Loading...
Logo TinLit
Read Story - Catatan 19 September
MENU
About Us  

Menyakitkan saat aku mengatakan ‘aku mencintaimu’ padahal kenyataannya aku mencintai dia.

 

***


Aku menatap pantulan diriku di depan cermin. Dress hitam selutut tanpa lengan membuatku terlihat cantik dengan rambut lurusku yang digerai. Rambutku sudah mulai panjang mencapai pinggang. Wajahku hanya dipoles dengan bedak tipis dan sedikit lip-balm yang aku tambahkan di bibirku. Bunyi ponsel yang terdengar aku abaikan karena kupikir itu adalah Tata yang menelponku, namun saat melihat nama pemanggil yang tertera aku langsung menerima panggilan tersebut.

 

“Gue udah di halaman rumah lo nih. Tapi mau masuk dulu minta izin sama Om sama Tante.”

 

“Sip. Aku juga udah siap kok ini,” balasku.

 

“Ya udah. Matiin dulu, ya. Udah mau masuk nih.”

 

Panggilan berakhir setelah anggukan kepalaku yang tidak akan bisa dilihat oleh Kak Felix yang sedang ada di rumahku sekarang. Malam ini aku dan Kak Felix akan menyambut tahun baru bersama. Tanpa membawa-bawa perasan masing-masing. Kami sudah sepakat untuk tidak lagi membahasnya. Itu lebih baik untuk Kak Felix daripada kamu selalu mengungkit perihal rasa yang akan membuat hatinya serasa diremas nanti. Itu menyakitkan.

 

Aku turun menuju ruang tamu dan mendapati Papa dan Kak Felix di sana. Ada Kak Rigel juga yang baru tiba dari dapur.

 

“Ini Lika nya. Cantik banget kamu. Kayak mau jalan sama siapa aja, sih,” goda Papa menyeringai. Pipiku memanas karena dipuji seperti itu.

 

“Orang PDKT ya harus cantik-cantik lah, Pa,” sahut Kak Rigel dengan tampang innocent nya.

 

Aku menginjak kaki Kak saat berdiri di dekat tempat duduknya membuat Kak Rigel meringis. Aku hanya tersenyum penuh perdamaian.

 

“Kal gitu Felix izin bawa Lika jalan-jalan dulu ya, Om,” ucap Kak Felix sopan kepada Papa.

 

Papa bangkit begitu juga dengan Kak Felix. Aku mencium punggung tangan Papa setelah Kak Felix melakukannya terlebih dahulu. Kak Rigel dengan tampang tengil dan menggodanya berulang kali berpesan pada Kak Felix agar menjagaku baik-baik jangan sampai lecet. Lebay. Padahal tidak perlu diulang berapa kali pun pesan itu Kak Felix pasti akan menjagaku dengan baik.

 

“Bahagian adik gue walau cuma satu malam, ya!” teriak Kak Rigel saat Kak Felix bersiap menjalankan mobil yang kami tumpangi.

 

Dengan isyarat anggukan kepala yang dilakukan Kak Felix akhirnya kami berangkat meninggalkan area rumahku. Kak Felix melajukan mobil hitamnya dengan kecepatan sedang.

 

“Lo cantik malam ini,” puji Kak Felix secara tiba-tiba.

 

Hal itu membuatku memanas begitu saja, ditambah dengan senyum dibibirnya yang begitu manis dan tulus membuatku sedikit kesulitan untuk membalas pujiannya. Aku memperhatikan penampilan Kak Felix yang mengenakan celana jeans hitam dan kemeja santai berwarna biru dongker yang digelung hingga siku membuatnya begitu mempesona.

 

Garis wajah Kak Felix yang begitu tegas membaut dia terlihat sangat tampan, hidung bangirnya begitu sesuai dengan alis tebal yang dia punya. Bibirnya tidak begitu merah seperti bibir punya Gilang tetapi tidak juga hitam seperti bibir seorang perokok.

 

Dan, kenapa aku malah membandingkan Kak Felix dengan cowok itu?

 

“Kakak juga ganteng, keren pakai kemeja itu. Lebih dewasa gitu,” balasku memuji. Masih menatapnya dengan kagum.

 

Kak Felix bergerak mengacak rambutku. Aku hanya diam menikmati. “Bisa aja nyenengin gue nih adiknya temen,” celetuknya.

 

“Kita nonton yuk, ada film baru yang bagus. Lumayan hiburan buat malam pergantian tahun. Gimana?” tawarnya setelah itu.

 

Aku mengangguk cepat. Setuju dengan pilihannya itu. “Filmnya apa emang?”

 

“Yang jelas gak menye-menye kayak tontonan remaja alay kayak lo.”

 

“Aku gak alay!”

 

***

 

Setelah keluar dari bioskop kami memilih makan di warung satai yang ada di pinggir jalan, Kak Felix sendiri yang menentukan pilihan untuk kami makan karena dia yang mengeluh kelaparan sejak di bioskop tadi.

 

Setelah pesanan kami tiba aku langsung menyantapnya penuh nafsu. Bahkan sampai menggunakan sendok untuk memakan sambal satenya sekalian.

 

“Lahap banget lo makannya. Padahal yang kelaparan itu gue,” kekeh Kak Felix. Aku tidak terusik sedikitpun dan tetap melanjutkan makan.

 

“Aku juga lapar cuma gak ngomong aja,” ujarku setelah menghabiskan sate milikku dan menghabiskan segelas air putih.

 

“Kalo gue gak lapar dan ngajak makan berarti lo gak bakalan minta. Kayak sama siapa aja pakai belagak sungkan kayak gitu. “Kak Felix mengunyah satu tusuk sate terakhirnya. “Itu belepotan,” ujarnya menunjuk bibirku dengan tusuk sate seraya menyodorkan tempat tisu padaku.

 

“Di mana?” tanyaku meraba sudut bibir dengan tisu.

 

“Gak mau ngelihatin, takut pengen.”

 

“Ish....” 

 

“Jalan-jalan lagi Kak,” desakku setelah kami sama-sama selesai makan dan Kak Felix bersandar pada badan kursi. Tampak begitu kekenyangan.

 

“Bentar. Napas dulu gue, kekenyangan nih,” tahannya sambil mengeluarkan ponsel membawanya ke atas meja.

 

“Hapus gak?!” geramku menodongkan segenggam tusuk sate ke depan wajahnya setelah sadar Kak Felix memotretku. Dasar makhluk jahil.

 

“Enggak mau,” balasnya santai. Tidak sedikitpun takut dengan banyaknya tusuk satu yang siap menusuk wajah gantengnya.

 

“Hapus Kak,” rengekku.

 

“Gak. Biar jadi kenangan.”

 

Kok nyesek gitu ya dengernya?

 

Aku menatap Kak Felix lekat, cowok itu membalas tatapanku dengan sorotnya yang tenang. “Kenangan maksudnya?” tanyaku bingung.

 

“Kenangan di 2017. Besok udah 2018 aja, takut gak bisa lagi punya kenangan semanis ini sama lo,” jelasnya seraya tersenyum tipis.

 

Jantungku berdetak tak keruan, perasaanku tiba-tiba berubah kacau mendengar ucapannya tadi. Jangan pernah katakan ini kenangan terakhir Kak Felix, aku gak mau!

 

Sambil menahan napas aku bangkit dan menyandang tasku di bahu. “Aku ke mobil duluan, Kak,” pamitku. Lalu melangkah menuju mobil. Saat akan membuka pintu mobil langkahku terhenti karena panggilan Kak Felix.

 

“Lika, jangan marah,” lirihnya pelan.

 

Tersenyum kecut, aku menggeleng, “Aku gak marah,” balasku kemudian masuk ke dalam mobil. Menyandarkan kepala pada sandaran kursi yang aku duduki di mobil.

 

Kata-kata Kak Felix tadi entah kenapa menganggu pikiranku dan mengusik ketanganku yang perlahan tercipta. Ia berucap secara tiba-tiba membuatku sanggup melupakan perihal fotoku—yang mungkin saja aib—tersimpan di ponselnya.

 

Napasku sesak dan sedikit bergetar, segelintir kenangan bersama Gilang teringat di kepalaku. Ini hari terakhir di tahun 2017 dan hubunganku dengannya berubah menjadi buruk. Tak ada tanda-tanda akan membaik.

 

“Maaf, ya.”

 

Aku menoleh ke samping saat Kak Felix menutup pintu mobil yang menimbulkan bunyi debaman. “Maaf untuk?”

 

“Kalo aja ada yang salah dari kata-kata gue tadi,” pungkasnya.

 

“Enggak kok.”

 

“Kita belum selesai jalan-jalannya. Mau jalan-jalan lagi kan?” tanya Kak Felix lembut. Membuatku kaget. Ini pertama kalinya dia berbicara selembut itu selama aku mengenalnya. Bahkan saat dia mengungkapkan perasaannya dia tidak berbicara selembut ini.

 

“Mau,” jawabku mantap, mengabaikan pikiran yang ada di kepalaku barusan.

 

Setelah percakapan singkat itu kami berubah diam. Hening yang kini tercipta di mobil yang hanya ada aku dan Kak Felix di dalamnya. Tak lama keheningan berlangsung aku tersadar bahwa mobil yang Kak Felix kendarai berbelok menuju pasar malam.

 

“Lah... kita ke pasar malam nih, Kak?” tanyaku kaget. Jelas kaget. Ini pengalaman pertamaku pergi ke pasar malam bersama seorang cowok kecuali Kak Rigel dan Kak Handi.

 

“Iya nih, masih ada parkiran gak ya?” Kak Felix mencari-cari tempat parkir yang kosong dan mendapatkannya tak lama setelah itu. Aku dan Kak Felix kelur dari mobil, langsung saja pandanganku menyapu area pasar malam yang sangat ramai dengan pengunjung dan anak-anak yang berlarian. Tak sedikit juga pasangan-pasangan remaja yang bergandengan tangan melangkah masuk ke dalam. Maklum saja ini adalah malam penyambutan tahun baru.

 

“Boleh pinjam tangannya?”

 

Aku tersentak saat Kak Felix berbicara dekat sekali dengan telingaku, aku memaklumi karena di sini sangat ramai jadi harus berbicara nyaring atau langsung mendekatkan mulut ke telinga lawan bicara.

 

“Buat apa?” aku bertanya bingung.

 

“Buat digenggam,” jawabnya santai. Kak Felix tersenyum lembut.

 

Aku membalas senyumnya, menyodorkan tanganku ke depan Kak Felix bersedia tanganku digenggam olehnya. Genggaman Kak Felix ditanganku begitu hangat, membuat aku merasa terlindungi. Genggaman ini sama seperti...

 

Tidak! Genggaman mereka tidak sama!

 

Mengenyahkan pikiran-pikiran liar yang mendominasiku aku memilih melangkah mengikuti Kak Felix yang berjalan mendahuluiku dengan tangan yang menggenggam tanganku. Dia membuat jalan untuk kami lewat dari sekian banyaknya pengunjung pasar malam.

 

Untuk kunjungan pertama aku dan Felix memutuskan naik bianglala, awalnya aku ketakutan dengan ketinggian. Namun Kak Felix mengeratkan genggamannya ditanganku, meyakinkan aku agar percaya padanya bahwa semua akan aman terkendali. Tidak terjadi apa-apa.

 

Setelah selesai dengan bianglala kami beralih mengunjungi tempat yang lain. Kak Felix yang dengan percaya dirinya menarik tanganku menuju stand permainan melempar bola. Banyak boneka-boneka yang terpajang di rak hadiah untuk diberikan kepada pemenang yang berhasil memasukkan 3 bola kecil ke dalam gelas besar  dalam jarak 1 meter.

 

“Lo mau boneka yang mana?” tawarnya.

 

Aku terkekeh bahkan hampir tertawa. Dia terlalu percaya diri. “Gak usahlah Kak. Kali kalah nanti Kakak kecewa,” tolakku.

 

Namun Kak Felix tetap kekeh, dia mulai memasukkan satu persatu bola dengan bermacam-macam ancang-ancang. Sampai bola terakhir Kak Felix membungkuk menyesuaikan badannya dengan gelas yang akan dituju.

 

1... 2...

 

Aku menghitung.

 

“Ti...”

 

“Sialan!” makinya frustasi.

 

“Ga ... gal.” tawaku meledak juga akhirnya. Felix dengan kepercayaan dirinya ternyata kalah tanpa membawa hadiah satupun.

 

“Sekali lagi,” tawarnya mengeluarkan uang berwarna biru dari dalam saku. Aku menahannya.

 

“Enggak usah!”

 

“Tapi Lika...”

 

“Sekarang udah setangah dua belas. Mending kita ngeliat pertunjukan kembang api aja di sana,” tunjukku pada kerumunan orang yang memenuhi lapangan luas tempat pertunjukan kembang api dilangsungkan.

 

Akhirnya Kak Felix mengalah, kami berjalan mendekati tempat pertunjukan. Ada beberapa jembatan kecil yang seakan didesain untuk kepuasan para pengunjung yang datang agar bisa menikmati pertunjukan dengan bahagia. Ini bukan lagi area pasar malam, tempatnya sudah keluar dari area pasar malam walau tidak begitu jauh.

 

Para pemain kembang api memainkan permainan mereka di tengah danau dengan perahu kecil yang diberi lampu kerlap-kerlip menyala indah di tengah danau yang terdapat patung besar yang berbentuk abstrak itu. Aku tidak mengerti itu patung apa.

 

Setengah jam sudah kami menonton pesat kembang api, tinggal menghitung detik tahun 2017 akan berganti dengan tahun 2018.

 

Aku melirik Kak Rigel yang memperhatikanku sejak tadi, aku tahu sebenarnya hanya saja berpura-pura cuek. Merasa terlalu lama ditatap aku akhirnya menoleh untuk membalas tatapan diam-diamnya secara terang-terangan.

 

“Cantik,” gumam Kak Felix.

 

“Siapa cantik? Aku?”

 

“Kembang apinya.”

 

“Dasar omongan gak guna!”

 

“Tapi lo juga cantik. Kan gue udah bilang tadi.”

 

Kak Felix meraih tangan kiriku dan kembali menggenggamnya. “Gue mau melanggar perjanjian kita malam ini,” ujarnya pelan.

 

Aku diam menunggu sesuatu yang ingin dia katakan.

 

“Gue sayang banget sama lo, Li,” ucapnya lirih.

 

Dadaku mendadak sesak. Kenapa tidak ada desiran yang datang sama seperti saat aku menatap Gilang? Seharusnya orang seperti ini yang aku cintai lalu aku perjuangkan. Bukan orang yang tidak pernah bisa menghargaiku.

 

Namun lepas dari itu air mataku tumpah, tak sanggup menahan gejolak emosi yang tercipta saat Kak Felix meremas tanganku hingga terasa sakit. Aku mengartikan bahwa genggamannya adalah gambaran rasa sakitnya.

 

“Sakit banget Li saat gue mau maksa lo sayang sama gue juga tapi gak bisa. Gue terlalu sayang sama lo sampai-sampai gue gak rela siapapun bahkan diri gue sendiri bikin lo sakit. Sialnya lo malah suka sama cowok yang mengabaikan lo. Lo itu bahagia gue, Li. Rasa sakit lo pembunuh yang kejam untuk hati gue. Lo kehancuran gue! Lo kelemahan gue! Beneran, rasa ini nyiksa banget, Li. Sumpah. Tapi gue gak pernah menyesal mencintai lo, walaupun gue harus berjuang sendirian. Gue cinta dan jatuh sendirian,” tutur Kak Felix lirih dan lemah. Namun penuh penekanan.

 

Ibu jarinya bergerak naik mengusap air mata di pipiku membuat aku semakin menangis bersama isakan sesak. Tangis ini sudah lama aku tahan bersama dengan rasa sakit karena Gilang yang tidak pernah menguap. Tapi aku salah menumpahkannya, aku melibatkan Kak Felix yang kesakitan dalam rasa sakitku.

 

Egois.

 

“Tapi gue menikmatinya, Li. Sungguh, lo rasa sakit yang gue suka banget,” lanjut Kak Felix yang membaut dadaku sakit seakan ditusuk oleh lebih dari satu belati yang tajam. Aku tidak akan bisa sekuat dia.

 

“Li...” lirih Kak Rigel. “Gue mau peluk lo. Kali ini aja.”

 

Aku hanya diam. Menatap kosong bola mata Kak Felix.

 

“Jawab gue, Li!”

 

Tanpa menjawab dengan membolehkannya, aku yang langsung bergerak sendiri memeluk Kak Felix. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang begitu kencang dan tak berirama seperti seharusnya. Aku paham betul rasa sakitnya. Semunafik apapun Kak Rigel menyembunyikan rasa sakitnya lewat senyuman yang dia ukir detail bertemu denganku seolah-olah tidak terjadi apa-apa, tetap saja rasa sakit tetaplah rasa sakit yang butuh didengarkan aduannya. Kak Felix benar-benar rapuh terbukti dengan pelukannya ditubuhku yang tanpa ekspresi. Dingin. Kak Felix kehilangan jiwanya.

 

Dengan lebih aku berucap,“Kak maafin aku...”

 

“Izinkan sekali ini aja gue egois, Li. Tolong izinin gue maksa lo buat sayang sama gue sekarang aja, detik ini aja. Setelahnya lo boleh marah sama gue,” pinta Kak Felix lemah. Aku merasakan badannya bergetar dan berat dibagian bahuku, Kak Felix menumpukan kepalanya di bahuku dengan mata yang memejam berat. Maafkan aku Kak...

 

“Balas gue, Li,” ulangnya. “Gue cinta sama lo,” ucapnya lembut. Penuh harap.

 

Apa mungkin aku menyakiti dengan cara seperti yang dia inginkan. Membalas ucapannya walau pada kenyataannya perasaan kami berbeda.

 

“Tolong,” lirihan Kak Felix membuat aku terisak. Aku mengusap punggung Kak Felix, membenamkan wajahku di dadanya.

 

“Aku juga cinta Kak Felix,” balasku akhirnya.

 

Aku cinta sama Gilang...

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • Cemplonkisya

    @penakertas_ paham kok wehehe

    Comment on chapter Prolog
  • yourex

    @Lightcemplon
    Sulit dimengerti prolog nya ????

    Comment on chapter Prolog
  • Cemplonkisya

    awal yang dalem:(

    Comment on chapter Prolog
  • Alfreed98

    Wow

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Happiness Is Real
314      265     0     
Short Story
Kumpulan cerita, yang akan memberitahu kalian bahwa kebahagiaan itu nyata.
Alicia
1414      679     1     
Romance
Alicia Fernita, gadis yang memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat protektif terhadapnya. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian sekolahnya karena memiliki banyak kelebihan. Tanpa mereka semua ketahui, gadis itu sedang mencoba mengubur luka pada masa lalunya sedalam mungkin. Gadis itu masih hidup terbayang-bayang dengan masa lalunya. Luka yang berhasil dia kubur kini terbuka sempurna beg...
The Twins
4542      1590     2     
Romance
Syakilla adalah gadis cupu yang menjadi siswa baru di sekolah favorit ternama di Jakarta , bertemu dengan Syailla Gadis tomboy nan pemberani . Mereka menjalin hubungan persahabatan yang sangat erat . Tapi tak ada yang menyadari bahwa mereka sangat mirip atau bisa dikata kembar , apakah ada rahasia dibalik kemiripan mereka ? Dan apakah persahabatan mereka akan terus terjaga ketika mereka sama ...
Sweet Sound of Love
476      314     2     
Romance
"Itu suaramu?" Budi terbelalak tak percaya. Wia membekap mulutnya tak kalah terkejut. "Kamu mendengarnya? Itu isi hatiku!" "Ya sudah, gak usah lebay." "Hei, siapa yang gak khawatir kalau ada orang yang bisa membaca isi hati?" Wia memanyunkan bibirnya. "Bilang saja kalau kamu juga senang." "Eh kok?" "Barusan aku mendengarnya, ap...
Sekretaris Kelas VS Atlet Basket
13418      2614     6     
Humor
Amira dan Gilang yang menyandang peran werewolf dan vampir di kelas 11 IPA 5 adalah ikon yang dibangga-banggakan kelasnya. Kelas yang murid-muridnya tidak jauh dari kata songong. Tidak, mereka tidak bodoh. Tetapi kreatif dengan cara mereka sendiri. Amira, Sekretaris kelas yang sering sibuk itu ternyata bodoh dalam urusan olahraga. Demi mendapatkan nilai B, ia rela melakukan apa saja. Dan entah...
My Sunset
7444      1612     3     
Romance
You are my sunset.
Ellipsis
2363      987     4     
Romance
Katanya masa-masa indah sekolah ada ketika kita SMA. Tidak berlaku bagi Ara, gadis itu hanya ingin menjalani kehidupan SMAnya dengan biasa-biasa saja. Belajar hingga masuk PTN. Tetapi kemudian dia mulai terusik dengan perlakuan ketus yang terkesan jahat dari Daniel teman satu kelasnya. Mereka tidak pernah terlibat dalam satu masalah, namun pria itu seolah-olah ingin melenyapkan Ara dari pandangan...
Sarah
496      358     2     
Short Story
Sarah, si gadis paling populer satu sekolahan. Sarah yang dijuluki sebagai Taylor Swift SMU Kusuma Wijaya, yang mantannya ada dimana-mana. Sarah yang tiba-tiba menghilang dan \'mengacaukan\' banyak orang. Sarah juga yang berhasil membuat Galih jatuh cinta sebelum akhirnya memerangkapnya...
Thantophobia
1434      801     2     
Romance
Semua orang tidak suka kata perpisahan. Semua orang tidak suka kata kehilangan. Apalagi kehilangan orang yang disayangi. Begitu banyak orang-orang berharga yang ditakdirkan untuk berperan dalam kehidupan Seraphine. Semakin berpengaruh orang-orang itu, semakin ia merasa takut kehilangan mereka. Keluarga, kerabat, bahkan musuh telah memberi pelajaran hidup yang berarti bagi Seraphine.
Just a Cosmological Things
955      540     2     
Romance
Tentang mereka yang bersahabat, tentang dia yang jatuh hati pada sahabatnya sendiri, dan tentang dia yang patah hati karena sahabatnya. "Karena jatuh cinta tidak hanya butuh aku dan kamu. Semesta harus ikut mendukung"- Caramello tyra. "But, it just a cosmological things" - Reno Dhimas White.