggung dan malu sih hanya karena tidak menuliskan nama pacar di depan papan nama. Tapi aku tetap saja merasa di perhatikan dengan tatapan aneh oleh anak-anak yang lainnya.
Dari barisan depan Gilang mengangkat tangannya, sontak saja semua pengurus OSIS melihat ke arah Gilang termasuk Kak Seli. Cowok itu berjalan dengan langkah agak cepat ke depan dan berhenti di hadapanku.
Keningku berkerut bingung saat melihat Gilang meminjam spidol kepada Kak Seli dan agak membungkuk di hadapannya. Dia menulis sesuatu di papan namaku kemudian kembali ke barisan.
Mataku membulat sempurna saat melihat apa yang Gilang tulis di papan namaku, aku memelototi Gilang yang memasang tampang santainya menatap ke arahku.
Dasar Gila—ng!
Aku merasakan pipiku memanas dan memerah padam karena malu di tatap oleh anak-anak yang lain dan para OSIS yang berdiri tak jauh dari tempatku. Mereka tersenyum geli dan ada juga yang menyoraki aku dan Gilang. Aku melihat Kak Seli hanya memasang wajah datarnya, dia mempersilahkan ku kembali ke barisan saat selesai perkenalan.
Gilang mengikuti aku yang mencari barisan awal, aku tak menghiraukan nya dan hanya berjalan cepat mendahului Gilang. Aku kesal atas tindakannya yang mengejutkan seperti tadi.
Gilang menarik ujung rambutku membuatku berhenti melangkah dan berbalik. “Marah?” tanya nya.
“Buat apa?” balasku ketus.
“Karena yang tadi,” kata Gilang.
“Lo cukup aneh untuk hari ini.”
????????????
Program MOS sudah berakhir sejak satu Minggu yang lalu, hari pertama setelah MOS selesai di isi dengan kegiatan gotong royong membersihkan sekolah dan menyusun pot bunga yang berjumlah ratusan yang di bawa oleh murid baru saat MOS hari terakhir lalu. Hari kedua di isi dengan pembagian kelas untuk murid baru yang resmi menjadi siswa-siswi SMA Tunas Harapan. Aku di tempatkan di kelas 10 IPS-4, Desi juga. Ririn, Tata dan Gilang juga di tempatkan pada kelas yang sama denganku.
Hari ini adalah hari Senin, aku sudah siap dengan seragam putih abu-abu dan dasi yang terpasang rapi dan sempurna di leherku. Ini pertama kalinya aku bisa memasang dasi, karena ketika SMP dasi kami tidak seperti dasi SMA yang harus di ikat terlebih dahulu sebelum memakainya, tetapi kami saat SMP dulu langsung dipakai saja.
Kak Rigel lah mengajarkan aku memakai dasi, tidak membutuhkan waktu yang lama bagiku untuk bisa memasang dasi dengan benar baik karena aku cepat tanggap orangnya.
Aku sudah selesai sarapan dan pamit kepada Mama dan Kak Rigel untuk berangkat sekolah, Papa ku berangkat kerja ke Bandung kemarin dan Kak Handi sudah berangkat bekerja pagi-pagi sekali.
Aku kebingungan saat melihat garasi yang hanya ada 2 motor dan satu buah mobil namun tidak terdapat sepedaku di sana. Aku berjalan masuk lebih jauh ke dalam garasi untuk mencari kembali keberadaan sepedaku namun aku tidak menemukannya. Masih dilanda kebingungan aku memutuskan masuk ke dalam untuk bertanya kepada Mama.
“Ma! Mama!” panggil sedikit berteriak.
“Kenapa sih teriak-teriak?” jawab Mama saat aku sudah sampai di ruang makan.
“Sepeda Lika mana? Kok gak ada di garasi?!” tanyaku mulai panik, karena jam sudah menunjukkan pukul 07.05.
“Kamu gak pake sepeda lagi, Li,” sahut Kak Rigel.
Aku melotot kaget dan duduk di tepi meja makan, Mama melempar tatapan peringatan kepada ku dan aku langsung berpindah duduk ke kursi.
“Bener apa kata Kak Rigel, Lika,” timpal Mama.
“Kenapa?”
“Karena mau dikasih enak, Lika-liku.” Kak Rigel meletakkan tangannya di atas kepalaku lalu berdiri dan berjalan menuju dapur.
“Apa sih, Ma?” Aku masih bingung dengan maksud Kak Rigel. “Cepetan Ma! Nanti aku telat berangkat!” desak ku.
“Gel, kasih kuncinya sama Lika!” teriak Mama pada Kak Rigel.
Kak Rigel kembali dengan segelas jus alpukat di tangannya. “Emang kamu yakin berani naik motor?”
“Aku di suruh naik motor?”
Mama dan Kak Rigel mengangguk bersamaan.
Aku tersenyum lebar dan mengangguk antusias, “Yeay!!” sorak ku. Aku bangkit dari kursi dan berlari memeluk Mama dan Kak Rigel bergantian.
Aku senang akhir nya di perbolehkan berangkat sekolah menggunakan motor.
“Siniin aku kuncinya Kak, udah mau telat.” Aku membuka telapak tangan di depan Kak Rigel.
“Kakak aja yang anter. Masih belum yakin soalnya,” ucap Kak Rigel. Aku meringis sinis.
“Lebay deh! Percaya deh sama aku, aku itu udah pintar bawa motor. Suer deh,”
“Gak ada penolakan!”
Aku mencibir kesal, kalau sudah begini Kak Rigel tidak akan bisa lagi di bantah dan di tawar-tawar. Akhirnya aku mengangguk lemah dan pamit lagi dengan Mama bersamaan dengan Kak Rigel yang berjalan menuju garasi.
Motor Scoopy berwarna putih itu di keluarkan oleh Kak Rigel dari garasi, dia memintaku membuka pintu pagar dan aku mengerjakannya dengan wajah di tekuk.
“Santai aja muka.” Kak Rigel menepuk pelan kepalaku dan dia menyuruhku segera naik ke atas motor.
Kak Rigel menghentikan motor saat sudah sampai di depan gerbang sekolah, aku langsung turun dan menyerahkan helm yang aku pakai kepadanya.
“Tuh pacar lo, buruan samperin. Eitsss, tapi dia berangkat sama cowok lain, Lang.”
Aku menoleh ke arah kanan sumber suara, di sana ada Gilang dan Dani yang duduk di atas motornya masing-masing. Kak Rigel mengikuti arah pandang ku dan Gilang tersenyum kepada kami, dia berjalan mendekat.
“Hai,” sapanya.
“Hm,” balasku singkat.
“Siapa?” Kak Rigel menunjuk Gilang.
“Te—”
“Lo masuk bareng pacar lo ya, Lang! Gue duluan!” teriakan Dani membuatku melotot tak percaya kepada Gilang dan Dani. Aku merasakan jantungku berdebar hebat saat Gilang hanya mengangguk mengiyakan ucapan Dani.
Seperti dugaan ku, sekarang Kak Rigel menatap dengan tatapan tanya kepadaku. Dia menumpukan sikunya di kepala motor. “Berani selingkuh heh?”
Apa-apaan lagi sih ini? Kenapa sekarang malah Kak Rigel yang ngomongnya aneh?
“Ka—”
“Aku balik, Lika.” Kak Rigel mengenakan helm nya. “Lo, jagain pacar kita,” kata Kak Rigel menujuk Gilang dan segera berlalu meninggalkan aku yang berdiri mematung dengan pikiran heran dan Gilang yang rautnya tak terbaca.
“Kenapa sih dia?” gumamku pelan.
“Lo dekat bukan cuma sama gue?” ucap Gilang serius.
Aku menatapnya lama, memperhatikan mata teduhnya yang semakin hari semakin indah.
“Dan pacaran sama dia?”
“Ngomong apa sih, Lang?”
“Ayo masuk!” Dia menarik pergelangan tanganku masuk ke sekolah.
“Lang?”
“Apa?”
“Soal papan nama itu kenapa...”
“Kenapa gak nelpon gue tadi? Gue bisa jemput.”
Aku mendengus kasar, “Lo kenapa sih, Lang?”
“Lika!” Aku menoleh ke belakang, begitu juga Gilang.
“Kak Felix?”
“Iya, tadi berangkat sama Rigel?” Kak Felix berdiri di samping kiriku dan meletakkan lenganku di bahuku.
“Oh... namanya Rigel.” Aku mendengar Gilang bergumam pelan namun tidak memperdulikan nya. Aku hanya fokus berbicara kepada Kak Felix.
“Iya, Kak. Dia sendiri yang mau, tumben gitu. Dan Mama ngiyain aja kemauan nya dia,” jawabku.
“Betewe itu motor baru ya?” Kak Felix bertanya lagi.
Aku mengangguk, “Kayaknya iya kalo dilihat dari body beningnya. Tapi gak tahu juga,”
Gilang masuk terlebih dahulu tanpa pamit dan berbicara kepadaku atau Kak Felix, aku merasa bersalah karena sudah mendiamkannya dan malah asik dengan Kak Felix.
Aku melihat Kak Felix yang memperhatikan langkah Gilang hingga cowok itu menghilang di balik pintu kelas, Kak Felix menurunkan tangannya dari bahuku.
“Kayaknya pacar lo cemburu,”
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog