Yang berperan di sini adalah takdir, bukan aku atau kamu. Atau bahkan perasaan kita sekalipun. Pada kenyataannya kita tetap harus merelakan walau saling tersakiti.
***
Aku menatap Gilang bersama dengan rasa sesak pada napasku dan air mata yang merembes turun. Tangisku sudah pecah dan semakin jadi menyesakkan setelah penuturannya tadi. “Lo sudah cukup bikin gue sakit selama sembilan bulan ini, Lang. Buat apa lo datang lagi ke gue sekarang dan dengan entengnya lo bilang ke gue kalo lo udah punya masa depan, ada, ya, manusia jahat kayak lo ini!”
“Tindakan lo ke gue kejam, Lang. Lo berbuat dan bersikap seakan lo berniat membalas perasaan gue. Lo menebas jarak yang sudah gue baut diantara kita, lo datang ke gue seakan membukakan jalan lebar buat gue dapetin lo. Tapi ditengah jalan lo ninggalin gue sendirian, lo menghilang tanpa gue tahu penyebabnya. Setelah kejadian Kak Rigel mukul lo gue pikir itu alasan kenapa lo ninggalin gue, tapi kenyataannya lo ninggalin gue demi cewek lain. Iya, gue tahu hak apapun gue gak punya atas lo. Tapi seenggaknya lo menghargai rasa gue, apa lo gak bisa hanya sekedar untuk itu? Kalo emang lo gak berniat sayang sama gue, gak usah bertindak seakan lo pengin gue jadi milik lo. Lo jangan egois kayak gitu kepingin milikin gue tapi lo juga mau bersama Seli. Gue gak serendah itu buat mendapat perlakuan hina dari lo. 29 September hari terkahir kebersamaan kita, Lang.”
Dadaku terasa sesak setelah mengutarakan semuanya.
“Li... Maafin gue untuk itu. Tapi gue punya alasan dibalik semuanya. Dan lo harus dengerin alasan gue.”
Sorot Gilang berubah sayu, aku melihat matanya yang memerah dengan itu Gilang mendekat lagi padaku. “Peluk gue dan gue akan menceritakan semuanya sama lo. Gue butuh penguat untuk nyeritain ini.”
Kepala Gilang sudah bertumpu lagi di bahuku bersamaan dengan dia yang mulai membuka suara. Menceritakan semuanya. Untuk pertama kalinya, napasku tertahan dan tubuhku membeku atas apa yang dia ucapkan.
“Mama meninggal bukan karena asma, tapi karena rekan kerja dia yang bernama Chika Hirata.”
Air mataku luruh mendengar nama Mama disebut oleh Gilang sebagai penyebab dari kematian Mamanya. Gilang boleh berduka, tapi dia tidak berhak mencap Mamaku sebagai pembunuh!
“Mama gue bukan pembunuh!”
“Ya, gue tahu fakta ini setelah insiden Rigel mukul gue. Papa tahu dan dia marah dengan apa yang gue alami, mulai dari situ semua mengalir. Fakta baru gue temukan tentang kematian Mama gue. Mama gue yang akhirnya depresi karena terus-terusan ditekan sama Tante Chika Hirata. Semua karena jabatan keduanya di kampus tempat Mama kerja dulu.
“Pertama gue tahu ini, gue beneran gak nyangka Mama lo penyebab dari semuanya. Bahkan gue gak percaya pada awalnya, tapi semua berubah jelas setelah Papa dan Kak Sandra yang jelasin semuanya ke gue langsung. Gue sayang lo, Lika. Tapi pada saat yang bersamaan gue dipaksa buat benci sama lo. Gue berusaha dekat lagi sama lo dan bersedia ngelupain semuanya tapi orang-orang di sekitar gue gak mendukung. Gue harus benci sama lo,” cerita Gilang dengan suara yang berubah parau. Kepalanya terangkat menatapku, aku hanya diam saat kedua tangan Gilang menangkup pipiku. Aku memejam pasrah saat air bening yang tak berasa turun di pipiku, bahkan tanpa aku sadari kepalaku sudah tenggelam di dada Gilang.
Sesak.
Hanya itu yang bisa aku ekspresikan untuk situasi yang tercipta sekarang.
“Lo gak tahu betapa terpukulnya gue saat Mama pergi. Betapa hancurnya gue, Kak Sandra dan Papa saat kenyataan yang baru saja gue tahu ini jadi penyebab semuanya. Gue gak percaya, Li, tapi gue gak menutup keinginan buat nyari tahu semuanya. Takdir emang sudah melukiskan kehendaknya, emang bener semuanya karena ...”
“Mama,” potongku, lirih.
“Maaf,” ucap Gilang. Aku tidak tahu harus merespons seperti apa atas ceritanya ini.
“Kalau lo bertanya perihal rasa gue ke elo, dengan lantang gue akan menjawab bahwa gue sayang dan cinta banget sama Lika Andrea Hirata. Tapi takdir emang gak mengizinkan kita buat bersatu untuk sekarang ini. Tolong, lupain dulu masalah kematian Mama gue. Gue mau bahas dan menyelesaikan permasalahan diantara kita,” pungkas Gilang.
Kepalaku terangkat untuk mengambil jarak dari Gilang lalu berucap, “Apa yang lo mau buat kita? Buat perasaan kita?”
Gilang hanya menggeleng.
Kedua tanganku terkepal kuat mehanan gejolak marah yang membuncah. Seharusnya Gilang mengambil tindakan untuk ini, bukan hanya menggelengkan kepala dan tidak tahu mau berbuat apa.
“Gue pengen semuanya berubah baik, Lang. Gue pengen lo dan gue ...”
“Menjalani hubungan yang hati kita harapkan,” selanya. Aku membuang napas kasar.
“Tapi gak bisa. Gak ada yang bisa kita perbaiki di sini, Li. Semua udah terlanjur hancur dan takdir gue emang bukan lo. Yang pantas buat lo emang bukan gue,” ujarnya.
Aku menutup mulut dengan tangan, menahan tangis yang memaksa keluar kemudian dengan lirih aku berujar, “Lo selalu ngomong dengan bawa-bawa takdir.”
“Karena siklusnya emang begitu, Li. Seli udah ditetapkan sebagai takdir gue, pendamping gue. Mau gak mau gue harus terima semuanya, bukan cuma lo yang sakit di sini, gue juga. Bahkan lebih parah. Tapi gue sadar bahwa jalannya emang harus begini.”
Setelah mengucapkan itu aku melihat mata Gilang memerah, jangan menangis Gilang. Lo kesakitan gue kalo gue lihat tangis lo karena gue.
“Kita masih bisa berjuang, Arkan Gilang. Tolong, jangan menyerah,” pintaku pelan.
“Enggak, Li, maaf, gue gak bisa. Tanpa lo tahu gue udah cukup berjuang. Selama ini Papa sakit, dan Seli selalu ada buat Papa. Setiap gue ngomong sama dia gue melihat rasa cinta dimatanya yang teramat dalam, juga Papa yang menetapkan Seli sebagai takdir gue. Gue cuma punya Papa dan Kak Sandra, Li, dan gue gak mau kehilangan salah satunya. Lo sayang gue, kan?”
Aku mengangguk.
“Sebagai permintaan terakhir, tolong jangan benci aku. Dan relakan aku membahagiakan Papa dan Kak Sandra. Sayang, sejauh apapun kita berjarak percayalah aku akan menyimpan perasaan spesial ini cuma buat kamu.”
Bersama dengan air mata yang merembes deras aku menubruk dada Gilang, memeluknya erat dan menangis di pelukannya. Aku mengerti, sekeras apapun kami akan berjuang jika memang takdir sudah bicara cinta kami tidak akan bisa bersatu dengan ikatan. Aku percaya dengan pilihan takdir. Setelah ini Gilang akan memulai suasana harinya dengan orang baru, kuharap dia bisa mencintai Seli sebagaimana dia bisa mencintai aku dengan dalam tanpa harus menggeser posisiku di dalam hatinya.
Kini aku paham, sedalam apapun cintaku kepada Gilang pada akhirnya aku harus siap melepas, merelakan dan bahagia bersama dengan rasa sakit yang tercipta. Aku tahu satu hal, bahwa ternyata bukan hanya aku yang berkorban tetapi Gilang juga. Bukan hanya aku yang berjuang dalam sendiri, namun Gilang juga.
Sungguh, aku mencintainya.
Tangan Gilang bergerak menjauhkan kepalaku dari dadanya, kami saling bertatapan hingga ibu jari Gilang mengusap pipiku yang basah karena air mata. Cowok itu tersenyum pilu, aku membalas dengan senyum yang sama.
“Kamu bahagia aja, Lang. Untuk bagian yang sakitnya biar buat aku aja,” tuturku.
Gilang menggeleng, “Enggak. Kita sakit sama-sama, nanti juga bahagia sama-sama walaupun kita gak bisa bersama. Seenggaknya hati kita masih dengan perasaan yang sama.”
“Sekali lagi, Gilang. Aku sayang sama kamu,” ulangku.
Gilang mengangguk paham, “Aku tahu. Jangan beranggapan bahwa ini akhir dari kita, kita masih punya hubungan, sebagai teman. Seenggaknya sampai takdir berkata lain.”
Aku mengangguk, pelukan Gilang melonggar dan dia berdiri dari duduknya disusul olehku. Kaos yang dipakai oleh Gilang sedikit basah karena air mataku tadi, biarlah, ini terakhir kalinya.
“Sayang, aku pulang,” pamitnya seraya mengusap pucuk kepalaku kemudian mengecupnya. Aku mengangguk kaku, ingin rasanya aku memiliki panggilan sayang untuk Gilang juga.
Punggung Gilang sudah hilang dari pandanganku, ternyata cowok itu datang ke balkon kamarku dengan cara memanjat. Aku mengulum senyum sebagai penghantar kepergiannya. Setidaknya sebelum Gilang pergi ada hal manis yang dia ciptakan untuk perpisahan kami yang secara resmi. Patah hatiku yang telah lalu kini sudah bertemu dengan penjelasan walau tidak berakhir dengan kebersamaan, meskipun begitu aku tetap bersyukur ternyata cintaku tidak sendirian.
Ada dia yang ternyata juga mencintaiku dalam diamnya.
Selamat ulang tahun, Arkan Gilang Samudra. Semoga harimu lebih bahagia setelah ini, aku tetap senang dengan ungkapanmu tadi walau akhirnya kamu tetap pergi. Tak apa jika suatu hari nanti hatimu berpindah pada hati yang lain, itu hakmu.
Jujur, Gilang, betapa ini rasanya sungguh menyakitkan saat 19 September kita tak lagi bersama. Kamu sudah memiliki calon kebahagiaandengan wanita lain, dengan Seli. Gilang, tahun ini tak ada satu hadiah indah pun yang mampu aku berikan untukmu, hanya saja kamu sudah tahu bahwa sesungguhnya perasaan ini masih saja sama. Hati ini masih milikmu, dan derajat mu di rongga ini masih sebagai yang tertinggi.
Suatu hari jika ingin kembali, kembalilah. Aku setia menunggu hadirmu yang kedua kali.
Arkan Gilang Samudra, lelaki pemberi kenangan kala 19 September.
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog